Nama : Parningotanna Dameria Siahaan
NPM : 150510100204
Mata Kuliah : Metode Ilmiah dan Penulisan Karya Ilmiah
Tugas No. : No.2 Tgl. 04 Juni 2013
Mekanisme Pertahanan Fisiologis Serangga: Enkapsulasi oleh Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae), Larva Spodoptera litura (F.) dan Larva Helicoverpa armigera (H.) (Lepidoptera: Noctuidae) Terhadap Parasitoid Eriborus
argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae)
PENDAHULUAN
Menurut Kalshoven (1981) dikutip oleh Othman (1982) bahwa serangga ulat di lapangan oleh Crocidolomia pavonana (F.) dan Spodoptera litura (F.) merupakan hama penting pada tanaman kubis dan famili Cruciferae lainnya seperti sawi, petasi, lobak . Sedangkan Helicoverpa armigera (H.) merupakan hama penting yang bersifat polifag bagi tanaman tomat yang juga biasa menyerang tanaman kedelai dan kapas (Herlina, 2005).
Aninditha (2000) mengutip Marwoto (1999) bahwa dalam pengendalian hama ini, para petani hortikultura sering menggunakan pestisida sintetik untuk mengendalikan
produknya, sehingga terjadi resurgensi dan resistensi hama serta pencemaran lingkungan dan juga keracunan manusia. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pestisida sintetik, salah satu upaya teknik pengendalian dengan memanfaatkan keberadaan musuh alami seperti, serangga parasit dianggap sangat membantu untuk mengamankan produk yang baik bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Salah satu contoh musuh alami pada hama-hama tersebut adalah Eriborus argenteopilosus. Aninditha (2000) mengutip bahwa serangga parasitoid Eriborus argenteopilosus (Hymnoptera: Ichneumonidae) dapat hidup dalam larva inang C. pavonana, S. litura (Sathe, 1987) dan H. armigera (Lepidoptera) (La Daha 1997, Nikam 1990, Bilapate et al 1998).
Keberadaan parasitoid Eriborus argenteopilosus di lapangan diupayakan dapat mengendalikan populasi hama C. pavonana, H. armigera dan S. litura. Akan tetapi Othman (1982) melaporkan bahwa tingkat parasitisme hama C. binotalis masih sangat rendah yaitu hanya 7.23%. Disebabkan oleh kemampuan berbagai jenis serangga inang mengenkapsulasi telur dan larva parsitoid.
Mekanisme pertahanan serangga dengan cara mengenkapsulasi larva dan telur oleh serangga inang sangat menarik untuk dipelajari dalam membantu menyesuaikan potensi
serangga parasitoid terhadap serangga inang di lapangan. Sehingga pengendalian dengan menggunakan musuh alami menjadi lebih efektif.
OVIPOSISI SERANGGA PARASITOID PADA TUBUH SERANGGA INANG
Dono (2006) menyatakan bahwa serangga mengalami serangan parasitoid secara terus menerus di alam, akan tetapi kenyataannya tidak semua serangga inang yang diparasit akan menunjukkan infeksi. Parasitoid menggunakan rangsangan fisik dan kimiawi dari tanaman dan serangga inang untuk menemukan serangga inangnya. Dono dkk (2007) mengutip Price (1986) bahwa senyawa volatil yang dikeluarkan oleh tanaman yang daunnya dimakan oleh larava akan menarik serangga parasitoid untuk menemukan serangga inang (larva) dan mengutip Godfray (1994) bahwa parasitoid Cotesia (Apanteles) marginiventris (Mues.) (Hymnoptera: Braconidae) merespon senyawa volatil yang muncul dari daun tanaman yang dimakan oleh larva, kotoran larva dan larva inangnya.
Serangga parasitoid akan meletakkan ovipositornya pada bagian tubuh serangga inang agar telur larva parasitoid dapat berkembang menjadi imago sesuai dengan siklus hidup larva inangnya. Akan tetapi, larva inang memberikan berbagai respon pertahanan bergerak atau meloncat untuk menghindari imago parasitoid meletakkan telurnya di dalam tubuh larva inang. Selanjutnya, imago betina akan kembali menusukkan ovipositornya sampai berhasil masuk ke dalam tubuh inangnya. Apabila berhasil, maka telur berkembang akan menginfeksi tubuh larva inangnya sehingga nutrisi di dalam tubuh inang akan diambil oleh larva serangga parasitoid, ditunjukkan dengan kematian larva inang sebelum mencapai dewasa dan larva parasitoid akan keluar dari tubuh inangnya. Keadaan curah hujan, kelembaban dan ketersediaan pakan adalah faktor abiotik yang mempengaruhi imago parasitoid meletakkan telurnya pada larva inang (Nelly 2005).
MEKANISME PERTAHANAN FISIOLOGIS SERANGGA
Michael R. Strand dan Lois L. Pech (1995) menyatakan bahwa Edward Jenner dan Elie Metchnikoff (1980) yang pertama sekali menemukan tentang sistem pertahanan dalam tubuh vertebrata dan invertebrata terhadap serangan patogen dan parasit. Menurut Gross (1993) berbagai jenis respon pertahanan serangga terhadap parasitoid terdiri dari karakteristik inang, yaitu jenis pertahanan yang menghindari kontak langsung dengan serangga parasit; pertahanan tingkah laku dan morfologi, yaitu menghindari serangga parasitoid agar tidak meletakkan telurnya; dan mekanisme pertahanan fisiologis serangga, yaitu senyawa alelokimia dan enkapsulasi.
Serangga dari ordo Hymenoptera dan Diptera merupakan ordo yang paling sering memparasit serangga dari ordo lain, dengan cara memangsa atau memasukkan telur ataupun larva ke dalam tubuh serangga lain (Strand dan Pech, 1995). Di negara tropis, khususnya Indonesia memiliki keanekaragaman serangga parasitoid yang sangat tinggi tetapi belum semuanya dapat teridentifikasi dengan jelas. Dalam siklus hidupnya parasitoid ini memerlukan larva inang untuk perkembangannya. Telur yang diletakkan pada larva inang akan berkembang sesuai dengan perkembangan inangnya. Keadaan curah hujan, kelembaban dan ketersediaan pakan adalah diantara faktor abiotik yang mempengaruhinya (Nelly (2005) dalam Nelly (2011)).
Othman (1982) menyatakan bahwa Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) merupakan parasitoid larva pada beberapa serangga hama. Parasitoid ini dulu diberi nama Inareolata sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae) sekarang parasitoid ini dikenal dengan nama E. argenteopilosus Cameron. Othman (1982) mengutip Kalshoven (1981) bahwa serangga hama yang merupakan inang E. argenteopilosus adalah Crocidolomia pavonana Fabricius (Lepidoptera: Pyralidae), Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae) dan Helicoverpa armigera Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae).
ENKAPSULASI
Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase peletakkan telur (oviposisi) E. argenteopilosus pada inang H. armigera yaitu 82,5%. Kemampuan C. binotalis dalam
mengenkapsulasi parasitoid lebih tinggi (60%) dibandingkan pada inang H. armigera dan S. litura (4% dan 5%). Tingginya enkapsulasi pada inang C. binotalis berhasil menekan
perkembangan pra-imago parasitoid. Parasitoid yang dienkapsulasi pada tubuh larva C.
binotalis akan mengalami melaniasasi sedangkan ada S. litura dan H. armigera tidak mengalami
melanisasi. Banyaknya telur yang diletakkan oleh imago betina parasitoid dan tingkat enkapsulasi parasitoid tidak dipengaruhi oleh urutan penusukan (Aninditha, 2000)
Nelly (2011) mengutip Strend & Pech 1995, Blumberg 1997 bahwa enkapsulasi
merupakan suatu proses dalam tubuh inang (endoparasit) yang mekanismenya dimulai dengan terbentuknya gelembung atau gumpalan darah serangga membentuk suatu rantai yang
mengelilingi telur atau larva parasitoid. Parasitoid yang dienkapsulasi akan mati karena kekurangan nafas, kelaparan atau penghambatan secara fisik. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya populasi parasitoid E. argenteopilosus di lapangan. Sedangkan keberhasilan hidup E. argenteopilosus pada S. litura lebih banyak dibandingkan oleh larva C. pavonana.
Pemarasitan inang oleh parasitoid dapat mempengaruhi kebugaran pupa inang. Pupa inang S. litura dan H. ermigera yang diparasit mempunyai ukuran yang lebih pendek jika dibandingkan dengan pupa yang tidak diparasit. Fenomena ini tidak berlaku pada inang C. pavonana. Selain itu juga jumlah sel darah (haemosit) pada larva inang terparasit lebih tinggi jika dibandingkan dengan larva tidak terparasit (Sahari, 1999).
Jumlah telur yang diletakkan oleh imago parasitoid E. argenteopilosus pada tiga inang (Aninditha, 2000)
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa parasitoid Eriborus argenteopilosus paling banyak meletakkan telur pada inang Helicoverpa armigera dibandingkan Crocidolomia pavonana dan Spodoptera litura. Perilaku oviposisi menunjukkan bahwa E. argenteopilosus melakukan gerakan-gerakan hinggap atau mendekati inangnya sebelum menusukkan ovipositornya. Pergerakan tersebut bisa dengan menggerakkan antena atau ovipositornya secara berulang-ulang.
Tingkat enkapsulasi telur atau larva parasitoid E. argenteopilosus (Aninditha, 2000)
4
Inang perlakuan Jumlah larva (ekor)
Peletakkan telur (5)
Spodoptera litura 80 69,87 ± 4,37b
Crocidolomia pavonana 80 72,00 ± 3,28ab
Helicoverpa armigera 80 82,50 ± 4,17a
Inang perlakuan Jumlah larva (ekor)
Tingkat enkapsulasi
Spodoptera litura 80 5,80 ± 1,99b
Tingkat enkapsulasi yang paling tinggi ditunjukkan oleh larva C. pavonana dibandingkan dengan kedua inang yang lain, yaitu S. litura dan H. armigera. Hal tersebut menunjukkan bahwa inang yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengenkapsulasi parasitoid.
Disebabkan oleh sistem pertahanan inang yang berbeda-beda pada kenyataannya di alam. Menurut Strand & Pech (995) dikutip oleh Aninditha (2000) menyatakan bahwa faktor yang paling utama berkembang dalam enkapssulasi adalah darah serangga (haemosit).
Jumlah pupa dan imago parasitoid E. argenteopilosus yang muncul pada masing-masing insar larva S. litura (Nelly, 2011)
Keberhasilan infeksi parasitoid E. argenteopilosus menjadi imago hanya terjadi di insar 1 dan 2 larva inang, dikarenakan insar 1 dan 2 larva berada pada fase yang aktif makan sehingga perkembangan insar menjadi lebih cepat tanpa dibatasi oleh perkembangan larva menjadi imago. Selain itu juga sulit terjadi pemarasitan terjadi pada larva insar 4 karena larva sudah aktif bergerak menghindari parasitoid dan daya tahan tubuh larva sudah lebih baik.
Menurut penelitian Sahari (1999) bahwa terdapat tiga perbedaan proses enkapsulasi pada larva inang S. litura dan C. pavonana terhadap E. argenteopilosus :
Respon enkapsulasi pada larva C. pavonana lebih cepat dibandingkan pada larva S. litura Parasitoid yang dienkapsulasi oleh larva C. pavonana akan mengalami pencoklatan,
sedangkan pada S. litura tidak terjadi pencoklatan
Tingkat enkapsulasi pada C. pavonana lebih tinggi dibandingkan pada larva S. litura relatif rendah (< 15%).
Sehingga laju enkapsulasi pada C. pavonana berhasil menekan perkembangan pradewasa parasitoid. Kejadian superparasit pada larava inang menguntungkan bagi parasitoid karena ternyata tidak semua telur dari parasitoid berhasil dienkapsulasi. Hal ini menunjukkan jika telur parasitoid bertahan hidup, maka kemungkinan telur parasitoid akan berkembang menjadi dewasa dan menginfeksi tubuh inang.
PENUTUP
Serangga di alam pada umumnya selalu mengalami serangan parasit. Pengendalian dengan menggunakan musuh alami seperti serangga parasitoid memiliki potensi yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan oleh serangga inang, seperti larva ternyata memiliki berbagai mekanisme pertahanan agar tidak dengan mudah dimangsa oleh serangga lain. Namun, mekanisme pertahanan yang lebih diulas di dalam review ini mengenai pertahanan fisiologis serangga, yaitu enkapsulasi.
E. argenteopilosus hidup pada larva inang C. pavonana, S. litura dan H. armigera. Serangga parasitoid menyelesaikan sebagian siklus hidupnya di dalam tubuh serangga inang dengan cara meletakkan telurnya di dalam tubuh serangga inang. Larva inang C. pavonana yang telah diparasit oleh E. argenteopilosus ternyata memberikan respon berbeda dari larva inang yang lain. Larva C. Pavonana mengenkapsulasi telur dan larva parasitoid Eriborus sehingga tidak dapat berkembang menjadi imago dan akhirnya mati. Hal tersebut menjadi referensi bahwa pengendalian larva ulat C. Pavonana dengan menggunakan serangga parasitoid E.
argenteopilosus tidak berpotensi untuk menekan populasi larva C. Pavonana tetapi cukup efektif untuk menekan populasi larva S. litura dan H. armigera di lapangan.
KEPUSTAKAAN
Anindhita, Kania. 2000. Oviposisi, Enkapsulasi dan Keberhasilan Hidup Parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymnopera: Ichneumonidae) Pada Inang Crocidolomia binotalis (Zell.) (Lepidotera: Pyralidae), Spodoptera litura (Fabr.) dan Helicoverpa armigera (Hubn) (Lepidoptera: Noctuidae). Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Dono, Danar. 2006. Penghambatan Enkapsulasi Pradewasa Parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) oleh Larva Crocidolomia pavonana (F.) Menggunakan Rokaglamida.
Bionatura. Lembaga Penelitian Unpad
Dono, Danar. 2007. Pengaruh Rokaglamida Terhadap Perilaku Parasitoid Eriborus
argenteopilosus Terhadap Larva Inang Crocidolomia pavonana. Bionatura. Lembaga Penelitian Unpad
Gross, Paul. 1993. Insect Behavioral and Morphological Defenses Against Parasitoids (annual review chapter). Annual Review Entomology
Herlina, Siti. 2005. BIOEKOLOGI Helicoverpa armigera (HÜBNER) (LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE) PADA TANAMAN TOMAT. Tersedia di http://eprints.unsri.ac.id/240/1/BIOEKOLOGI %20Helicoverpa%20armigera.pdf diakses 05 Juni 2013
Nelly. 2005. Tanggap Fungsional Parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) terhadap Crocidolomia pavonana (Fabricius) pada Suhu yang Berbeda. Tersedia di
http://journal.ipb.ac.id/index.php/hayati/article/viewFile/166/33 diakses pada 06 Juni 2013
Othman, N. 1982. Biology of Cridolomia binotalis Zell. (Lepidoptera: Pyralidae) and Its Parasites from Cipanas Area, west Java (a report of training course research). SEAMEO Regional Centre for Tropical Biology, Bogor.
Rodriguez, Josephine. 2010. Understanding a Diverse Insect-parasitoid Community: Insights from Synthesizing Biodiversity Inventory Data from the Tropics. Tersedia di
http://www.nceas.ucsb.edu/featured/rodriguez diakses pada 06 Juni 2013 Sahari, Bandung. 1999. Studi Enkapsulasi Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron
(Hymnoptra : Ichneumonidae) dan Implikasinya Pada Inang Crocidolomia Pavonana Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) dan Spodoptera litura Fabricus (Lepidoptera : Noctuidae). Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Strand, Michael R. and Louis L. Pech. 1995. Immunological Basis for Compatibility in Parasitoid-Host Relationship (annual review chapter). Annual Review Entomology