• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan Adat 1 PENGELOLAAN HUTAN BERBAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hutan Adat 1 PENGELOLAAN HUTAN BERBAS"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN HUTAN BERBASI S MASYARAKAT ADAT:

Antara Konsep dan Realitas

*

Oleh: Abdon Nababan1

“ Sebenarnya hutan negara tidak ‘open access’, karena secara hukum dikuasai oleh negara. Kondisi ‘open access’ terjadi akibat lemahnya pengelolaan hutan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah, serta pemegang ijin usaha akibat ketiga pihak ini di masa lalu dan bahkan hingga saat ini

lebih berorientasi kepada komoditi, kayu dan pohon, dan bukan berorientasi kepada pengelolaan kawasan hutan” – Hariadi Kartodihardjo, 20062

Masyarakat Adat dan Pembangunan Kehutanan

Masyarakat adat, yang diperkirakan paling sedikit 30 juta jiwa di antaranya berada di dalam di sekitar hutan, adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini yang menjadi korban politik pembangunan Rejim Orde Baru. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai “masyarakat terasing”, “peladang berpindah”, “masyarakat rentan”, “masyarakat primitif’ dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural.

Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budaya dan agamanya. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya, politik dan agama. Hanya saja bangunan “negara-bangsa” yang majemuk sebagaimana digagas oleh Para Pendiri Bangsa ini telah dihianati begitu saja oleh para penerusnya, yaitu dengan merampas secara sistematis hak-hak masyarakat adat yang merupakan struktur dasar “negara-bangsa” yang majemuk. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan yang paling utama adalah hak politik masyarakat adat. Perangkat-perangkat kebijakan dan hukum diproduksi untuk memaksakan uniformitas dalam semua bidang kehidupan. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan

*

Makalah ini pernah disampaikan dalam Seminar “Hutan Tanaman Rakyat, Untuk Apa dan Siapa”, Pertemuan Mitra Siemenpuu Foundation, Muara Jambi, 5 Nopember 2008.

1

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) periode 2007-2012 dan 2012-2017.

2

(2)

kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di sektor kehutanan, misalnya, ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan hutan yang sebagian besar berada di dalam wilayah-wilayah adat, di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Dengan mengeluarkan dan menerapkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, yang kemudian diganti dengan UU No. 41 Tahun 199 tentang Kehutanan, secara sepihak telah menempatkan hutan adat sebagai hutan negara. Dalam hal ini hukum telah disalah-gunakan menjadi hanya instrumen untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai oleh masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya.

Berhembusnya angin “reformasi” yang berhasil menempatkan KH Abdurrahman Wahid, dan kemudian digantikan oleh Megawati Sukarnoputri, dan terakhir oleh Susilo Bambang Yudoyono melalui pemilihan langsung yang pertama, sebagai Presiden RI, juga tidak merubah kebijakan dan hukum yang mengatur alokasi dan pengelolaan hutan. Energi dan kekuasaan yang dipegang oleh para pemimpin lembaga penyelenggara negara yang mestinya digunakan untuk mengganti total peraturan per-UU-an peninggalan Kolonial Belanda dan Orde Baru, ternyata tidak dilakukan. Akibat politik sumberdaya alam yang sentralistik yang bertumpu pada pemerintah, bersifat represif dan sangat tidak adil ini, telah menimbulkan maraknya konflik atas sumberdaya hutan antara masyarakat adat dengan pengusaha yang didukung pejabat pemerintah. Bahkan sebagian di antaranya berdimensi kekerasan karena pemerintah dan pengusaha sering melibatkan aparat pertahanan dan keamanan untuk meredam konflik-konflik yang muncul. Dari berbagai konflik vertikal seperti ini tercatat banyak pelanggaran hak azasi manusia dialami oleh penggiat dan pejuang penegakan hak-hak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekali pun seperti mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi blokade jalan, pengambil-alihan “base camp” sampai penyanderaan alat-alat berat perusahaan yang mengeksploitasi dan merusak ekosistem hutan yang secara turun-temurun menghidupi mereka, selalu berujung pada tuduhan anti-pembangunan dan kriminalisasi.

(3)

masyarakat adat yang ada saat ini justru bersumber dari proyek-proyek pembangunan seperti HPH dan HTI, bukan karena mereka malas atau tidak rasional.

Otonomi Daerah:

Pemberlanjutan Pengrusakan Hutan

Di tengah pemberlanjutan ‘ideologi’ pembangunan ekspolitatif dari rejim Orde Baru Soeharto-Habibie ke KH. Abdurahman Wahid dan saat ini Megawati Sukarnoputri, reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui otonomi daerah telah menjadi tema sentral diskusi hampir di seluruh lapisan masyarakat. Dalam otonomi daerah ini, yang secara formal ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, ada kehendak dari para pembuatnya untuk memperbaharui hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah melalui penyerahan kewenangan pusat ke daerah atau desentralisasi, antara eksekutif (PEMDA) dengan legislatif (DPRD) melalui “kemitraan sejajar” di antara keduanya, dan terakhir mendekatkan secara politik dan geografis antara penentu kebijakan (yang kewenangannya diserahkan ke DPRD dan PEMDA Kabupaten) dengan rakyat sehingga diharapkan kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat banyak.

Dalam konteks memberi jalan bagi kedaulatan masyarakat adat, hal-hal yang dikehendaki tersebut perlu dikaji dan dipertanyakan secara kritis mengingat bahwa UU 22/1999 dan UU 25/1999 yang kemudian direvisi masing-masing UU 32/2004 dan UU 33/2004 ini hanya mengatur sistem pemerintahan (government system), bukan system pengurusan (governance system). Ini berarti bahwa kedua UU ini baru mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi masyarakat adat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan batas sampai di mana pemerintah boleh (punya hak) mengatur dan mengintervensi kedaulatan masyarakat adat. Yang muncul sebagai akibat dari ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan ini adalah tumbuh-suburnya perilaku politik pengurasan hutan di kalangan elit politik, khususnya para bupati yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar. Para bupati berlomba-lomba mengeluarkan PERDA untuk menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya, termasuk dengan pemberian ijin HPHH skala kecil, IPK dan sebagainya tanpa perhitungan yang matang atas ketersediaan sumberdaya hutan.

(4)

mengontrol. Kalau kecenderungan ini tidak segera dihentikan (atau paling tidak dikendalikan) maka otonomi daerah “setengah hati” seperti ini tidak akan pernah jadi solusi, bahkan akan meningkatkan laju pengrusakan diri masyarakat adat itu sendiri beserta habitatnya.

HUTAN ADAT:

Jantung Kehidupan Masyarakat Adat

Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara sistematis lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4 propinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusan Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain: 1) masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya; 2) adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal tenure/“property” rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan; 3) adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar; 5) ada mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat (Nababan, 1995).

(5)

dengan sistem konsesi HPH. Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian.

Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah memporak-porandakan dan merusak hutan adat yang selama ratusan tahun menjadi jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat di nusantara. Kawasan-kawasan hutan yang telah ditebang oleh HPH, dengan menggunakan fasilitas ‘logging road’ dan ‘skidding road’, berbagai kegiatan eksploitasi dan konversi hutan yang semakin memperparah kerusakan hutan akan menyusul, seperti: operasi IPK, penebangan haram, perladangan berpindah, perkebunan skala besar dan sebagainya. Pemetaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) dinyatakan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera karena harus kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutan. Forest Watch Indonesia (2001) menyatakan kalau kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah bukan rawa di Sumatera akan punah sebelum tahun 2005, dan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama tahun 2010.

Sudah banyak sekali dana dan bantuan teknis dicurahkan oleh masyarakat internasional dan pemerintah dari negara-negara industri untuk menghentikan pengrusakan massif dan ancaman kepunahan hutan tropis ini, tetapi boleh dikatakan hampir semuanya gagal. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meyakini bahwa solusi terhadap

persoalan-persoalan kunci kehutanan di Indonesia hanyalah kearifan adat, yang ditransformasikan ke dalam sistim pengelolaan hutan yang progresif dan mengikuti zamannya. Bagaimana pun, kearifan adat yang berbasis komunitas ini merupakan potensi

sosial-budaya yang sangat besar untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini terpusat di tangan pemerintah dan telah terbukti menimbulkan pengrusakan hutan dan memarjinalisasi ekonomi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara beserta habitatnya. Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa masa depan keberlanjutan kehidupan bangsa Indonesia berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara sistim pengetahuan lokalnya, sering juga disebut sebagai kearifan adat, ke dalam praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang menjangkau tujuan yang lintas-generasi atau saat sekarang disebut berkelanjutan.

(6)

pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, community forestry, credit union, dsb.) untuk mengatur dan mengendalikan “illegal logging” yang dimodali oleh cukong-cukong kayu, mengurangi “clear cutting” legal dengan IPK untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan yang resmi (legal, dapat ijin yang sah dari pemerintah) tetapi merusak lingkungan dan tidak berkeadilan seperti IHPHH. Ada beberapa alasan kuat yang melandasi betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan saat ini dan terutama di masa depan, yaitu bahwa:

 Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat sebagai penerima insentif yang paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka.

 Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka.

 Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan.

 Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya.

 Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar.

 Masyarakat adat dilindungi UUD 1945 yang mengharuskan negara mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak tradisional (hak-hak asal usul, menurut penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen), dan diposisikan sebagai Hak Azasi Manusia (HAM) baik dalam Pasal 28 I ayat (3) sesuai dengan standar HAM dalam berbagai instrumen internasional3.

3

Pasal 18B ayat (2) (Amandemen Kedua) UUD 1945 pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat

kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” merupakan hak azasi manusia yang harus

(7)

MENUJU PERUBAHAN MENDASAR

Kekecewaan, kemarahan dan keputus-asaan masyarakat adat yang terus-menerus menjadi korban pembangunan, akhirnya menemukan “ruang hidup baru” dengan menggariskan sikap dasar masyarakat adat yang dirumuskan dan diputuskan oleh seluruh peserta Kongres Pertama Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) tahun 1999 yang menyatakan: “Kami tidak

mengakui negara, kalau negara tidak mengakui kami”. Sikap dasar inilah yang

melandasi cita-cita bersama komunitas-komunitas masyarakat adat yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) “……. atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan di antara sesama masyarakat adat se-nusantara sehingga wajib untuk saling bahu-membahu demi terwujudnya kehidupan masyarakat adat yang layak dan berdaulat. Salah satu di antara cita-cita ini adalah tegaknya otonomi asli masyarakat adat untuk memelihara, mengelola dan memanfaatkan tanah, wilayah adat dan sumberdaya alamnya, termasuk hutan adatnya. Dalam kaitan ini maka masyarakat adat dan para pendukungnya harus terus memperjuangkan terjadinya perubahan yang mendasar, yaitu antara lain:

 Pemerintah dan DPR segera melakukan perubahan terhadap UU No. 41 tentang Kehutanan yang nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945 dan amandemennya. UU Kehutanan harus mengikuti amanat konstitusi yang jelas-jelas memberikan pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat [hukum] adat dan dengan mengacu pada Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat sebagai standar minimum internasional yang harus semua negara anggota PBB penanda-tangan pengesahan. Dalam UU yang baru nanti, posisi dan peran masyarakat adat harus ditempatkan sebagai pelaku utama pengelolaan hutan, baik untuk menjaga dan memelihara fungsi lindung dan konservasi hutan, memanfaatkan hutan untuk fungsi produksi dan juga melakukan rehabilitasi terhadap kawasan-kawasan yang sudah dirusak selama ini, maupun untuk mengamankan hutan dari pengrusakan.  Pemerintah segera menghentikan operasi perusahaan-perusahaan kehutanan yang

memiliki persengketaan dengan masyarakat adat dan segera memfasilitasi perundingan ulang atas penggunaan hutan dan lahan hutan yang berada di dalam wilayah-wilayah adat (berdasarkan hak asal-usul/hak tradisional). Kalau tidak tercapai kesepakatan baru dalam perundingan ini, maka pemerintah harus mencabut seluruh ijin HPH dan HTI yang melanggar hak-hak dan merugikan masyarakat adat.

(8)

 Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam pemberian ijin dan hak pengusahaan hutan. Berbagai rencana pemberian ijin proyek dan eksploitasi hutan di dalam wilayah adat harus didasarkan atas penyedian informasi rencana pembangunan yang cukup sebagai landasan bagi perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya (menganut prinsip free, prior, and informed consent, FPIC).

 Pemerintah dan DPR harus segera memperbaiki kebijakan tentang otonomi daerah agar memprioritaskan terjadinya devolusi, yaitu mendorong terjadinya pergeseran kekuasaan dan wewenang yang lebih besar ke tingkat komunitas adat (otonomi asli komunitas masyarakat adat). Khusus untuk Papua yang telah berhasil memperjuangkan Otonomi Khusus lewat UU 21/2001 yang menekankan keberadaan penduduk asli Papua dengan segala hak-hak adatnya , maka yang diperlukan adalah konsistensi Pemerintah untuk mendukung melaksanakan UU melalui penerbitan berbagai PERDASUS yang sudah diamanatkan.

 Departemen Kehutanan harus segera menerapkan keterbukaan (transparansi) atas seluruh data dan informasi kehutanan. Data dan informasi yang transparan akan mendorong masyarakat untuk memantau dan melaporkan kegiatan-kegiatan eksploitasi hutan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan.

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan isi wimba adalah objek yang digambar, cara wimba adalah bagaimana objek tersebut digambarkan (tampak samping atau tampak depan, besar atau kecil dan

Kuartal II / Second Quarter Period of financial statements submissions Tanggal awal periode berjalan January 01, 2017 Current period start date Tanggal akhir periode berjalan June

Variabel consumer behavior tidak mengakibatkan faktor psikologis mempengaruhi purchasing decision secara tidak langsung, ditunjukkan dari nilai pengaruh langsung lebih besar

Jaringan yang mengangkut air dan zat-zat yang terlarut di dalamnya dari akar menuju daun disebut xilem. Xilem terdiri dari beberapa macam sel, yaitu sel

Kotak S1B78 -- S3B78 yang berada di bagian baratlaut situs populasi data fragmen tembikar dan keramiknya dijumpai berada pada level spit 1 hingga 3 dari DPS

koefisien toleransi yang dihitung dari mulai sarana dihidupkan pada depo awal sampai stasiun awal keberangkatan, ditambah dengan waktu tempuh dari stasiun tujuan/ akhir sampai ke

Giriş bölümünde, “Tarih İçinde Yunanlılar” konusu işle­ necektir. Yunanca’nm gelişimi ve tarihi, çağdaş Yunanlılık’ın bir öğesini oluşturan Ortodoksluk ve

OD untuk system plts yang digunakan untuk lighting (lampu penerangan), biasanya ditetapkan 3 hari, tetapi pada system plts untuk  telekomunikasi paling tidak 7