• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 Penentuan Awal Bulan Kamariyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "5 Penentuan Awal Bulan Kamariyah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

METODE PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

Oman Fathurohman SW

Pendahuluan

Menghadapi bulan Ramadan dan idulfitri tahun ini umat Islam di tanah air nampaknya tenang-tenang saja tanpa gejolak apapun. Gejolak biasanya dipicu oleh adanya informasi tentang perbedaan hari memulai puasa atau mengakhirinya. Sampai dengan saat ini penulis tidak menangkap adanya keraguan di tengah-tengah masyarakat untuk memulai puasa Ramadan tahun ini pada hari Senin tanggal 1 September 2008 dan beridulfitri pada hari Rabu tanggal 1 Oktober 2008. Penulis berharap suasana seperti ini terus terpelihara, paling tidak sejak awal hingga akhir puasa Ramadan, sehingga umat Islam dapat menunaikan ibadah puasa dengan khusu dan tenang.

Kalau dalam tulisan ini nanti justru mengutarakan adanya perbedaan-perbedaan pandangan dalam memulai atau mengakhiri ibadah puasa Ramadan tidaklah dimaksudkan untuk mengusik ketenangan pembaca (masyarakat). Tetapi sebaliknya, justru dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan pandangan dan faktor-faktor penyebabnya di seputar penentuan awal bulan kamariah dalam suasana tenang ini diharapkan dapat memberikan secercah pengetahuan agar pada suatu ketika jika perbedaan itu benar-benar terjadi masyarakat tidak kaget lagi dan tidak menjadikannya sebagai sumber konflik. Dalam suasana tenang dan fikiran yang jernih diharapkan dapat melihat pesoalan perbedaan tersebut secara obyektif tanpa merasa ada tekanan atau keterpaksaan untuk menerima atau menolaknya.

Penentuan awal dan akhir bulan Ramadan (1 Syawal) itu persoalannya memang pelik dan kompleks karena bukan hanya menyangkut masalah agama semata-mata tetapi juga berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan, khususnya astronomi atau ilmu falak, bahkan dengan masalah sosial dan politik. Persoalan akan muncul, misalnya, manakala hasil pemahaman terhadap ketentuan agama tidak sesuai dengan temuan ilmu pengetahuan. Penentuan awal dan akhir bulan Ramadan, misalnya, yang merupakan bagian dari agama terkait erat dengan fenomena Bulan yang menjadi obyek kajian ilmu pengetahuan.

Bulan dan Matahari salah satu fungsinya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an, adalah sebagai acuan dalam penentuan waktu. Karena peredaran keduanya terjadi secara teratur maka posisi atau kedudukan keduanya pada suatu saat tertentu dapat dihitung dan dapat diprediksi jauh sebelumnya. Fenomena Matahari oleh Islam dijadikan sebagai acuan dasar penentuan waktu ibadah harian, seperti shalat. Sedangkan Bulan dijadikan sebagai acuan dasar dalam penentuan waktu ibadah bulanan atau ibadah yang terkait dengan tanggal-tanggal tertentu, seperti puasa Ramadan dan idul fitri.

(2)

kalender kamariah bagi umat Islam bukan hanya penting tetapi juga merupakan keharusan.

Bulan Ramadan, dalam bulan mana umat Islam wajib berpuasa, adalah salah satu dari dua belas bulan kamariah, demikian pula idul fitri tanggal 1 Syawal dan idul adha tanggal 10 Zulhijah. Sebenarnya bukan hanya Islam yang menggunakan fenomena Bulan sebagai penentu waktu-waktu ibadah, tetapi agama lain pun seperti Hindu dan Budha menggunakannya juga sebagai penentu waktu-waktu kegiatan ritual bagi umatnya.

Jika bulan-bulan kamariah yang dijadikan sebagai penentu waktu-waktu ibadah, misalnya puasa Ramadan, maka persoalan penentuan kapan awal bulan itu dimulai atau kapan tanggal satu bulan baru terjadi menjadi sangat penting dan tidak dapat diabaikan, sebab tanpa mengetahui kapan awal bulan itu dimulai tidak akan pernah mengetahui tanggal-tanggal berikutnya bahkan tidak akan mengetahui bulan itu sendiri.

Metode Penentuan Awal Bulan Kamariah

Secara garis besar terdapat dua pendapat mengenai metode atau cara untuk menentukan mulainya bulan kamariah khususnya bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Pendapat pertama mengatakan bahwa satu-satunya metode yang sah untuk menentukan mulainya bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tersebut adalah rukyat, tidak ada cara lain selain itu. Rukyat adalah suatu kegiatan melihat hilal (Bulan sabit) secara langsung pada saat terbenam Matahari tanggal 29 dari bulan yang sedang berlangsung. Pendapat kedua mengatakan bahwa metode untuk menentukan mulainya bulan-bulan kamariah termasuk bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah boleh dengan menggunakan hisab astronomi bahkan penggunaan hisab untuk menentukan awal bulan kamariah lebih tepat karena lebih akurat, lebih menjamin kepastian dibandingkan dengan penggunaan metode rukyat yang di samping menyulitkan juga kurang akurat.

Rukyatul-hilal bil-fi’li

Metode rukyat atau lengkapnya rukyatul-hilal bil-fi’li menetapkan bahwa awal bulan Ramadan, Syawal, Zulhijjah ditentukan oleh terlihat atau tidaknya hilal. Apabila pada saat terbenam Matahari tanggal 29 dari bulan yang sedang berlangsung hilal terlihat, maka mulai malam itu sudah dimulai bulan baru, malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan baru. Sebaliknya apabila pada saat terbenam Matahari itu hilal tidak terlihat, baik karena mendung atau alasan apapun, maka malam itu masih dinyatakan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. Malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 dari bulan yang sedang berlangsung. Tanggal 1 bulan baru ditetapkan mulai saat terbenam Matahari pada keesokan harinya. Dengan perkataan lain, bulan yang sedang berlangsung disempurnakan umurnya menjadi 30 hari. Yang terakhir ini lebih dikenal dengan istilah “istikmal“.

(3)

Hisab

Hisab dalam pengertian hisab awal bulan kamariah hakikatnya adalah perhitungan-perhitungan astronomis untuk mengetahui posisi atau kedudukan Bulan pada suatu saat tertentu, misalnya kedudukan Bulan pada saat terbenam Matahari, atau menghitung waktu kapan Bulan dan atau Matahari berada pada suatu posisi atau kedudukan tertentu, misalnya kapan Bulan dan Matahari dalam keadaan konjungsi (ijtimak), atau kapan Matahari dalam posisi terbenam untuk suatu tempat tertentu.

Hisab dalam pengertaian di atas, dengan sistem dan metode manapun sesungguhnya tidak otomatis dapat menentukan awal bulan atau bulan baru kamariah, termasuk Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Kerja hisab hanyalah sampai pada menentukan posisi atau kedudukan Bulan pada saat tertentu, seperti menentukan tingginya atau posisinya pada saat terbenam Matahari, atau sebaliknya menentukan waktu dalam waktu mana Bulan mencapai posisi atau kedudukan yang telah ditentukan, seperti menentukan saat terjadinya ijtimak Matahari dan Bulan. Ketentuan tentang kapan atau apa tanda-tanda yang menunjukkan bahwa bulan baru sudah mulai atau bulan yang berlangsung sudah berakhir berada dalam wilayah agama. Ilmu pengetahuan (Astronomi atau Ilmu Falak khususnya) atau hisab dalam arti perhitungan itu sendiri tidak memiliki kompetensi dalam wilayah itu. Dengan demikian, hisab dalam arti tersebut lebih berperan sebagai cara untuk mengetahui apakah tanda-tanda atau kriteria awal bulan atau akhir bulan sudah ada. Dengan perkataan lain, hisab adalah metode untuk menemukan awal bulan kamariah.

Dalam kaitan ini ada beberapa kriteria awal bulan yang berkembang di tanah air. Dalam tulisan ini dikemukakan tiga kriteria awal bulan kamariah yang banyak dipegangi oleh para pendukung hisab, dan dikenal juga dengan kriteria hisab, sebagai berikut:

a. Ijtimak Qablal-Gurub

Kriteria hisab ijtimak qablal-gurub menetapkan bahwa pergantian bulan itu terjadi pada saat terjadinya ijtimak Bulan dan Matahari. Sementara itu pergantian hari terjadi pada saat terbenam Matahari. Oleh karena itu sistem ini mengaitkan saat ijtimak dengan saat terbenam Matahari. Kriterianya adalah “jika ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru, sedangkan jika ijtimak terjadi setelah terbenam Matahari maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung“. Hisab ijtimak qablal-gurub ini berpegang kepada ketentuan bahwa hari menurut Islam dimulai dari saat terbenam Matahari sampai dengan terbenam Matahari berikutnya.

Dengan demikian, menurut pandangan ini, ijtimak adalah pemisah di antara dua bulan kamariah, namun oleh karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam Matahari, maka kalau ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan kalau ijtimakterjadi setelah terbenam Matahari maka malam itu masih merupakan bagian akhir dari bulan yang sedang berlangsung. Pergantian bulan disesuaikan dengan pergantian hari, yaitu terbenam Matahari yang terjadi setelah/mengikuti terjadinya ijtimak.

b. Imkanur-rukyat

(4)

suatu kaidah mengenai posisi hilal (Bulan) di atas ufuk yang memungkinkan untuk dapat dilihat. Awal bulan baru itu ditetapkan berdasarkan posisi hilal dengan segala persyaratan yang telah ditetapkan, sehingga pada saat atau beberapa saat setelah terbenam Matahari sesudah ijtimak orang mungkin dapat melihat hilal tersebut.

Para ahli hisab yang mendukung kriteria ini masih berbeda pendapat dalam menetapkan kriterium hilal yang mungkin dapat dilihat itu. Di kalangan mereka ada yang hanya menetapkan ketinggian hilal saja dan ada pula yang menambah kriterium lain yakni angular distance (sudut pandang) antara Bulan dan Matahari. Kedua kriteria tersebut digunakan secara kumulatif. Konferensi internasional tentang penentuan awal bulan kamariah yang diadakan di Turki pada tahun 1978 menetapkan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 05° dan angular distance atau sudut pandang antara hilal dan Matahari 07° sampai 08°.

Tentang kriterium ketinggian Bulan yang mungkin dapat dilihat berbeda-beda, ada yang mengatakan 07°,06° dan 03°, demikian pula halnya dengan besarnya sudut pandang antara Bulan dan Matahari. Taqwim Standar Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI didasarkan pada kriteria ketinggian Bulan minimum 02°. Kriteria imkanur-rukyat ini nampaknya meyakini bahwa apabila posisi hilal sudah memenuhi syarat tersebut, dalam keadaan cuaca normal sudah dapat dipastikan dapat terlihat, meskipun tidak benar-benar terlihat secara aktual. Itulah sebabnya ada yang memandang bahwa kriteria imkanur-rukyat ini sebagai jalan tengah antara metode rukyat dengan metode hisab, meskipun metode ini termasuk dalam kategori metode hisab.

c. Wujudul-hilal

Kriteria hisab wujudul-hilal menegaskan bahwa awal bulan kamariah (termasuk Ramadan, Syawal, dan Zulhijah) dimulai sejak saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtimak dan Bulan (hilal) pada saat itu belum terbenam, masih berada di atas ufuk (horizon). Dengan demikian, secara umum, kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan kamariah adalah: (a) awal bulan kamariah dimulai sejak saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtimak, (b) pada saat terbenam Matahari tersebut Bulan belum terbenam atau masih berasa di atas ufuk berapapun besarnya.

Dalam hal menetapkan awal bulan sejak terbenam Matahari, kriteria ini sama persis dengan hisab ijtimak qablal-gurub. Akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup menyolok dalam menetapkan kedudukan Bulan terhadap ufuk. Dalam hisab ijtimak qablal-gurub sama sekali tidak memperhatikan kedudukan Bulan (hilal) pada ufuk pada saat terbenam Matahari, sedangkan “hisab wujudul hilal” mensyaratkan kedudukan Bulan masih belum terbenam atau masih di atas ufuk pada saat Matahari terbenam. Tegasnya, walaupun ijtimakterjadi sebelum terbenam Matahari, pada saat terbenam Matahari tersebut belum dapat ditentukan sebagai awal bulan kamariah sebelum diketahui posisi Bulan terhadap ufuk pada saat terbenam Matahari itu. Apabila pada saat terbenam Matahari itu Bulan belum terbenam atau masih berada di atas ufuk maka sejak saat itu mulai masuk bulan baru kamariah sebaliknya apabila pada saat itu bulan sudah terbenam atau sudah di bawah ufuk maka saat itu masih dianggap sebagai hari terakhir dari bulan kamariah yang sedang berlangsung.

Bulan Sebagai Acuan

(5)

merupakan fase Bulan yang teramati dari Bumi. Hisab lebih jelas lagi menjadikan Bulan sebagai acuan dalam penentuan awal bulan kamariah karena yang dihitung adalah posisi atau kedudukan Bulan. Dengan demikian, baik metode rukyat maupun metode hisab keduanya menjadikan Bulan sebagai acuan dalam penentuan awal bulan kamariah.

Bulan adalah salah satu dari sekian banyak benda langit. Ia termasuk benda gelap, tidak memiliki sinar sendiri. Cahayanya yang sampai ke mata pengamat adalah cahaya Matahari yang dipantulkan kembali oleh permukaan Bulan yang terkena cahaya Matahari tersebut. Bulan beredar mengelingi Bumi, sebagaimana benda langit lainnya beredar pula mengelilingi pusat peredarannya. Di samping Bulan beredar mengelilingi Bumi, ia beredar pula bersama-sama Bumi mengelilingi Matahari.

Gambar 5. Peredaran Bulan dan cahaya Matahari

Akibat dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi dan bersama-sama Bumi beredar mengelilingi Matahari maka posisi atau kedudukan Bumi terhadap Bumi dan terhadap Matahari senantiasa berubah. Permukaan Bulan yang terang pun kedudukannya senantisa berubah terhadap Bumi. Permukaan Bulan yang terang tidak setiap saat seluruhnya terlihat dari Bumi, sehingga bentuk Bulan terlihat dari Bumi berubah-ubah. Perhatikan gambar berikut:

sinar matahari

PENAMPAKAN BENTUK / FASE BULAN

Periode fase bulan = 29,53055 hari

arah Barat arah Timur

Bulan Besar

Purnama

Bulan Susut

Kwartir Ketiga Sabit Muda

Kwartir Pertama

Sabit Tua Bulan Baru

(Ijtima’)

Bumi

Bulan Baru (Ijtima’)

(6)

Perubahan bentuk Bulan yang terlihat dari Bumi, seperti terlihat dalam gambar di atas itu dikenal dengan fase-fase Bulan. Dalam astonomi dikenal ada fase-fase Bulan: New Moon (Bulan baru/ijtimak), Bulan sabit muda, First Quarter (Kwartir pertama), Bulan besar, Full Moon (Bulan purnama), Bulan susut, Last Quarter (Kwartir terakhir/ketiga), dan Bulan sabit tua.

Metode rukyatul-hilal bil-fi’li memastikan bahwa kriteria awal bulan bukanlah fase-fase Bulan itu sendiri, melainkan fase Bulan yang pertama kali terlihat (bukan mungkin terlihat) pada saat terbenam Matahari tanggal 29 dari bulan yang sedang berlangsung. Meskipun menurut fisiknya fase Bulan itu sudah mencapai tingkat kemungkinan atau bahkan pasti terlihat dalam keadaan cuaca normal, namun kalau kenyataannya tidak terlihat, maka belum masuk bulan baru. Sebaliknya, meskipun Bulan belum beredar penuh, belum mencapai posisi ijtimak/fase new Moon, namun karena Bulan sabit (sabit tua menjelang ijtimak) pada saat terbenam Matahari terlihat, maka bulan baru telah dimulai saat itu.

Untuk mendapatkan hasil yang akurat berkaitan dengan rukyatul-hilal bil-fi’li ini tidaklah mudah karena Bulan adalah benda, dan secara keseluruhan yang menentukan suatu benda itu terlihat adalah:

• Ukuran (dalam sudut pandang) dari benda yang dilihat;

• Kuatnya cahaya dari benda sasaran;

• Kontras, ukuran tampak bedanya sasaran dari sekelilingnya;

• Kesiapan mata yang mengamati;

• Faktor cuaca.

Kriteria ijtimak qablal-gurub referensinya adalah ijtimak Bulan dan Matahari. Dengan telah terjadinya ijtimak berarti telah berganti bulan, dari bulan lama berubah ke bulan baru, meskipun momentum pergantiannya harus menunggu terbenam Matahari. Kriteria ini tidak memperhatikan apakah pada saat Matahari terbenam Bulan mungkin dilihat atau tidak, bahkan posisi Bulan di atas ufuk atau di bawah ufuk tidak menjadi pertimbangan dalam kriteria hisab ini. Kriteria ini memastikan bahwa ijtimak Bulan dan Matahari adalah pemisah di antara dua bulan yang berurutan.

(7)

Hingga saat ini tidak kurang dari 13 kriteria yang biasa digunakan untuk menentukan visibilitas hilal tersebut. Kriteria MABIMS yang diadopsi oleh Departemen Agama RI adalah: tinggi hilal minimum 02°, jarak dari Matahari minimum 03°, atau umur Bulan saat Matahari terbenam minimum 8 jam. Hingga saat ini belum ada kepastian tentang kriteria visibilitas hilal ini.

Berbeda dengan kriteria hisab imkanur-rukyat, kriteria wujudul-hilal tidak menjadikan visibilitas hilal sebagai referensi. Apa yang dikatakan wujudul-hilal adalah Matahari terbenam lebih dahulu dari pada terbenamnya Bulan (hilal) walaupun hanya selisih 1 menit atau kurang.

Kriteria wujudul-hilal

Kriteria wujudul-hilal ini diturunkan melalui pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an:

ِ

ﻦ

ﻚ

ﻮﹸﻟ

ﺴ

ﺞ

ﺤﹾ

ِ

ﺱﺎﻨ

ِ

ﺖ ﻴ

ِ

ﻮ

ﻲِ

ﻞﹸﻗ

ِ

ﱠﻠ

ِ

ﻫَﻷﹾ

yang dipahami bahwa al-ahillah (hilal) atau bulan sabit itu sebagai referensi penentuan waktu secara umum dan manasik haji.

Ayat di atas mengindikasikan bahwa perubahan bentuk semu Bulan (fase-fase Bulan) merupakan pertanda perubahan waktu. Hal ini dapat dimengerti karena hilal merupakan salah satu bentuk semu Bulan di antara fase-fase yang dialaminya selama dalam peredarannya mengelilingi Bumi, dan bersama-sama dengan Bumi mengelilingi Matahari.

Penyebutan al-ahillah (hilal) dalam ayat tersebut bersifat umum, mutlak dan fleksibel, sehingga dapat diterjemahkan kedalam berbagai pengertian. Secara astronomis, hilal bias saja dinyatakan sebagai bentuk semu Bulan yang paling kecil yang menghadap ke bumi, artinya, permukaan Bulan yang terkena sinar Matahari yang menghadap ke Bumi dalam keadaan paling kecil, atau bisa juga diartikan penampakan Bulan pertama kali setelah mengalami ijtimak.

Perubahan bentuk semu Bulan ditunjukkan oleh firman Allah SWT :

ﺏ ﺎ

ﺴِ

ﺤﹾ

ﲔِ

ﺴﻟ

ﺩ

ﺪ

ﻮ

ﻤﹶ

ِ

ﻝِ

ﺎ

ﺪﹶ

ﺭ

ﻮ

ﻤﹶ

ًﺀ

ﺎ

ِ

ﺿ

ﺲ

ﻤﺸﻟ

ﻞ

ﻱِ

ﺬﱠﻟ

ﻮ

Allah SWT, menurut ayat tersebut, telah menentukan manzilah-manzilah bagi Bulan itu. Manzilah-manzilah (fase-fase) Bulan tidak lain kecuali posisi-posisi Bulan pada saat-saat tertentu terhadap Matahari dan Bumi. Manzilah-manzilah itu ditempati oleh Bulan setiap hari dalam peredarannya mengelilingi Bumi.

Perubahan posisi Bulan terhadap Bumi dan Matahari menyebabkan adanya perubahan bentuk semu Bulan. Perubahan bentuk semu Bulan itu dapat dijadikan dasar untuk menentukan pengorganisasian waktu ke dalam satuan hari/tanggal, bulan, tahun dan seterusnya. Perubahan posisi bulan yang relatif konstan itu, sekaligus dapat dipastikan perhitungannya.

Bentuk semu Bulan yang selalu berubah-ubah itu merupakan siklus yang selalu terjadi berulang-ulang. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:

ِ

ﱘ ِ

ﺪﹶ

ِ

ﻥﻮ

ﺟ

ﺎﹶ

ﺩﺎ

ﻰﺘ

ﻝِ

ﺎ

ﺎ

ﺪﹶ

ﻤﹶ

(8)

langit yang sama. Bagaimana ijtimak Matahari dan Bulan bisa terjadi secara berulang-ulang? Firman Allah SWT berikut ini menjelaskannya.

ﻤﹶ

ﻙِ

ﺪ

ﻥﹶ

ﺎ

ﻬﹶ

ﻲِ

ﺲ

ﻤﺸﻟ

َ

Ayat ini menguatkan temuan astronomi yang menyimpulkan bahwa peredaran Bulan mengelilingi Bumi dalam setiap bulan dan peredaran semu tahunan Matahari arahnya sama, yaitu sama-sama dari arah barat ke timur. Dari ayat itu dapat diketahui dengan jelas bahwa peredaran Bulan lebih cepat dari peredaran semu tahunan Matahari. Oleh karena peredaran keduanya itu berlaku memutar, tidak lurus, maka dalam peredarannya itu Matahari selalu terkejar oleh Bulan. Sebaliknya tidak ada kemungkinan bagi Matahari untuk mengejar Bulan, apalagi mendahuluinya.

Apabila dihubungkan dengan bunyi ayat 39 diatas, bagian awal ayat 40 itu menunjukkan lebih jelas bahwa bulan baru kamariah ditandai dengan didahuluinya Matahari yang bergerak lambat oleh Bulan yang bergerak jauh lebih cepat. Atau, oleh karena peredaran keduanya itu berlaku menurut arah dari barat ke timur, maka dapat pula dikatakan bahwa bulan baru kamariah dimulai bila Bulan berkedudukan di sebelah timur Matahari. Kedudukan Bulan seperti itu dicapai saat setelah Bulan mengejar Matahari. Dengan perkataan lain, saat setelah terjadi ijtimak antara Bulan dan Matahari.

Bentuk-bentuk semu Bulan sebagaimana diutarakan di atas ditandai dengan dua unsur. Pertama, bagian permukaan Bulan yang tampak dari Bumi disinari matahari. Kedua, kedudukannya dilangit. Unsur pertama adalah persoalan pengaruh penyinaran Matahari terhadap Bulan, sedangkan yang kedua persoalan posisi Bulan terhadap Matahari. “Bulan baru” terlihat sebagai sabit tipis dan terbenam setelah Matahari terbenam. “Bulan purnama” kelihatan bulat penuh dan terbit di waktu Matahari terbenam. “Bulan tua” kelihatan seperti bentuk sabit tipis lagi, tetapi terbit menjelang atau mendahului terbit Matahari. Kedua unsur yang menandai atau mensifati adanya bulan baru itu telah dijelaskan dengan sempurna dalam dua ayat di atas, yakni ayat 39 dan 40 surat Yasin.

Ayat 39 melukiskan pengaruh penyinaran Matahari terhadap Bulan baru ( urjunil-qadim), sedangkan awal ayat 40 menjelaskan kedudukan Bulan dan posisinya terhadap Matahari (mendahului matahari). Namun demikian, tidak berarti bahwa penetapan ijtimak (Bulan mendahuli matahari, bentuk Bulan yang paling kecil) sebagai kriteria masuknya bulan baru kamariah tidak menyisakan persoalan, karena bentuk Bulan pada saat ijtimak itu sangat sulit diamati.

Lanjutan ayat 40 surat Yasin.

ِ

ﺎ

ﻬﻨ

ﻖِ

ﺎ

ﹸﻞ

ﱠﻠ

ﻻ

Memberikan petunjuk dan bimbingan tentang garis patokan yang harus dipedomani dalam menentukan lahirnya atau masuknya bulan baru kamariah. Rupanya yang dimaksud oleh ayat itu adalah situasi senja hari tatkala Matahari terbenam karena pada situasi seperti itu terjadi pergantian siang kepada malam. Perpindahan siang kepada malam itu ditentukan oleh terbenamnya Matahari. Sedang terbenamnya Matahari adalah terhadap ufuk atau horizon. Oleh karena itu, berdasarkan ayat ini ada unsur baru yang harus diperhatikan yaitu “garis ufuk”. Ufuk inilah yang harus dijadikan patokan dalam menentukan apakah Bulan sudah berada di sebelah timur Matahari atau sebaliknya ia masih berada di sebelah baratnya.

Menetapkan garis ufuk sebagai petunjuk timur dan barat mempunyai segi-segi yang cukup menarik: Pertama, garis ufuk adalah garis yang nyata, dengan kedudukan dan sifat-sifat yang jelas, sehingga tidak ada keragu-raguan dalam mendefinisikannya.

(9)

adalah persoalan ruang angkasa, persoalan langit. Dengan menggunakan ufuk sebagai patokan, berarti telah memasukkan unsur keduniaan ke dalam persoalan langit, sehingga dapat menjadi lebih menarik bagi manusia. Ketiga, ufuk bukan hanya persoalan dunia, tetapi juga terikat kepada suatu tempat tertentu di permukaan Bumi.

Caranya menentukannya tidak sulit, yaitu dengan menempatkan Matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi Bulan. Bila Bulan berkedudukan di atas ufuk itu berarti menunjukkan bahwa Bulan sudah berada di sebelah timur Matahari. Dengan perkataan lain, Bulan belum terbenam ketika Matahari terbenam. Situasi demikian menunjukkan bahwa bulan baru kamariah sudah mulai.

Berdasarkan keseluruhan uraian di atas akhirnya dapat disimpulkan. Pertama, untuk menghisab jatuhnya tanggal satu bulan baru kamariah, menurut metode hisab wujudul-hilal, yang harus dilakukan adalah menempatkan Matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi Bulan, apakah sudah berkedudukan di atas ufuk atau masih di bawahnya. Apabila sudah berkedudukan di atas ufuk, berarti sudah berada di sebelah timur garis ufuk dan sekaligus di sebelah timur Matahari. Dalam keadaan demikian bulan baru kamariah sudah masuk, atau dalam istilah Muhammadiyah, hilal sudah wujud. Kedua, dalam hisab awal bulan kamariah yang harus dilakukan bukanlah menentukan tinggi Bulan di atas ufuk mar’i, akan tetapi yang penting adalah meyakini apakah pada pertukaran siang kepada malam Bulan sudah berkedudukan di sebelah timur Matahari ataukah belum. Hal ini untuk memenuhi syarat “syahida” dalam firman Allah swt.

Secara astronomis, Bulan bisa saja sudah berada di atas ufuk, atau dengan kata lain berada di sebelah timur Matahari ketika Matahari terbenam, padahal ijtimak belum terjadi. Atau sebaliknya, Bulan masih di bawah ufuk, atau dengan kata lain masih di sebelah barat Matahari pada saat Matahari terbenam meskipun ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari. Kasus di mana Bulan sudah berada di atas ufuk (di sebelah timur Matahari) ketika Matahari terbenam padahal belum ijtimak, terjadi pada awal bulan Syakban 1423 di wilayah Papua, sedangkan kasus Bulan masih berada di bawah ufuk (di sebelah barat Matahari) ketika Matahari terbenam padahal ijtimak terlah terjadi sebelum terbenam Matahari, terjadi pada sebagian wilayah Indonesia awal bulan Jumadilawal 1423. Karena demikian, maka dalam metode wujudul-hilal di atas dimasukkan kriteria ”ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari”.

(10)

IJTIMA’ atau KONJUNGSI, BULAN BARU(NEW MOON)

Adalah saat Matahari dan Bulan memiliki bujur ekliptika (bujur astronomi) yang sama atau sudut elongasi bulan 0o atau fraksi iluminasi Bulan tampak dari Bumi minimum.

Arah utara

Gambar 3. Posisi Bulan dan Matahari pada saat ijtimak.

EK Bulan dapat berharga positif pada saat Matahari terbenam.

(11)

EK UA TO R

LA NG

IT

KLS

ZENITH

BARAT

G

E

R

A

K

H

A

R

IA

N

Sekalipun Ijtimak terjadi sebelum gurub, tidak selalu tinggi Bulan positif (berada di atas ufuk) pada saat Matahari terbenam.

E K L

IP

T

IK

A

IJTIMA’

Gambar 5. Tinggi Bulan negatif sekalipun ijtimak sudah terjadi.

---

(12)

Dalil dan interpretasinya yang digunakan oleh sistem ini sama dengan yang digunakan oleh sistem hisab ijtima’ qablal-gurub. Akan tetapi dalam hal menetapkan adanya hilal mempersyaratkan adanya pada saat terbenam Matahari, artinya pada saat terbenam Matahari Bulan harus belum terbenam. Persyaratan ini ditetapkan mengingat hadis-hadis Nabi saw sebagaimana telah dikutip terdahulu yang menunjukkan bahwa pembuktian ada atau tidak adanya hilal itu dibuktikan dengan cara melihatnya pada saat terbenam Matahari. Ini menjadi penting pada sistem hisab wujudul-hilal karena tidak setiap ijtima’ terjadi sebelum terbenam Matahari secara otomatis Bulan terbenam lebih kemudian dari pada Matahari, akan tetapi bisa saja bulan itu sudah lebih dahulu terbenam dari pada Matahari.

Fenomena Bulan menjelang Ramadan dan Syawal 1426 H

Jauh sebelum bulan Ramadan tiba, ormas-ormas Islam, lembaga-lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga lain yang berkembang di masyarakat telah melakukan perhitungan untuk menentukan tanggal satu Ramadan dan satu Syawal 1426 H yang bertepatan dengan tahun 2005 ini. Hasilnya, pada umumnya, disajikan dalam bentuk kalender tahun 2005.

Hasil perhitungan dari masing-masing komponen masyarakat tersebut relatif sama. Maskipun ada perbedaan sangat keacil, sehingga tidak berpengaruh. Kalender-kalender tersebut pada umumnya memuat tanggal 1 Ramadan 1426 H hari Rabu bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 2005, sedangkan tanggal 1 Syawal 1426 H hari Kamis bertepatan dengan tanggal 3 November 2005.

Hasil perhitungan dari berbagai sistem yang berkembang di Indonesia diketahui bahwa konjungsi (ijtima’) antara Bulan dan Matahari menjelang bulan Ramadan 1426 H terjadi pada hari Senin tanggal 3 Oktober 2005 bertepatan dengan tanggal 29 Sya’ban 1426 H sekitar pukul 17:28 WIB. Sedang pada saat Matahari terbenam pada hari tersebut ketinggian Bulan di seluruh wilayah Indonesia berkisar antara -0,5° sampai -02,5° (0,5° sampai 02,5° dibawah ufuk). Dengan perkataan lain, pada saat Matahari terbenam Bulan sudah terbenam duluan. Dari hasil perhitungan tersebut kemudian dikonfirmasi dengan kriteria awal bulan sebagaimana diuraikan di atas. Dan setelah dikonfirmasi maka dicapailah kesimpulan bahwa pada saat terbenam Matahari hari Senin tanggal 3 Oktober 2005 tersebut belum masuk tanggal 1 Ramadan 1426 H melainkan tanggal 30 Sya’ban 1426 H. Tanggal 1 Ramadan 1426 H jatuh pada hari Selasa saat terbenam Matahari tanggal 4 Oktober 2005, sedang konversinya dengan kalender Masehi adalah 1 Ramadan 1426 H jatuh pada hari Rabu bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 2005. Itulah sebabnya kalender-kalender yang berkembang di masyarakat memuat tanggal 1 Ramadan 1426 H bertepatan dengan hari Rabu 5 Oktober 2005.

(13)

Masehi adalah 1 Syawal 1426 H jatuh pada hari Kamis bertepatan dengan tanggal 3 November 2005. Itulah sebabnya kalender-kalender yang berkembang di masyarakat memuat tanggal 1 Syawal 1426 H bertepatan dengan hari Kamis 3 November 2005.

Penetapan tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal 1426 H sebagaimana tercantum dalam kalender-kalender itu berdasarkan pada sistem hisab dengan segala kriterianya. Dan secara kebetulan, dalam kasus ini seluruh keriteria menyimpulkan hal yang sama. Adapun kriteria yang didasarkan pada rukyat belum dapat menjawab kapan tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal 1426 H tersebut. Ia baru dapat mengetahuinya pada saat dilakukan rukyat, yakni saat terbenam Matahari hari Senin 3 Oktober 2005 untuk 1 Ramadan 1426 H. dan saat terbenam Matahari hari Rabu 2 November 2005 untuk 1 Syawal 1426 H.

Selanjutnya usaha-usaha untuk menyeragamkan kriteria tentu saja sangat penting karena dengan keseragaman kriteria itu perbedaan akan dapat terhindarkan, atau paling tidak dapat dikurangi.

Sesuai dengan petunjuk yang diberikan al-Qur’an dan Hadis Nabi saw umat Islam sepakat menetapkan hilal sebagai rujukan dalam penentuan awal bulan Ramadan, namun konsep dan interpretasi tentang hilal itu nampaknya tidaklah sama, termasuk cara untuk mengetahuinya. Perbedaan konsep tentang hilal dapat dimaklumi karena al-Qur’an tidak menegaskan hakekat hilal itu dan jawabannya diserahkan kepada ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menegaskan tentang kegunaan hilal bukan hakekat hilal, demikian pula hadis Nabi saw. Cara praktis yang diberikan oleh Rasulullah saw yang berupa pengamatan langsung bulan sabit (rukyah hilal) tidak serta merta dipahami secara seragam karena di samping redaksinya beraneka ragam, juga memungkinkan diberikan interpretasi yang berbeda. Sekarang, cara yang diberikan oleh Rasulullah saw tersebut bukan lagi satu-satunya cara tetapi hanya salah satu cara saja. Cara lainnya adalah hisab –perhitungan astronomi--, yakni memperhitungkan kedudukan Bulan.

(14)

Kriteria awal bulan kamariah di atas, didasarkan pada pandangan astronomis bahwa penampakan bulan yang paling kecil dilihat dari bumi adalah pada saat terjadi ijtima’ antara bulan dan Matahari, dan itulah yang dimaksud hilal. Jadi pada saat terjadi ijtima’ itu hilal sudah ada. Hanya saja untuk kepentingan praktis sehari-hari tidak mungkin menetapkan pergantian bulan pada saat terjadi ijtima’ itu, karena ia dapat terjadi kapan saja, bisa siang dan bisa malam, bisa pagi hari dan bisa pula sore hari, sembarang waktu. Itulah sebabnya maka pergantian bulan itu disesuaikan dengan fenomena pergantian hari yang langsung bisa dirasakan oleh umat manusia yang ada di bumi, yakni terbenam Matahari.

Kriteria itupun didasarkan pada hasil interpretasi terhadap sejumlah ayat al-Qur’an.Ayat ayat al-Qur’an tersebut antara lain adalah surat Yunus (10) ayat 5 (terjemahnya): “Dialah yang menjadikan Matahari bersinar (diya’) dan bulan bercahaya (nur) dan ditetapkanNya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu,supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu“. Manzilah-manzilah yang dimaksud dalam ayat ini adalah tempat-tempat kedudukan Bulan pada saat-saat tertentu terhadap Matahari dan bumi (moon stations). Kedudukan Bulan dan Matahari itu selalu berubah-ubah karena keduanya beredar pada garis edarnya masing-masing sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya’ (21) ayat 33 (terjemahnya): “....Matahari dan bulan masing-masing dari keduanya beredar pada garis edarnya“. Penegasan yang sama ditunjukkan pula pada surat Yasin (36) ayat 40. Perubahan kedudukan dari Bulan dan Matahari itu mengakibatkan bentuk semu bulan yang terlihat dari bumi (fase-fase bulan) berubah-ubah pula. Hal ini disebabkan oleh karena bulan itu benda gelap yang hanya dapat terlihat apabila permukaannya terkena sinar Matahari. Ini ditunjukkan oleh surat Yunus (10) ayat 5 di atas, Matahari adalah diya’ (bersinar sindiri), sedangkan Bulan nur (bersinar bukan dengan sendirinya). Akibatnya hanya permukaan bulan yang terkena sinar Matahari dan menghadap ke bumi yang dapat dilihat.

Surat Yasin (36) ayat 39 menegaskan (terjemahnya): “dan telah Kami tetapkan bagi bulan itu manzilah-manzilah, sehingga kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua (‚urjunil-qadim)“. Ayat ini mengisyaratkan bahwa fase-fase bulan itu terjadi berulang-ulang berupa siklus. Ini terjadi karena (1)bulan beredar lebih cepat dari Matahari, sehingga Matahari selalu terkejar, perhatikan surat Yasin (36) ayat 40 yang menyatakan (terjemahnya): “tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan (mengejar/mendahului) bulan“. (2)keduanya bergerak menurut arah yang sama yaitu dari barat ke timur, (3)alur gerak keduanya memutar bukan bergerak lurus sehingga Matahari secara terus menerus berulang kali terkejar oleh bulan.

Pada saat Matahari terkejar oleh bulan itulah yang dikatakan ijtima’. Pada saat itu bentuk semu bulan yang terkecil (‘urjunil-qadim)itu dicapai. Jadi pada saat ijtima’ itu mulai ada “hilal“. Hilal ini, kemudian, dijadikan sebagai dasar penetapan awal bulan qamariah, sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 189 (terjemahnya): “mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah, hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji“.

Hadis-hadis Nabi saw. tersebut antara lain(terjemahnya):

“Janganlah kamu berpuasa sebelum kamu melihat hilal dan janganlah pula berbuka (beridulfitri) sebelum kamu melihatnya. Jika kamu tidak dapat melihatnya karena mendung atau tertutup awan maka estimsikanlah ia”.(HR al-Bukhari dan Muslim).

(15)

Gambar

Gambar 5. Peredaran Bulan dan cahaya Matahari
Gambar 3. Posisi Bulan dan Matahari pada saat ijtimak.
Gambar 5. Tinggi Bulan negatif sekalipun ijtimak sudah terjadi.

Referensi

Dokumen terkait

Pada Usaha ekonomi Desa Simpan Pinjam yang selanjutnya disebut UED-SP yang dilakukan oleh pemerintah Desa Nipah Sendanu bertujuan untuk membantu dan melayani anggota

 Pada saat melintasi garis kritis, profil aliran secara teoritis akan miring mendekati vertikal, dengan alasan yang sama pada poin sebelumnya, kedalaman

Sedangkan mengenai persyaratan dasar kewilayahan dalam Pembentukan Daerah menurut Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Hasil kajian menunjukkan, bahwa ACFTA merupakan kerjasama perdagangan bebas untuk menurunkan tarif bea masuk dan secara yuridis mempengaruhi komponen sistem hukum

Pertamina MOR III, maka administrator perlu menambahkan IP Address switch cisco lokasi mana saja yang akan didaftarkan pada Windows RADIUS 2008 server, dan juga

Terkait dengan pembagian warisan dimana laki-laki mendapat bagian lebih besar dibanding perempuan, mengenai jumlah bagian tersebut Muhammad Husain Fadhullah mengatakan

Diartikan sebagai hukum positif adalah: “kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum

Begitu juga keluarga, terutama anak-anak, walaupun mereka penting dalam memberikan sokongan kepada warga tua, tetapi kewujudan dan interaksi dalam keluarga adalah tidak