• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA TRAITS KEPRIBADIAN IBU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA TRAITS KEPRIBADIAN IBU"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA TRAITS KEPRIBADIAN IBU DAN KEMAJUAN TREATMENT ANAK-ANAK AUTISME

Skripsi

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh: Husnaini 2008-070-174

Fakultas Psikologi

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

April 2013

(2)

Hubungan antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan Treatment Anak-Anak Autisme

Oleh Husnaini 2008-070-174

Dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Di tetapkan di Jakarta pada tanggal 3 April 2013

Menyetujui, Pembimbing Skripsi

Dr. Magdalena S. Halim, Psi.

Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Dr. phil. Juliana Murniati, M.Si.

Fakultas Psikologi

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya April 2013

(3)

ABSTRAK Husnaini, 2008-070-174

Hubungan Antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan Treatment Anak-Anak Autisme

x+73 halaman, 7 tabel, 9 grafik Bibliografi 43 (1978-2013)

Kata Kunci: Kepribadian, Big Five Personality, Ibu, Anak Autisme, Treatment,

Gangguan Spektrum Autisme (autisme) makin banyak dijumpai dalam dekade terakhir ini. Hingga tahun 2007, Center for Disease Control and Prevention menemukan peningkatan jumlah anak penyandang autisme menjadi 1 banding 150. Autisme di dalam DSM IV-TR (2000) termasuk kategori pervasive developmental disorder yakni gangguan perkembangan berat. Gejala utama autisme pada masa kanak-kanak dapat dikurangi dengan mengusahakan treatment (penanganan) yang memerlukan keterlibatan aktif orangtua dalam pelaksanaannya.

Orangtua perlu menempatkan diri dan mengambil peran yang proporsional dalam proses treatment anak. Pemilihan treatment yang dianggap tepat atau canggih ditunjang dengan terapis yang terlatih, tidak membuat peran orangtua berkurang dalam mendorong keberhasilan treatment yang dilakukan. Usaha dari orang tua untuk terus menerus melakukan pendampingan pada anak sangat diperlukan, sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses treatment anak.

Penelitian ini berfokus pada ibu karena pada umumnya ayah lebih disibukkan dengan pekerjaan dan perannya sebagai pencari nafkah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara domain serta facets kepribadian ibu yang akan dilihat dengan Big Five Personality dan kemajuan treatment anaknya yang menyandang autisme. Hal ini disebabkan olehcara setiap ibu menangani anak dapat saja berbeda-beda sesuai dengan kepribadian masing-masing dan dapat berhubungan dengan kemajuan treatment anak.

Penelitian ini menggunakan alat ukur NEO-PI-R yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae dan juga ATEC (Autism Treatment Evaluation Checklist) yang dikembangkan oleh Stephen Edelson dan Bernard Rimland. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik convenience sampling dengan jumlah sampel 31 ibu dari anak autisme.

Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi negatif antara Neuroticism (dengan tambahan korelasi pada facet A1 Anxiety) dan kemajuan treatment. Terdapat korelasi positif antara kemajuan treatment dan Conscientiousness (dengan tambahan korelasi pada facets C1 Competence, C2 Order, C4 Achievement striving, C5 Self discipline dan C6 Deliberation) juga pada O5 Ideas (salah satu facet dalam Openess). Kombinasi dua metode treatment (SI dan TW), jadwal terapi dua kali seminggu, ibu yang memiliki waktu lebih untuk menangani anak (berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan wiraswasta) dan juga menerapkan terapi di rumah, juga terbukti mendukung kemajuan treatment anak autisme.

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena hanya atas kehendak dan ridha-Nya saya akhirnya dapat menyelesaikan studi saya ini. Begitu banyak halangan dan rintangan dalam proses pembuatan skripsi ini, namun sebanyak itu pula kemudahan yang Allah berikan kepada saya. Selesainya skripsi ini tentu saja tak luput dari bantuan pihak-pihak di bawah ini:

1. Ibu Magdalena S. Halim, selaku pembimbing skripsi dari sejak menulis seminar semester 7 hingga di pengujung semester 9 ini. Terimakasih banyak atas kesabarannya, mengarahkan ide-ide acak dari kepala saya hingga menjadi sesuatu yang dapat dimengerti. Terimakasih atas waktunya disela-sela kesibukkannya, beliau selalu bersedia mendampingi dan

membimbing hingga selesai. Terimakasih juga tak lupa atas keyakinannya, membuat saya yakin dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Mr. Stephen Edelson atas izinnya menggunakan ATEC dalam penelitian ini dan bersedia membalas email sesegera mungkin di tengah-tengah kesibukannya. Mr. Bernard Rimland (RIP) atas buah pemikiranya

sehingga tersusunlah ATEC bersama Mr. Stephen Edelson. Semoga ATEC dapat membantu lebih banyak manusia di dunia ini.

3. Ibu Lidia Laksana Hidayat, Mba Penny Handayani, Mba Annelia Sari Sani, dan Mas Hosael Waluyo Erlan yang sudah bersedia meluangkan waktu membantu brainstorming, memberikan informasi-informasi mengenai bidang terkait, dan juga saran serta kritiknya yang sangat membantu penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dhevy Setya Wibawa, selaku pembimbing akademik yang begitu sabar mendengarkan keluhan maupun cerita-cerita. Terimakasih sudah menjadi figur yang membuat hati tenang saat sedang kacau.

5. Mas Taufiq Hidayat, terimakasih atas kesediaannya memberikan

informasi, menanyakan kabar penulisan skripsi yang selalu memacu saya untuk semangat menyelesaikannya.

(5)

6. Seluruh pihak dari Pusat terapi Polaris, Sekolah Sarana Terpadu, Sekolah Pelita Hati, Pusat Terapi dan Training QQ Mitra Ananda, dan juga Milis Puterakembara yang telah membantu dalam pencarian responden maupun bahan-bahan terkait dengan skripsi ini.

7. Keluargaku tercinta. Mama Sri Redjeki dan Papa Deddy Alhurry, terimakasih atas segalanya yang kalian berikan baik dukungan materi maupun dukungan moril yang tak henti. Adikku yang paling special, Rahman, sumber inspirasiku dalam skripsi ini.

8. Orang-orang terdekatku. Reza Yanuarsyah, terimakasih untuk selalu ada, sabar, dan ceria menjalani hari-hari bersama. Ika Yuliyani, terimakasih atas persahabatan yang tak henti.

9. Sahabat di kampusku tercinta, Mayang Gita Mardian, Leonarda Anggia, dan juga Agnes Kusdinar Putri. Terimakasih atas segala dukungan dan pertemanan yang tulus.

10.Sahabat SMP dan SMA tersayang. Permorini Sari, Lidya Puspasari, Azizah Tri Wulandari, Silvya Jaidi, Novitania Mundayanti, dan juga Ira Indah. Terimakasih sudah menyemangati mengerjakan skripsi dari dini hari hingga malam suntuk.

11.Teman-teman bimbinganku. Wiji Mulyati, Alfani Sweetlana, Dean Riani, Ivana Elim, Rudyanto, Samanta, dan juga Anastasia Silvyana. Terimakasih atas kebersamaannya selama ini.

12.Terakhir, terimakasih sebanyak-banyaknya kepada semua respondenku, para ibu-ibu super yang baik hati. Terimakasih atas kesediaannya berpartisipasi dalam penelitian ini.

Jakarta, 7 Maret 2013

Husnaini

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ii 

DAFTAR ISI vi 

DAFTAR TABEL viii 

DAFTAR GRAFIK ix 

DAFTAR LAMPIRAN x 

BAB I 1 

PENDAHULUAN 1 

I.A Latar Belakang 1 

I.B Masalah Penelitian 13 

I.C Tujuan Penelitian 13 

I.D Manfaat Penelitian 13 

I.E Sistematika Penulisan 14 

BAB II 16 

LANDASAN TEORI 16 

II.A Traits Kepribadian 16 

II.A.1 Pengertian Kepribadian 16 

II.A.2 Big Five Personality 17 

II.A.3 Domain dan Facet Big Five Personality 17  II.A.4 Big Five Personality dalam Parenting 22 

II.B Autisme 24 

II.B.1 Pengertian Autisme 24 

II.B.2 Treatment Anak Autisme 25 

II.C Kemajuan Treatment Anak Autisme 28  II.C.1 Pengertian Kemajuan Treatment 28  II.C.2 Faktor-Faktor Pendukung Keberhasilan Treatment 31  II.C.3 Pengukuran Kemajuan Treatment 33  II. D Dinamika Hubungan Antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan

Treatment Anak Autisme 34 

II.E Hipotesis Penelitian 37 

BAB III 38 

METODE PENELITIAN 38 

III.A Jenis Penelitian 38 

(7)

III.B Variabel Penelitian 38 

III.B.1 Variabel Pertama 38 

III.B.2 Variabel Kedua 39 

III.C. Populasi dan Sampel Penelitian 39 

III.C.1. Karakteristik Populasi 39 

III.C.2 Teknik Sampling 40 

III.C.3 Jumlah Sampel 40 

III.D Instrumen Penelitian 41 

III.D.1 NEO PI-R 41 

III.D.2 ATEC 42 

III.E Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 43 

III.F Metode Analisis Data 44 

III.G Prosedur Penelitian 45 

III.G.1  Prosedur Persiapan 45 

III.G.2  Prosedur Pelaksanaan Penelitian 46 

BAB IV 47 

ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA 47 

IV. A Demografi Responden 47 

IV. A. 1 Gambaran Usia Responden 47 

IV.A.2 Gambaran Pekerjaan Responden 47 

IV.A.3 Gambaran Usia Anak 48 

IV.A.4 Gambaran Persentase Kehadiran Terapi Anak 48  IV.B Hasil dan Interpretasi Penelitian 49  IV.B.1 Uji Korelasi Traits Kepribadian Orangtua (beserta facets) dan

Kemajuan Treatment Anak 49 

IV.B.2 Analisa Tambahan 51 

BAB V 58 

KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 58 

V.A Kesimpulan 58 

V.B Diskusi 59 

V.C Saran 64 

V.C.1 Saran Metodologis 64 

V.C.2 Saran Praktis 65 

DAFTAR PUSTAKA 68 

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel II.1. Tabel Domain dan Facets dari Big Five Personality 19 Tabel IV.1 Perhitungan Korelasi Pearson antara Domain dan Facets dalam

Neuroticism, Extraversion, Openness to experience,

Conscientiousness dan Kemajuan Terapi Anak Autisme 50

Tabel IV.2 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Terapi yang

diikuti 53

Tabel IV.3 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Jadwal Terapi

dalam Satu Minggu 54

Tabel IV.4 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Penerapan

Terapi di Rumah 55

Tabel IV.5 Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Ibu 56

(9)

DAFTAR GRAFIK

Grafik II.1 Grafik Dinamika Hubungan antar Variabel 34

Grafik IV.1 Gambaran Usia Responden 47

Grafik IV.2 Gambaran Pekerjaan Responden 47

Grafik IV.3 Gambaran Usia Anak 48

Grafik IV.4 Gambaran Persentase Kehadiran Terapi Anak 48

Grafik IV. 5 Persebaran Skor NEO PI-R 51

(10)

x DAFTAR LAMPIRAN

(11)

BAB I PENDAHULUAN

I.A Latar Belakang

Selama dekade terakhir (2001-2011), kasus anak dengan gangguan autisme makin banyak dijumpai. Pada tahun 2001, data dari Center for Disease Control and Prevention Amerika Serikat menunjukkan bahwa terdapat 60 orang anak dari

10.000 kelahiran menyandang autisme (Dewanto, 2003). Hingga tahun 2007, Center for Disease Control and Prevention menemukan peningkatan jumlah anak

penyandang autisme menjadi 1 banding 150. Chakrabarti dan Fombonne (dalam Parritz & Troy, 2011) mengungkapkan bahwa diagnosis autisme yang meningkat pada dua dekade terakhir ini disebabkan oleh peningkatan jumlah yang nyata di masyarakat serta meluasnya definisi autisme dan identifikasi autisme yang lebih baik dari sebelumnya (Parritz & Troy, 2011). Gejala-gejala tersebut telah muncul sebelum anak berusia 3 tahun.

Anak autisme juga sering menunjukkan beberapa gejala lainnya. Gejala tersebut antara lain adalah gangguan pola tidur dan pencernaan, mengamuk Autisme sendiri di dalam DSM IV-TR (2000) termasuk kategori pervasive developmental disorder yakni gangguan perkembangan berat. Gangguannya

meliputi gangguan interaksi sosial (verbal dan non-verbal), komunikasi dan bahasa, serta pola perilaku atau minat yang terbatas dan stereotipikal (temper tantrum). Anak kadang juga mencederai diri sendiri (self abuse) seperti menggigit

(12)

tangannya, membenturkan kepalanya ke tembok, dan lainnya sehingga anak perlu diawasi untuk menghindari cedera berat (Safaria, 2005).

Gejala-gejala dan karakteristik dari autisme di atas dapat muncul dalam kombinasi yang sangat variatif, dari yang ringan hingga berat. Walaupun autisme didefinisikan sebagai suatu kumpulan perilaku, anak dengan autisme dapat menunjukkan bermacam-macam kombinasi perilaku dalam berbagai tingkat keparahan. Anak-anak dengan diagnosis yang sama dapat berperilaku sangat berbeda dan memiliki kemampuan yang beragam. Oleh karena itu, tidak ada tipe standar individu dengan autisme (“A Parent’s Handbook”, 2009).

Dahulu dikatakan autisme merupakan kelainan seumur hidup, tetapi kini terbukti bahwa gejala utama autisme pada masa kanak-kanak dapat dikurangi dengan mengusahakan treatment (Handojo, 2003). Jenis-jenis treatment yang ada juga beraneka ragam. Treatment psikologis terbukti merupakan terapi paling efektif yang menekankan pada teknik sosial dan perilaku (Parritz & Troy, 2011). Dalam terapi perilaku ini ada terapi wicara (dengan metode ABA, Applied Behavior Analysis), dan terapi sosialisasi. Treatment dengan basis sensori-motor

juga terbukti mendukung contohnya terapi okupasi dan sensori integrasi.

Treatment selanjutnya yang juga populer diterapkan pada anak autisme adalah biomedikasi. Diet juga termasuk dalam jenis penanganan biomedikasi. Diet yang dilakukan berbeda-beda tergantung pada alergi dan kekurangan vitamin atau mineral yang dapat menyebabkan timbulnya simptom autisme. Salah satu diet yang dirasa para orengtua sangat membantu adalah diet gluten-free, casein-free (Department of Health (2004). Selain diet, penanganan biomedikasi juga termasuk

(13)

treatment farmakologi. Menurut Martin et.al (dalam Parritz & Troy, 2011), obat

yang biasa diberikan dalam treatment ini mencakup antidepresan, stimulan, dan neuropletik, tidak ada satupun yang spesifik untuk menangani autisme.

Treatment-treatment yang disebutkan di atas tentunya tidak akan berhasil tanpa adanya campur tangan dari orangtua, karena itu mereka perlu terlibat secara aktif untuk mendukung treatment. Danuatmojo (2003) juga menyimpulkan bahwa minimal ada lima tahap dalam treatment anak dengan autisme. Kelima tahap tersebut adalah tahap diagnosis, tahap observasi, tahap penyusunan program, tahap pelaksanaan program, dan tahap evaluasi serta follow-up.

Pada tahap diagnosis, orang tua berperan untuk memberikan informasi akurat tentang perkembangan anak sejak bayi sampai anak diduga menderita autisme. Ketepatan informasi yang diberikan oleh orang tua dalam proses diagnosis ini akan membantu para ahli terkait untuk menegakkan diagnosis. Ketika tahap observasi, peran orangtua adalah membantu memberikan informasi tentang perilaku anak sehari-hari. Pengamatan yang akurat terhadap perilaku anak akan mempermudah dalam membuat “base line” sebagai titik awal dalam pelaksanaan treatment.

Pada tahap penyusunan program, keterlibatan orangtua sangat penting karena orangtua adalah penanggung jawab penuh dalam pelaksanaan treatment nantinya. Pada tahap ini, orangtua dapat mengusulkan program yang akan dijalani, tim terapis yang dibentuk, dan jadwal kegiatan anak. Keterlibatan orangtua dalam tahap pelaksanaan treatment tidak berarti berkurang. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan oleh orang tua adalah konsistensi dan kesinambungan. Hal-hal yang

(14)

dilakukan oleh terapis idealnya juga dilakukan orangtua di rumah, terlebih karena waktu pertemuan anak dengan orangtua lebih panjang dibanding dengan

terapisnya. Bila ini dilakukan, proses treatment menjadi semakin cepat karena anak memperoleh perlakuan yang relatif sama sepanjang waktu.

Tahap akhir dari pelaksanaan treatment pada anak autisme adalah evaluasi dan follow-up. Pada tahap ini, orangtua dapat melaporkan perubahan-perubahan pada

diri anak yang terjadi selama proses treatment. Laporan ini akan digunakan oleh terapis untuk menyimpulkan hasil yang dicapai oleh anak selama proses terapi. Hasil ini akan diolah oleh tim terapi untuk penyusunan program selanjutnya. Parritz dan Troy (2011) mengatakan bahwa mengasuh anak autisme jelas merupakan tugas yang lebih sulit dibandingkan mengasuh anak yang tidak berkebutuhan khusus. Seperti yang dikatakan oleh orangtua anak autisme dalam sebuah video dari lembaga Autism Speaks, Amerika Serikat (Thierry & Watkins, 2006), “autism never took a day off on me…”, mengasuh dan merawat anak penyandang autisme jelas menyita banyak waktu dan tenaga.

Orangtua juga dituntut untuk mendampingi anaknya sehingga mereka, terutama ibu, ada yang memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya, seperti salah satu orangtua yang berkata dalam video tersebut, “I have to stay home with him is because I have to facilitate the therapies, going here, going there, the

medication, the constant medical appointments…”. Selain dalam video, seorang

ibu dari anak autisme yang saya jumpai juga berkata, “…ternyata memang ga bisa ditinggal dan dititipkan ke suster atau pembantu, jadi saat itu saya putuskan,

(15)

saya harus berhenti kerja supaya anak saya bisa dapat perhatian penuh dari

saya…” (Komunikasi pribadi, 14 Februari 2013).

Orangtua pun harus mampu merangkap menjadi terapis untuk penanganan di rumah yang lebih memakan waktu daripada di sekolah ataupun di tempat terapi. Bahkan pada anak yang masih balita, terputusnya proses terapi selama satu minggu saja dapat menyebabkan regresi atau kemunduran perilaku yang sangat banyak (Handojo, 2003). Pendapat ini menunjukan bahwa orangtua, mau ataupun tidak, harus juga menjadi “terapis” yang pada kenyataannya tidak mudah karena dalam penanganannya membutuhkan “hati” dan juga konsistensi yang tinggi. Kemajuan anak dalam treatment dipengaruhi oleh berat-ringannya derajat kelainan. Semakin berat derajat kelainannya, semakin sulit untuk berkembang menjadi ‘normal’. Akan tetapi perlu diingat bahwa seringan apapun kelainannya, anak tetap harus ditangani agar gangguannya tidak berubah menjadi lebih berat. Intensitas treatment juga mempengaruhi kemajuan. Semakin intens anak

ditangani, baik di institusi maupun di rumah, terbukti semakin baik perkembangannya.

Treatment apapun sebenarnya dapat membantu perkembangan anak, namun untuk kemajuan yang maksimal butuh intervensi sedini mungkin sehingga deteksi gangguan sejak kecil sangat penting. Untuk mendeteksi gangguan dan intervensi, sangat bergantung kepada orangtua masing-masing. Usia yang ideal untuk

penanganan adalah kurang dari 5 tahun, tepatnya 2-3 tahun karena pada saat itulah otak anak sedang dalam perkembangan yang paling pesat (Handojo, 2003).

(16)

Treatment yang ideal seharusnya dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan kombinasi okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan orangtua terhadap berbagai jenis treatment yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah treatment yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, orangtua harus mengidentifikasi jenis treatment yang cocok bagi anak dan melaksanakannya secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan, orangtua dapat melakukan perubahan treatment (Handojo, 2003).

Keterlibatan orangtua dalam proses treatment juga mempengaruhi kelancaran proses treatment. Orangtua perlu menempatkan diri dan mengambil peran yang proporsional dalam proses treatment anak. Mereka tidak boleh terlalu acuh ataupun terlalu ingin mencampuri proses treatment yang sedang berlangsung ataupun terlalu acuh terhadap anaknya. Kedua perlakuan yang ekstrim ini sangat merugikan dan dapat menghambat kemajuan treatment. Pada dasarnya, untuk mendukung kemajuan anak sangat dibutuhkan partisipasi aktif orangtua dalam waktu yang lama, bahkan bisa long-life (Handojo, 2003).

Dawson dan Osterling (dalam Ambarini, 2006) mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan treatment pada anak autisme, yaitu: isi kurikulum atau program penanganan, lingkungan pengajaran yang sangat mendukung, dampak pada rutinitas, yaitu bagaimana pengaruh treatment yang dilakukan terhadap kegiatan yang dilakukan sehari-hari, pendekatan fungsional pada perilaku yang bermasalah dan keterlibatan orang tua dalam treatment.

(17)

Berdasarkan sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan treatment tersebut, faktor peran orangtua sangatlah berpengaruh. Pemilihan treatment yang dianggap tepat dan canggih ditunjang dengan terapis yang terlatih, tidak membuat peran orangtua berkurang dalam mendorong keberhasilan treatment yang

dilakukan. Usaha dari orang tua untuk terus menerus melakukan pendampingan pada anak sangat diperlukan, sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses treatment anak.

Mintowati (2009) melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui hubungan intensitas terapi dan faktor keluarga dalam menunjang keberhasilan treatment pada anak autismenya. Penelitian ini dilakukan pada 31 anak autisme. Variabel bebas penelitian ini adalah durasi terapi perminggu dan faktor keluarga (jumlah saudara kandung, tingkat pendidikan orangtua, durasi orangtua bekerja, tingkat pengetahuan orangtua tentang autisme, dan peran orangtua).

Melalui hasil penelitian ini diperoleh satu variabel bermakna dari 6 variabel yang diteliti. Variabel tersebut adalah peran orangtua. Sebanyak 74,2% orangtua anak autisme yang diteliti memiliki peran yang baik terhadap anak autismenya. Penelitian yang dilakukan oleh Mintowati ini menunjukkan bahwa dari sejumlah faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilah treatment, terbukti peran orangtua adalah faktor yang paling besar memberikan sumbangan pada tingkat keberhasilan treatment anak autisme.

Pentingnya peran orangtua dalam proses pendidikan lanjutan anak autisme juga dikemukakan oleh Vrugteveen (dalam Ginanjar, 2000). Pertama, orangtua khususnya ibu, dapat mengajarkan dan membantu anak mengerjakan pekerjaan

(18)

rumah. Kedua, ibu membimbing anak mengaplikasikan kegiatan yang dipelajari di sekolah atau tempat terapi ke tempat lain, misalnya di rumah. Hal-hal di atas dapat diwujudkan namun membutuhkan pendampingan dan peran yang kuat dari ibu karena ayah lebih disibukkan dengan pekerjaan dan perannya sebagai pencari nafkah.

Berdasarkan perbincangan dengan seorang terapis sensori integrasi untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Pusat Terapi X (Cijantung, Jakarta Timur), Taufiq Hidayat, diketahui bahwa karakteristik orangtua yang kurang mendukung kemajuan anak autisme adalah orangtua yang enggan bertanya ataupun bercerita mengenai hambatannya dalam menangani anak di rumah, acuh terhadap saran yang diberikan terapis dan tidak mau menjalankan saran-saran terapis, ataupun juga orangtua yang kurang konsisten dalam menjalani saran-saran tersebut (T. Hidayat, komunikasi pribadi, 7 September 2011).

Pendapat ini juga didukung oleh hasil perbincangan peneliti dengan salah satu psikolog anak yang juga menangani anak berkebutuhan khusus, Penny

Handayani. Beliau menuturkan bahwa paling sulit adalah bekerjasama dengan orangtua yang tidak mau terbuka mengenai masalahnya dengan anak dan juga orangtua yang tidak menjalankan saran yang ia berikan. Sementara itu, orangtua yang hanya mau terbuka menceritakan masalah-masalahnya dengan anak namun tidak mau menjalankan saran juga menyulitkan proses konseling yang bertujuan untuk perbaikan kondisi anaknya (P. Handayani, komunikasi pribadi, 15

November 2011).

(19)

Melalui wawancara tersebut dengan terapis, diketahui juga adanya perbedaan tingkat kemajuan dari dua anak yang sama-sama menjalani terapi sensori

intergrasi (komunikasi pribadi, 7 September 2011). Pada awalnya, keduanya mengalami masalah propriosceptif dan komunikasi yang terlihat jelas. Kebutuhan untuk bergerak sangat besar, tidak merespon bila dipanggil dan tidak terlihat minat untuk terlibat dalam komunikasi (T. Hidayat, komunikasi pribadi, 7 September 2011).

Kedua anak tersebut menunjukkan tingkat perkembangan yang berbeda dalam jangka waktu 1-2 bulan ini. Anak pertama sudah dapat duduk dengan cukup tenang untuk sekitar 1 menit, sementara anak kedua belum menunjukkan perubahan. Walaupun belum dapat berkomunikasi verbal, dalam merespon panggilan, anak pertama telah menunjukkan peningkatannya dengan menengok ketika dipanggil namanya lebih dari satu kali sementara anak kedua tidak

menunjukkan adanya peningkatan. Satu hal yang luar biasa adalah anak pertama sudah menunjukkan adanya ketertarikan dalam komunikasi di sekelilingnya (misalnya, antara ayahnya dengan terapis).

Melalui wawancara lanjutan yang peneliti lakukan bersama terapis Taufiq Hidayat (T. Hidayat, komunikasi pribadi, 5 Oktober 2011), ditemukan pula

beberapa perbedaan perilaku orangtua dari kedua anak tersebut. Ayah dan ibu dari anak yang pertama selalu rutin mengikuti sesi terapi seminggu dua kali, aktif bertanya tentang penanganan anak di rumah dan juga selalu menceritakan

kejadian-kejadian penting di rumah berkaitan dengan anaknya. Ibunya juga selalu bersedia menerapkan saran terapis dalam menangani anak tersebut di rumah

(20)

selama ayahnya bekerja. Sementara itu, anak kedua tidak rutin mengikuti sesi terapi dikarenakan jadwal ibunya yang selalu mengantarkan terapi, kerap kali berbenturan dengan jadwal kerjanya. Ibunya tidak memercayai pengasuh (suster) untuk menangani anaknya yang satu ini seolah ia merawat anaknya seorang diri. Terlebih karena ayahnya yang juga sibuk dengan pekerjaannya dan tidak bisa menangani anak tersebut sehari-hari. Kakak dari anak tersebut kadang mem-bully ketika mereka bersama, maka itu ibunya selalu membawa anak ini kemanapun. Selain itu, ada kesan yang ditangkap oleh terapis bahwa ibunya tidak benar-benar menerima saran dari terapis sebagai sesuatu yang akan diterapkan, seolah hanya mendengarkan saran sambil lalu saja.

Gambaran kedua perilaku orangtua di atas menunjukkan adanya perbedaan dalam karakter kepribadian mereka. Peran ayah cukup terlihat pada anak pertama dan pada anak kedua tidak. Ibu pertama lebih terbuka baik dengan saran terapis, maupun dalam menceritakan kejadian sehari-hari yang berkaitan dengan anaknya. Beliau konsisten dalam mengantarkan terapi dan menangani anak sehari-hari dengan baik. Karakter ibu yang seperti di atas ini dinilai sebagai karakter orangtua yang positif dalam mendukung kemajuan treatment anak autisme. Berbeda

dengan ibu pertama, ibu kedua kurang konsisten dalam menjalankan saran terapis dan juga dengan jadwal terapi karena jadwal pribadinya yang padat. Selain itu, beliau menunjukkan rasa percaya yang kurang terhadap orang lain dengan tidak membiarkan anaknya ditangani oleh pengasuh. Padahal, mungkin saja kemajuan anaknya akan lebih cepat bila rutin diantar pengasuh untuk datang terapi.

(21)

Peneliti juga percaya selain penanganan secara teknis seperti mengantarkan anak terapi, orangtua, terutama dalam hal ini ibu, juga perlu melibatkan kasih sayang dan unconditioned love dalam merawat anaknya. Hal ini juga yang

mungkin bisa membedakan kualitas penanganan antara ibu yang satu dengan yang lainnya. Walaupun dengan frekuensi ataupun jumlah waktu penanganan yang setara, ibu yang mendidik dan merawat dengan kehangatan tentu akan lebih berdampak positif pada sang anak dibandingkan dengan ibu yang melakukannya sebagai tugas ataupun hanya keharusan semata tanpa melibatkan kehangatan. Melalui perbedaan karakter yang terlihat di atas, peneliti tertarik untuk meneliti traits pada ibu dari anak autisme yang merupakan bagian dari pribadinya. Hal ini

bertujuan untuk melihat lebih jelas ada tidaknya hubungan antara kepribadian ibu dari anak autisme dengan kemajuan treatment sang anak. Peneliti memilih untuk menggunakan pendekatan Big Five Personality dari Costa dan McCrae (1992). Peneliti memiliki beberapa alasan untuk menggunakan pendekatan Big Five Personality dari Costa dan McCrae untuk melihat traits kepribadian. Pertama, Big

Five Personality merepresentasikan sebuah kelompok traits kepribadian yang

komprehensif dan juga berbasis empiris (Piedmont, 1998). Kedua, domain-domain dari Big Five Personality juga dapat menjelaskan karakteristik pribadi orangtua dari hasil wawancara informal peneliti dengan terapis Taufiq Hidayat di atas (komunikasi pribadi, 5 Oktober 2011).

Peneliti akan menggunakan alat tes kepribadian NEO PI-R yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae (1992) berdasarkan teori Big Five Personality dan telah diadaptasi dalam bahasa Indonesia oleh Halim, M. S.,

(22)

Derksen, J. J. L. dan van der Staak, C. P. F. (2004). NEO PI-R adalah alat tes kepribadian yang mengukur 5 domain utama dari kepribadian. Kelima traits tersebut adalah neuroticism (N), extraversion (E), openness to experience (O), agreeableness (A), dan conscientiousness (C) (Trull, 2005).

Apabila dikaitkan dengan domain-domain dalam NEO PI-R, ibu anak pertama seolah menunjukkan pribadi dengan skor Extraversion, dan Openness to

experience yang cenderung tinggi. Selain itu, dengan rutin mengantarkan anak

terapi dan menjalankan penanganan di rumah dengan teratur, ibu anak ini juga mungkin memiliki tingkat Conscientiousness yang di atas rata-rata. Berbeda dengan ibu anak pertama, ibu anak kedua diperkirakan menunjukkan pribadi dengan tingkat Neuroticism yang lebih tinggi karena memiliki kecemasan dan ketidakpercayaan untuk menyerahkan anaknya kepada pengasuh. Selain itu, ada kemungkinan juga tingkat Agreeableness dan juga Openness to experience-nya cenderung rendah mengingat ibu ini terlihat kurang bersedia dan patuh

menjalankan saran-saran dari terapis dalam mengasuh anak di rumah.

Uraian di atas membuat peneliti memiliki asumsi bahwa traits kepribadian ibu berhubungan dengan kemajuan treatment anak karena traits sendiri berkontribusi pada perbedaan individu dalam berperilaku dan juga pada konsistensi perilaku tersebut (Feist & Feist, 2006). Traits juga menjelaskan mengapa setiap ibu memiliki caranya sendiri untuk berperan dalam usaha pemulihan (treatment) anaknya. Berdasarkan asumsi tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian untuk melihat kenyataan di lapangan agar dapat menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara traits kepribadian ibu dengan kemajuan treatment anak autisme

(23)

di Jabodetabek. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk memberi masukan bagi para orangtua, khususnya ibu, ataupun segala pihak yang berhubungan dengan anak autisme mengenai karakteristik pribadi yang memiliki hubungan dengan kemajuan treatment. Dengan mengetahui hal ini, mereka juga dapat belajar dan menyesuaikan perilaku mereka dalam berperan positif mendukung kemajuan anak autisme.

I.B Masalah Penelitian

Apakah ada hubungan antara domain serta facets kepribadian ibu yang akan dilihat dengan Big Five Personality dan kemajuan treatment anaknya yang menyandang autisme?

I.C Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara domain serta facets kepribadian ibu yang akan dilihat dengan Big Five Personality dan kemajuan treatment anaknya yang menyandang autisme. Peneliti juga akan melakukan analisis tambahan mengenai gambaran profil kepribadian ibu serta hubungan antara kemajuan treatment dan faktor-faktor lainnya.

I.D Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pada bidang ilmu psikologi mengenai ciri kepribadian ibu yang memiliki anak autisme serta melihat hubungannya dalam kemajuan treatment anak. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kepribadian ibu yang memiliki anak penyandang autisme.

(24)

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat dalam memberikan pengetahuan bagi orangtua, terutama ibu, yang memiliki anak penyandang autisme mengenai

karakteristik (traits) kepribadian ibu yang berhubungan positif, negatif, ataupun yang tidak berhubungan dengan kemajuan treatment anak. Dengan mengetahui hal tersebut, para orangtua juga dapat belajar dan mencoba mengembangkan sikap maupun perilaku-perilaku yang mendukung kemajuan anaknya. Selain itu, hasil penelitian ini juga berguna bagi lembaga-lembaga terapi maupun para terapis untuk mengetahui gambaran kepribadian orangtua klien mereka sehingga dapat membantu kerjasama antara orangtua dengan terapis dalam mendukung

perkembangan anaknya. I.E Sistematika Penulisan

BAB I: PENDAHULUAN

Berisi tentang uraian latar belakang masalah mengenai autisme di dunia dan di Indonesia, rumitnya penanganan anak autisme, peran orangtua, khususnya ibu dalam kemajuan treatment anak autisme, masalah yang dibahas dalam

penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian. BAB II: LANDASAN TEORI

Berisi teori-teori mengenai definisi kepribadian, Big Five Personality (sejarah singkat teori dan penjelasan domain), Big Five Personality dalam parenting, pengertian autisme, pengertian kemajuan treatment, faktor-faktor pendukung keberhasilan treatment, Autism Treatment Evaluation Checklist, dan dinamika antara traits kepribadian Big Five Personality dengan kemajuan treatment anak autisme.

(25)

BAB III: METODE PENELITIAN

Berisi metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Uraian mengenai jenis penelitian yaitu penelitian non-eksperimental, alat ukur penelitian (NEO PI-R dan ATEC), prosedur penelitian, serta metode pengolahan data yang dilakukan dengan teknik statistic.

BAB IV: ANALISA DAN HASIL PENELITIAN

Berisi hasil pengambilan data dan analisa hasil data yang didapat dari alat ukur penelitian.

BAB V: KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Berisi kesimpulan dari hasil analisa Bab IV dan diskusi yang berkaitan antara teori dalam Bab LANDASAN TEORI dan hasil analisis data. Saran untuk penelitian yang dilakukan juga dicantumkan di bab ini untuk meningkatkan kualitas penelitian dan sebagai masukan bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian yang sejenis.

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini peneliti akan membahas teori-teori yang menjadi dasar penelitian. Teori yang akan dibahas meliputi definisi kepribadian, Big Five Personality (sejarah singkat teori dan penjelasan domain serta facets), Big Five Personality dalam parenting, pengertian autisme dan kemajuan treatment, faktor-faktor pendukung keberhasilan treatment, Autism Treatment Evaluation Checklist, dan dinamika antara traits kepribadian Big Five Personality dengan kemajuan treatment anak autisme.

II.A Traits Kepribadian

II.A.1 Pengertian Kepribadian

Kepribadian (personality) berasal dari sebuah kata bahasa Latin, persona. Istilah persona menunjuk kepada topeng sandiwara para aktor Romawi pada pertunjukan drama Yunani. Para aktor mengenakan sebuah topeng (persona) untuk memproyeksi sebuah peran yang ia mainkan. Setelah istilah personality muncul, personality (kepribadian) diyakini lebih dari sekedar persona. Walau tidak ada satu definisi yang dapat diterima oleh semua teoretikus, kepribadian diyakini merupakan sebuah pola sifat (traits) yang relatif permanen dan memiliki karakteristik unik yang konsisten, memberikan kekhasan pada perilaku seseorang (Feist & Feist, 2006).

Traits memiliki kontribusi pada perbedaan individu dalam berperilaku,

konsistensi perilaku dalam satu kurung waktu dan pada kestabilan perilaku dalam

(27)

situasi yang berbeda. Traits menggambarkan perilaku yang ditunjukkan (Feist & Feist).

II.A.2 Big Five Personality

Banyak pendekatan yang dikembangkan untuk mempelajari kepribadian contohnya adalah pendekatan psychoanalysis, behaviouristic, dan

humanistic.Salah satu pendekatan yang terkenal adalah pendekatan trait yang

awalnya dipelopori oleh Allport dan Cattell. Penelitian mengenai traits dimulai pada tahun 1930-an oleh Allport dan Odbert, kemudian dilanjutkan oleh Cattell pada tahun 1940-an, dan juga Tupes, Christal, serta Norman pada 1960-an (Feist & Feist, 2006).

Pada akhir 1970-an, Costa dan McCrae bertemu dan mereka bersama-sama meneliti mengenai pendekatan ini dengan menggunakan teknik analisis faktor untuk menguji kestabilan dan struktur dari kepribadian, hingga awal 1980-an. Ketika itu, Costa dan McCrae hanya berfokus pada dua dimensi utama yaitu Neuroticism (N) dan Extraversion (E). Hasil penelitian tersebut menemukan satu

faktor baru yang mereka sebut dengan Openess to Experience (O). Sementara itu, Costa dan McCrae belum sepenuhnya mengembangkan faktor keempat dan kelima, A dan C (Agreeableness dan Conscientiousness), hingga sampai NEO-PI disusun pada tahun 1992 (Feist & Feist, 2006).

II.A.3 Domain dan Facet Big Five Personality

Costa dan McCrae (dalam Piedmont, 1998) memberikan penjelasan pada kelima dimensi, Neuroticism, Extraversion, Openess to Experience,

Agreeableness dan Conscientiousness sebagai berikut:

(28)

a. Neuroticism (N). Dimensi ini mengukur penyesuaian afektif melawan ketidakstabilan emosional. Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada domain ini cenderung mudah mengalami tekanan psikologis, pikiran-pikiran yang tidak realistis, hasrat atau dorongan yang berlebihan, dan respon coping permasalahan yang maladaptif.

b. Extravertion (E). Pada tahun 1985, Costa dan McCrae mendefinisikan domain ini sebagai domain yang mewakili kuantitas dan intensitas interaksi antar personal, kebutuhan stimulasi dan kapasitas kegembiraan. Domain ini membedakan pribadi yang suka bergaul, aktif, dan individu yang berorientasi pada hubungan antar manusia dengan pribadi yang suka menyendiri, tenang, pemalu, dan pendiam.

c. Openess to Experience (O). Openess to experience digambarkan sebagai karakteristik yang secara proaktif mencari pengalaman baru dan juga mengapresiasinya untuk dirinya sendiri, dan sebagai toleransi terhadap eksplorasi hal-hal yang tidak biasa. Domain ini membedakan pribadi yang penasaran, memiliki pemikiran-pemikiran orisinil, tidak tradisional, dan kreatif dengan mereka yang konvensional (kuno), tidak artistik, dan tidak analitis.

d. Agreeableness (A). Domain ini menguji sikap-sikap yang dipegang seseorang dalam berhadapan dengan orang lain. Sikap-sikap ini dapat saja sangat pro-person, kasih sayang, percaya kepada orang lain, memaafkan, dan berhati lembut serta dapat juga berlawanan seperti antagonis, sinis, manipulatif, pendendam, dan kejam.

(29)

e. Conscientiousness (C). Domain ini mengukur derajat seseorang dalam hal mengatur, ketekunan, dan motivasi dalam perilaku mencapai tujuan. Dimensi ini membedakan orang yang dapat diandalkan dan pemilih

dengan mereka yang lesu dan ceroboh. Domain ini juga merepresentasikan kontrol diri seseorang dan kemampuan untuk menunda pemuasan

kebutuhannya.

Pada tahun 1992, Costa dan McCrae mengembangkan alat ukur kepribadian berdasarkan pendekatan traits. Alat ukur tersebut bernama NEO Personality Inventory Revised (NEO PI-R). Pada alat ukur ini, Costa dan McCrae membagi

setiap domain Big Five Personality ke dalam enam facet yang berbeda-beda dan lebih spesifik. Masing-masing facet tersebut diukur melalui 8 item. Berarti, NEO-PI-R memiliki 240 item secara keseluruhan. Berikut ini adalah tabel yang berisi penjelasan facet dari masing-masing domain (Piedmont, 1998):

Tabel II.1. Tabel Domain dan Facet dari Big Five Personality Neuroticism N1 (anxiety) Mengukur kecenderungan untuk

mengalami kecemasan dan kegelisahan N2 (angry

hostility)

Mengukur kecenderungan individu untuk mengekspresikan rasa marah

N3 (depression) Mengukur kecenderungan merasakan kesedihan dan merasa bersalah N4

(self-consciousness)

Mengukur kecenderungan merasa tidak nyaman berada di antara orang lain N5

(impulsiveness)

Mengukur kecenderungan untuk merasa tidak mampu mengendalikan diri dan menahan diri

N6 Mengukur kecenderungan kerentanan diri

(30)

(vulnerability)

Extraversion E1 (warmth) Mengukur kecenderungan individu menunjukkan kehangatan dan keramahan terhadap orang lain

E2

(gregariousness)

Mengukur kecenderungan individu membutuhkan kehadiran orang lain E3

(assertiveness)

Mengukur kecenderungan individu mendominasi, bersemangat, dan berpengaruh terhadap orang lain

E4 (activity) Mengukur kecenderungan individu dalam kebutuhan untuk beraktivitas

E5 (excitement seeking)

Mengukur kecenderungan individu

membutuhkan stimulasi yang mendebarkan E6 (positive

O1 (fantasy) Mengukur kecenderungan individu memiliki imajinasi dan kehidupan fantasi yang aktif

O2 (aesthetics) Mengukur kecenderungan individu memiliki penghargaan yang mendalam terhadap karya seni dan keindahan O3 (feelings) Mengukur kecenderungan individu

menujukkan kondisi emosi yang lebih mendalam

O4 (actions) Mengukur kecenderungan individu mencoba hal-hal baru dan bervariasi O5 (ideas) Mengukur kecenderungan individu untuk

membuka diri mengenai ide-ie yang baru dan tidak kontroversial

O6 (values) Mengukur kecenderungan individu untuk

(31)

menentukan kembali atau mengubah nilai-nilai sosial,

politis, dan religi

Agreeableness A1 (trust) Mengukur kecenderungan individu untuk percaya bahwa orang lain jujur dan memiliki maksud baik

A2

(straightforward ness)

Mengukur kecenderungan individu untuk bersikap apa adanya, tulus, dan tidak pura-pura

A3 (altruism) Mengukur kecenderungan individu untuk memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain

A4 (compliance) Mengukur kecenderungan individu untuk memaafkan, melupakan, meredam agresi, dan tunduk pada orang lain

A5 (modesty) Mengukur kecenderungan individu menunjukkan sikap rendah hati A6

(tendermindedne ss)

Mengukur kecenderungan individu merasa iba dan simpati terhadap orang lain.

Conscientious ness

C1 (competence) Mengukur kecenderungan individu untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi hidup

C2 (order) Mengukur kecenderungan individu untuk mejaga segala sesuatu dengan rapi dan sebaik mungkin

C3 (dutifulness) Mengukur kecenderungan individu untuk berpegang pada prinsip-prinsip etis dan memenuhi kewajiban moral

C4 (achievement Mengukur kecenderungan individu dalam

(32)

striving) hal level aspirasi, kerja keras dan tujuan hidup

C5 (self-discipline)

Mengukur kecenderungan individu untuk tahan melaksanakan tugas dan motivasi diri C6 (deliberation) Mengukur kecenderungan individu untuk

berhati-hati sebelum mengambil tindakan II.A.4 Big Five Personality dalam Parenting

Nigg dan Hinshaw (1998) menemukan bahwa kepribadian orangtua berkontribusi dalam memprediksi perilaku anak. Hal ini disebabkan karena konstruk kepribadian orangtua ini juga menghasilkan kontribusi khusus pada parenting. Kepribadian dapat mempengaruhi cara individu memanfaatkan

dukungan yang ia miliki. Kepribadian juga mempengaruhi cara individu tersebut merespon serta beradaptasi dalam setiap situasi. Salah satu temuan yang paling konsisten dari penelitian mengenai traits ibu dalam parenting anak berkebutuhan khusus yaitu tingkat N yang tinggi berhubungan dengan kurang adaptifnya pengasuhan anak secara keseluruhan (Clarke, 2006). Bahkan, Metsapelto dan Pulkkinen (2003) menemukan bahwa orangtua (sampel non-klinis) dengan tingkat N yang tinggi memiliki parental nurturance serta pengetahuan mengenai kegiatan anak yang rendah. N yang tinggi juga memiliki asosiasi dengan parental rejection yang dapat membawa dampak negatif pada pengasuhan anak (Spinath &

O’Connor, 2003).

Jika N merepresentasikan emosi-emosi negatif, E diibaratkan sebagai emosi positif. Kombinasi dari tingginya N dan rendahnya E menunjukkan hubungan yang paling dekat dengan depresi (Chioqueta & Stiles, 2005). Selain itu, interaksi

(33)

kedua traits kepribadian ini juga dapat menghasilkan hubungan yang paling kuat dan konsisten dengan parenting.

Belsky, Crnic, dan Woodworth (1995) menemukan bahwa ibu dengan E yang tinggi lebih menunjukkan emosi-emosi positif, lebih peka, dan terlihat lebih menstimulasi secara kognitif selama berinteraksi dengan anaknya. Menariknya, trait E ini merupakan domain multifacet yang mencakup aspek kehangatan

(warmth) dan juga assertiveness. Bukti aspek assertiveness dalam trait ini direfleksikan dalam perilaku asertif yang terlihat pada orangtua (Clark, Kochanska, & Ready, 2000).

Salah satu traits yang paling sering diabaikan dalam penelitian mengenai parenting adalah O, namun sebuah penelitian mengungkap bukti yang

menghubungkan faktor ini dengan parenting. Ibu-ibu yang memiliki angka rendah pada O memiliki over-protectiveness yang tinggi (Spinath & O-Connor, 2003). Seiring dengan bukti tersebut, O juga berkorelasi negatif dengan perilaku mengekang dan berkorelasi positif dengan parental nurturance (Metsapelto & Pulkkinen, 2003).

Bukti-bukti yang berhubungan dengan A ibu dalam parenting cukup terbatas. Meskipun begitu, A menunjukkan kecenderungan dalam memprediksi

ketanggapan ibu dalam menangani anak (Clark, Kochanska, & Ready, 2000). Seperti layaknya bukti yang ditemukan mengenai E, ibu yang memiliki A yang tinggi juga menunjukkan emosi yang lebih positif, lebih peka terhadap keadaan anak, dan menstimulasi anak secara kognitif ditambah lagi tidak sering terpisah dengan anaknya (Belsky et al., 1995).

(34)

Kochanska, Friesenborg, Lange, dan Martel (2004) menemukan bahwa Conscientiousness orangtua diprediksi sebagai aspek pelaksana dalam parenting.

Hal tersebut mengacu pada sikap penjagaan anak yang konsisten dan

berkelanjutan. C menunjukkan hubungan yang paling konsisten dengan perilaku pengasuhan yang menguntungkan. Orangtua dengan tingkat C yang tinggi diasosiasikan dengan kedisiplinan yang konsisten, keterlibatan dan gaya pengasuhan yang lebih positif (Clarke, 2006). Ibu-ibu dengan C rendah dapat kurang konsisten dalam cara mereka mengasuh dan mempunyai kesulitan lebih besar dalam mengawasi anak mereka. Hubungan ini akan semakin erat jika tingkat N-nya juga tinggi.

II.B Autisme

II.B.1 Pengertian Autisme

Autis berasal dari kata “autos” yang artinya segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam DSM IV autistic disorder adalah adanya gangguan atau abnormalitas perkembangan pada interaksi sosial dan komunikasi serta ditandai dengan terbatasnya aktifitas dan ketertarikan. (American Psychiatric Association, 2000). Prevalensi nya adalah 5 : 10.000 dengan perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1.

Perilaku autistik digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang excessive (berlebihan) dan perilaku yang deficit (berkekurangan). Perilaku excessive di antaranya hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menggigit, mencakar, memukul, dsb. Anak juga sering kali menyakiti dirinya sendiri (self-abused). Perilaku deficit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang

(35)

sesuai, deficit sensori sehingga dikira tuli, bermain tidak wajar dan emosi yang tidak tepat, dan melamun. Derajat tingkat keparahan setiap anak dan area gangguannya sangat berbeda satu dengan lainnya. Semakin dini anak ditangani, semakin ia berpotensi untuk berkembang kelak (Parritz & Troy, 2011).

Delapan puluh persen anak autisme memiliki IQ dibawah 70 (Davison, 1998). Akan tetapi, autisme berbeda dengan retardasi mental. Penderita retardasi mental menunjukkan hasil yang memprihatinkan pada semua bagian dari sebuah tes inteligensi. Berbeda dengan anak autisme, mereka mungkin menunjukkan hasil yang buruk pada hal yang berhubungan dengan bahasa tetapi mereka ada yang menunjukkan hasil yang baik pada kemampuan visual-spatial, perkalian empat digit, atau memiliki long term memory yang baik. Mereka mungkin memiliki bakat besar tersembunyi yang perlu digali.

II.B.2 Treatment Anak Autisme

Tujuan utama dari treatment pada anak autisme adalah untuk memaksimalkan potensi anak dan membantu anak dan keluarganya melakukan coping yang efektif terhadap gangguan yang diderita anak (Mash & Wolfe, 1999). Treatment yang diterapkan orangtua pada anak autisme ada bermacam-macam diantaranya adalah treatment perilaku, biomedikasi, dan sensori-motor serta floor time (Stacey,

2003).

Treatment perilaku yang paling umum dilakukan adalah Applied Behavioral Analysis (ABA) yang ditemukan oleh Lovaas pada tahun 1987 (Maurice, 1996).

Treatment ini secara sistematis berfokus pada pembagian satu perilaku menjadi

unit-unit perilaku yang lebih kecil atau sederhana. Jika anak menampilkan

(36)

perilaku yang diinginkan, maka anak akan mendapat hadiah (reward) berupa pujian atau sesuatu yang disukai anak. Sebaliknya, jika anak memunculkan perilaku yang tidak diinginkan, maka anak akan mendapatkan hukuman

(punishment) berupa tidak adanya hadiah. Pemberian hadiah akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan hukuman akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan.

Treatment biomedikasi dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu medikasi (treatment obat), diet, dan megavitamin. Treatment medikasi menggunakan bantuan obat-obatan untuk mengontrol gejala- gejala autisme yang bersifat merusak atau agresif. Obat yang paling sering digunakan adalah yang termasuk tranquilizers major seperti haloperidol atau haldol (Powers, 1989; Maurice,

1996). Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa terapi ini dapat mengakibatkan efek samping seperti meningkatkan perilaku stereotipikal pada anak autisme (Campbell dalam Maurice, 1996).

Treatment biomedikasi yang selanjutnya adalah diet. Diet yang biasanya diterapkan pada anak autisme adalah diet gluten dan kasein atau disebut juga diet GF – CF (gluten-free dan casein-free). Gluten adalah protein yang berasal dari gandum-ganduman, misalnya terigu dan gandum, sedangkan kasein adalah susu sapi. Selain itu ada juga yang disebut dengan Feingold Diets, yaitu diet makanan yang mengandung bahan pengawet, pewarna, dan zat-zat tambahan lainnya, serta zat salisilat yang terdapat pada buah-buahan. Treatment dengan cara diet ini berguna untuk memperbaiki gangguan pencernaan dan mengurangi gejala perilaku stereotipikal pada anak (Maurice, 1996).

(37)

Treatment megavitamin adalah pemberian vitamin pada anak autisme yang meliputi vitamin B6 (pyridoxine) yang berfungsi untuk mencerna protein, magnesium yang membantu pembentukan tulang dan mempertahankan sel-sel saraf, serta kombinasi dari B6 dan magnesium (Rimland dalam Maurice, 1996). Treatment diet dan megavitamin ini dirancang untuk masing-masing anak

berdasarkan alergi makanan dan kekurangan vitamin atau mineral tertentu yang dapat mengakibatkan anak memunculkan gejala-gejala autismenya.

Jenis treatment selanjutnya adalah sensori-motor yang terdiri dari terapi sensori integrasi dan pelatihan integrasi auditori (Auditory Integration Training). Dalam terapi sensori integrasi, terapis menstimulasi kulit dan sistem

keseimbangan anak dengan cara mengayun, menyikat kulit, memutar, dan melakukan aktivitas lain yang memerlukan keseimbangan pada anak. Rimland dan Edelson (dalam Maurice, 1996) menjelaskan bahwa Auditory Integration Training adalah terapi untuk memperbaiki pendengaran pada anak autisme yang

biasanya sangat atau tidak sensitif terhadap suara. Caranya adalah mendengarkan musik dari audiogram, yang frekuensinya telah dimodifikasi, dengan

menggunakan headphone selama 10 jam yang dilakukan dua minggu berturut-turut.

Treatment yang terakhir adalah floor time atau secara formal disebut sebagai model D.I.R. (developmental, individual-difference, relationship-based models), merupakan terapi yang dikembangkan oleh Stanley Greenspan. Treatment ini mengembangkan hubungan yang menyenangkan antara anak dan orangtua melalui aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan fungsi-fungsi motorik, kognisi, dan

(38)

perhatian anak (Stacey, 2003). Prinsip utama floor time adalah memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul untuk berinteraksi dengan cara yang disesuaikan dengan tahap perkembangan emosi anak. Melalui treatment ini, anak diajarkan untuk membentuk emosi yang sehat sehingga dapat membantu perkembangan sosial dan intelektual anak (Susilawati & Alisjahbana, 2003).

Terlepas dari metode apapun yang dipakai, pada dasarnya program treatment yang efektif dibuat sesuai dengan minat anak dan jadwalnya teratur. Treatment yang efektif akan mengajarkan suatu hal sebagai rangkaian dari langkah-langkah sederhana yang mudah dilakukan dan diulang kembali. Treatment juga dapat membuat anak menaruh perhatiannya dalam aktivitas yang sangat terstruktur. Dukungan orangtua muncul sebagai faktor utama dalam keberhasilan treatment. Orangtua bekerjasama dengan guru dan terapis untuk mengidentifikasi perilaku anak yang ingin diubah dan keterampilan yang akan diajarkan pada anak. Dengan pertimbangan bahwa orangtua adalah guru yang paling awal bagi anak, banyak program treatment diawali dengan melatih orangtua agar dapat melanjutkan terapi ketika di rumah (Parritz & Troy, 2011).

II.C Kemajuan Treatment Anak Autisme II.C.1 Pengertian Kemajuan Treatment

Kemajuan berasal dari kata “maju” yang artinya berjalan (bergerak) ke muka, menjadi lebih baik (laku, pandai, dsb) dan kemajuan adalah hal (keadaan) maju (Kamus Bahasa Indonesia, 2008). Dalam penelitian ini, kemajuan treatment anak autisme yang dimaksud adalah perubahan keadaan anak autisme menjadi lebih baik dalam kegiatan treatment yang dilaksanakan.

(39)

Anak autisme terlihat mengalami kemajuan dalam treatment ketika

berkurangnya gejala-gejala autisme (gangguan pada interaksi sosial, komunikasi bahasa, dan pola tingkah laku yang repetitif dan stereotip) yang dimiliki masing-masing anak. Berikut gejala-gejala dari gangguan autisme yang dapat terlihat pada masa anak-anak (Prasetyono, 2008):

1. Komunikasi

Kualitas komunikasi abnormal dan tampak dari ciri-ciri berikut:

a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekalo tidak berkembang. b. Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik

muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara. c. Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara

suatu pembicaraan dua arah yang baik. d. Bahasa tidak lazim yang diulang-ulang.

e. Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif dan permainan kurang variatif.

1. Interaksi Sosial

Terdapat gangguan dalam kualitas interaksi sosial dengan ditandai hal-hal berikut:

a. Kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan ekspresi wajah, postur, dan gerak tubuh untuk berinteraksi secara layak.

b. Kegagalan untuk membina hubungan sosial dengan teman sebaya di mana mereka bisa berbagi emosi, aktivitas, dan ketertarikan akan aktivitas bersama.

(40)

c. Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.

2. Perilaku

Perilaku dalam menjalankan aktivitas dan ketertarikan atas suatu hal cenderung berulang dank has, ditunjukkan dengan ciri-ciri seperti:

a. Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk di pojok sambil menghamburkan pasir seperti air hujan dan dilakukan selama berjam-jam.

b. Adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak berguna. Jika ada rutinitas yang berbeda atau terlewat maka akan sangat terganggu dan menangis untuk minta diulang.

c. Adanya gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, misalnya

mengepak-ngepakkan lengan, menggerakkan jari dengan cara tertentu. d. Adanya preokupasi dengan bagian benda atau mainan tertentu yang

tidak berguna, seperti roda sepeda yang berputar, benda dengan bentuk tertentu yang terus diraba serta suara-suara tertentu.

e. Adanya emosi yang tidak wajar, seperti tantrum (mengamuk tanpa kendali), tertawa dan menangis tanpa sebab dan rasa takut yang tidak wajar. Selain itu, terdapat pula gangguan sensoris seperti adanya kebutuhan untuk mencium-cium atau menggigit suatu benda, dan tidak suka dipeluk atau dielus.

(41)

II.C.2 Faktor-Faktor Pendukung Keberhasilan Treatment

Phillips dan Schuler (dalam Acquarone, 2007) dari Department of Special Education di San Francisco State University mengevaluasi kurang lebih 60 kasus

dalam beberapa tahun di University of California School of Medicine untuk melihat hal-hal yang dapat mendukung keberhasilan dalam sebuah treatment. Mereka pun menemukan enam elemen dasar dalam usaha menuju keberhasilan treatment. Enam elemen tersebut ditambahkan menjadi delapan oleh Henry

Massie berdasarkan evaluasi 31 anak dengan autisme yang dilaporkan kepada Autism Research Institute di San Diego, California (Acquarone, 2007). Kedelapan elemen dasar dalam keberhasilan treatment anak autisme tersebut adalah:

1. Treatment yang efektif dimulai dengan teori tentang bagaimana pikiran anak autisme itu berfungsi dan tidak berfungsi. Orangtua bersama terapis

mengidentifikasi pendekatan maupun cara-cara penanganan anak yang cocok dan efektif maupun yang tidak.

2. Orangtua yang sukses dengan anak autisme pada umumnya memiliki rasa otonomi, percaya pada kemampuan diri, misi, dan pengorbanan yang kuat. Ketika orangtua mengupayakan treatment, mereka menyatukan rasa percaya akan kemampuan diri dan misinya dengan teori mereka tentang pemikiran anak.

3. Treatment membutuhkan keterlibatan menangani anak yang berkepanjangan. Orangtua menggambarkan bagaimana semua orang yang berhubungan dengan anak mereka diikutsertakan dalam usaha treatment, dua puluh empat jam dalam sehari.

(42)

4. Keberhasilan treatment adalah usaha bersama (tim). Suami dan istri bekerjasama dan saling menyemangati satu sama lain. Anak lain dalam keluarga mencontohkan perilaku yang baik, mereka harus interaktif dengan saudara autistik mereka dan mereka adalah penghubung saudara mereka untuk mengenal dunia pertemanan. Tim usaha treatment juga menghubungkan anak kepada orang terpenting dalam masing-masing lingkungan anak yang juga mengetahui keadaan anak dan tahu rencana treatment (penyembuhan) anak. 5. Harus terdapat dorongan untuk “menormalkan” anak, untuk memperlakukan

mereka seperti anak yang lain di dalam keluarga maupun komunitas. Seperti seorang orangtua berkata, “Saya sangat mendorongnya ke dunia luar sana. Berenang dan menari adalah bagian yang besar dalam program awalnya. Saya melakukan banyak hal dengannya dan dengan pihak sekolah dalam

komunitas.”

6. Treatment yang sukses dapat menemukan dan membangun sebuah elemen positif dalam karakter anak. Menyoroti topik ini, ada orangtua berkata, “Pertamakalinya John memulai berinteraksi sedikit saja dengan orang, dia sangat ramah, benar-benar anak yang menggemaskan, dan juga orang lain ingin membantunya untuk berinteraksi. Saya pikir hal itu membawa perubahan.”

7. Treatment (penanganan) dimulai pada usia dini menghasilkan laporan usaha yang sukses, mampu “menormalkan” perkembangan anak yang tertinggal. Usia antara 6 bulan hingga 4 tahun adalah masa-masa penting, mungkin

(43)

karena adanya reorganisasi besar-besaran pada koneksi sistem saraf pusat yang membuat otak mudah dibentuk dan diperbaiki melalui treatment.

8. Anak dengan hasil treatment yang positif adalah anak yang tidak terbelakang. Walaupun tes psikodiagnostiknya di bawah normal (hal ini sering terjadi karena anak-anak berkebutuhan khusus tidak cukup bisa berpartisipasi penuh dalam tes), anak-anak yang telah “menjadi normal” menunjukkan beberapa tanda inteligensi normal sebelum treatment. Tanda-tanda tersebut mungkin muncul dalam ingatan pengalaman masa lalu, kapasitas untuk mempelajari kegiatan baru, tanda-tanda representasi simbolis saat bermain dan

menggunakan bahasa, beberapa kemajuan menuju ke arah yang permanen (representasi mental dari seseorang atau objek bahkan tanpa adanya orang atau objek), penemuan permainan, dan dasar-dasar perawatan diri.

Selain kedelapan elemen tersebut, Bromwich (1981) juga menekankan pentingnya ketrampilan ibu untuk memunculkan interaksi positif antara ibu dan anak autisme. Penanganan akan optimal apabila di antara ibu dan anak terjalin kelekatan (attachment) yang disertai dengan rasa aman. Pada kondisi ini, anak akan lebih berani menjelajahi lingkungan sekaligus memperoleh pengalaman yang lebih kaya (Bromwich, 1981). Karena itulah, peran ibu sangat dibutuhkan untuk membantu anak.

II.C.3 Pengukuran Kemajuan Treatment

Autism Treatment Evaluation Checklist (ATEC) merupakan alat tes yang disusun oleh Bernard Rimland dan Stephen M. Edelson (1999) dari Autism Research Institute untuk membantu penelitian dalam mengevaluasi efektifitas dari

(44)

penanganan anak autisme yang beragam. Selain itu, ATEC juga diperuntukkan untuk membantu para orangtua menentukan apakah anak-anak mereka

mendapatkan keuntungan dari penanganan tertentu atau tidak. Para orangtua dan guru menggunakan ATEC untuk memantau seberapa baik kemajuan anak mereka dalam jangka waktu tertentu, bahkan tanpa pengenalan penanganan baru (“ATEC Report”, 2005).

ATEC adalah formulir yang didesain satu halaman untuk diisi oleh para orangtua, guru (terapis), ataupun pengasuh. Instrumen ini mempunyai 4 bagian subtes: I. Speech/Language Communication (14 item); II. Sociability (20 item); III. Sensory/Cognitive Awareness (18 item); dan IV. Health/Physical/Behavior (25 item) (“Autism Treatment”, t.th).

II. D Dinamika Hubungan Antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan Treatment Anak Autisme

Orangtua Anak Autisme

Mengikuti Terapi Trait

Kepribadian

Kemajuan Terapi

Awal Akhir

Grafik II.1 Grafik Dinamika Hubungan antar Variabel

(45)

Kepribadian orangtua (dalam hal ini ibu) dapat saja memprediksi perilaku anak. Hal ini disebabkan karena parenting setiap orangtua dapat saja berbeda-beda sesuai dengan kepribadian masing-masing (Nigg & Hinshaw, 1998). Jadi, pribadi orangtua yang memiliki anak autisme memiliki kemungkinan

berhubungan dengan perbaikan perilaku atau tepatnya kemajuan anak autisme dalam treatment.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mendukung keberhasilan treatment anak autisme. Faktor yang pertama menuntut orangtua untuk mencari tahu cara-cara khusus yang cocok dan efektif dalam menangani anak mereka (Acquarone, 2007). Untuk menerapkan hal ini, individu perlu membuka diri untuk mencoba hal yang baru, seperti layaknya individu yang tinggi pada skor O (Piedmont, 1998). Selain itu, aspek ini juga didukung oleh hasil penelitian Belsky, Crnic, dan Woodworth (1995) menemukan ibu dengan skor tinggi pada E akan lebih peka dan

menstimulasi secara kognitif selama berinteraksi dengan anaknya. Dalam proses pencaritahuan ini pun membutuhkan penggalian potensi anak secara asertif yang terefleksikan juga dalam domain E(Clark, Kochanska, & Ready, 2000).

Faktor selanjutnya menyatakan bahwa orangtua yang sukses dengan anak autisme memiliki rasa otonomi, percaya pada kemampuan diri, melakukan misi dan pengorbanan yang kuat (Acquarone, 2007). Kualitas-kualitas ini terdapat dalam C yang tinggi sehingga orangtua akan menunjukkan kedisiplinan yang konsisten, keterlibatan dan gaya pengasuhan yang lebih positif (Clarke, 2006). N yang tinggi juga memiliki asosiasi dengan parental rejection yang dapat

membawa dampak negatif pada pengasuhan anak (Spinath & O’Connor, 2003).

(46)

Treatment membutuhkan keterlibatan menangani anak yang berkepanjangan. Orangtua menggambarkan bagaimana semua orang yang berhubungan dengan anak mereka diikutsertakan dalam usaha treatment, dua puluh empat jam dalam sehari. Melalui faktor ini dapat pula disimpulkan bahwa penanganan orangtua merupakan cerminan dari keterlibatan seluruh pihak lainnya dalam usaha

memajukan anak. Ibu dengan C tinggi juga akan menjaga anak dengan konsisten dan berkelanjutan (Kochanska, Friesenborg, Lange, & Martel, 2004).

Orangtua dengan tingkat N yang tinggi akan memiliki parental nurturance yang rendah (Metsapelto & Pulkkinen, 2003). Hal ini akan berhubungan pihak-pihak lainnya seperti misalnya saudara kandung anak yang juga diasuh ibu yang sama. Sementara itu, faktor saudara kandung berperan dalam mencontohkan perilaku yang baik (Acquarone, 2007).

Orangtua juga harus memiliki dorongan “menormalkan” anak, untuk memperlakukan mereka seperti anak yang lain di dalam keluarga maupun komunitas (Acquarone, 2007). Hal ini pun bertolak belakang dengan Ibu yang memiliki O rendah karena memiliki over-protectiveness yang tinggi (Spinath & O-Connor, 2003). Seiring dengan bukti tersebut, O juga berkorelasi negatif dengan perilaku mengekang dan berkorelasi positif dengan parental nurturance (Metsapelto & Pulkkinen, 2003).

Orangtua, dalam hal ini ibu, memiliki peran yang cukup besar dalam

mendukung usaha treatment anak agar kelak anak autisme dapat menjadi mandiri dan berfungsi secara normal. Aspek-aspek positif yang dimiliki orangtua dalam kepribadiannya akan juga berhubungan positif terhadap kemajuan dan

(47)

perkembangan anaknya. Di samping itu, aspek-aspek negatif dalam kepribadian orangtua, yang terbukti juga berdampak negatif dalam parenting, seperti

kurangnya nurturance yang terlihat pada orangtua dengan N tinggi (Metsapelto & Pulkkinen, 2003) serta kurangnya konsistensi dan tanggung jawab dalam

menangani anak yang terlihat pada orangtua dengan C rendah (Clarke, 2006) diyakini juga akan berhubungan negatif pada kemajuan treatment anak.

Melalui bukti-bukti di atas, dapat disimpulkan bahwa dugaan hubungan yang signifikan dengan kemajuan treatment anak akan terjadi pada domain dan facets Neuroticism, Extraversion, Opennes to experience dan Conscientiousnes.

II.E Hipotesis Penelitian

Berdasarkan dinamika hubungan antar variabel dan terkait minimnya bukti-bukti hubungan mengenai domain Agreeableness, hipotesis penelitian ini adalah: Terdapat hubungan yang signifikan antara domain dan facets Neuroticism, Extraversion, Opennes to experience, Conscientiousness dalam kepribadian

ibuyang akan dilihat dengan Big Five Personality dan kemajuan treatment anak autisme.

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat non eksperimental karena peneliti tidak memanipulasi variabel yang ada dan juga tidak memberikan intervensi kepada subjek

(Kerlinger, 1986). Jika dilihat dari tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara variabel-variabel yang ada (Kumar, 1999). Jika ditinjau dari segi tipe informasi yang ingin dicari, informasi dikumpulkan dalam penelitian ini melalui metode kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menguji hubungan antara trait kepribadian orangtua dan kemajuan terapi anak autisme.

III.B Variabel Penelitian

Variabel –variabel yang terlibat dalam penelitian ini adalah trait kepribadian orangtua anak autisme dan kemajuan treatment anak autisme.

III.B.1 Variabel Pertama

Variabel pertama dari penelitian ini adalah trait kepribadian dari Big Five Personality. Definisi operasional dari variabel ini adalah skor hasil pengukuran

evaluasi seseorang terhadap kepribadiannya dengan menggunakan alat NEO PI-R yang terdiri atas lima domain yaitu Neuroticism, Extraversion, Openness to Experience, Aggreeableness dan Conscientiousness. Semakin tinggi skor yang

dimiliki subjek pada sebuah domain, semakin kuat ciri kepribadian tersebut melekat pada diri subjek, demikian pula sebaliknya.

(49)

III.B.2 Variabel Kedua

Variabel kedua dari penelitian ini adalah kemajuan treatment anak. Kemajuan treatment anak dapat dilihat dari jumlah pergeseran nilai pengambilan data

pertama, kedua, dan ketiga berdasarkan evaluasi treatment dengan mengisi Autism Treatment Evaluation Checklist (ATEC). Definisi operasional dari kemajuan

treatment anak adalah persentase kemajuan anak autisme yang dilihat dari selisih

skor awal dan akhir dibandingkan dengan skor awal. Semakin tinggi selisih skor anak, maka semakin baik kemajuan treatment-nya dan semakin rendah selisih skornya menunjukan semakin rendah pula kemajuan treatment-nya.

III.C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah orangtua anak dengan autisme yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Sampel diambil dari populasi penelitian.

III.C.1. Karakteristik Populasi

Karakteristik Subjek dalam penelitian ini adalah:

1. Responden adalah ibu yang memiliki anak dengan autisme. Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah ibu, bukan ayah karena ibu mayoritas lebih sering menangani anak autisme sehari-hari, mengantarkan sekolah dan terapi, sementara ayah mayoritas lebih berperan sebagai pencari nafkah dibandingkan sebagai pengasuh anak.

2. Responden berusia di atas atau sama dengan 30 tahun. Alasan dari penetapan batas ini adalah NEO PI-R sangat reliabel dalam mengukur kepribadian individu yang berusia di atas atau sama dengan 30 tahun karena kepribadian sudah relatif menetap dan memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk berubah setelah usia 30 tahun (Feist & Feist, 2006).

(50)

3. Responden merupakan orangtua dari anak dengan gangguan autisme

berusia ≥ 5 tahun. Batas usia ini ditetapkan dengan alasan pada usia kurang dari 5 tahun khususnya 2-3 tahun (golden age) merupakan usia perkembangan otak yang paling pesat (Handojo, 2003). Sehingga, dengan meneliti perkembangan treatment anak berusia ≥ 5 tahun memperkecil kemungkinan perkembangan yang terlihat merupakan andil dari faktor golden age.

4. Responden mendaftarkan anaknya untuk terapi perilaku, biomedikasi, ataupun sensori-motor selama lebih dari 3 bulan. Handojo (2003) mengemukakan bahwa perkembangan treatment yang pesat sudah dapat terlihat setelah 3 bulan mengikuti terapi, bila tidak, orangtua sebaiknya mengganti treatment.

5. Responden berdomisili di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi).

III.C.2 Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik convenience sampling yaitu teknik pemilihan sampel dengan responden yang menjadi sampel adalah mereka yang tersedia sesuai kriteria yang dibutuhkan oleh peneliti (Galloway, 1997). III.C.3 Jumlah Sampel

Responden dalam penelitian ini 31 orang. Kerlinger (1986) menyatakan bahwa untuk mengurangi terjadinya error dalam penelitian yang bersifat

non-experimental, maka diharapkan jumlah sampelnya cukup besar, yaitu melebihi 30

orang. Peneliti berasumsi bahwa jumlah sampel sebanyak 31 orang cukup untuk

Gambar

Tabel II.1. Tabel Domain dan Facet dari Big Five Personality
Grafik II.1 Grafik Dinamika Hubungan antar Variabel
Grafik IV.1 Gambaran Usia Responden
Grafik IV.3 Gambaran Usia Anak
+7

Referensi

Dokumen terkait

kepercayaan 5%. Dari persamaan regresi tersebut dapat diketahui probabilitas value signifikansi F sebesar 0,000 yang berarti probabilitas value signifikansi F kurang

Tabel 2 menunjukkan bahwa masih ada beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara yang memiliki potensi daerah bidang komunikasi dan informatika yang rendah, ditunjukkan

Luka dekubitus adalah suatu area yang terlokalisir dengan jaringan yang mengalami nekrosis dan biasanya terjadi pada permukaan tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan

The Meaning of Phoebe’s Life as Seen in Kim Edwards’s The Memory Keeper’s Daughter.. Yogyakarta: English Language Education Study Program, Sanata

Setelah melakukan Evaluasi Administrasi untuk paket pekerjaan : Belanja Modal Pengadaan Konstruksi/ Pembelian Gedung Kantor terhadap perusahaan :..

PROFILING PRIMARY ENGLISH TEACHERS’ CREATIVITY THROUGH THEIR LESSON PLANS7. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu TABLE OF

Hanya saja, data ini tidak mampu menjelaskan by name by address siapa saja penduduk atau rumah tangga miskin yang bergerak masuk dan keluar dari kondisi miskin di bawah

Dalam metode penilaiannya SPBU di Darmo Indah Timur ini masih menggunakan metode Tradisional atau metode yang pertama kali muncul dalam Penilaian prestasi Kerja karyawan, dalam