Sri Puteri Hanyut dan
Asal-Usul ‘Orang
Bajau’:
Pengembara Laut
Sejati?
‘[544 orang itu] tidak terdaftar
sebagai warga negara Indonesia.
Mereka kebanyakan berasal dari
Samporna, Malaysia, dan Filipina.
Pemerintah Indonesia menganggap
mereka mencuri hasil laut Indonesia
untuk dijual ke negara lain.’
‘[… Mereka] berkomunikasi
dengan bahasa suku Bajo
[…] dibantu penduduk
setempat [Berau] yang
mengerti bahasa mereka.’
‘Manusia Perahu’ = Orang
yang berkeliling di laut
dengan membawa serta
Bajau? Bajo?
‘Sama’ in Malay means ‘kita’ or ‘we’. It is believed
to have originated from within the group itself, a
belief supported by the fact that it still is commonly
used among their members in referring to the
group. This practice is almost universal in Sabah,
the southern Philippines and in southern Indonesia.
Unlike ‘Sama’, ‘Bajau’ is not a term of self-reference
popularly used in Sama-Bajau communities. They
seem to prefer calling themselves ‘Jomo Sama’
(People of Sama) or ‘Jomo Bajau’ (People of Bajau).
[Gusni 2003: 5]
Bajau? Bajo? Sama?
Same?
‘Bajau’ bukanlah suatu
istilah referensi diri
orang-orang itu …
‘Pandudu'ne mayoritas Suku Same; mate
pamamianne padelune pamissi. -
Penduduknya mayoritas Suku Bajo; mata
pencaharian pokoknya nelayan.‘
Moken, Moklen
Oran g Suku Laut
Bajau, Sama(l)
Bajo, Same/a
Wilayah penyebaran ‘
Nomadic Boat
People
’, ‘Masyarakat Pengembara
Laut’
Moken, Moklen
Bajau, Sama(l)
Bajo, Same/a
Jurgen Freund
Oran g Suku Laut
Reuter s
Reuters
T. Allen
Moken,
Moken,
‘Nomadic Boat People’
Appa
Dusun Bajo, Kayuadi
“Memang lebih bagus kalau ada rumah di
darat …”
“Kalau ikut naik perahu ke pasar di Benteng [Selayar], cewek-cewek
selalu tidur – takut mabok laut mereka…”
“Di sini sudah sejak dulu tidak ada orang yang tinggal di perahunya
saja…”
Tahun 1988: “Ini orang tua terakhir yang tidak mau
tinggal di rumah, jadi perahunya dia tambat di
rumah anaknya …”
Salabangka: ‘Mba Kuke juga sudah punya
rumah di Toroh Gusoh, yang hanya di jadikan
sebagai tempat istrahat sementara. Mba Kuke
tinggal di perahu bersama keluarganya selama
Bandar Seri
Begawan, Brunei
Darussalam
‘[544 orang itu] tidak terdaftar
sebagai warga negara Indonesia.
Mereka kebanyakan berasal dari
Samporna, Malaysia, dan Filipina. ‘
450 nm – 830 km
260 nm – 450 km
‘[… Mereka] berkomunikasi
dengan bahasa suku Bajo
[…] dibantu penduduk
setempat [Berau] yang
mengerti bahasa mereka.’
= Cenderung bermigrasi antara
wilayah-wilayah yang dihuni
… di laut mereka (dan sekian
banyak perahu lain …)
ditunggu kapal asing besar
yang menampung hasil
penangkapan mereka.
‘
Pemerintah Indonesia
menganggap mereka
mencuri hasil laut
Indonesia untuk dijual
ke negara lain.’
Bermigrasi?
Mengapa?
‘Selama perang Bone pada tahun 1824 dan 1825, tempat ini menjadi tempat perlindungan
bagi orang-orang Bajau asal Bajoe […] Telah dipastikan bahwa pada waktu itu di muara
Sungai Pasalui dibangun lebih daripada 200 rumah; akan tetapi,
sejak waktu itu orang yang banyak itu secara perlahan membubarkan diri lagi, dan orang-orang Bajau, karena tidak
mendapatkan perlindungan secukupnya, menyebar ke
mana-mana, sehingga pada saat kunjungan saya tiada satu rumah
pun yang bisa didapatkan.’
[Vosmaer 1839: 73]
‘[…] waktunya sudah anu itu Belanda [memerintahkan di Selayar], sudah masuk di Padang [orang Bajau] itu, di Dongkalang, tapi tidak pakai rumah, tapi tinggal di perahu, baru kemari [membangun
rumah di Appa Tanah].’
Tetapi: Bagaimana mereka sampai ke
Orang Bajo tinggal di Ussuq, di mana seorang putera kerajaan Luwu, Sawerigading, menebang sebatang pohon raksasa untuk membangun sebuah perahu yang ingin digunakannya untuk mengelilingi dunia. Ketika pohon itu jatuh, pecahlah telur para
burung sangat banyak yang bersarang di pohon itu;
kuningnya telur itu menyebakan banjir yang menghanyutkan
orang Bajo ke laut. Mereka sempat membuat sebuah rakit dari puing-puing rumah mereka lalu hanyut ke Makassar. Di atas rakit itu adalah seorang gadis nan amat cantik yang menikah dengan anak raja Gowa.
Uss
u
Tetapi:
Bone??
Ketika ditanya lebih lanjut, para
informan menyebut sepucuk
naskah yang mereka namakan
lontaraq bilang
…
… mencaharinya tak berhasil –
akan tetapi, menghasilkan sekian
banyak versi cerita asal-usul
yang lain.
loribipsumLorem usLorem
Calloh,
Bulu
Puloe
Calloh,
Bulu
Puloe
Sebuah sampan terdampar di Calloh.
Di dalamnya terdapat seorang gadis,
Caddiq-Caddiq Yamiq, dan sebuah peti
berisi payung kebesaran Kerajaan
Gowa yang telah hilang. Ketika raja
Gowa mendengar beritanya, beliau
minta si gadis dan payungnya di bawa
ke Makassar. Mereka menikah; dan
salah satu keturunannya menjadi Lolo
Bajo pertama di Jampea.
Untuk menghindari inses dengan adik kembarnya, seorang putera kerajaan Luwu yang tidak diketahui namanya
menebang sebatang pohon raksasa bernama bulanreh guna membangun sebuah perahu; telur dari sarang burung di
pohon itu pecah dan kuningnya menjadi sumber sungai Palopo. Puteri dari Raja Bajo yang sedang memancing di
dekat pantai terbawa hanyut oleh banjir itu ke Gowa, di mana dia menikah dengan raja setempat.
Raja Bajo suruh rakyatnya untuk mencari anaknya itu; karena tidak bisa didapat, maka mereka menyabar ke mana.
Ketika raja Bajo mendengar beritanya bahwa anaknya ada di Makassar, beliau memutuskan untuk pindah ke sana juga. Sebagian rakyatnya ikut.
Luw
Lorem ipsum…
Orang Bajo pertama muncul dari ombak di Ussuq, Luwu. Seorang putera Luwu, Sawerigading, ingin berlayar ke Cina untuk menghindari inses dengan adik kembarnya; maka ia menebang sebuah pohon raksasa
bernamawelenreng guna membangun sebuah perahu. Pohon yang jatuh ke laut itu menyebabkan banjir yang menghanyutkan anak gadis raja Bajo dan (sebagian) rakyatnya ke laut.
Orang Bajo mencari anak gadis dan teman-temannya itu dan mendapatkannya di Gowa di mana dia telah menikah dengan Raja Gowa.
Raja Bajo dan putera mahkotanya memutuskan pindah ke Gowa; banyak rakyat Bajo ikut dengan mereka, dan
bersumpah setia pada Gowa.
Ussu
Raja Gowa mengijinkan orang-orang Bajo tinggal dalam negerinya, dan mereka berkeliaran di antara pulau-pulau Spermonde.
I Papu, raja Bajau, meninggal.
Muncullah Petta Torisompae yang menikah dengan adik puteri Bajau yang bersuami raja Gowa.
Petta Torisompae melarikan diri demi mencari
Raja Gowa beritahu kepada orang Bajo tentang serangan musuh yang di
ambang pintu. Orang Bajo melarikan diri ke arah Jawa dan Sumbawa. Sang Lolo Bajo ikut dengan rakyatnya.
Guna menghindari konflik, orang Bajo memutuskan berlayar ke Makassar untuk
berunding dan menyerahkan diri kepada Bone.
Petta Torisompae mengakui hubungan keluarganya dengan orang Bajo, dan mengundang mereka
untuk membuka pasar di Cellu, di pesisir Watampone, tempat tinggalnya.
Bagaimanapun, tidak ada informasi akan
berpindahnya orang Bajo ke Kolaka. Akan tetapi, diceritakan berbagai perpindahan kedudukan Lolo Bajo …
Arumpone Singkeruq Rukka , 1860-71 Arumpone La Pawawoi Karaeng Segeri, 1895-1905?
Arumpone We Banri Gau, 1871-95? … Lolo Bajo … yang
tidak tinggal di perahu, tetapi di suatu
Moken, Moklen
Oran g Suku Laut
Bajau, Sama(l)
Photo by Alex Goh Chun Seong
Pulau
Omadel
Pulau
Omadel
Labuan Haji,
Pulau
Bum-Bum
Labuan Haji,
Pulau
Bum-Bum
Lorem ipsum loribus
Lorem ipsum loribu
Sultan Mahalikul Alam, raja Johor, dikarunai seorang anak gadis
bernama Puteri Siti Zairan Kebaran yang amat cantik. Kecantikannya itu menarik dua kakak-beradik asal Sulu, Haklum Nuzum dan
Seliangaya Bungsu. Agar adil,
Sultan Mahalikul Alam menawarkan sebuah lomba perahu: Mereka
mestinya berlayar ke Pulau Angsa, dan pemenangnya akan mendapat tangan Princess Siti Zairan
Kebaran. Pada lomba itu perahu Seliangaya Bungsu pecah dan ia kalah, sehingga ia teralu malu
Johor
… dan memutuskan meneruskan berlayar sampai ke Pulau Sambuanga (Zamboanga). […] Seliangaya Bungsu mendirikan rumah di Pulau Sambuanga dan menikahi seorang
gadis lokal.
Mereka ada dua anak, seorang lelaki dan seorang perempuan. Kedua anak itu
melakukan inses, suatu hal yang sangat
memalukan orang tuanya, sehingga mereka berlayar ke Pulau Omadel dan beberapa
pulau lain, di mana mereka mendirikan
kampung-kampung yang makin ramai. [ibid.]
Zamboan
ga
Lorem ipsum loribu
s
Beberapa ratus tahun silam, Sultan Johor dikaruniai seorang permaisuri yang cantik, Dayang Ayesha; ada pun raja Brunei maupun Sulu yang jatuh cinta dengannya.
Ayesha sendiri lebih tertarik pada Sultan Brunei – akan tetapi, sebab Sultan Sulu lebih kaya, beliau dikirim ke sana, diiringi oleh banyak perahu perang dan prajurit Johor. Mendengar kabar itu, maka raja Brunei, memang seorang lelaki yang
tangguh, siagakan armada perangnya, dan menyerang perahu-perahu Johor itu. Pada saat pertempuran paling dahsyat, Raja Brunei mendampingi perahu yang
ditumpangi Ayesha dan melarikan puteri itu ke Brunei. Orang Johor terperanjat – bila kembali ke Johor atau meneruskan pelayaran ke Sulu, sudah hal mereka pasti
diancam hukuman mati atas kelalaian mereka itu, sehingga tiada pilihan lain
Lorem ipsum loribu
s
Beberapa ratus tahun silam, Sultan Johor dikaruniai seorang permaisuri yang cantik, Dayang Ayesha; ada pun raja Brunei maupun Sulu yang jatuh cinta dengannya.
Ayesha sendiri lebih tertarik pada Sultan Brunei – akan tetapi, sebab Sultan Sulu lebih kaya, beliau dikirim ke sana, diiringi oleh banyak perahu perang dan prajurit Johor. Mendengar kabar itu, maka raja Brunei, memang seorang lelaki yang
tangguh, siagakan armada perangnya, dan menyerang perahu-perahu Johor itu. Pada saat pertempuran paling dahsyat, Raja Brunei mendampingi perahu yang
ditumpangi Ayesha dan melarikan puteri itu ke Brunei. Orang Johor terperanjat – bila kembali ke Johor atau meneruskan pelayaran ke Sulu, sudah hal mereka pasti
diancam hukuman mati atas kelalaian mereka itu, sehingga tiada pilihan lain
Johor
Johor
Lorem ipsum loribus Lorem ipsum
loribus
Seorang puteri Johor dihanyutkan ke laut oleh angin ribut yang dahsyat; Sultan Johor menyuruh orang-orangnya untuk mencaharinya. Sebab mereka tidak bisa
mendapatkan puteri itu, mereka takut kembali ke Johor – dan karena mereka tidak memiliki tempat di pulau-pulau yang dikunjungi, maka mereka dan keturunannya
Seorang puteri Johor dihanyutkan ke laut oleh angin ribut yang dahsyat; Sultan Johor menyuruh orang-orangnya untuk mencaharinya. Sebab mereka tidak bisa
mendapatkan puteri itu, mereka takut kembali ke Johor – dan karena mereka tidak memiliki tempat di pulau-pulau yang dikunjungi, maka mereka dan keturunannya
terpaksa tinggal di laut …
Lorem ipsum loribus Lorem ipsum
loribus
Johor
… ????
… cerita-cerita itu mengulangi
beberapa motif:
•
Seorang puteri kerajaan yang hanyut
ke laut.
•
Pernikahan puteri itu dengan seorang
raja atau anaknya.
•
Tersebarnya orang Bajau karena
disuruh cari, takut dll.
•
Inses.
Berdasarkan kesamaan-kesamaan ini,
Sopher (1977: 401) berpendapat
bahwa ‘kelompok-kelompok
pengembara laut yang
… ????
‘Mitos-mitos ini […] menghubungkan
orang Bajau dengan kerajaan paling
termasyur di masing-masing
daerahnya […, ] mencerminkan
suatu suksesi legitimasi politik.’
[Sather 1997: 18]
… bagaimanapun, agak susah
menghubunginya dengan kejadian
historis: Sementara beberapa hal yang
terdapat dalam, msl.,
lontaraq bilang
itu
dapat diperiksa silang dengan
sumber-sumber Eropa, motif utamanya –sang
puteri hanyut dan pernikahannya–
agakanya susah untuk dibuktikan.
Pada mitos asal-usul Gowa seorang
bergelar Karaeng Bayo menikahi seorang
To Manurung
wanita.
Kronik Brunei menceritakan bahwa
‘Sultan Abdul Mubin mewarisi negeri
Bajau dari ibundanya’ (Nicholl 1989:
189), sementara Sultan Sharif diisukan
beristeri seorang wanita Bajau sehingga
berhak memerintah atas baik Brunei
… ????
… suatu legitimasi yang
perlu: Berdasarkan
analisis bahasanya,
Orang Bajau itu bukan
penduduk asli kawasan
timur dan utara
Nusantara yang kini
mereka tempati itu.
[van Dewall 1855: 446-7]
Orang Suku Laut
Johor
Johor
‘Bahasa-bahasa Sama-Bajau merupakan salah satu dari sebelas sub-kelompok pada kelompok Malaio-Polinesia Barat [… serta] merupakan tipe bahasa ‘Indonesia’’ (Miller 2007: 18), artinya, tidak berhubungan dengan
bahasa-bahasa tipe ‘Pilipina’ yang digunakan sekeliling Laut Sulu.
Kosa kata bahasa Same tak dapat dibandingkan dengan bahasa-bahasa Sulawesi di sekelilingnya. (Grimes and Grimes 1987).
Orang Ra’yat,
‘Orang-orang yang dinamakan Bajo, sebelum perang
[Makassar] dalam jumlah yang banyak mencari nafkah
di bawah yurisdiksi Makassar, kebanyakannya tinggal
di pulau-pulau di depan Labakkang, dan terutama di
Pulau Salemo […]. Mereka melayari semua pulau ke
arah laut, di mana mereka mengumpulkan kulit
kura-kura, yang mereka serahkan kepada Raja Makassar,
dan selain itu mereka selalu harus siap dengan
perahu-perahu mereka untuk berlayar ke mana pun
bila disuruh […]. Pada waktu perang mereka
melarikan diri ke Sumbawa [dan pulau-pulau lain].
Orang-orang itu sangat berguna, dan semestinya
ketika semua [keadaan di Makassar] kembali teratur
dengan baik mereka ditarik kembali ke sini.’
[Speelman 1670]
‘ […] kerajaan paling
termasyur di
masing-masing daerahnya?’
Komoditi ekspor yang
amat diminati di
Komoditi ekspor yang
amat diminati di
Komoditi ekspor yang
amat diminati di …
Komoditi ekspor yang
amat diminati di …
‘Sebanyak 70% nelayan
Suku Bajo memilih
menggunakan alat
Bukan suatu masalah di
Komoditi ekspor yang
amat diminati di …
… di laut mereka (dan sekian
banyak perahu lain …)
ditunggu kapal asing besar
yang menampung hasil
penangkapan mereka.
‘
Pemerintah Indonesia
menganggap mereka
mencuri hasil laut
Indonesia untuk dijual
ke negara lain.’
= Bukan nelayan kecil yang hanya
mencari ikan untuk konsumsi dirinya.
… tetapi, sejak ada berita
tentang orang-orang Bajau
itu, mereka bekerja pula
sebagai pengumpul berbagai
barang-barang ekspor
internasional yang berasal
dari laut …
… yang dahulu diserahkan
kepada penghulu mereka – dan
kini dijual kepada jaringan
Lorem ipsum loribus
Johor
Johor
According to one variation of the widely told Johor princess myth, the Bajau originally came from the powerful Sultanate of Johor on the Malay peninsula. In this tale it is the Sultan of Johor himself whose incestuous wish was responsible for the plight of the Bajau. Desiring to marry the most beautiful woman in his kingdom, who happened to be his sister, the Sultan compelled the Imam to perform the marriage. The imam hesitated but finally agreed on the condition that it would be performed in the middle of the ocean, for to marry one's sister on land was against Allah's will. The Sultan agreed, and called
together all his people and told them they must build a bridge of boats far into the sea. Just as the the imam
began to chant the marriage rites, a great wind arose and scattered the boats far and wide. The Sultan and his
sister and the imam were swept into the sea and drowned. The boats were carried far to the east and finally they arrived in the Sulu islands. But they had no kingdom and have no religion.
[Warren 1980: 230]
Perahu-perahu
mereka dibawa
jauh-jauh ke arah timur
[…]. Akan tetapi,
mereka tidak
Lorem ipsum loribu
s [St John 1862:
87-8]
Brun
ei
Brun
ei
Johor
Johor
‘Semua raja Brunei
akui bahwa mereka
keturunan
Dewall, H. van 1855: ‘Aanteekeningen omtrent de Noordoostkust van Borneo’,
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 4.
Grimes, Charles E., and Barbara D. Grimes 1987: Languages of South Sulawesi, Pacific
Linguistics D–78, Australian National University, Canberra.
Gusni Saat 2003: ‘The Identity and Social Mobility of Sama-Bajau’, Sari 21: 3-11.
Ismail Ali 2010: ‘Since Birth till Death, what is Their Status’, Researcher’s World –
Journal of Arts, Science and Commerce, 1.1.
Hafid, M. Yunus, et al. 1996: Pola pemukinan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat
Bajo di Sulawesi Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ujung Pandang.
Liebner, Horst H. 1998: ‘Four Oral Versions of a Story about the Origin of the Bajo
People of Southern Selayar’, Living Through Histories: Culture, History and Social Life
in South Sulawesi, eds. Kathryn Robinson and Mukhlis Paeni, Australian National
University, Canberra, pp.107–133.
Miller, Mark T. 2007: A Grammar of West Coast Bajau, University of Texas, Arlington.
Miller, Mark T. 2011: ‘Social Organization of the West Coast Bajau’, SIL Electronic
Working Papers 2011-009.
Nicholl, Robert 1989: ‘Some Problems of Brunei Chronology’, Journal of Southeast Asian
Studies 20.2: 175-95.
Rijneveld, J.C. van 1840: Veldtocht der Nederlanders op het Eiland Celebes in de Jaren
1824-1825, Broese, Breda.
Sather, Clifford 1997: The Bajau Laut, Oxford University Press, Oxford.
Sopher, David E. 1977: The Sea Nomads, National Museum, Singapore.
St.John, Spenser 1862: Life in the Forests of the Far East, Elder, London.
Vosmaer, J.N. 1839: ‘Korte Beschrijving van het Zuid-Oostelijk Schiereiland van
Celebes’, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen 17: 61-184
Warren, Carol 1980: ‘Consciousness in Social Transformation: The Bajau Laut of East
Malaysia’, Dialectical Anthropology 5: 227-38.