• Tidak ada hasil yang ditemukan

WACANA PEMBAHARUAN HUKUM PERSPEKTIF PERA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "WACANA PEMBAHARUAN HUKUM PERSPEKTIF PERA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 52

WACANA PEMBAHARUAN HUKUM PERSPEKTIF PERANAN ASAS-ASAS HUKUM DALAM PEMBENTUKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KONSEP PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF

(Prof. DR. Satjipto Rahardjo) Oleh:

Abdul Roni, SH, MH ABSTRAK

Penegakan hukum progresif bukanlah merupakan satu-satunya model penegakan hukum yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia, tetapi ini adalah jalan keluar. Karena penegakan hukum progresif itu di mulai dari kerisauan melihat penegakan hukum di Indonesia. Sesudah kita renungkan, ternyata kita masih didominasi oleh peraturan-peraturan. Ada semacam ketakutan bagi orang-orang tertentu untuk bertindak berlebih. Jadi kalau kita hanya bertolak pada peraturan, maka kita akan membaca pasal-pasal tidak menggali makna yang lebih dalam. Indonesia memerlukan pembebasan karena undang-undang yang ada belum tentu mendukung cita-cita pendirian republik ini. Saya berharap para penegak hukum di Indonesia tidak hanya terpaku pada pasal-pasal, tetapi juga menjadi agent of development, sehingga development itu menjadi sesuai dengan makna yang ada di dalam pembukaan UUD 1945.

A. Pendahuluan

Dalam konteks dengan topik makalah ini, maka penulis beranjak dari persoalan pendayagunaan asas hukum oleh legislatif yang merupakan salah satu sub judul dari buku sisi – sisi lain dari hukum di Indonesia karangan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, yang sesunguhnya topik ini merupakan satu diantara banyak tulisannya yang sempat di himpun oleh Frans J. Rengka dan Karolus Kopong yang keduanya adalah kandidat doctor di Universitas Diponegoro, yang menurut penjelasan mereka sebagai edidtor, mereka melihat ada sesuatu yang lain dari dari tulisan-tulisan tersebut.

Mereka menyebutnya sebagai pikiran

– pikiran alternatif mengenai hukum. Hal ini juga diakaui kebenarannya oleh Satjipto sendiri yang ia sampaikan dalam bagian ucapan terima kasih penulis pada bagian awal dari buku ini. Komentar Satjipto mengenai tulisan – tulisannya juga diakuainya dengan mengatakan bahwa saya selalu mencoba untuk melihat hukum dalam kaitannya dengan sosialitas yang lebih luas, dengan habitatnya dan dengan perilaku manusianya. Disini faktor manusia menduduki kedudukan sentral.

Sementara tradisi berpikir mengenai hukum yang dominan di negeri ini adalah melihat peraturan dan sekalian institusi hukum dari opjek formal dan normatif. Khusus mengenai topik pendayagunaan asas hukum oleh legislative, disini Satjipto mengatakan pembuat undang-undang kita semakin sadar memasukan unsur asas pada waktu menyusun suatu peraturan

kesadaran untuk memasukan secara sistematis faktor atau komponen asas kedalam perundang – undangan belum begitu lama. Sekitar dua puluh tahun lalu komponen asas tersebut masih secara sporadis dimasukan kedalam perundang – undangan. Masalah ini dapat dicontohkannya adalah Undang – Undang nomor 12 tahun 1967 tentang pokok – pokok perkoperasian.

Didalam Undang – Undang tersebut asas disitu menggunakan istilah landasan yakni, landasan yang dijadikan dasar adalah landasan idiil, structural dan mental. Penggunaan istilah tersebut mungkin dikarenakan pengaruh dari lingkungan politik pada waktu itu, sebagai akibat trauma peristiwa pemberontakan PKI, karenanya secara eksplisit dipakai rumusan landasan – landasan tersebut.

(2)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 53

Undang – Undang nomor 4 tahun 1982 tentang lingkungan hidup dan Undang – Undang nomor 3 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan.

Penggunaan secara sadar dan cukup konsisten baru dimulai pada tahun 1990-an. Dimasukannya asas secara konsisten sebagai komponen perundang-undangan dapat terlihat pada beberapa Undang – Undang produk Nasional yang diterbitkan pada tahun 1990-an adalah Undang-Undang nomor 13 tahun 1992 tentang perkeretaapian, Undang-Undang nomor 14 tahun 1992 tentang lalu lintas jalan, Undang-Undang nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan, Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang dan Undang-Undang nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian.

Inti dari persoalan yang ingin dikemukan dalam tulisan ini sebenarnya penulis (Satjipto) dari segi teori cara demikian itu memang patut dipuji, disebabkan hukum itu bukan bangunan peraturan semata, melainkan juga bangunan nilai – nilai. Oleh karena itu sudah pada tempatnya apabila didalam peraturan hukum ada bagian yang mampu untuk mengalirkan nilai - nilai tersebut, dan bagian yang dimaksud adalah asas hukum.

Keanekaragaman dari watak bangsa-bangsa yang ada didunia, yang secara garis besarnya ada berwatak pragmatis – pragmatis watak yang berwatak sangat suka berpikir menerawang. Mengenai hal ini dajabarkan dalam kecenderungan bangsa dalam pendayagunaan asas hukum oleh legislatif. Dikatakan dalam tulisan ini bahwa bangsa hukum oleh legislatif.

Dikatakan dalam tulisan ini bahwa bangsa Indonesia lebih berwatakan yang tergolong suka menerawang dalam menggunakan cara berpikirnya yakni,

sangat suka membuat konsep, melontarkan gagasan absrak, dan sebagainya, tetapi tidak terlalu pintar untuk menjabarkannya sehingga menjadi operasional. Berbeda hanya bangsa di kawasan asia timur yang lain misalnya, bangsa Jepang yang lebih suka dengan haal-hal yang dapat dijalankan secara konkret. Perbedaan ini diilustrasikan dalam tulisan ini bahwa orang Indonesia suka memuja pohon beringin, sedang orang Jepang lebih senang dengan bonsainya.

Sebagai komentator, dapat dikomentari bahwa dari aspek geografis antara bangsa Jepang dan bnagsa Indonesia, memang sama-sama terletak dikawasan Asia Timur, namun yang membedakan diantara kedua negara ini tidak saja aspek geografis, namun pertimbangkan juga aspek-aspek yang lain misalnya aspek kultur, sumber daya alam dan sumber daya manusia serta lamanya waktu keberadaan atau berdirinya antara kedua negara itu.

Hukum dan nutrisinya yang dimaksudkan dalam tulisan ini, dikemukakanoleh penulisnya bahwa sistem hukum dan sistem perundang-undangan juga membutuhkan nutrisi sama halnya dengan manusia yang membutuhkan vitamin.

Demikiaan pula makna nilai-nilai yang terkandung dalam asas hukum, asas hukum memberikan nutrisi kepada sistem perundang-undangan, sehingga ia tidak hanya merupakan bangunan – bangunan perundang-undangan, melainkan bangunan-bangunan yang sarat dengan nilai dan punya filsafat serta semangat sendiri.

(3)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 54

hukumlah yang memberikan jawaban atas permasalahan tersebut, karena asas hukum yang dapat memberikan arah dan tujuan masyarakat dan bangsa melalui penerapan asas hukum dalam sistem perundang-undangan yang diterbitkan.

Mengenai pernyataan ini dapat dikomentari bahwa asas hukum sebgai keranka pokok atau sumber utama yang telah disepakati dan ditetapkan haruslah dijadikan acuan dalam sistem pembangunan atau pembentukan perundang-undangan, karena kalau asas yang telah dijadikan patokan itu ditinggalkan akan menimbulkan kekacauan dalam sistem hukum itu sendiri. Pernyataan tentang peranan asas hukum ini tentunya tidak dapat dipungkiri lagi, idealnya memang harus dianut oleh para pembentuk perundang-undang di negara kita.Sebagai catatan bagi kita bahwa sistem hukum yang dibangun tanpa asas – asas akan hanya merupakan tumpukan undang-undang yang tanpa arah dan tujuan yang jelas

Hukum yang kurang tepat, hal ini dapat saja terjadi kendati legislative menyadari perlunya secara sengaja memasukan asas-asas hukum dalam karyanya, tetapi selalu bisa ditemukan asas yang tepat, atau membuat perumusan yang tepat. Tampaknya membuat asas hukum itu bukanlah hal yang mudah. Misalnya asas hukum yang kurang tepat itu, yaitu sebagaimana tercantum di dalam UU No 14/992, yang lebih dikenal sebagai “Undang-undang Lalu-lintas” (yang baru). Suatu kemajuan adalah dimasukkannya berbagai asas ke dalam UU tersebut, yang tidak dijumpai dalam UUL lama yang digantikannya. Dalam Pasal 2 UU tersebut kita baca asas-asas (1) manfaat, (2) usaha bersama dan kekeluargaan, (3) adil dan merata, (4) keseimbangan, (5) kepentingan umum, (6) keterpaduan, (7) hukum, dan (8) percaya pada diri sendiri.

Sekalian asas tersebut bisa kita

mengerti sebagai asas yang baik dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Sebagai suatu asas yang berlaku sangat luas seperti itu, maka ia mempunyai titik kelemahannya sendiri. Salah satunya adalah kehilangan fokus untuk secara lebih tajam menghadapi permasalahan dalam lalu lintas jalan. Asas-asas tersebut adalah asas untuk kehidupan bermasyarakat yang baik, tetapi bukan khusus untuk berperilaku yang benar dalam berlalu-lintas. Perundang-undangan lalu lintas membutuhkan nutrisi nilai yang lebih khusus.

Dalam mengatur lalu lintas sebaiknya cukup diletakan satu atau dua asas saja yaitu asas memperhatikan kepentingan orang lain, asas memperhatikan kepentingan sesame pemakai jalan atau asas tidak merugikan orang blain. Asas seperti inilah yang mampu memberikan nutrisi terhadap pengaturan bagaimana seharusnya berprilaku dalam berlalu lintasdi negeri ini, sehingga tercapai prilaku berlalu lintas yang berkualitas.

Dapat dikomentari mengenai penggunaan asas yang kurang tepat dalam sistem perundang-undangan ini bahwa, Asas-asas yang disarankan Satjipto dalam mengatur lalu lintas tampak lebih rinci walaupun jumlah asas yang diterapkan dalam undang-undan tentang lalu lintas itu jumlahnya lebih sedikit ketimbang jumlah asas-asas yang diterapkan oleh legislatif kita didalam undang –undang nomor 14 tahun 1992 tentang UULAJR itu sendiri.

(4)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 55

bangunan dari peraturan-peraturan, akan tetapi pembangunan peraturan-peraturan itu memerlukan nilai-nilai. Oleh karenanya merupakan hal yang sangat tepat apabila dalam peraturan hukum ada bagian yang mampu untuk mengalirkan nilai-nilai tersebut, dan bagian itu adalah asas hukum.

Dalam konteks dengan permasalahan mengapa atau apa yang yang menjadi penyebab hukum tidak di patuhi, maka salah satu faktor penyababnya adalah pendayagunaan asas hukum kurang tepat. Peranan asas hukum dalam pembentukan sistem hukum adalah asas hukum dapat memberikan tuntunan dengan cara bagaimana dan kearah mana sistem hukum itu akan dikembangkan, karenanya sistem hukum memerlukan pemasokan atau dialiri dengan nilai-nilai, dan nilai-nilai yang dimaksudkan itu tidak lain melainkan dari penerapan atau pendayagunaan asas –asas hukum yang tepat yang menjadi rujukan dalam menentukan hal-hal yang konkret atau operasional didalam sistem hukum.

didalam suatu sistem hukum. Patut diakui bahwa untuk membuat dan mendayagunakan asas-asas hukum secara tepat kedalam suatu sistem hukum yang akan dibentuk ataupun merevisi suatu peraturan perundang-undanga bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, untuk merumuskan asas-asas yang tersebut diperlukan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan khususu tentang hal itu, termasuk pihak legislatif, tidak cukup hanya menyadari perlunya secara sengaja memasukan asas-asas hukum dalam pembentukan suatu Undang-Undang, namun harus pula dituntut untuk memeliki pengetahuan khusus dalam merumuskan asas-asas hukum kedalam karyanya itu.

Sistem hukum yang dibangun tanpa asas-asas hukum yang tepat, maka yang akan terjadi hanyalah berupa tumpukan Undang-Undang yang tanpa arah dan tujuan yang jelas, yang pada akhirnya akan menjadi hukum yang tidak dipatuhi, karena

tidak turut membentuk moralitas perilaku atau tidak mensejahterakan masyarakat.

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, dalam bukunya yang berjudul “sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, memberikan contoh asas hukum yang kurang tepat, yaitu sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 14/1992, yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Lalu Lintas yang baru. Suatu kemajuan adalah dimasukannya berbagai asas kedalam UU tersebut, yang tidak dijumpai didalam UU lalu lintas yang lama yang digantikannya. Dalam pasal 2 UU tersebut kita baca asas-asas (1). Asas manfaat, (2). Asas usaha bersama dan kekeluargaan, (3). Asas adil dan merata, (4). Asas keseimbangan, (5). Asas kepentingan umum, (6). Asas keterpaduan, (7). Asas hukum, dan (9). Asas percaya pada diri sendiri.

Sekalian asas tersebut bisa kita mengerti sebagai asas yang baik dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Sebagai suatu asas yang berlaku sangat luas seperti itu , maka ia mempunyai titik kelemahannya sendiri. Salah satunya adalah kehilingan fokus untuk secara lebih tajam menghadapi persoalan dalam berlalu lintas jalan. Asas-Asas tersebut adalah asas untuk kehidupan bermasyarakat yang baik, tetapi bukan khusus untuk berperilaku yang benar dalam berlalu lintas. Perundang-undangan lalu lintas memerlukan nutrisi nilai-nilai yang lebih khusus.

(5)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 56

Pada hemat saya, dalam mengatur lalu lintas ini cukup diletakan satu atau dua asas saja, yaitu asas memperhatikan kepentingan orang lain atau asas memperhatikan kepentingan sesama pemakai jalan atau asas tidak merugikan orang lain. Asas seperti itulah yang selanjutnya bisa memberikan nutrisi terhadap sekalian pengaturan tentang bagaimana seharusnya berperilaku dalam lalu lintas di negeri ini. Bahkan saya cenderung berpendapat, bahwa, pasal-pasal undang-undang yang sedikit banyak rinci memang diperlukan, tetapi dengan satu asas itu saja, lebih banyak hal positif yang bisa dicapai. Kekurangan besar bangsa kita dalam berlalu lintas terletak pada sikapnya yang egois, yang lebih mementingkan diri sendiri, kepentingan dan keinginan sendir. Inilah yang menjadi penyebab penting bagi ketidak- tertiban lalu lintas dan susahnya mengatur lalu l;intas di negeri ini.

Kalau asas hukum itu memang harus bisa memberikan nutrisi nilai-nilai, maka karena sifatnya yang umum, kedepan asas yang tercantum dalam UU No. 14/1992 itu tidak mampu untuk menjalankan fungsi tersebut dengan baik. Asas–asas tersebut tidak berbicara secara langsung mengenai perilaku berlalu lintas. Keadaan yang demikian itu menyulitkan pembinaan perilaku berlalu lintas, oleh karena asas hukumnya tidak memberikan tuntunan untuk itu. Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH., MA, adalah Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum di Universitas Diponegoro. Beliau terbilang sebagai salah seorang pemikir hukum yang hingga saat ini masih sering kali mengemukakan gagasan-gagasan bernas. Mayoritas gagasan dan pemikiran beliau ditujukan untuk mencabar pemikiran faham positivisme hukum. Gagasannya yang paling terbaru adalah konsep penegakan hukum progresif. Yang melatar belakangi wacana pembaharuan hukum menurut teori hukum progresif ini adalah hukum harus

membebaskan diri dari mengeja pasal-pasal, hal ini dimaksudkan yakni mengenai pola pikir mayoritas para juris di Indonesia menggunakan faham positivisme hukum dalam membentuk dan menemukan hukum . Akibatnya ketentuan tertulis (peraturan perundang-undangan) menjadi patokan utama bahkan tunggal. Paham atau cara pandang semacam ini membuat proses penegakan hukum menjadi kering justru memproduksi masalah-masalah baru, bila penegakan hukum teramat berpatokan pada ketentuan tertulis. Agar hukum tidak malah melahirkan persoalan-persoalan baru dan bahkan merawat status quo maka mutlak diperlukan cara pandang baru. Dalam cara pandang baru ini hukum harus mempertimbangkan fakta-fakta lain di luar hukum, karena hanya dengan itu hukum bisa merasakan kebutuhan, penderitaan dan keinginan masyarakat. Hanya dengan itu pula hukum bisa memiliki kesadaran dan hati nurani.

B. Permasalahan

Berdasar latar belakang sebagaimana tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam kaitanya dengan judul tulisan ini adalah pertama, bagaimana penerapan asas-asas hukum oleh legislatif dalam proses harmonisasi peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah di Indonesia. kedua, apakah akibat dari penerapaan asas-asas hukum yang kurang atau tidak tepat itu dalam proses harmonisasi dapat menjadi salah satu aspek pengubah hukum. Permasalahan pokok yang akan dikaji penulis dalam makalah ini adalah sebagai bentuk pemahaman penulis dalam memahami mata kuliah aspek-aspek pengubah hukum.

(6)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 57

penegakan hukum progresif dengan pokok permasalahannya di hadapkan dengan suatu pertanyaan yaitu hukum harus membebaskan diri dari mengeja pasal-pasal.

C. Pembahasan

Kinerja di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan (PUU) dalam 10 tahun terakhir ini telah memperlihatkan peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini tidak terlepas dari proses penyusunan PUU dengan mekanisme yang makin tertib, terarah, dan terukur, meskipun masih tetap perlu diupayakan penyusunan PUU dengan proses yang lebih cepat dengan tidak mengurangi kualitas PUU yang dihasilkan. Percepatan penyelesaian PUU utamanya perlu didorong terhadap program pembentukan PUU yang penyelesaiannya ditentukan dalam waktu tertentu atau diperlukan segera untuk merealisasikan program-program strategis pembangunan.

Penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah, telah menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat secara adil dan Dalam kaitan ini peran dan dukungan daerah dalam rangka pelaksanaan PUU sangat strategis, khususnya dalam membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan daerah lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perda sebagai jenis PUU nasional memiliki landasan konstitusional dan landasan yuridis dengan diaturnya kedudukan Perda dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6), dan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah termasuk perundang-undangan tentang daerah otonomi khusus dan daerah istimewa sebagai lex specialis dari UU

No.32/2004. Selain itu terkait dengan pelaksanaan wewenang dan tugas DPRD dalam membentuk Perda adalah UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD. Penting pula untuk diperhatikan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi sebagai pengganti UU No.18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.34 Tahun 2004, dalam rangka pengendalian Perda tentang Pajak dan Retribusi dan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam rangka keterpaduan RTRW nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum nasional memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan Perda dan peraturan daerah lainnya, dan Perda diharapkan dapat mendukung secara sinergis program-program Pemerintah di daerah.

Perda sebagaimana PUU lainnya memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum. Untuk berfungsinya kepastian hukum PUU harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana dalam PUU yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan.

(7)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 58

adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan PUU lainnya.

I. Kedudukan dan Landasan Hukum Peraturan Daerah

Sesuai asas desentralisasi daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah diatur dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 yang telah diatur lebih lanjut dengan PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah juga telah menetapkan PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah memerlukan perangkat peraturan perundang-undangan.

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan ”Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan DPRD. Hal ini sesuai UU No.32/2004 Pasal 25 huruf c bahwa ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD” dan Pasal 42 ayat (1) huruf a bahwa”DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat

persetujuan bersama”, dan Pasal 136 ayat (1) bahwa”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.

Memperhatikan ketentuan mengenai Perda dimaksud, dapat disimpulkan bahwa Perda mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai instrumen kebijakan di daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah namun Perda tersebut pada dasarnya merupakan peraturan pelaksanaan dari PUU yang lebih tinggi. Selain itu Perda dapat berfungsi sebagai istrumen kebijakan untuk penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam rangka harmonisasi, asas hierarki dilaksanakan melalui pembatalan perda oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum. Asas hierarki juga menimbulkan lahirnya hak untuk menguji Perda tersebut baik secara formal maupun material. Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah dibuat melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam PUU; sedangkan hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu produk hukum isinya sesuai dengan PUU yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.

(8)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 59

No.12/2011 dan UU No.32/2004. Pasal 12 UU No.32/2004 menyatakan:“Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 138 UU No.32/2004, menentukan materi Perda harus memperhatikan asas materi muatan PUU antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, dan yang terpenting ketentuan Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) UU No.10/2004 jo Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 bahwa materi Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan /atau peraturan PUU yang lebih tinggi. Dalam penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan kepentingan umum” adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Selanjutnya pengaturan yang bersifat khusus dalam tata cara penyusunan Perda yakni mekanisme evaluasi secara berjenjang terhadap Raperda tentang APBD (Pasal 185 s.d Pasal 191 UU No.32/2004), Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah (Pasal 189 UU No.32/2004). Evaluasi atas Raperda tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Perda dengan PUU yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa pengharmonisasian Perda dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal.

Raperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu

dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Ketentuan mengenai tata cara evaluasi Raperda tentang pajak dan retribusi diatur dalam No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi (Pasal 157 s.d Pasal 158), sedangkan pengaturan mengenai tata cara evaluasi Raperda rencana tata ruang (RTRW) terdapat dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Raperda tentang pajak dan retribusi yang telah disetujui kepala daerah dengan DPRD sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Raperda Provinsi untuk dievaluasi untuk diuji kesesuaiannya dengan UU No.28/2009, kepentingan umum, dan/atau PUU lain yang lebih tinggi. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan Raperda dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur/ bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Mekanisme tersebut berlaku mutatis mutandis bagi Raperda kabupaten/kota tentang pajak restribusi dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

(9)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 60

bersama Raperda provinsi tentang RTRW antara gubernur dengan DPRD provinsi yang didasarkan pada persetujuan substansi dari Menteri PU, dan kewajiban untuk menyampaikan Raperda tersebut kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Mekanisme ini berlaku mutatis mutandis bagi Raperda RTRW kabupaten/kota dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur.

Ketentuan mengenai pembatalan Perda diatur dalam Pasal 145 UU No.32/2004. Sesuai ketentuan Pasal ini Perda yang telah ditetapkan bersama Pemda dan DPRD wajib disampaikan kepada Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri paling lama 7 hari setelah ditetapkan. Pemerintah harus telah memberikan keputusan atas Perda tersebut paling lama 60 hari sejak Perda diterima. Dalam hal Perda dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Selanjutnya paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan bersama DPRD mencabut Perda dimaksud. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

Khusus mengenai pembatalan Perda tentang Pajak dan Restribusi berdasar ketentuan dalam UU No.28 Tahun 2009, Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota dibatalkan apabila bertentangan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atas rekomendasi dari Menteri Keuangan kepada Presiden yang disampaikan melalui Menteri Dalam Negeri. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan

Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Perda oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya sesuai Pasal 159 UU No.28 Tahun 2009 daerah yang tidak menyampaikan Perda tentang Pajak dan Retribusi kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dikenai sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi

III. Urgensi Harmonisasi Perda dengan Peraturan Perundang-undangan

Harmonisasi PUU adalah proses yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu PUU dengan PUU lainnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hierarki PUU sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua PUU termasuk Perda baik secara vertikal maupun horisontal.

Harmonisasi Raperda dengan PUU perlu didukung oleh aturan yang jelas dan tegas apabila dikehendaki untuk senantiasa diintergrasikan sebagai syarat formal penyusunan Perda seperti halnya proses pengharmonisasian, pemantapan, dan pembulatan konsepsi RUU, RPP, Rperpres termasuk Rinpres yang dilaksanakan sesuai Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperppu, RPP, dan RanPrepres, dan Peraturan Presiden No.61/2005 tentang Prolegnas.

(10)

perundang-Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 61

undangan dalam setiap Panitia Antar departemen dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian Rancangan Undang-Undang dan teknik perancangan perundang-undangan. Dalam Perpres tersebut juga diatur mengenai teknik-teknik pelaksanaan pengharmonisasian termasuk mekanisme penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan.

Dalam Perpres No. 61 Tahun 2005 diatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dalam Pasal 14 s.d 17, yang pada intinya menentukan bahwa RUU sebelum dimintakan persetujuan Presiden sebagai Prolegnas terlebih dahulu dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU.

Pentingnya pengaturan pengharmonisasian bagi Raperda diatur dalam Perpres tersebut agar selaras dengan pengaturan di DPRD dalam PP No.16 Tahun 2010 dimana Pasal 53 PP tersebut mengatur bahwa Badan Legislasi Daerah bertugas melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD. Ketentuan Pasal 53 PP tersebut konkordan dengan ketentuan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di DPR sebagaimana diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 dimana proses tersebut melekat dalam tugas dari Badan Legislasi.

Proses harmonisasi memerlukan ketelitian, kecermatan, dan keakuratan dalam mengidentifikasikan PUU yang terkait, analisis norma-norma yang dinilai bersesuaian atau bertentangan, serta ketepatan dalam menentukan pilihan-pilihan politik hukum dalam hal ditemukan ketidakcocokan konsepsi rancangan dengan ketentuan PUU lain. Dalam proses tersebut perlu dipastikan prinsip-prinsip

PUU yang harus dipegang teguh oleh para penyusun misalnya bahwa RPP dibuat untuk melaksanakan UU maka RPP tidak dapat mengatur sesuatu hal yang melebihi amanat UU tersebut.

Dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU, proses harmonisasi Perda dengan PUU lainnya dan dengan perda lainnya perlu dintegrasikan sejak pembahasan Prolegda dan penyusunan Naskah Akademis. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No.12 Tahun 2012 bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Prolegda. Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Perda yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Pasal 18 PP No.16/2010 menentukan Raperda yang berasal dari DPRD atau kepala daerah disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, dengan catatan Naskah Akademik tidak bersifat wajib bagi Raperda tentang APBD atau Raperda yang mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya.

Sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU Nomor 32/2004 yang menegaskan bahwa peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

(11)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 62

Informasi Menteri Keuangan dari hasil evaluasi terhadap Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sejak 2001 hingga 14 Agustus 2009 menunjukkan, dari total 9.714 perda, ada 3.455 perda (36 persen) yang direkomendasikan dibatalkan atau direvisi, dan dari sisi jenis usaha, perda bermasalah paling banyak diterbitkan di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pertanian, budaya dan pariwisata, serta kehutanan. Hasilnya, dari 2.566 Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat 1.727 Raperda (67 persen) yang direkomendasikan untuk ditolak atau direvisi. Raperda bermasalah ini masih di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata, serta kesehatan. Kementerian Keuangan juga mendata sampai dengan 31 Maret 2009, Perda bermasalah paling banyak terjadi di sektor transportasi (447 Perda), disusul industri dan perdagangan (387 Perda), pertanian (344 Perda) dan kehutanan (299 Perda).

Masih terkait dengan pajak dan retribusi, Kementerian Negara Koperasi dan UKM baru menginformasikan saat ini terdapat 26 dari 92 peraturan daerah yang bertentangan dengan pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) dan terkait dengan pajak dan retribusi daerah telah dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan masih terdapat 340 perda yang bertentangan dengan pemberdayaan KUMKM sesuai UU No.28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dari 340 Perda tersebut sejumlah 234 peraturan daerah telah diusulkan pembatalannya kepada Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 63 di antaranya telah disetujui pembatalannya, dan 171 Perda lainnya masih dalam proses pertimbangan di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan..

Bertitik tolak dari permasalahan hukum harus membebaskan diri dari mengeja pasal-pasal, maka atas pertanyaan

bagaimana gejala sosial yang terjadi di Indonesia sebagai akibat adanya penerapan positivisme hukum, Prof. DR. Satjipto Rahardjo, mengemukakan bahwa, kita adalah negara hukum. Hukum itu pertama-tama bertolak dari teks-teks yang tertulis. Undang-undang itu kan adalah teks yang tertulis. Jadi, itu muncul dari dada hukum yang tidak mempunyai perundang-undangan tertulis. Sehingga munculah faham positivis atau sering juga disebut sebagai positivisme analitis. Jadi memang positivisme itu adalah bahan pemikiran yang muncul seiring dengan adanya tradisi perundang-undangan. Tetapi selanjutnya ada pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat yang berbeda. Karena kalau kita hanya mendasarkan pada ketentuan tertulis saja, bisa menyebabkan dinamika didalam masyarakat atau keadaan yang sangat kompleks di masyarakat, tidak tertampung dalam perundang-undangan. Karena sifat dari perundang-undangan yang tertulis itu biasanya kaku dan rijid, sehingga kurang bisa mengikuti keadaan dan kompleksitas yang berkembang. Jadi orang-orang yang menganut positivis analitis itu selalu mengatakan: “Ya undang-undangnya bilang begitu”.

(12)

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo), Halaman. 52-63

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014 63

Sebab itulah yang menjadi jembatan, agar ketentuan perundang-undangan yang di sebut kaku, justru bisa mengikuti kompleksitas perkembangan zaman. Karena bila hanya berpaku pada peraturan, jelas akan menjaga status quo, berhenti hitam atau putih. Tetapi, kalau orang yang menjalankan peraturan itu di semangati oleh kebutuhan yang ada di masyarakat, maka masih ada peluang untuk membaca perundang-undangan itu dan menerapkannya secar dinamis dalam perkembangan di masyarakat. Oleh karena itu saya menekankan, khususnya untuk Indonesia sekarang ini, maka hukum memutuhkan perilaku. Perilaku adalah perilaku manusia, dimana di dalamnya ada faktor-faktor seperti empati, kejujuran, keberanian dan sebagainya.

difinisi dari istilah penegakan hukum progresif itu sendiri adalah penegakan hukum progresif itu tidak semata-mata mengeja pada pasal undang-undang, tetapi mencoba membebaskan diri dari situ dengan merasakan kebutuhan, penderitaan dan keinginan dari masyarakat. Maka saya menyebutnya the conscience of the law, hukum dengan nurani.

Implikasi dari penegakan hukum progresif dapat di contohkan adalah kasus Raju, ini adalah contoh penegakan hukum yang ingin kembali pada pasal-pasal saja. Dimana pengadilan yang mengadili Raju selalu mengatakan kalau itu sudah sesuai dengan undang-undang. Menurut Prof. DR. Satjipto Rahardjo, beliau sama sekali tidak mendengar bila pengadilan itu sudah memiliki conscience. Melihat anak kecil seharusnya nurani kita tergerak. Kita juga melihat anak-anak. Dan kalau kita bisa memiliki perasaan itu maka kita bisa membayangkan bagaimana hancurnya masa depan anak-anak kalau mulai dari kecil sudah di hadapkan pada polosi, jaksa atau hakim. Jadi itu implikasinya. Kita harus berani menjalankan hukum itu berdasarkan peraturan, tetapi di laksanakan

secara progresif. D. PENUTUP

Perda dapat dibatalkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dikategorikan karena alasan teknis yuridis seperti dasar hukum membentuk Perda tidak tepat, alasan yang bersifat substansial (materi muatan bertentangan dengan PUU) atau alasan yang dipandang prinsipil misalnya mengandung ketentuan yang diskriminatif atau melanggar HAM. Beragamnya pertimbangan pembatalan Perda hingga kini tampaknya belum ada data konkrit mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya disharmonisasi Perda dengan PUU.

Sebagai saran dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU diharapkan Kementerian terkait yang diberi tugas menangani peraturan daerah agar segara mendesign program dan kegiatan bertahap dan terencana mulai dari kegiatan identifikasi permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah, penentuan program penanganan, evaluasi dan monitoring perkembangan mengenai intensitas dan bobot penerapan di semua daerah

DAFTAR PUSTAKA

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Buku Kompas, 2005, Jakarta

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tentang pembentukan Rencana Peraturan Daerah

Referensi

Dokumen terkait

Atau dalam motif para followers @farhatabbaslaw, agar dapat memenuhi rasa penasaran mereka akan sosok fenomenal Farhat Abbas, memenuhi keinginan sendiri untuk mengomentari

Setelah menjalani perawatan, tanyakan kepada dokter mengenai tindak lanjut yang perlu Anda lakukan baik di rumah ataupun untuk pemeriksaan lanjutan:.. Jenis tindak lanjut apa yang

 “Saya merasa biasa-biasa saja” atau “tak banyak yang bisa saya ceritakan tentang diri saya” seringkali menjadi jawaban yang dipilih pelamar sebagai

e) Gerakan sujud merupakan urut-urutan dari gerakan-gerakan: Tubuh merendah dengan menekukkan badan dan lutut, telapak tangan mencapai lantai, disusul lutut mencapai

antara hasil latihan kelincahan dengan hasil belajar sepakbola dapat dilihat pada.

Setelah melalui pengolahan data dari hasil kuisioner yang dibagikan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan masyarakat Surabaya mengenai berita Pilwali Surabaya 2010

Terkait dengan sikap beralih konsumen, fenomena yang dapat digambarkan tentang peran variabel motivasi untuk mengelaborasi informasi adalah jika motivasi mengelaborasi

A középkori hagyományoknak és az egyetemi középkori tanagyagnak megfelelően a legtöbben Arisztotelész műveit és kommentárjait forgatták tanulmányaik során, kiegé-