BAB II
LATAR BELAKANG PENGATURAN TENTANG UANG PENGGANTI DALAM KEBIJAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Sejak Reformasi 1998
Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama,
bahkan nyaris setua umur Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan
terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan
korupsi. Sudah tidak terhitung telah berapa banyak pejabat negara yang merasakan
getirnya hidup di hotel prodeo.47
Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6
lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi
Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi
Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan
Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).48
Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah. Peningkatan
transparansi dari penyelenggara negara telah menjadi perhatian pemerintah bahkan
sejak tahun 1957. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No.
47
Sugianto, Sejarah Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Jakarta : Pusat Kajian Kepolisian dan Keamanan , 2009) hal.1
48
48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku
penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957
tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut
adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang
yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta
benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada
masa orde baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi
Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. Di era reformasi dengan adanya UU no.
28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Korupsi Kolusi dan
Nepotisme maka dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi
mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif.49
Berbagai kebijakan dan lembaga pemberantasan yang telah ada tersebut
ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi.
Berdasarkan kondisi dimana Indonesia tetap dicap sebagai salah satu negara terkorup
di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan
atau pun kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Tidak berjalannya program-program pemberantasan korupsi di Indonesia
selama ini lebih banyak dikarenakan; (i) dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan
fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat, (ii) program pemberantasan korupsi
tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, (iii) sebagian lembaga yang
49
dibentuk tidak punya mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara
penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak
menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama, (iv)
masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk
berafiliasi kepada golongan / partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai
keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi, (v) tidak mempunyai
sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan,
program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan
profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga SDM yang ada pada lembaga
tersebut tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam melaksanakan tugas dalam
pemberantasan korupsi, (vi) tidak didukung oleh sistem manajemen keuangan yang
transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai,
mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan
anggaran yang lemah, (vii) lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar
hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas
korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan.50
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2003 dengan
lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan,
monitoring, berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002, berusaha untuk tidak
50
mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya.51
Di Indonesia, akibat perilaku korupsi yang tersistematis, merata, dan hampir
terstruktur melembaga di seluruh lapisan masyarakat, telah berimplikasi pada
timbulnya krisis ekonomi, rusaknya sistem hukum dan terhambatnya pemerintahan
yang bersih dan demokratis (democratic and clean government). Korupsi sudah
menjadi akar dari semua persoalan yang dihadapai bangsa ini (the root of all evils).
Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai suatu
bentuk kejahatan biasa, tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime), sehingga diperlukan upaya luar biasa pula dalam penanganannya, baik dari Misalnya , lembaga ini di
desain menjadi lebih otonom dan independen . Eksistensi independensi dalam proses
penegakan hukum merupakan suatu wacana yang imperatif sifatnya. Jika dilihat
bagi Kepolisian dan Kejaksaaan akan sulit memaksimalkan pemberantasan korupsi
selama independensi dalam konteks limitatif masih dalam status sub ordinasi
kekuasaan eksekutif tertinggi, sehingga terkesan adanya suatu kekuasaaan otoriter
yang permessif. Dari kajian sosiologis yuridis, gangguan optimal independensi
penegak hukum justru dari lingkaran internal kekuasaan, sehingga selama masih ada
hubungan sub ordinasi penegak hukum dan kekuasaan tertinggi eksekutif,
kegamangan kehendak penegak hukum memberantas korupsi akan selalu minimal
hasilnya
segi partisipasi masyarakatnya, maupun kemauan politik (political will) dari negara
pembentuk hukum, pemerintah dan seluruh aparatur penegak hukum.52
Negara pasca-otoritarian53
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang
terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana
yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali
akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi
juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana
korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak pada dasarnya telah memberikan komitmen yang
serius bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Ditandai dengan
dikeluarkannya beberapa regulasi yang memberi legitimasi bagi langkah dan gerakan
pemberantasan korupsi. Setidaknya dua undang-undang telah dibentuk untuk
mendukung gerakan ini, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang selanjutnya diamandemen menjadi UU No. 20 Tahun 2001 dan
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua peraturan perundangan tersebut telah secara tegas mengakui adanya sebuah
kondisi darurat korupsi.
52
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik,(Jakarta : Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, 2008), hal. 49-50.
53
sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana
korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah
menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak
lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa54
Akibat korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin pula dalam
pembukaan (preambule) konvensi PBB antikorupsi (UNCAC, 2003). Konvensi yang
yang telah di ratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya
menyatakan bahwa:
.
“ Concerned about the seriousness of problems and threats posed by
corruption to the stability and security of societies, undermining the
institutions and values of democracy, ethical values and justice and
jeopardizing sustainable development and the rule of law;”
("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan
oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak
lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta
membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;")
Pernyataan undang-undang tersebut di atas tentunya bukan tanpa alasan,
apalagi sejumlah fakta menunjukkan masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia.
Betapa tidak, sejak Soemitro Djojohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana
54
pembangunan antara tahun 1989-1993 sebesar 30%.55
Melengkapi laporan BPK di atas, Indonesia Corruption Watch (ICW)
membuat catatan dan analisa terhadap trend korupsi di Indonesia 2004-2006.
Dijelaskan bahwa pada tahun 2004 terungkap 153 kasus korupsi, tahun 2005
terungkap 125 dan tahun 2006 terungkap 166 kasus korupsi. Meskipun jumlah kasus
yang terungkap di tahun 2006 tidak berbeda jauh dengan tahun 2005, tetapi kerugian
negara meningkat cukup besar. Dari 161 kasus korupsi yang terjadi di tahun 2006,
kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun, lebih besar dibandingkan dengan tahun
2005 dan 2004.
Beberapa data hasil survey
dari berbagai kalangan, juga masih meperlihatkan tingginya korupsi di Indonesia.
Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di tahun 2006,
menggolongkan Indonesia sebagai negara yang tinggi tingkat korupsinya.
Transparency International (TI), selama 5 tahun berturut-turut (1995-2000) selalu
menempatkan Indonesia dalam posisi 10 besar negara paling korup di dunia.
Demikian halnya dengan survey TI tahun 2006, meski peringkat korupsi Indonesia
sedikit lebih baik dengan nilai indeks 2,4, angka ini hanya mendongkrak urutan
Indonesia satu peringkat dari negara terkorup keenam (dari 159 negara) pada 2005,
menjadi negara terkorup ketujuh (dari 163 negara) di 2006. Bahkan laporan yang
dibuat oleh Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK), menyebutkan masih terjadi
kebocoran dalam anggaran Negara.
56
55
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, 1999, hal. 296.
56
2004-Dari 153 kasus yang terungkap pada tahun 2004, 125 kasus tahun 2005, dan
166 kasus tahun 2006, terjadi peningkatan kerugian negara yang cukup besar. Dari
kasus yang terungkap pada tahun 2006, kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun,
lebih besar dibandingkan dengan Tahun 2005 dan 2004.57 Suatu hal yang ironis kemudian, mantan presiden Soeharto telah ditempatkan menjadi pemimpin negara
paling korup sedunia. Berdasarkan laporan PBB dan Bank Dunia yang dikeluarkan
September 2007, total uang yang dikorupsi oleh Soeharto diperkirakan sebesar US$
15-35 miliar (Rp. 135-315 triliun).58
Korupsi yang meluas dan sistematis, terlihat dari intensitas korupsi pada
sejumlah Lembaga Pemerintah di Daerah. Hasil penelitian dari Governance
Assessment Survey (2006) yang dilakukan oleh Kemitraan dan PSKK UGM di 10
Propinsi dan Kabupaten,59
2006”, 2006. Dapat diakses di http://www.antikorupsi.org.
memperlihatkan adanya praktik korupsi di
lembaga-lembaga pemerintahan. Yang mengkhawatirkan dari temuan penelitian tersebut
adalah, praktik korupsi di lembaga penegak hukum cenderung lebih tinggi
dibandingkan lembaga pemerintah lainnya. Jika demikian, sulit membayangkan
upaya pemberantasan korupsi akan dapat dilakukan secara efektif jika lembaga
penegak hukum yang ada justru lebih besar praktik korupsinya.
57 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Analisa Trend Korupsi Indonesia Tahun 2004-2006”, 2006, diakses di www.antikorupsi.org., tanggal 23 Mei 2007.
58 “Majalah Berita Mingguan Tempo”, No. 31/XXXVI/24-30 September 2007, hal. 26-35.
Sebagai akibat dari masih tingginya korupsi di Indonesia adalah, jutaan warga
terbelenggu dalam kemiskinan. Data BPS mencatat bahwa Jumlah penduduk miskin
(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di
Indonesia pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang (12,36 persen), turun
0,13 juta orang (0,13 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret
2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Selama periode Maret
2011-September 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,09 juta orang
(dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,95 juta orang pada September
2011), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,04 juta orang (dari 18,97 juta
orang pada Maret 2011 menjadi 18,94 juta orang pada September 2011).60
Dampak lebih jauh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai bahwa
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI) negara Indonesia
berada pada urutan 110 dari 173 negara di dunia. Suatu peringkat yang tergolong
sangat rendah, hanya satu peringkat di atas Kamboja tetapi jauh tertinggal jika
dibandingkan beberapa negara ASEAN seperti Vietnam, Philipina, Malaysia dan
Singapura.
B. Dampak Tindak Pidana Korupsi
Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberangus korupsi, namun
sampai saat ini hasilnya masih tetap belum sesuai dengan yang harapan masyarakat.
Melihat kenyataan betapa sulitnya usaha pemberantasan korupsi, sebenarnya wajar
60
saja jika sampai timbul public judgement bahwa korupsi adalah manisfestasi budaya
bangsa. Ibarat wabah demam berdarah dengou (DBD), korupsi kini telah memasuki
arena Kejadian Luar Biasa (KLB). Salah satu akibat buruk dari perilaku korup yang
kini semakin membudaya di Indonesia adalah kerugian keuangan negara. Selama
tiga tahun terakhir terdapat trend kenaikan kerugian keuangan negara yang menurut
catatan akhir tahun Indonesian Corruption Watch (24/1/07) pada tahun 2004
mencapai Rp. 4,3 triliun, tahun 2005 mencapai Rp 5,3 triliun dan tahun 2006
meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 14,4 triliun.61
Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia digambarkan oleh Prof. Dr.
H. Syafe'i Ma'arif, akibat korupsi yang semakin merajalela kini bangsa Indonesia
dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Departemen Agama RI yang seharusnya
mengurusi pembangunan mental (hati) bangsa adalah salah satu departemen terkorup
di negeri ini. Kemudian Departemen Pendidikan RI yang seharusnya mengurusi
usaha mencerdaskan bangsa (otak) juga merupakan salah satu departemen terkorup.
Demikian juga Departemen Kesehatan RI yang seharusnya mengurusi kesehatan
secara fisik bangsa Indonesia juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini.
"Lalu apa yang tersisa? ", tanya Ma'arif.62
Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM mengemukakan
kemudlaratan korupsi telah sukses merambah seluruh aspek kehidupan sosial
61
Dokumen annual report ICW ini di rilis pada tanggal 12 Desember 2007, yang memberi overview kasus-kasus korupsi serta penanganan terhadap kasus-kasus tersebut
62
diantaranya ; mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, minimnya fasilitas umum,
minimnya fasilitas militer, penegakan hukum yang "memble", minimnya lapangan
kerja, dana bantuan di-"sunat", ekonomi biaya tinggi, BBM mahal, dan banyaknya
biaya-biaya yang tidak jelas (invisble cost).63
Lesunya Perekonomian Korupsi memperlemah investasi dan pertumbuhan
ekonomi. Korupsi merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan
yang berkualitas. Korupsi memperlemah aktivitas ekonomi, memunculkan
inefisiensi, dan nepotisme. Korupsi menyebabkan lumpuhnya keuangan atau
ekonomi suatu negara, meluasnya praktek korupsi di suatu negara mengakibatkan
berkurangnya dukungan negara donor, karena korupsi menggoyahkan sendi-sendi
kepercayaan pemilik modal asing.
Bagi dunia usaha korupsi punya dampak yang merugikan. Pertama, korupsi
memperbesar biaya perusahaan karena perusahaan harus membayar biaya-biaya
tidak resmi dan biaya tambahan karena tindakan korupsi. Penelitian Mudrajad
Kuncoro (2004)64 pada industri berorientasi ekspor yang padat karya di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia menemukan bahwa biaya tambahan karena korupsi
mencapai 7,3 persen dari biaya perusahaan. Sedangkan penelitian Ari Kuncoro
(2001) 65
63
http://pukat.hukum.ugm.ac.id/
pada 1.736 perusahaan di 285 kabupaten dan kota di Indonesia menemukan
besarnya biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi mencapai 10 persen dari
64
Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, (Jakarta : Erlangga, 2004) hal. 3.
65
biaya total perusahaan. Besarnya biaya tambahan ini tentu akan mengurangi
keuntungan dan efisiensi perusahaan.
Sebuah penelitian 66
Dalam tulisannya yang menarik berjudul "Why is Corruption So Much More
Taxing Than Tax"(Mengapa Korupsi Lebih Memajaki daripada Pajak?) sebagai hasil
penelitiannya di 45 negara, Shang Jin Wei (1997)
menarik di Afrika menemukan bahwa produktivitas
perusahaan yang membayar suap hanya 2/3 dari perusahaan yang tak pernah
membayar suap. Kedua, sebagai dampak lebih lanjut dari biaya tambahan sebagai
akibat tindakan korupsi tersebut, perusahaan biasanya akan menggeser beban biaya
tambahan ini pada konsumen dengan cara menaikkan harga barang yang dijualnya.
Kenaikan harga barang ini akan mengurangi daya beli konsumen. Karena daya beli
konsumen turun maka pada akhirnya pengusaha juga akan menanggung akibatnya
berupa penurunan omset penjualan. Ketiga, biaya tambahan sebagai akibat tindakan
korupsi yang harus ditanggung oleh pengusaha ternyata lebih "merugikan"
dibandingkan pajak.
67
66
menyatakan bahwa korupsi lebih
merugikan daripada pajak karena biaya tambahan sebagai hasil korupsi tidak
diimbangi dengan balas jasa apapun dari oknum pemerintah. Sementara jika
pengusaha membayar pajak, ia akan mendapatkan balas jasa berupa pelayanan publik
dan infrastruktur yang dibutuhkannya untuk menjalankan usahanya. Karena ketiga
juni 2012
67
dampak korupsi yang merugikan dunia usaha tersebut maka tidak heran jika korupsi
merupakan hambatan yang cukup serius bagi investasi baik yang berasal dari dalam
negeri maupun investasi asing.
Penelitian Shang Jin Wei seperti dikutip di atas menemukan bahwa korupsi
berdampak negatif terhadap investasi asing. Penelitian Hines (1995) di AS
menghasilkan hasil yang sama.68 Demikian pula penelitian Daniel Kaufmann (1997) di Ukraina dan Rusia juga menyimpulkan hal yang sama yaitu korupsi berdampak
negatif terhadap investasi asing. Karena berdampak negatif terhadap investasi
padahal investasi adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi maka korupsi
berdampak negatif pula terhadap pertumbuhan ekonomi.69
Penelitian Paulo Mauro (1997) di 70 negara menemukan bahwa korupsi
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian juga penelitian Vito
Tanzi (1998) di beberapa negara sedang berkembang menemukan hal yang sama.
Dampak korupsi yang paling dirasakan masyarakat adalah meningkatnya
kemiskinan. Meningkatnya kemiskinan efek penghancuran yang hebat terhadap
orang miskin adalah dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin dan dampak
tidak langsung terhadap orang miskin
Kemiskinan kronis (chronic poverty) Kemiskinan sementara (transient poverty)
Empat risiko tinggi korupsi: Ongkos finansial (financial costs) Modal manusia
68 Lihat Shang-Jin Wei , Corruption in Economic Development: Beneficial Grease, Minor
Annoyance, or Major Obstacle (Tshinghua : Centre for Economic Policy Research (CEPR, 1990) 69
(human capital) Kehancuran moral(moral decay) Hancurnya modal sosial (loss of
capital social).70
Sebuah studi literatur yang dilakukan oleh Eric Chetwynd, Frances Chetwynd
serta Bertram Spector di tahun 2003 dengan judul "Corruption and Poverty: A
Review of Recent Literature" merupakan sebuah bahan berharga yang dapat
menyediakan landasan teoritik untuk memahami isu ini.
Kesimpulan utama dari studi tersebut adalah bahwa korupsi tidak bisa langsung
menghasilkan kemiskinan. Namun, "korupsi memiliki konsekuensi langsung
terhadap faktor-faktor tatakelola pemerintahan dan perekonomian, yang pada
akhirnya melahirkan kemiskinan”.71
Selanjutnya adalah efek dari kemiskinan itu sendiri adalah meningkatnya
angka kriminalitas . Tingginya angka kriminalitas, korupsi menyuburkan berbagai
jenis kejahatan yang lain dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin
besar pula kejahatan. Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat
antara jumlah korupsi dan jumlah kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi
meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika
angka korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum (law enforcement) juga meningkat. Dengan mengurangi korupsi dapat juga
(secara tidak langsung) mengurangi kejahatan yang lain.
70
http://mgtabersaudara.blogspot.com/2011/06/dampak-korupsi-terhadap-eksistensi.html 71
Tingginya angka kriminalitas (lanjutan) idealnya, angka kejahatan akan
berkurang jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterence). Kondisi ini
hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah
memadahi (sufficient). Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di
suatu negara selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana
dan prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Kesejahteraan
yang memadahi mengandung arti bahwa kejahatan tidak terjadi oleh karena kesulitan
ekonomi.
Pengaruh korupsi bagi pemerintah sendiri adalah demoralisasi korupsi yang
merajalela di lingkungan pemerintah dalam penglihatan masyarakat umum akan
menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Jika pemerintah justru
memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust
(kepercayaan) masyarakat kepada pemerintah. Praktik korupsi yang kronis
menimbulkan demoralisasi di kalangan warga masyarakat. Menurut Bank Dunia,
korupsi merupakan ancaman dan duri bagi pembangunan. Korupsi mengabaikan
aturan hukum dan juga menghancurkan pertumbuhan ekonomi. Lembaga
internasional menolak membantu negara-negara korup.
dengan pelayanan umum kepada masyarakat. Korupsi melemahkan birokrasi sebagai
tulang punggung negara. Korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh
ke dalam birokrasi. Korupsi dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua
kalangan mereka sendiri. Transparency International membagi kegiatan korupsi di
sektor publik ke dalam dua jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik.72
Kehancuran birokrasi (lanjutan) Menurut Indria Samego, korupsi
menimbulkan empat kerusakan di tubuh birokrasi militer Indonesia: Secara formal,
material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata
sangat terbatas, padahal pada kenyataannya, TNI memiliki sumber dana lain di luar
APBN. Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan
pengusaha menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya
daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
Orientasi komersial pada sebagian perwira militer pada gilirannya juga menimbulkan
rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama.
Orientasi komersial akan semakin melunturkan semangat profesionalisme militer
pada sebagian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis, baik atas
nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi.73
Turunnya kewibawaan pemerintah akan berdampak pada sistem politik dan
sistem pemerintahan. Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan
Dampak negatif terhadap suatu sistem politik. Korupsi Mengganggu kinerja sistem
politik yang berlaku. Publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu
lembaga yang diduga terkait dengan tindakan korupsi. Contohnya ; lembaga tinggi
DPR yang sudah mulai kehilangan kepercayaan dari Masyarakat Lembaga Politik
72
Kuncoro,Op.Cit hal. 4 73
diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan pribadi dan
kelompok.74
C. Kebijakan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.
Pendayagunaan UU Nomor 20 Tahun 2001 termasuk sebagai kebijakan
kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk
menanggulangi kajahatan. Di dalamnya mencakup kebijakan hukum pidana yang
disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana,
yang dalam arti paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan
melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan
norma-norma sentral dari masyarakat75
Perencanaan penanggulangan kejahatan diperlukan agar
perundang-undangan pidana menjadi sarana yang baik untuk menanggulangi tindak pidana
korupsi dan berlaku efektif. Kegiatan ini memasuki lingkup kebijakan hukum
pidana, yang merupakan suatu proses terdiri dari tahap formulasi atau legislatif,
tahap penerapan atau yudikatif, dan tahap pelaksanaan atau eksekutif /administratif. .
Tahap kebijakan legislatif yang secara operasional menjadi bagian dari
perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan pada tahap yang awal, juga
74 Ibid
75 Sudarto,
Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal. 113, 158.
merupakan kebijakan perundang-undangan. Dalam pertimbangan Konggres PBB
VIII/1990 dinyatakan antara lain: Newly formulated policies and legislation should
be as dynamic as the modes of criminal behaviour and should remain abreast of
changes in the forms and dimensions of crime. Oleh karena itu, kebijakan hukum
pidana tahap formulasi semestinya mampu merespon terhadap perkembangan dan
perubahan tindak kejahatan sejalan dengan perubahan dan perkembangan
masyarakat.
Kebijakan perundang-undangan memfokuskan permasalahan sentral
menyangkut penetapan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak
pidana, dan sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan. Dalam hukum pidana
materiil kedua hal tersebut termasuk pula perhatian terhadap orang/pelakunya, dalam
hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam hukum
pidana materiel dikenal masalah pokok yang menyangkut tindak pidana,
pertanggung-jawaban, dan sanksi pidana 76
Masalah berikutnya mengenai penentuan sanksi pidana dalam kebijakan
perundang-undangan merupakan kegiatan yang akan mendasari dan mempermudah
penerapan maupun pelaksanaannya dalam rangka penegakan hukum pidana
inkonkreto. Penentuan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan merupakan pernyataan
pencelaan dari sebagian besar warga masyarakat. Barda Nawawi Arief
mengemukakan, pencelaan mempunyai fungsi pencegahan karena sebagai faktor .
76 Muladi,
yang dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku memasuki
kesadaran moralnya, yang akan menentukan tingkah-lakunya di masa mendatang.
Jadi tidak semata-mata taat pada ancaman yang menderitakan, melainkan karena
adanya rasa hormat tentang apa yang dipandang benar dan adil 77
Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan,
lebih konkretnya mengoperasikan UU No. 20 tahun 2001 yang merupakan
perundang-undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi
menghadapi problema keterbatasan kemampuannya, mengingat tipe atau kualitas
sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dari
sudut pelakunya, modus-operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar
crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah
seharusnya dimanfaatkan. Sehubungan dengan ini, Barda Nawawi Arief. .
78
menyarankan dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan
pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik
sosial, serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal
dan non-penal. Pengamatan Bambang Poernomo79
77
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro), hal. 26. Di samping pencelaan, penentuan tindak pidana berhubungan dengan fungsi hukum pidana: “…. The essential function of the criminal law is to express and reinforce a society’s moral seriousness about certain public rules of civilized behaviour”. Dalam Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman, Philosophy of Law ( Colorado: Westview Press, 1990), hal. 114.
, kesulitan untuk menanggulangi
78
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 4.
79 Bambang Poernomo,
korupsi itu disebabkan lingkaran pelakunya yang tidak lagi hanya para pejabat
negara melainkan sudah cenderung meluas ke dalam lingkungan keluarga pejabat
untuk memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan, dan /atau lingkungan
kelompok bisnis tertentu untuk mendapatkan keuntungan secara illegal.
Pada masa Orde Baru banyak terjadi peluang dan kelonggaran melalui
peraturan dan kebijakan-kebijakan penguasa yang bersifat KKN. Hal ini
memunculkan korporasi berperan besar dalam perekonomian di Indonesia, sejalan
dengan kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan menghasilkan
korporasi raksasa dan konglomerat yang menguasai dan memonopoli ekonomi80. Sistem pengelolaan yang koruptif mengandalkan kemampuannya untuk
memperbesar dan memperumit KKN, sehingga penanganannya berada di luar
kapasitas individu dan institusi, termasuk hukum, yang akibatnya banyak kasus KKN
gagal ditangani oleh hukum 81
terhadap Perkembangan Kejahatan Korupsi (Yogyakarta: Fak. Hukum UGM, KEJATI DIY, dan Dep. Kehakiman, 11 September 1999 ), hal. 3.
. Masalah korupsi di Indonesia bukan faktor
individu belaka, melainkan juga menyangkut pranata sosial dan sistem nilai yang
sedang berada dalam disequilibrium, yang berarti masyarakat sedang mengalami
80
Susanto, Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 12 Oktober 1999), hal. 3.
81
kondisi anomik. Dengan demikian, penanganannya tidak mungkin sporadis tetapi
melibatkan seluruh sistem sosial, hukum, dan masyarakat secara keseluruhan .82
Dalam penanggulangan korupsi hendaklah jangan mengukur tingkat
intensitas dan volumenya hanya dari segi perundang-undangan pidana semata,
melainkan harus dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang berpengaruh, seperti:
sifat kepemimpinan dapat menjadi teladan atau tidak, mekanisme pengawasan
dapat berjalan efektif atau tidak, dll
83
. Oleh karena itu, penegakan hukum pidana
dengan pendekatan yang legalistik yang berorientasi represif hanya merupakan
pengobatan yang bersifat simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang
ampuh untuk memberantas korupsi. Dengan demikian, diperlukan pendekatan
komprehensif, meliputi pendekatan sosiologis, kultural, ekonomi, manajemen dalam
penyelenggaraan negara 84
Subyek hukum dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah orang dan juga korporasi. Penentuan
korporasi dapat sebagai pelaku korupsi, sehingga dapat dipertanggung jawabkan
berkaitan dengan perkembangan korupsi. Pelakunya tidak terdiri dari seorang
individu, melainkan merupakan kolaborasi dari beberapa orang, dan kedudukannya
yang tidak hanya sebagai pejabat, namun merambah pada lingkungan keluarganya, .
82
Yasonna H. Laoly, Kolusi: Fenomena atau Penyakit Kronis, dalam Aldentua Siringo-ringo dan Tumpal Sihite, Menyingkap Kabut Peradilan Kita: Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung (Jakarta: Pustaka Forum Adil Sejahtera, 1996), hal. 34.
83
Soedjono dirdjosisworo, Fungsi perundnag-undnagan Pidana dalam penanggulangan korupsi di Indonesia (Bandung: CV Sinar baru, 1984), hal. 47.
84
para pengusaha, yang besar kemungkinannya secara kelompok, yang dapat sebagai
suatu korporasi. Demikian ini, ditengarai oleh I.S. Susanto85
Pasal 20 dalam UU tersebut menentukan hal-hal yang bersangkutan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Terjadinya dilakukan
oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan
yang lain, bertindak dalam lingkungan korporasi baik sendiri maupun bersama-sama.
Penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya. Pidana
pokok yang dapat dikenakan kepada korporasi adalah pidana denda. Kekurangannya
tidak ada pengaturan khusus kalau korporasi tidak dapat membayar pidana denda,
kalau menurut sistem KUHP bisa digantikan pidana kurungan pengganti denda,
apakah korporasi bisa dipidana kurungan. Juga kekurangannya tidak adanya sanksi
yang sesuai dengan korporasi misalnya sanksi berupa: “penutupan
perusahaan/korporasi, pencabutan ijin usaha”.
, adanya keterlibatan
birokrasi yang dengan kebijakan-kebijakannya memberikan peluang korporasi
melakukan tindakan ilegal dan merugikan masyarakat maupun membiarkan dalam
arti tidak mengambil tindakan terhadap korporasi yang merugikan masyarakat.
Sehubungan dengan subyek hukum sebagai pelaku, (Pasal 2) memperluas
pengertian pegawai negeri, yang antara lain ditambahkan : orang yang menerima gaji
atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas negara atau
masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang
diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga
85
yang tidak wajar, pemberian ijin yang ekslusif, termasuk keringanan bea masuk atau
pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 ditentukan
ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman
pidana mati yang merupakan pemberatan pidana, serta ditentukan pula pidana
penjara bagi pelaku yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang
pengganti kerugian negara. Dengan adanya ancaman pidana minimum khusus, dapat
dihindari keleluasan diskresi dari penuntut umum dalam menetapkan tuntutannya,
juga hakim dalam penjatuhan pidana. Ini berarti mencegah atau mengurangi
ketidak-adilan dalam penetapan tuntutan pidana dan besar kemungkinan terjadi disparitas
pidana.
Ancaman pidana minimum khusus ini tidak dikenal dalam induk dari
ketentuan hukum pidana (dalam KUHP), namun direncanakan dianut dalam konsep
KUHP yang akan datang. Hal ini didasari, antara lain pemikiran yakni guna
menghindari disparitas pidana yang sangat menyolok untuk delik-delik yang secara
hakiki berbeda kualitasnya, dan juga untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi
general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan
masyarakat86
86
Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hal. 138.
. Tindak pidana korupsi jelas menimbulkan akibat yang membahayakan
dan meresahkan masyarakat, lebih khususnya keuangan dan perekonomian negara,
national interest, citizenship of the propetrator87. Bagi pengembangan masyarakat,
corruption could undermine the extent to which growt benefits populace, thus
ultimately retarding development 88. Selanjutnya, Barda Nawawi Arief menyitir
Resolusi Konggres PBB VIII mengenai korupsi pejabat publik dapat menghancurkan
efektivitas potensial dari semua program pemerintah, dapat mengganggu
pembangunan, serta menimbulkan korban individual maupun kelompok
masyarakat89
Pidana mati pun dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
apabila dilakukan dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu ini dijelaskan dalam UU
No. 20 tahun 2001, yaitu keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana
bagi pelaku apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis
ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. .
Diintrodusir tindak pidana baru mengenai gratifikasi (Pasal 12B, 12C ).
Yang diatur mengenai perbuatan yang dapat dihukum bukan gratifikasinya tetapi
perbuatan menerima grafitikasi. Itu dianggap pemberian suap apabila gratifikasi
diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara, berhubungan dengan
jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dan penerima tidak
87
Bambang Poernomo, Op. Cit. hal. 8. 88 Susan Rose-Ackerman,Op.Cit. hal. 377.
89 Barda Nawawi Arief
melapor kepada KPK. Yang dimaksud gratifikasi adalah meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Perkara tindak pidana korupsi ini sebagai perkara prioritas, yang proses
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan aturan acara pidana lainnya tetap berlaku
KUHAP ( UU No. 8 Tahun 1981) yang mendasari hukum acara pidana di Indonesia,
kecuali hal-hal yang diatur sendiri dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Juga ada pengembangan alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk menyesuaikan
dengan perkembangan IPTEK di bidang elektronik dan telematika (Pasal 26A).
Diatur mengenai sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau
berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan dan penuntut umum tetap membuktikan dakwaannya. Hal ini
ditentukan dalam Pasal 37, 37A, 38A, 38B UU No. 31 Tahun 19999 jo UU No. 20
tahun 2001.
Sistem pembuktian seperti itu merupakan suatu penyimpangan dari
KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya
tindak pidana, jadi bukan terdakwa yang membuktikannya. Akan tetapi UU Korupsi
tindak pidana korupsi tidak terbukti, tetap saja penuntut umum wajib membuktikan
dakwaannya. Inilah yang disebut sistem pembuktian terbalik yang terbatas.
Pembuktian terbalik diberlakukan pada tindak pidana berkaitan dengan gratifikasi
dan tuntutan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari hasil korupsi.
Tidak kalah pentingnya, hal baru yang berupa perluasan tempat berlakunya
UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 (Pasal 16), jadi memuat ketentuan
yuridiksi ke luar batas teritorial (extra-territorial). Ini mempunyai relevansi dengan
perkembangan tindak pidana yang bersifat transnasional dan global, khususnya
terjadi pula pada tindak pidana korupsi. Dengan undang-undang tersebut berarti
memperkuat daya-jangkaunya jika dihadapkan pada pelaku yang berada d luar batas
teritorial.
Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan tindak pidana korupsi yang
sudah menjadi perhatian dunia internasional dan sifatnya sudah transnasional,
misalnya berkaitan dengan kejahatan money laundering. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan adanya the Organization for Economic Cooperation and Development Anti
Corruption Treaty (1998), the Convention on Combating Bribery of Foreign Public
Official in International Business Transaction (1997), Konferensi Global Anti
Korupsi di Washington DC (1999) 90
90
Romli Atmasasmita, Op.Cit. hal. 5-6
, dan juga Konggres PBB VIII mengeluarkan
Resolusi mengenai Corruption in Government (1990), Konggres PBB IX
Dalam UU Korupsi diperkenalkan adanya perangkat pendukung lainnya,
seperti dibentuknya tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, apabila
terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya (Pasal 27), dan juga UU
tersebut mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Pasal 43). Telah dilaksanakan dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang merupakan lembaga Negara yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam memberantas korupsi bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekusaan manapun. Lembaga semacam ini
sudah dikenal lebih dulu di beberapa Negara, seperti : Independent Commission
Against Corruption (ICAC) di Hongkong, Anti Corruption Agency/Badan Pencegah
Rasuah di Malaysia, Corruption Practices Investigation Bureau di Singapura,
sedangkan di Korea Selatan dikenal Korea Independent Comission Against
Corruption.
Di samping itu, UU memberikan tempat bagi partisipasi masyarakat
untuk menanggulangi tindak pidana korupsi, dan untuk ini, diberikan perlindungan
hukum dan penghargaan bagi warga masyarakat yang berjasa (Pasal 41, 42).
Peran serta masyarakat ini penting untuk menanggulangi tindak pidana
korupsi, yang juga harus berjalan seiring dengan upaya-upaya lain. Hal ini didasari
pertimbangan pertama, korban korupsi yang utama adalah masyarakat, kedua,
pemberantasan korupsi bukan monopoli aparat penegak hukum, perlu keterlibatan
masyarakat, ketiga, gerakan sosial anti korupsi perlu dikembangkan dalam kultur
rusaknya tatanan di bidang administrasi-birokratik, maka selain hukum pidana
terdapat upaya-upaya pengaturan pemenuhan terhadap hukum (compliance with
law) untuk mencegah pelanggaran hukum. Partisipasi masyarakat berfungsi sebagai
pengawasan pula terhadap bekerjanya birokrasi dan keseluruhan aparat pemerintah
maupun penyelenggara negara, untuk tertibnya pelaksanaan segala peraturan sebagai