• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LATAR BELAKANG PENGATURAN TENTANG UANG PENGGANTI DALAM KEBIJAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Sejak Reformasi 1998 - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuanga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LATAR BELAKANG PENGATURAN TENTANG UANG PENGGANTI DALAM KEBIJAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Sejak Reformasi 1998 - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuanga"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LATAR BELAKANG PENGATURAN TENTANG UANG PENGGANTI DALAM KEBIJAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Sejak Reformasi 1998

Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama,

bahkan nyaris setua umur Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan

terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan

korupsi. Sudah tidak terhitung telah berapa banyak pejabat negara yang merasakan

getirnya hidup di hotel prodeo.47

Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6

lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi

Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi

Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan

Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).48

Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah. Peningkatan

transparansi dari penyelenggara negara telah menjadi perhatian pemerintah bahkan

sejak tahun 1957. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No.

47

Sugianto, Sejarah Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Jakarta : Pusat Kajian Kepolisian dan Keamanan , 2009) hal.1

48

(2)

48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku

penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957

tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut

adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang

yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta

benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada

masa orde baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi

Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. Di era reformasi dengan adanya UU no.

28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Korupsi Kolusi dan

Nepotisme maka dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara

(KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi

mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif.49

Berbagai kebijakan dan lembaga pemberantasan yang telah ada tersebut

ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi.

Berdasarkan kondisi dimana Indonesia tetap dicap sebagai salah satu negara terkorup

di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan

atau pun kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut.

Tidak berjalannya program-program pemberantasan korupsi di Indonesia

selama ini lebih banyak dikarenakan; (i) dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan

fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat, (ii) program pemberantasan korupsi

tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, (iii) sebagian lembaga yang

49

(3)

dibentuk tidak punya mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara

penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak

menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama, (iv)

masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk

berafiliasi kepada golongan / partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai

keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi, (v) tidak mempunyai

sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan,

program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan

profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga SDM yang ada pada lembaga

tersebut tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam melaksanakan tugas dalam

pemberantasan korupsi, (vi) tidak didukung oleh sistem manajemen keuangan yang

transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai,

mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan

anggaran yang lemah, (vii) lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar

hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas

korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan.50

Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2003 dengan

lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan,

monitoring, berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002, berusaha untuk tidak

50

(4)

mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya.51

Di Indonesia, akibat perilaku korupsi yang tersistematis, merata, dan hampir

terstruktur melembaga di seluruh lapisan masyarakat, telah berimplikasi pada

timbulnya krisis ekonomi, rusaknya sistem hukum dan terhambatnya pemerintahan

yang bersih dan demokratis (democratic and clean government). Korupsi sudah

menjadi akar dari semua persoalan yang dihadapai bangsa ini (the root of all evils).

Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan

bernegara. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai suatu

bentuk kejahatan biasa, tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary

crime), sehingga diperlukan upaya luar biasa pula dalam penanganannya, baik dari Misalnya , lembaga ini di

desain menjadi lebih otonom dan independen . Eksistensi independensi dalam proses

penegakan hukum merupakan suatu wacana yang imperatif sifatnya. Jika dilihat

bagi Kepolisian dan Kejaksaaan akan sulit memaksimalkan pemberantasan korupsi

selama independensi dalam konteks limitatif masih dalam status sub ordinasi

kekuasaan eksekutif tertinggi, sehingga terkesan adanya suatu kekuasaaan otoriter

yang permessif. Dari kajian sosiologis yuridis, gangguan optimal independensi

penegak hukum justru dari lingkaran internal kekuasaan, sehingga selama masih ada

hubungan sub ordinasi penegak hukum dan kekuasaan tertinggi eksekutif,

kegamangan kehendak penegak hukum memberantas korupsi akan selalu minimal

hasilnya

(5)

segi partisipasi masyarakatnya, maupun kemauan politik (political will) dari negara

pembentuk hukum, pemerintah dan seluruh aparatur penegak hukum.52

Negara pasca-otoritarian53

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.

Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang

terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana

yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek

kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali

akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi

juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana

korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak pada dasarnya telah memberikan komitmen yang

serius bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Ditandai dengan

dikeluarkannya beberapa regulasi yang memberi legitimasi bagi langkah dan gerakan

pemberantasan korupsi. Setidaknya dua undang-undang telah dibentuk untuk

mendukung gerakan ini, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, yang selanjutnya diamandemen menjadi UU No. 20 Tahun 2001 dan

UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua peraturan perundangan tersebut telah secara tegas mengakui adanya sebuah

kondisi darurat korupsi.

52

Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik,(Jakarta : Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, 2008), hal. 49-50.

53

(6)

sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana

korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah

menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak

lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa54

Akibat korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin pula dalam

pembukaan (preambule) konvensi PBB antikorupsi (UNCAC, 2003). Konvensi yang

yang telah di ratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya

menyatakan bahwa:

.

Concerned about the seriousness of problems and threats posed by

corruption to the stability and security of societies, undermining the

institutions and values of democracy, ethical values and justice and

jeopardizing sustainable development and the rule of law;”

("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan

oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak

lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta

membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;")

Pernyataan undang-undang tersebut di atas tentunya bukan tanpa alasan,

apalagi sejumlah fakta menunjukkan masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia.

Betapa tidak, sejak Soemitro Djojohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana

54

(7)

pembangunan antara tahun 1989-1993 sebesar 30%.55

Melengkapi laporan BPK di atas, Indonesia Corruption Watch (ICW)

membuat catatan dan analisa terhadap trend korupsi di Indonesia 2004-2006.

Dijelaskan bahwa pada tahun 2004 terungkap 153 kasus korupsi, tahun 2005

terungkap 125 dan tahun 2006 terungkap 166 kasus korupsi. Meskipun jumlah kasus

yang terungkap di tahun 2006 tidak berbeda jauh dengan tahun 2005, tetapi kerugian

negara meningkat cukup besar. Dari 161 kasus korupsi yang terjadi di tahun 2006,

kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun, lebih besar dibandingkan dengan tahun

2005 dan 2004.

Beberapa data hasil survey

dari berbagai kalangan, juga masih meperlihatkan tingginya korupsi di Indonesia.

Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di tahun 2006,

menggolongkan Indonesia sebagai negara yang tinggi tingkat korupsinya.

Transparency International (TI), selama 5 tahun berturut-turut (1995-2000) selalu

menempatkan Indonesia dalam posisi 10 besar negara paling korup di dunia.

Demikian halnya dengan survey TI tahun 2006, meski peringkat korupsi Indonesia

sedikit lebih baik dengan nilai indeks 2,4, angka ini hanya mendongkrak urutan

Indonesia satu peringkat dari negara terkorup keenam (dari 159 negara) pada 2005,

menjadi negara terkorup ketujuh (dari 163 negara) di 2006. Bahkan laporan yang

dibuat oleh Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK), menyebutkan masih terjadi

kebocoran dalam anggaran Negara.

56

55

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, 1999, hal. 296.

56

(8)

2004-Dari 153 kasus yang terungkap pada tahun 2004, 125 kasus tahun 2005, dan

166 kasus tahun 2006, terjadi peningkatan kerugian negara yang cukup besar. Dari

kasus yang terungkap pada tahun 2006, kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun,

lebih besar dibandingkan dengan Tahun 2005 dan 2004.57 Suatu hal yang ironis kemudian, mantan presiden Soeharto telah ditempatkan menjadi pemimpin negara

paling korup sedunia. Berdasarkan laporan PBB dan Bank Dunia yang dikeluarkan

September 2007, total uang yang dikorupsi oleh Soeharto diperkirakan sebesar US$

15-35 miliar (Rp. 135-315 triliun).58

Korupsi yang meluas dan sistematis, terlihat dari intensitas korupsi pada

sejumlah Lembaga Pemerintah di Daerah. Hasil penelitian dari Governance

Assessment Survey (2006) yang dilakukan oleh Kemitraan dan PSKK UGM di 10

Propinsi dan Kabupaten,59

2006”, 2006. Dapat diakses di http://www.antikorupsi.org.

memperlihatkan adanya praktik korupsi di

lembaga-lembaga pemerintahan. Yang mengkhawatirkan dari temuan penelitian tersebut

adalah, praktik korupsi di lembaga penegak hukum cenderung lebih tinggi

dibandingkan lembaga pemerintah lainnya. Jika demikian, sulit membayangkan

upaya pemberantasan korupsi akan dapat dilakukan secara efektif jika lembaga

penegak hukum yang ada justru lebih besar praktik korupsinya.

57 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Analisa Trend Korupsi Indonesia Tahun 2004-2006”, 2006, diakses di www.antikorupsi.org., tanggal 23 Mei 2007.

58 “Majalah Berita Mingguan Tempo”, No. 31/XXXVI/24-30 September 2007, hal. 26-35.

(9)

Sebagai akibat dari masih tingginya korupsi di Indonesia adalah, jutaan warga

terbelenggu dalam kemiskinan. Data BPS mencatat bahwa Jumlah penduduk miskin

(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di

Indonesia pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang (12,36 persen), turun

0,13 juta orang (0,13 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret

2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Selama periode Maret

2011-September 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,09 juta orang

(dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,95 juta orang pada September

2011), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,04 juta orang (dari 18,97 juta

orang pada Maret 2011 menjadi 18,94 juta orang pada September 2011).60

Dampak lebih jauh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai bahwa

Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI) negara Indonesia

berada pada urutan 110 dari 173 negara di dunia. Suatu peringkat yang tergolong

sangat rendah, hanya satu peringkat di atas Kamboja tetapi jauh tertinggal jika

dibandingkan beberapa negara ASEAN seperti Vietnam, Philipina, Malaysia dan

Singapura.

B. Dampak Tindak Pidana Korupsi

Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberangus korupsi, namun

sampai saat ini hasilnya masih tetap belum sesuai dengan yang harapan masyarakat.

Melihat kenyataan betapa sulitnya usaha pemberantasan korupsi, sebenarnya wajar

60

(10)

saja jika sampai timbul public judgement bahwa korupsi adalah manisfestasi budaya

bangsa. Ibarat wabah demam berdarah dengou (DBD), korupsi kini telah memasuki

arena Kejadian Luar Biasa (KLB). Salah satu akibat buruk dari perilaku korup yang

kini semakin membudaya di Indonesia adalah kerugian keuangan negara. Selama

tiga tahun terakhir terdapat trend kenaikan kerugian keuangan negara yang menurut

catatan akhir tahun Indonesian Corruption Watch (24/1/07) pada tahun 2004

mencapai Rp. 4,3 triliun, tahun 2005 mencapai Rp 5,3 triliun dan tahun 2006

meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 14,4 triliun.61

Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia digambarkan oleh Prof. Dr.

H. Syafe'i Ma'arif, akibat korupsi yang semakin merajalela kini bangsa Indonesia

dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Departemen Agama RI yang seharusnya

mengurusi pembangunan mental (hati) bangsa adalah salah satu departemen terkorup

di negeri ini. Kemudian Departemen Pendidikan RI yang seharusnya mengurusi

usaha mencerdaskan bangsa (otak) juga merupakan salah satu departemen terkorup.

Demikian juga Departemen Kesehatan RI yang seharusnya mengurusi kesehatan

secara fisik bangsa Indonesia juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini.

"Lalu apa yang tersisa? ", tanya Ma'arif.62

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM mengemukakan

kemudlaratan korupsi telah sukses merambah seluruh aspek kehidupan sosial

61

Dokumen annual report ICW ini di rilis pada tanggal 12 Desember 2007, yang memberi overview kasus-kasus korupsi serta penanganan terhadap kasus-kasus tersebut

62

(11)

diantaranya ; mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, minimnya fasilitas umum,

minimnya fasilitas militer, penegakan hukum yang "memble", minimnya lapangan

kerja, dana bantuan di-"sunat", ekonomi biaya tinggi, BBM mahal, dan banyaknya

biaya-biaya yang tidak jelas (invisble cost).63

Lesunya Perekonomian Korupsi memperlemah investasi dan pertumbuhan

ekonomi. Korupsi merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan

yang berkualitas. Korupsi memperlemah aktivitas ekonomi, memunculkan

inefisiensi, dan nepotisme. Korupsi menyebabkan lumpuhnya keuangan atau

ekonomi suatu negara, meluasnya praktek korupsi di suatu negara mengakibatkan

berkurangnya dukungan negara donor, karena korupsi menggoyahkan sendi-sendi

kepercayaan pemilik modal asing.

Bagi dunia usaha korupsi punya dampak yang merugikan. Pertama, korupsi

memperbesar biaya perusahaan karena perusahaan harus membayar biaya-biaya

tidak resmi dan biaya tambahan karena tindakan korupsi. Penelitian Mudrajad

Kuncoro (2004)64 pada industri berorientasi ekspor yang padat karya di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia menemukan bahwa biaya tambahan karena korupsi

mencapai 7,3 persen dari biaya perusahaan. Sedangkan penelitian Ari Kuncoro

(2001) 65

63

http://pukat.hukum.ugm.ac.id/

pada 1.736 perusahaan di 285 kabupaten dan kota di Indonesia menemukan

besarnya biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi mencapai 10 persen dari

64

Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, (Jakarta : Erlangga, 2004) hal. 3.

65

(12)

biaya total perusahaan. Besarnya biaya tambahan ini tentu akan mengurangi

keuntungan dan efisiensi perusahaan.

Sebuah penelitian 66

Dalam tulisannya yang menarik berjudul "Why is Corruption So Much More

Taxing Than Tax"(Mengapa Korupsi Lebih Memajaki daripada Pajak?) sebagai hasil

penelitiannya di 45 negara, Shang Jin Wei (1997)

menarik di Afrika menemukan bahwa produktivitas

perusahaan yang membayar suap hanya 2/3 dari perusahaan yang tak pernah

membayar suap. Kedua, sebagai dampak lebih lanjut dari biaya tambahan sebagai

akibat tindakan korupsi tersebut, perusahaan biasanya akan menggeser beban biaya

tambahan ini pada konsumen dengan cara menaikkan harga barang yang dijualnya.

Kenaikan harga barang ini akan mengurangi daya beli konsumen. Karena daya beli

konsumen turun maka pada akhirnya pengusaha juga akan menanggung akibatnya

berupa penurunan omset penjualan. Ketiga, biaya tambahan sebagai akibat tindakan

korupsi yang harus ditanggung oleh pengusaha ternyata lebih "merugikan"

dibandingkan pajak.

67

66

menyatakan bahwa korupsi lebih

merugikan daripada pajak karena biaya tambahan sebagai hasil korupsi tidak

diimbangi dengan balas jasa apapun dari oknum pemerintah. Sementara jika

pengusaha membayar pajak, ia akan mendapatkan balas jasa berupa pelayanan publik

dan infrastruktur yang dibutuhkannya untuk menjalankan usahanya. Karena ketiga

juni 2012

67

(13)

dampak korupsi yang merugikan dunia usaha tersebut maka tidak heran jika korupsi

merupakan hambatan yang cukup serius bagi investasi baik yang berasal dari dalam

negeri maupun investasi asing.

Penelitian Shang Jin Wei seperti dikutip di atas menemukan bahwa korupsi

berdampak negatif terhadap investasi asing. Penelitian Hines (1995) di AS

menghasilkan hasil yang sama.68 Demikian pula penelitian Daniel Kaufmann (1997) di Ukraina dan Rusia juga menyimpulkan hal yang sama yaitu korupsi berdampak

negatif terhadap investasi asing. Karena berdampak negatif terhadap investasi

padahal investasi adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi maka korupsi

berdampak negatif pula terhadap pertumbuhan ekonomi.69

Penelitian Paulo Mauro (1997) di 70 negara menemukan bahwa korupsi

berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian juga penelitian Vito

Tanzi (1998) di beberapa negara sedang berkembang menemukan hal yang sama.

Dampak korupsi yang paling dirasakan masyarakat adalah meningkatnya

kemiskinan. Meningkatnya kemiskinan efek penghancuran yang hebat terhadap

orang miskin adalah dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin dan dampak

tidak langsung terhadap orang miskin

Kemiskinan kronis (chronic poverty) Kemiskinan sementara (transient poverty)

Empat risiko tinggi korupsi: Ongkos finansial (financial costs) Modal manusia

68 Lihat Shang-Jin Wei , Corruption in Economic Development: Beneficial Grease, Minor

Annoyance, or Major Obstacle (Tshinghua : Centre for Economic Policy Research (CEPR, 1990) 69

(14)

(human capital) Kehancuran moral(moral decay) Hancurnya modal sosial (loss of

capital social).70

Sebuah studi literatur yang dilakukan oleh Eric Chetwynd, Frances Chetwynd

serta Bertram Spector di tahun 2003 dengan judul "Corruption and Poverty: A

Review of Recent Literature" merupakan sebuah bahan berharga yang dapat

menyediakan landasan teoritik untuk memahami isu ini.

Kesimpulan utama dari studi tersebut adalah bahwa korupsi tidak bisa langsung

menghasilkan kemiskinan. Namun, "korupsi memiliki konsekuensi langsung

terhadap faktor-faktor tatakelola pemerintahan dan perekonomian, yang pada

akhirnya melahirkan kemiskinan”.71

Selanjutnya adalah efek dari kemiskinan itu sendiri adalah meningkatnya

angka kriminalitas . Tingginya angka kriminalitas, korupsi menyuburkan berbagai

jenis kejahatan yang lain dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin

besar pula kejahatan. Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat

antara jumlah korupsi dan jumlah kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi

meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika

angka korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan

hukum (law enforcement) juga meningkat. Dengan mengurangi korupsi dapat juga

(secara tidak langsung) mengurangi kejahatan yang lain.

70

http://mgtabersaudara.blogspot.com/2011/06/dampak-korupsi-terhadap-eksistensi.html 71

(15)

Tingginya angka kriminalitas (lanjutan) idealnya, angka kejahatan akan

berkurang jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterence). Kondisi ini

hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah

memadahi (sufficient). Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di

suatu negara selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana

dan prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Kesejahteraan

yang memadahi mengandung arti bahwa kejahatan tidak terjadi oleh karena kesulitan

ekonomi.

Pengaruh korupsi bagi pemerintah sendiri adalah demoralisasi korupsi yang

merajalela di lingkungan pemerintah dalam penglihatan masyarakat umum akan

menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Jika pemerintah justru

memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust

(kepercayaan) masyarakat kepada pemerintah. Praktik korupsi yang kronis

menimbulkan demoralisasi di kalangan warga masyarakat. Menurut Bank Dunia,

korupsi merupakan ancaman dan duri bagi pembangunan. Korupsi mengabaikan

aturan hukum dan juga menghancurkan pertumbuhan ekonomi. Lembaga

internasional menolak membantu negara-negara korup.

dengan pelayanan umum kepada masyarakat. Korupsi melemahkan birokrasi sebagai

tulang punggung negara. Korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh

ke dalam birokrasi. Korupsi dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua

(16)

kalangan mereka sendiri. Transparency International membagi kegiatan korupsi di

sektor publik ke dalam dua jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik.72

Kehancuran birokrasi (lanjutan) Menurut Indria Samego, korupsi

menimbulkan empat kerusakan di tubuh birokrasi militer Indonesia: Secara formal,

material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata

sangat terbatas, padahal pada kenyataannya, TNI memiliki sumber dana lain di luar

APBN. Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan

pengusaha menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya

daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.

Orientasi komersial pada sebagian perwira militer pada gilirannya juga menimbulkan

rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama.

Orientasi komersial akan semakin melunturkan semangat profesionalisme militer

pada sebagian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis, baik atas

nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi.73

Turunnya kewibawaan pemerintah akan berdampak pada sistem politik dan

sistem pemerintahan. Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan

Dampak negatif terhadap suatu sistem politik. Korupsi Mengganggu kinerja sistem

politik yang berlaku. Publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu

lembaga yang diduga terkait dengan tindakan korupsi. Contohnya ; lembaga tinggi

DPR yang sudah mulai kehilangan kepercayaan dari Masyarakat Lembaga Politik

72

Kuncoro,Op.Cit hal. 4 73

(17)

diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan pribadi dan

kelompok.74

C. Kebijakan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.

Pendayagunaan UU Nomor 20 Tahun 2001 termasuk sebagai kebijakan

kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk

menanggulangi kajahatan. Di dalamnya mencakup kebijakan hukum pidana yang

disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana,

yang dalam arti paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan

melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan

norma-norma sentral dari masyarakat75

Perencanaan penanggulangan kejahatan diperlukan agar

perundang-undangan pidana menjadi sarana yang baik untuk menanggulangi tindak pidana

korupsi dan berlaku efektif. Kegiatan ini memasuki lingkup kebijakan hukum

pidana, yang merupakan suatu proses terdiri dari tahap formulasi atau legislatif,

tahap penerapan atau yudikatif, dan tahap pelaksanaan atau eksekutif /administratif. .

Tahap kebijakan legislatif yang secara operasional menjadi bagian dari

perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan pada tahap yang awal, juga

74 Ibid

75 Sudarto,

Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal. 113, 158.

(18)

merupakan kebijakan perundang-undangan. Dalam pertimbangan Konggres PBB

VIII/1990 dinyatakan antara lain: Newly formulated policies and legislation should

be as dynamic as the modes of criminal behaviour and should remain abreast of

changes in the forms and dimensions of crime. Oleh karena itu, kebijakan hukum

pidana tahap formulasi semestinya mampu merespon terhadap perkembangan dan

perubahan tindak kejahatan sejalan dengan perubahan dan perkembangan

masyarakat.

Kebijakan perundang-undangan memfokuskan permasalahan sentral

menyangkut penetapan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak

pidana, dan sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan. Dalam hukum pidana

materiil kedua hal tersebut termasuk pula perhatian terhadap orang/pelakunya, dalam

hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam hukum

pidana materiel dikenal masalah pokok yang menyangkut tindak pidana,

pertanggung-jawaban, dan sanksi pidana 76

Masalah berikutnya mengenai penentuan sanksi pidana dalam kebijakan

perundang-undangan merupakan kegiatan yang akan mendasari dan mempermudah

penerapan maupun pelaksanaannya dalam rangka penegakan hukum pidana

inkonkreto. Penentuan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan merupakan pernyataan

pencelaan dari sebagian besar warga masyarakat. Barda Nawawi Arief

mengemukakan, pencelaan mempunyai fungsi pencegahan karena sebagai faktor .

76 Muladi,

(19)

yang dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku memasuki

kesadaran moralnya, yang akan menentukan tingkah-lakunya di masa mendatang.

Jadi tidak semata-mata taat pada ancaman yang menderitakan, melainkan karena

adanya rasa hormat tentang apa yang dipandang benar dan adil 77

Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan,

lebih konkretnya mengoperasikan UU No. 20 tahun 2001 yang merupakan

perundang-undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi

menghadapi problema keterbatasan kemampuannya, mengingat tipe atau kualitas

sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dari

sudut pelakunya, modus-operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar

crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah

seharusnya dimanfaatkan. Sehubungan dengan ini, Barda Nawawi Arief. .

78

menyarankan dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan

pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik

sosial, serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal

dan non-penal. Pengamatan Bambang Poernomo79

77

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro), hal. 26. Di samping pencelaan, penentuan tindak pidana berhubungan dengan fungsi hukum pidana: “…. The essential function of the criminal law is to express and reinforce a society’s moral seriousness about certain public rules of civilized behaviour”. Dalam Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman, Philosophy of Law ( Colorado: Westview Press, 1990), hal. 114.

, kesulitan untuk menanggulangi

78

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 4.

79 Bambang Poernomo,

(20)

korupsi itu disebabkan lingkaran pelakunya yang tidak lagi hanya para pejabat

negara melainkan sudah cenderung meluas ke dalam lingkungan keluarga pejabat

untuk memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan, dan /atau lingkungan

kelompok bisnis tertentu untuk mendapatkan keuntungan secara illegal.

Pada masa Orde Baru banyak terjadi peluang dan kelonggaran melalui

peraturan dan kebijakan-kebijakan penguasa yang bersifat KKN. Hal ini

memunculkan korporasi berperan besar dalam perekonomian di Indonesia, sejalan

dengan kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan menghasilkan

korporasi raksasa dan konglomerat yang menguasai dan memonopoli ekonomi80. Sistem pengelolaan yang koruptif mengandalkan kemampuannya untuk

memperbesar dan memperumit KKN, sehingga penanganannya berada di luar

kapasitas individu dan institusi, termasuk hukum, yang akibatnya banyak kasus KKN

gagal ditangani oleh hukum 81

terhadap Perkembangan Kejahatan Korupsi (Yogyakarta: Fak. Hukum UGM, KEJATI DIY, dan Dep. Kehakiman, 11 September 1999 ), hal. 3.

. Masalah korupsi di Indonesia bukan faktor

individu belaka, melainkan juga menyangkut pranata sosial dan sistem nilai yang

sedang berada dalam disequilibrium, yang berarti masyarakat sedang mengalami

80

Susanto, Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 12 Oktober 1999), hal. 3.

81

(21)

kondisi anomik. Dengan demikian, penanganannya tidak mungkin sporadis tetapi

melibatkan seluruh sistem sosial, hukum, dan masyarakat secara keseluruhan .82

Dalam penanggulangan korupsi hendaklah jangan mengukur tingkat

intensitas dan volumenya hanya dari segi perundang-undangan pidana semata,

melainkan harus dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang berpengaruh, seperti:

sifat kepemimpinan dapat menjadi teladan atau tidak, mekanisme pengawasan

dapat berjalan efektif atau tidak, dll

83

. Oleh karena itu, penegakan hukum pidana

dengan pendekatan yang legalistik yang berorientasi represif hanya merupakan

pengobatan yang bersifat simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang

ampuh untuk memberantas korupsi. Dengan demikian, diperlukan pendekatan

komprehensif, meliputi pendekatan sosiologis, kultural, ekonomi, manajemen dalam

penyelenggaraan negara 84

Subyek hukum dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001

sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah orang dan juga korporasi. Penentuan

korporasi dapat sebagai pelaku korupsi, sehingga dapat dipertanggung jawabkan

berkaitan dengan perkembangan korupsi. Pelakunya tidak terdiri dari seorang

individu, melainkan merupakan kolaborasi dari beberapa orang, dan kedudukannya

yang tidak hanya sebagai pejabat, namun merambah pada lingkungan keluarganya, .

82

Yasonna H. Laoly, Kolusi: Fenomena atau Penyakit Kronis, dalam Aldentua Siringo-ringo dan Tumpal Sihite, Menyingkap Kabut Peradilan Kita: Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung (Jakarta: Pustaka Forum Adil Sejahtera, 1996), hal. 34.

83

Soedjono dirdjosisworo, Fungsi perundnag-undnagan Pidana dalam penanggulangan korupsi di Indonesia (Bandung: CV Sinar baru, 1984), hal. 47.

84

(22)

para pengusaha, yang besar kemungkinannya secara kelompok, yang dapat sebagai

suatu korporasi. Demikian ini, ditengarai oleh I.S. Susanto85

Pasal 20 dalam UU tersebut menentukan hal-hal yang bersangkutan

dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Terjadinya dilakukan

oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan

yang lain, bertindak dalam lingkungan korporasi baik sendiri maupun bersama-sama.

Penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya. Pidana

pokok yang dapat dikenakan kepada korporasi adalah pidana denda. Kekurangannya

tidak ada pengaturan khusus kalau korporasi tidak dapat membayar pidana denda,

kalau menurut sistem KUHP bisa digantikan pidana kurungan pengganti denda,

apakah korporasi bisa dipidana kurungan. Juga kekurangannya tidak adanya sanksi

yang sesuai dengan korporasi misalnya sanksi berupa: “penutupan

perusahaan/korporasi, pencabutan ijin usaha”.

, adanya keterlibatan

birokrasi yang dengan kebijakan-kebijakannya memberikan peluang korporasi

melakukan tindakan ilegal dan merugikan masyarakat maupun membiarkan dalam

arti tidak mengambil tindakan terhadap korporasi yang merugikan masyarakat.

Sehubungan dengan subyek hukum sebagai pelaku, (Pasal 2) memperluas

pengertian pegawai negeri, yang antara lain ditambahkan : orang yang menerima gaji

atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas negara atau

masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang

diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga

85

(23)

yang tidak wajar, pemberian ijin yang ekslusif, termasuk keringanan bea masuk atau

pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 ditentukan

ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman

pidana mati yang merupakan pemberatan pidana, serta ditentukan pula pidana

penjara bagi pelaku yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang

pengganti kerugian negara. Dengan adanya ancaman pidana minimum khusus, dapat

dihindari keleluasan diskresi dari penuntut umum dalam menetapkan tuntutannya,

juga hakim dalam penjatuhan pidana. Ini berarti mencegah atau mengurangi

ketidak-adilan dalam penetapan tuntutan pidana dan besar kemungkinan terjadi disparitas

pidana.

Ancaman pidana minimum khusus ini tidak dikenal dalam induk dari

ketentuan hukum pidana (dalam KUHP), namun direncanakan dianut dalam konsep

KUHP yang akan datang. Hal ini didasari, antara lain pemikiran yakni guna

menghindari disparitas pidana yang sangat menyolok untuk delik-delik yang secara

hakiki berbeda kualitasnya, dan juga untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi

general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan

masyarakat86

86

Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hal. 138.

. Tindak pidana korupsi jelas menimbulkan akibat yang membahayakan

dan meresahkan masyarakat, lebih khususnya keuangan dan perekonomian negara,

(24)

national interest, citizenship of the propetrator87. Bagi pengembangan masyarakat,

corruption could undermine the extent to which growt benefits populace, thus

ultimately retarding development 88. Selanjutnya, Barda Nawawi Arief menyitir

Resolusi Konggres PBB VIII mengenai korupsi pejabat publik dapat menghancurkan

efektivitas potensial dari semua program pemerintah, dapat mengganggu

pembangunan, serta menimbulkan korban individual maupun kelompok

masyarakat89

Pidana mati pun dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi

apabila dilakukan dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu ini dijelaskan dalam UU

No. 20 tahun 2001, yaitu keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana

bagi pelaku apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang

diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,

penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis

ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. .

Diintrodusir tindak pidana baru mengenai gratifikasi (Pasal 12B, 12C ).

Yang diatur mengenai perbuatan yang dapat dihukum bukan gratifikasinya tetapi

perbuatan menerima grafitikasi. Itu dianggap pemberian suap apabila gratifikasi

diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara, berhubungan dengan

jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dan penerima tidak

87

Bambang Poernomo, Op. Cit. hal. 8. 88 Susan Rose-Ackerman,Op.Cit. hal. 377.

89 Barda Nawawi Arief

(25)

melapor kepada KPK. Yang dimaksud gratifikasi adalah meliputi pemberian uang,

barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Perkara tindak pidana korupsi ini sebagai perkara prioritas, yang proses

penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan aturan acara pidana lainnya tetap berlaku

KUHAP ( UU No. 8 Tahun 1981) yang mendasari hukum acara pidana di Indonesia,

kecuali hal-hal yang diatur sendiri dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Juga ada pengembangan alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk menyesuaikan

dengan perkembangan IPTEK di bidang elektronik dan telematika (Pasal 26A).

Diatur mengenai sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau

berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak

bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang

seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda

setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

bersangkutan dan penuntut umum tetap membuktikan dakwaannya. Hal ini

ditentukan dalam Pasal 37, 37A, 38A, 38B UU No. 31 Tahun 19999 jo UU No. 20

tahun 2001.

Sistem pembuktian seperti itu merupakan suatu penyimpangan dari

KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya

tindak pidana, jadi bukan terdakwa yang membuktikannya. Akan tetapi UU Korupsi

(26)

tindak pidana korupsi tidak terbukti, tetap saja penuntut umum wajib membuktikan

dakwaannya. Inilah yang disebut sistem pembuktian terbalik yang terbatas.

Pembuktian terbalik diberlakukan pada tindak pidana berkaitan dengan gratifikasi

dan tuntutan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari hasil korupsi.

Tidak kalah pentingnya, hal baru yang berupa perluasan tempat berlakunya

UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 (Pasal 16), jadi memuat ketentuan

yuridiksi ke luar batas teritorial (extra-territorial). Ini mempunyai relevansi dengan

perkembangan tindak pidana yang bersifat transnasional dan global, khususnya

terjadi pula pada tindak pidana korupsi. Dengan undang-undang tersebut berarti

memperkuat daya-jangkaunya jika dihadapkan pada pelaku yang berada d luar batas

teritorial.

Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan tindak pidana korupsi yang

sudah menjadi perhatian dunia internasional dan sifatnya sudah transnasional,

misalnya berkaitan dengan kejahatan money laundering. Hal ini dapat ditunjukkan

dengan adanya the Organization for Economic Cooperation and Development Anti

Corruption Treaty (1998), the Convention on Combating Bribery of Foreign Public

Official in International Business Transaction (1997), Konferensi Global Anti

Korupsi di Washington DC (1999) 90

90

Romli Atmasasmita, Op.Cit. hal. 5-6

, dan juga Konggres PBB VIII mengeluarkan

Resolusi mengenai Corruption in Government (1990), Konggres PBB IX

(27)

Dalam UU Korupsi diperkenalkan adanya perangkat pendukung lainnya,

seperti dibentuknya tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, apabila

terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya (Pasal 27), dan juga UU

tersebut mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Pasal 43). Telah dilaksanakan dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang merupakan lembaga Negara yang

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam memberantas korupsi bersifat

independen dan bebas dari pengaruh kekusaan manapun. Lembaga semacam ini

sudah dikenal lebih dulu di beberapa Negara, seperti : Independent Commission

Against Corruption (ICAC) di Hongkong, Anti Corruption Agency/Badan Pencegah

Rasuah di Malaysia, Corruption Practices Investigation Bureau di Singapura,

sedangkan di Korea Selatan dikenal Korea Independent Comission Against

Corruption.

Di samping itu, UU memberikan tempat bagi partisipasi masyarakat

untuk menanggulangi tindak pidana korupsi, dan untuk ini, diberikan perlindungan

hukum dan penghargaan bagi warga masyarakat yang berjasa (Pasal 41, 42).

Peran serta masyarakat ini penting untuk menanggulangi tindak pidana

korupsi, yang juga harus berjalan seiring dengan upaya-upaya lain. Hal ini didasari

pertimbangan pertama, korban korupsi yang utama adalah masyarakat, kedua,

pemberantasan korupsi bukan monopoli aparat penegak hukum, perlu keterlibatan

masyarakat, ketiga, gerakan sosial anti korupsi perlu dikembangkan dalam kultur

(28)

rusaknya tatanan di bidang administrasi-birokratik, maka selain hukum pidana

terdapat upaya-upaya pengaturan pemenuhan terhadap hukum (compliance with

law) untuk mencegah pelanggaran hukum. Partisipasi masyarakat berfungsi sebagai

pengawasan pula terhadap bekerjanya birokrasi dan keseluruhan aparat pemerintah

maupun penyelenggara negara, untuk tertibnya pelaksanaan segala peraturan sebagai

Referensi

Dokumen terkait

Website ini berfungsi untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran dan kegiatan lain serta situasi dan kondisi di sekolah tersebut kepada para orang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai preditif positif (NPP), nilai prediktif negatif (NPN), dan beda proporsi gejala

Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Alvien Fajhrin Nata, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Pengaruh Budaya Organisasi, Lingkungan Kerja Fisik, dan Stres Kerja

Leker Rainbow menargetkan produknya kepada para pelajar yang sedang mengikuti perkembangan kuliner dari usia 7 hingga 20 tahun serta penduduk sekitar yang menyukai makanan manis

Pirous telah menorehkan kontribusinya dalam perkembangan seni lukis kaligrafi di Indonesia dengan berbagai bentuk, seperti menyumbangkan corak baru seni lukis

Endang sendiri juga demikian, apabila rumah tersebut laku dijual, uang digunakan untuk memenuhi kewajibannya agar keluarganya tidak akan terbebani nantinya dengan permasalahan

dengan tujuan penerapan Good Corporate Governance yang tertuang pada pasal (4) Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP/117/M-MBU/2002. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Dengan demikian peneliti nantinya membuat suatu produk berupa media pembelajaran berbasis video animasi powtoon, peneliti memilih menggunakan media video animasi