• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIAPA MENDESAIN KARAKTER BERBATIK AKAN tersingkir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SIAPA MENDESAIN KARAKTER BERBATIK AKAN tersingkir "

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PENDAMPING SEMINAR NASIONAL

EMPOWERING

BATIK

DALAM MEMBANGUN KARAKTER BUDAYA BANGSA”

SIAPA MENDESAIN KARAKTER BERBATIK

,

AKAN MENUAI KARAKTER BUDAYA BANGSA

YANG

APIK

DAN MENDIDIK

(dikirim sebagai makalah pendamping dalam acara Seminar & Pameran Nasional Batik “Empowering Batik dalam Membangun Karakter Budaya Bangsa”, di Ruang Sidang Rektorat UNY Lantai 2 Jl Colombo 1 Yogyakarta, diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Seni Rupa – Fakultas Bahasa dan

Seni – Universitas Negeri Yogyakarta, Kamis 19 Mei 2011)

oleh:

Drs. Dwi Budi Harto, M.Sn.

NIP. 196704251992031003

JURUSAN SENI RUPA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 1

Siapa Mendesain Karakter Berbatik,

Akan Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

Oleh: Drs. Dwi Budi Harto, M.Sn.

(Dosen Prodi Desain Komunikasi Visual – Jurusan Seni Rupa – FBS – Universitas Negeri Semarang/Unnes)

I. PENDAHULUAN: Setitik Pemberdayaan Batik yang Masih Konvensional

Empowering batik dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai memberda-yakan batik. Pertanyaannya, apakah batik saat ini memang tidak berdaya? Tam-paknya generasi muda Indonesia saat ini jarang yang memahami batik secara visual/bentuk, apalagi dari sisi filosofi. Budaya modern, post modern Barat yang materialistik dan konsumtif tampaknya lebih banyak mempengaruhi pola pikir para generasi muda saat ini, sehingga mereka tak mau mempelajari, me-lestarikan, apa lagi merevitalisasi sesuatu yang njlimet atau filosofis, maunya serba praktis, cepat/instan, dan trendy. Dari kondisi ini, tampaknya disimpulkan bahwa batik dalam kondisi tidak berdaya dan menjadi keprihatinan bersama.

Upaya empowering seni tradisi, tampaknya sudah menjadi bahasan yang klise. Pro dan kontra pasti terjadi. Hal ini telah terjadi pada berbagai acara se-minar, simposium, diskusi, sarasehan, dan pertemuan ilmiah lainnya1). Perte-muan-pertemuan ilmiah tersebut biasanya terkait dengan permasalahan: upaya mencari jati diri bangsa, revitalisasi seni tradisi, kearifan lokal/local genius, dan terkait dengan ciri khas budaya bangsa Indonesia. Walaupun terasa klise,

na-munsebagai negara yang ‘mengaku’ menghargai budaya, sudah selayaknya se-bagai warga negara tidak bosan-bosannya mendengungkan semangat mem-berdayakan budaya bangsa, misalnya pemberdayaan batik.

Spirit pemberdayaan batik diharapkan tidak sekedar aji mumpung atau tidak sekedar “hangat-hangat tahi ayam”, tetapi harus benar-benar batik men-jadi berdaya. Batik diharapkan berdaya di negeri sendiri, maupun berdaya me-lawan rongrongan negara lain yang ingin memilikinya. Bersyukurlah, walaupun melalui desakan masyarakat pecinta batik akhirnya pemerintah ‘menjadi berani’ mengusulkan batik sebagai milik bangsa Indonesia kepada UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Culture Organization). Tanggal 28 Septem-ber 2009 UNESCO mengakui batik sebagai salah satu warisan budaya dunia tak benda milik Indonesia. Secara resmi penghargaan tersebut diberikan kepa-da bangsa Indonesia pakepa-da tanggal 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, terutama pe-1) lihat kumpulan makalah pada Konggres Kesenian Indonesia ke-1 tahun 1995, Seminar Internasional

(3)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 2

nilaian atas keragaman motif batik dan makna filosofinya, serta upaya nyata masyarakat Indonesia untuk memberdayakan (melestarikan dan merevitalisasi) batik. Tanggal tersebut dapat dijadikan tonggak yuridis kultural untuk melangkah secara mantap dalam pemberdayaan batik.

Sebagaimana penilaian yang telah dilakukan UNESCO bahwa bangsa In-donesia sudah berupaya untuk memberdayakan batik. Tetapi, tampaknya pem-berdayaan batik hanya sebatas pengembangan yang menggunakan media konvensional, misalnya: batik untuk tekstil, batik untuk busana, batik untuk lu-kisan, batik pada topeng, batik untuk tas, batik pada helm, dan lain-lain. Tam-paknya hal ini masih perlu dikembangkan dalam bentuk lain. Salah satu bentuk yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah desain karakter pada berbagai media DKV, karena saat ini generasi muda ada kecenderungan lebih banyak tertarik pada bidang DKV, walaupun sebatas sebagai pengguna bukan pencipta.

II. PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup dan Perkembangan Fungsi Batik

Ruang lingkup batik sangat luas, yaitu mulai dari masa Prasejarah hingga masa kini (post modern). Jika dibatasi maka ruang lingkup batik meliputi batasan etimologis, historis, teknis, motif, dan filosofis. Secara etimologis batik berasal dari kata-kata dalam bahasa Jawa, yaitu: mba + tik. Tidak ada kata atau suku kata dalam bahasa manapun yang menggunakan kata “mba”. Sisipan huruf “m” sebelum “ba”, merupakan kata-kata khas dalam bahasa Jawa, yang diartikan “melakukan aktifitas”. Sedangkan “tik” diartikan sebagai “titik”, “tik” juga diartikan sesuatu yang kecil. Jika digabungkan antara kata “mba” dan “tik”, maka dapat diartikan sebagai “kegiatan/melakukan aktifitas”, dalam hal ini diartikan sebagai “kegiatan membuat titik”. Sebagaimana diketahui bahwa unsur terkecil dalam motif batik adalah titik (cecekan), yang biasanya digunakan untuk isen-isen bidang (Harto, 2010: 126).

(4)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 3

itu terlihat pula pada beberapa adegan dalam relief candi dan arcanya, misalnya arca dwarapala mengenakan motif batik kawung, arca dewa-raja mengenakan motif gringsing, sedangkan rakyat jelata mengenakan kain polos [lihat relief candi Surawana dan Tigawangi2)]. Tetapi, saat ini batik telah digunakan oleh rakyat biasa, misalnya petani, kuli pelabuhan, tukang becak, dan lain-lain karena batik telah dijual mulai dari galeri/art shop/show room yang berkelas (high class) sampai ke lapak-lapak pedagang kaki lima dengan harga terjangkau bagi ekonomi lemah (Harto, 2010: 125, 129).

Secara teknis, batik adalah proses pemberian motif dan warna pada kain melalui proses halang rintang/buka tutup permukaan kain. Secara historis halang rintang awalnya dilakukan menggunakan upo (butiran nasi) dan sampai dengan saat ini menggunakan malam. Proses pemberian warna/pewarnaan awalnya menggunakan pewarna alam (misalnya berasal dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur). Saat ini banyak pembatik yang menggunakan pewarna kimiawi (indigosol, naptol, rapid, rhemasol, dll.). Secara teknis kekhasan pewarnaan batik kimiawi adalah pewarnaan panas, artinya proses mereaksikan bahan-bahan kimia menggunakan pencampur air panas. Secara teknis pula membatik/batik tulis secara umum biasanya dimulai dari perancangan motif pada kain, pencantingan (ngrengrengi/pemberian motif pada kain dengan canting), nerusi, pewarnaan (colet atau celup),

nemboki/nglowongi, pewarnaan (biasanya celup), dan pelorodan (pelepasan malam dari kain). Tetapi secara klasik, teknis membatik diawali dengan ritual-ritual khusus dan ada proses tertentu sebagai upaya mempersiapkan dan memfinishing kain batik (misalnya: ngemplong, ngeloyor, mbabar, ngetel, nyoga, nyareni, medel, mbironi, dll.). Secara teknis pula, biasanya batik dibedakan menjadi: (1) batik tulis; (2) batik cap; (3) batik printing; dan (4) batik lukis. Masing-masing jenis teknis memiliki kelebihan dan kekurangan, namun sampai hari ini yang dianggap memiliki nilai estetis dan orisinalitas paling tinggi adalah batik tulis [disarikan dari Hamzuri (1981) dan Anonim (1975)].

Jika ruang lingkup batik ditinjau dari motifnya, maka apapun teknisnya yang penting menghasilkan sebuah motif batik, maka dapat dikatakan sebagai batik. Sehingga dari sisi motif, ruang lingkup batik biasanya dibatasi pada motif 2) lihat hasil penelitian yang dilakukan Harto (1999) tentang Cara Wimba dan Tata Ungkapan relief candi Surawana

(5)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 4

(6)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 5

Perkembangan fungsi batik lainnya dapat dilihat bergesernya fungsi batik yang semula sebagai kesenian kraton/kerajaan, kini batik dimanfaatkan pula untuk kepentingan rakyat jelata. Kegiatan membatik merupakan kegiatan menggambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing (Harto, 2010: 129).

Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat (di lingkungan kraton) dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan ka-um wanita dalam rka-umah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjut-nya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria (Harto, 2010: 129).

Jika sebelumnya batik identik dengan busana. Maka,saatini perkembangan /pemberdayaan fungsi batik telah sedikit berubah dari busana sampai non bu-sana misalnya: untuk topi, lukisan, sepatu, sandal, topeng batik, nampan, wa-dah tisu, tas laptop, bahkan saat ini helm, sepeda motor, hand phone, dan mo-bil ada yang diberi ornamen khusus berupa motif batik (Harto, 2010: 130). Con-toh-contoh visual perkembangan fungsi batik lihat halaman 9 (poin B).

Berbagai kegiatan swadaya sebagai aksi nyata masyarakat akan kepedulian batik setelah dicanangkan UNESCO sebagai warisan dunia, tampak terjadi di mana-mana. Mercedes Benz Indonesia salah satunya, meminta perancang busana Carmanita melukis satu mobil Mercedes Benz C250 CGI dengan motif batik. Gubernur DKI Fauzi Bowo meluncurkan mobil batik tersebut di Balaikota Jakarta pada 9 Februari 20103).

Carmanita adalah cucu seniman batik dan pencipta lagu anak Bintang Su-dibjo atau Ibu Sud. Ia menerakan corak batiknya pada mobil bergaya sport itu. Corak/motif batik yang diterakan Carmanita adalah titik-titik dengan inti motif bunga. Hal ini didasarkan pada asal kata batik berasal dari kata titik. Selain itu juga ada motif retak yang menunjukkan ciri batik tulis yang biasa mengguna-kan parafin sebagai efek retak. Untuk mewujudmengguna-kan corak batik di atas badan mobil, Carmanita bekerja sama dengan Tommy Dwi Djatmiko, pemilik

Mastomcustom Graphic Airbrush System Jakarta. Tommy memanfaatkan

(7)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 6

teknik airbrush dalam mengerjakan motif batik tersebut, selama hampir tiga minggu. Tommy menggunakan warna merah marun untuk bagian depan dan perak yang terlihat netral untuk bagian belakang, sebagai warna dasar4).

Wujud kepedulian masyarakat lainnya terlihat pada upaya mendokumen-tasikan batik dan cara batik dikenakan. Kolektor batik dan pemilik industri batik

print Kencana Wungu, bernama Hartono, memamerkan koleksi batik pesisirannya untuk menyambut Imlek. Koleksi batik tersebut menunjukkan bahwa masyarakat peranakan China sangat menghargai batik tulis. Batik asal Lasem dari tahun 1890 hingga 1900 koleksi Hartono ini bermotif orang naik kilin, teratai, ayam, dan menjangan. Hewan mitologi kilin melambangkan sesuatu yang tinggi, bisa berupa jabatan atau tingkat spiritual. Teratai lambang kesucian, ayam artinya rajin, dan menjangan rejekinya lancar5).

Pengaruh masa penjajahan dan terdapatnya peranakan Cina di Indonesia terasa mempengaruhi perkembangan batik. Sebagai contoh di Rumah Rakuji, Cipete Jakarta Selatan, Asmoro Damais dan Judi K. Achjadi dari Pusat Doku-mentasi Wastra dan Busana Indonesia menyuguhkan pameran evolusi kain batik dan kebaya. Pameran evolutif ini dimulai dari pemakaian batik oleh pe-rempuan Belanda di Indonesia hingga lahirnya kebaya yang dikenakan pera-nakan China, lengkap dengan batiknya dari awal abad ke-20. Kebaya perem-puan Eropa Belanda berbentuk persegi, longgar, berwarna putih, berhias ren-da di bagian tepi, serta dihiasi sulam tangan di bagian ren-dalam. Model tersebut ditiru oleh perempuan peranakan China, dengan modifikasi. Bentuk mengikuti tubuh dan melebar di pinggul, memakai renda di bagian tepi dengan tambahan hiasan yang dibordir mesin. Setelah tahun 1920, perempuan Eropa dianjurkan tidak lagi memakai kebaya di luar rumah karena dianggap bukan baju, dress6).

Berikutnya, Judi menyatakan bahwa corak batik selalu mengandung mak-na tertentu, tergantung dari latar belakang sosial pemakai. Sebagai pemeluk Konghucu yang mementingkan pendidikan, corak bunga teratai yang tumbuh meninggi di atas lumpur melambangkan kedudukan tinggi yang berhubungan dengan pendidikan, seperti menjadi pegawai negeri. Bunga teratai yang berbiji banyak juga melambangkan kemakmuran. Di sisi lain Asmoro menyampaikan bahwa dokumentasi kain batik sangat penting, karena kain batik merupakan dokumen sosial, ekonomi, dan politik masyarakat saat itu7).

Pencarian motif batik sebagai identitas suatu daerah telah dilakukan oleh beberapa daerah tingkat II di Indonesia, terutama daerah seputar Jawa dan

(8)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 7

Bali. Misalnya, melalui beberapa acara ilmiah dan lomba/sayembara perancangan motif batik, sebagai contoh pencarian ciri khas batik kota Ponorogo, Pacitan, Demak, Kudus, Tuban, dan lain-lain. Kegiatan lomba yang akan dilaksanakan adalah pencarian identitas batik untuk kota Semarang yang diumumkan lewat ProTV Semarang. Kemudian upaya pendokumentasian, pelestarian, dan pengkajian ilmiah tentang batik yang dilakukan oleh “Bokor Kencono”, yang baru saja disiarkan melalui ProTV Semarang, awal bulan April 2010. Perkembangan Industri Kreatif batik dipandang penting, karena sebagai salah satu upaya mendongkrak devisa negara non migas.

Perkembangan lain adalah dimasukkannya batik sebagai salah satu sektor dari 14 sektor dalam Industri Kreatif. Meskipun telah dicanangkan 2 tahun yang lalu oleh Presiden SBY, namun sampai hari ini Industri Kreatif masih hangat dibicarakan dan menjadi bidang kajian dalam penelitian Strategi Nasional yang diadakan oleh DP2M Dikti. Selain menjadi kajian penelitian, belakangan ini batik semakin gencar dipromosikan, misalnya melalui Solo Batik Carnival 2010 dan 2011, Jember Carnival, dan Semarang Night Carnival 2011.

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa hal, diantaranya: (1) sebagai upaya pemberdayaan, pengembangan fungsi batik saat ini sebagian besar masih terkait fungsi profan atau pragmatiknya, yaitu pengembangan batik untuk keperluan sehari-hari, belum menyentuh ke aspek filosofi; (2) pengembangan batik saat ini rata-rata hanya menghasilkan karya batik/karya Seni Rupa 2D/2 Dimensi dan 3D/3 Dimensi; (3) pengembangan batik sebagian besar dilakukan oleh swasta/sektor non formal, belum banyak peran pemerintah untuk menghidupi para perajin batik (terutama dalam kucuran modal dan pemasaran) dan belum banyak peran perguruan tinggi dalam upaya pemberdayaan/pengembangan batik tersebut; (4) pasar dalam negeri/konsu-men batik sangat terbatas yaitu hanya para pecinta batik dan kaum tua. Generasi muda kurang peduli/tidak mau menggunakan batik dalam kehidupan hariannya; dan (5) belum ada perancang yang berupaya memberdayakan batik dengan cara mengembangkannya melalui proses perancangan karakter pada berbagai media DKV. Tulisan ini mencoba menawarkan salah satu alternatif pengembangan batik berupa desain karakter di berbagai media DKV.

B. Pemberdayaan Batik

(9)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 8

diartikan sebagai cara untuk melaksanakan kerjasama dalam organisasi/kelom-pok/institusi sehingga semua orang berpartisipasi penuh. Pemberdayaan seba-gai sebuah gerakan, biasanya berpusat/mengarah pada kemandirian masyara-kat. Jika dianalogikan dengan pemberdayaan batik maka keberhasilan pember-dayaan batik sangat bergantung dari partisipasi aktif masyarakat budaya pen-dukungnya. Pemberdayaan adalahproses membangun dedikasi dan komitmen yang tinggi, sehingga pihak yang diberdayakan itu bisa menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi. Keberhasilan pemberdayaan batik akan efektif jika ada inisiatif dan kreativitas masyarakat pendukungnya (dianalogikan dari Slamet, tt: 1-5).

Salah satu bentuk pemberdayaan batik adalah merevitalisasi batik. “Revi-talisasi batik” mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting batik secara proporsional dan kontekstual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan meningkatkan fungsi batik dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain (diadap-tasi dari presen(diadap-tasi Kepala Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian). Saat ini pemberdayaan batik dalam bentuk revitalisasi sangat dibutuhkan karena agar eksistensinya tidak terdesak oleh arus globalisasi. Di era globalisasi ini se-mua negara terkena dampaknya, diharapkan Indonesia memiliki daya saing terkait dengan ‘permainan global’ ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Lester Thrurow (dalam Loedin, 2000: 1) menyatakan: “The world offers you two things, you can lose or if you want to win, you have to change” (dunia ini menawarkan dua hal, anda bisa kalah atau jika anda ingin menang, anda harus berubah).

Hanya manusia atau bangsa yang unggul dan kreatif yang dapat mengambil manfaat besar dari globalisasi, menyesuaikan diri, dan mengantisipasi gejala-gejala yang dihadapinya.

(10)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 9

Tulisan ini hanya memberikan sedikit usulan terhadap pemberdayaan/pengem-bangan batik dari sisi bentuk dan fungsi batik berkaitan dengan media DKV. C. Pendidikan Karakter

Jika kita setuju dengan tesis dari Samuel P.Huntington tentang Clash of Civilization, maka yang akan kita hadapi dengan istilah globalisasi adalah interaksi budaya global dengan sekat-sekat yang hampir tidak dapat memben-dungnya. Huntington menjadikan indentitas budaya dan peradaban sebagai persoalan penting dalam kehidupan manusia yang kini telah mengalami glo-balisasi. (Huntington dalam Fajar, 2005: 170, dalam http://www.muniryusuf. com/search/bagaimana-kurikulum-tentang-pendidikan-karakter). Dalam wacana keindonesian, tesis Huntington ini perlu dicermati mengingat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan keragaman budaya dan masyarakat yang sangat kaya. Huntington menegaskan bahwa persoalan yang dihadapi adalah terjadinya konflik di sepanjang garis pemisah budaya (culture fault lines). Dalam kasus Indonesia sering muncul dalam istilah “konflik berbau SARA”. Setuju atau tidak setuju dengan tesis Huntington, kenyataan menunjukkan bahwa sebagian tesis tesebut terbukti, dimana konflik-konflik horisontal sering muncul karena adanya diferensiasi budaya, sejarah dan bahkan agama. Khusus yang terakhir, Huntington percaya bahwa agama telah menimbulkan konflik selama

berabad-Batik untuk sepatu

Batik untuk lukisan Batik untuk hand phone/HP

(11)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 10

abad (Fajar, 2005 dalam http://www.muniryusuf.com/search/bagaimana-kuriku lum-tentang-pendidikan-karakter). Masalahnya kemudian adalah bahwa arus utama globalisasi terkait sangat erat dengan budaya dan masyarakat. Lalu apa yang harus dilakukan oleh bangsa ini?

Persoalan real yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana membentuk karakter bangsa (Nation Character Building) yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal dan tradisional berhadapan dengan pusaran arus globali-sasi yang demikian mengancam. Bagaimanapun juga khazanah keragaman bu-daya dan heterogenitas masyarakat Indonesia, di satu sisi merupakan keistime-waan namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran. Dalam diskursus pendidik-an, hal tersebut harus dibahas, dan tidak dapat diabaikan begitu saja.

Oleh karena itu, salah satu upaya penyiapan kekayaan batin peserta didik yang berdimensi agama, sosial, budaya, yang mampu diwujudkan dalam ben-tuk budi pekerti, baik dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian, maka pemerintah memasukkan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui penguatan kurikulum, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional. Namun, pendidikan budaya dan karakter bangsa itu tidak dibuat dalam bentuk mata pelajaran tersendiri. Artinya, tidak ada tambahan mata pelajaran, tetapi cukup dengan memberikan penguatan pada masing-masing mata pelajaran yang selama ini dinilai sudah mulai kendur. Mendiknas (Muhammad Nuh) ketika membuka sarasehan “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” di Jakarta (Kamis, 14-1-2010), menganalogikan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai zat oksigen yang menjadi bagian dari manusia hidup. Manusia tidak akan hidup tanpa oksigen. Begitu juga dengan pendi-dikan budaya dan karakter bangsa, kita seakan mati jika tidak berlaku sesuai dengan budaya dan karakter bangsa. Karakter dan budaya bangsa itu begitu melekat dalam diri seseorang. Jadi, pendidikan karakter dan budaya di sekolah harus dilakukan secara holistik (admin, 2010).

(12)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 11

terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang, baik secara individu maupun social; (4) meningkatkan kemampuan menghindari sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan; dan (5) agar siswa memahami dan menghayati nilai-nilai yang relevan bagi pertumbuhan dan pengahargaan harkat dan martabat manusia. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter adalah: (1) nilai keutamaan; (2) nilai kerja; (3) nilai cinta tanah air (patriotisme); (4) nilai demokrasi; (5) nilai kesatuan; (6) menghidupi nilai moral; (7) nilai-nilai kemanusiaan, dan lain-lain (http://niamw.wordpress.com/2010/03/ 20/perencanaan-kurikulum-pendidikan-karakter/#sdfootnote3anc).

Dr Anita Lie (pengamat pendidikan dari KID Jakarta) berpendapat bahwa setelah dicanangkannya pendidikan karakter di sekolah, ternyata selama ini pe-laksanaannya kebanyakan hanya berbentuk konseling oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP), belum menyentuh secara optimal dalam kurikulum. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri, karena guru BP memang tidak bisa meraih semuanya sehari-hari di sekolah. Biasanya guru BP kalau ada masalah datang, kalau tidak ada masalah, ya tidak datang. Selain itu, tidak jarang keberadaan guru BP dirangkap oleh guru mata pelajaran. Akibatnya konsep pendidikan ka-rakter sampai sejauh ini tidak pernah optimal. Mayoritas guru belum punya ke-mauan untuk melakukan itu. Kesadaran sudah ada, hanya saja belum menjadi sebuah aksi nyata ( http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/15/14150236/Ma-yoritas.Guru.Belum.Terapkan.Pendidikan.Karakter).

D. Mendesain Karakter Berbatik

1. Pengertian Desain Karakter

(13)

ver-Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 12

bal/tertulis biasanya berisi: (1) nama tokoh; (2) jenis kelamin; (3) umur; (4) ting-gi tubuh; (5) ciri fisik; (6) ciri psikis/watak psikoloting-gis; (7) asesoris; (8) kostum; (9) peralatan, dan lain-lain.

2. Aspek-Aspek yang Dipertimbangkan dalam Desain Karakter

Desain karakter yang menjadi fokus pembahasan ini lebih cenderung pada produk DKV, dalam hal ini perancangan grafis pada multimedia. Karya multimedia dalam perancangannya biasanya mempertimbangkan 3 aspek (trikotomi) perancangan diantaranya: (1) aspek Isi (Content); (2) aspek Soft-ware/Aplikasi Program/RPL (Rekayasa Perangkat Lunak); dan (3) aspek Estetika/Komunikasi Visual (Harto, 2008: 1-7)

Aspek Estetika/Komunikasi Visual dalam perancangan desain karakter, dapat ditampilkan dengan berbagai sudut pandang atau angle yakni: de face

(tampak depan), de profile (tampak samping), de trois quart (tampak ¾) dan

angle-angle lainnya. Semakin lengkap maka semakin bagus. Selain itu desain karakter tersebut sebaiknya dibuat tampak sedang beraksi (in action). Jika perlu tambahkan latar belakang atau property yang sesuai. Masing-masing angle dalam tampilan akan membawa pesan/isi (content) yang berbeda.

(14)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 13

isi (content); (6) selain berdasarkan bentuk visual, ciri fisik dan psikis tersebut perjelas/perkuat karakternya dengan pilihan-pilihan warna (

http://blog.antownho-lic.com/chara-design-untuk-animasi-e-learning/). Pertimbangan ini merupakan

pa-duan antara aspek Estetika/Komunikasi Visual dan aspek isi (content).

Secara teknis (aspek Software/Aplikasi Program/RPL/Rekayasa Pe-rangkat Lunak) desain karakter dapat berupa gambar manual hand-drawn, computer illustration, 2D modeling, 3D modeling, atau kombinasi, dan lain-lain. Selain dengan cara manual (manual hand-drawn), software yang bi-asa digunakan untuk merancang model/desain karakter diantaranya: (1) desa-in karakter 2D, diantaranya: Macromedia/Adobe Flash, Adobe Photoshop, Adobe Illustrator, Corel Draw, Corel Photo Paint, Corel Rave, Macromedia Freehand, Moho, Toon Boom, Swish, dll; (2) desain karakter 3D, diantaranya adalah hampir semua software yang digunakan untuk merancang model/desa-in karakter 2D ditambah dengan software yang khusus untuk 3D diantaranya: 3DS Max, Poser, Swift, Corel Rave, Blender, dan lain-lain. Desain karakter adalah konsep dasar dalam penuangan ide komik, game, animasi, dan karya multimedia lainnya. Oleh karena itu desain karakter agar memiliki kekuatan hu-kum dan juga mencontoh kebiasaan industri kreatif di Barat, maka desain ka-rakter wajib di daftarkan hak ciptanya (diadaptasi dari http://textandpictstudio. blogspot.com/2005/08/buku-peliput-komik.html).

Desain karakter adalah tahapan yang harus dilakukan jika hendak mem-buat/memproduksi komik, game, animasi, dan karya multimedia naratif lainnya (diadaptasi darihttp://blog.antownholic.com/chara-design-untuk-animasi-e-learning/). Tahapan mendesain karakter harus dilakukan setelah naskah cerita komik, ga-me, atau film animasi dibuat. Berdasarkan naskah tersebut maka dapat diketa-hui berapa jumlah tokoh utama, jumlah tokoh pembantu, watak/karakteristik fisik, psikis dan kemungkinan ciri-ciri bentuk visualnya.

3. Desain Karakter Berbatik pada Cerita (Naratif)

(15)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 14

Ideologi adalah adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikir-an tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikirpemikir-an tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy

pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif (disarikan dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi).

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa tawaran pada tulisan ini adalah cerita naratif yang akan diangkat menjadi ide visual dalam bentuk komik, game, multimedia interaktif, animasi, desain web dan produk DKV naratif lainnya. Produk-produk multimedia ini memiliki content/isi. Content/ isi produk multimedia ada yang hanya bersifat mengandalkan alur cerita saja, namun ada pula yang bersifat ideologis. Ideologi bisa bersifat positif bisa juga bersifat negatif. Content/isi produk multimedia yang diharapkan/di-tawarkan adalah bersifat positif. Artinya, produk multimedia yang membawa ideologi/pesan filosofis yang terdapat pemikiran/mencakup konsepsi men-dasar tentang kehidupan, dan menawarkan perubahan dalam kehidupan melalui pemikiran normatif. Pemikiran normatif tentunya mengandung nilai kebenaran, kebersamaan, kedamaian, kesejahteraan, dan hal-hal positif la-innya dalam kehidupan. Singkatnya, content/isi produk multimedia yang di-tawarkan membawa pesan edukatif/mendidik, yang mengakibatkan peru-bahan positif dalam kehidupan sesuai norma yang ada.

Sebuah keuntungan besar bagi Indonesia karena mendapat warisan budaya dunia berupa batik. Karena, batik diturunkan oleh nenek moyang terdahulu membawa makna filosofi hidup sangat tinggi. Sebagaimana telah disinggung pada uraian sebelumnya, bahwa batik selain estetis sekaligus filosofis. Sehingga makna filosofi batik dapat dipandang sebagai ideologi budaya yang membawa pemikiran normatif bagi kehidupan, jadi bukan hanya sekedar mengandung nilai estetis secara visual.

(16)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 15

secara metodologis dapat dikolaborasikan secara mutualistik. Berikut ini

beberapa kemungkinan kolaborasi antarafilosofi batik danteknik multimedia

yang dapat dikembangkan menjadi desain karakter yang apik dan mendidik.

2) Pengembangan desain karakter berbatik pada ilustrasi komik

Awam menyebut komik sebagai cerita bergambar (cergam). Secara Etimologis kata komik berasal dari Bahasa Perancis comique, kata comique

berasal dari Bahasa Yunani K mikos dari K mos ‘revel’ dengan kata dasar kosmos, yang muncul sekitar abad ke 16 yang artinya “bersukaria”, “bercanda”, "terkait dengan komedi", “lucu” atau “menggelikan” (Ensiklopedi Indonesia, 1983: 1938; Gumelar, 2007). Dalam Bahasa Belanda, komik berasal dari kata komiek yang artinya pelawak. Di sisi lain komik dalam bahasa Inggeris disebut comics artinya “cerita bergambar”, “lucu” (Echols dan Shadily, 1994: 120). Pada awalnya komik memang ditujukan untuk membuat gambar-gambar yang bertema kelucuan. Namun dalam perkem-bangannya, sudah tidak bertema kelucuan lagi, tetapi lebih meluas ke tema lainnya mulai dari aksi, horror, fiksi ilmiah, dan lain-lain.

Pada perkembangan berikutnya komik dibagi menjadi 3 jenis yaitu

comic-strip (komik strip), comic books (biasanya disebut komik), dan Gra-phic Novels. Pada awalnya komik justru dimulai dari Comic Strip ada di be-berapa majalah atau koran-koran dimasa lalu, dan seiring dengan perkem-bangannya, maka komik tidak lagi dibuat secara Comic Strip (Gumelar, 2007;

Bonneff, 1998: 9 dalam Sikumbang, 2008:192; http://digilib.petra.ac.id/viewer. php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high&fname=/jiunkpe/s1/jdkv/2002/jiu

nkpe-ns-s1-2002-42498058-863-postmodern-chapter2.pdf). Pada abad 19 komik

dikembangkan oleh seorang seniman Swis yang bernama Rodolphe Töp-ffer. Perkembangan berikutnya dari sisi media, komik yang dulunya dibuat untuk media kertas kini mulai merambah pula ke dunia internet hingga dise-but dengan webcomic, e-comic, mobile comic, atau format elektronik lain-nya (Gumelar, 2007). Dari sisi teknis, paling tidak ada 3 cara perkembang-an teknis dalam membuat komik, yaitu dari cara tradisional, digital, dperkembang-an akhirnya hybrid/gabungan. Tentunya perkembangan komik pada sisi yang lain masih banyak, dan tidak diuraikan pada ruang yang terbatas ini.

(17)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 16

3) Pengembangan desain karakter berbatik pada CD Interaktif

lih content yang naratif/bercerita, misalnya pada MPI (Multimedia Pembela-jaran Interaktif), CD tutorial, CD Company Profile, dan lain-lain.

Desain karakter diberi

na-ma sesuai dengan nana-ma mo-tif batiknya, dimungkinkan

pu-la background dan foregro-und juga bisa diterakan motif batik, dengan pilihan motif se-suai dengan content cerita-nya. Karakteristik keindone-

Pengembangan komik pada desain karakter komik,

da-pat merubah karakter tokoh yang semula ‘ala Barat’

men-jadi lebih membumi sesuai budaya Indonesia. Motif

ba-tikdapatditerakan pada kulit wajah, tangan, dan kaki,

ser-ta baju, asesoris, alat-alat, dan perlengkapan lainnya.

siaan dikuatkan pula oleh filosofi batik yang diterakan, diadaptasi menjadi watak dan content cerita komik itu. Tentunya filosofi batik yang dipilih adalah yang me-ngandung pendidikan yang bermanfaat bagi pembaca.

(18)

dipi-Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 17

4) Pengembangan desain karakter berbatik pada game multimedia

Game multimedia yang baik biasanya mengikuti naskah yang telah di-buat, misalnya game Aladin, yang pada akhir ceritanya harus bertemu de-ngan putri Yasmin sebagai puncak kemenade-ngan dari pemain game terse-but. Selain ada naskah/cerita naratif juga memiliki desain karakter yang khas. Untuk karakteristik Indonesia dengan semangat yang sama pada pe-rancangan desain karakter pada komik yang telah dicontohkan sebelum-nya, maka berikut ini dicontohkan secara visual desain karakter tersebut.

Contoh tersebut adalah desain karakter dari situs game “nusantara online”, yang berisi game online 3D dengan karakter cerita tentang kerajaan-kerajaan nusantara, misalnya Majapahit. Selain berkonten cerita nusantara, game ini akan semakin kuat karakternya apabila mengangkat batik sebagai ciri dalam desain karakternya, sekaligus memasukkan makna filosofi batik sesuai kontek ceritanya. Jadi, masih bisa dikembangkan.

5) Pengembangan desain karakter berbatik pada film animasi

(19)

-Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 18

soris yang dikenakan, bukan pada ciri khas wajah tokohnya. Dengan demikian sifat naratif pada cerita biasanya terefleksikan pula pada asesoris tokohnya. Asesoris pada wayang dan cerita relief biasanya terlihat pada mahkota, klat bahu, sumping, jamang, upawita, urna, gelang tangan, gelang kaki, sampur, dodot, uncal, badong, prabha, gelung, kalung dan sebagainya. Berdasarkan kenyataan ini maka desain karakter yang ditawarkan sebagai solusi adalah menggantikan peran asesoris dengan berbagai motif batik yang berkembang di nusantara ini. Sehingga tokoh dalam film animasi ini akan mengenakan asesoris bermotif batik tertentu. Dengan demikian kearifan lokal batik dapat teraplikasikan pada desain karakter film animasi yang direncanakan (Harto, 2010: 146-147).

Selain itu penerapan motif batik, dimungkinkan dapat diterakan pada kulit to-koh film animasi tersebut. Sehingga seakan desain karakter tersebut seperti ber-

6) Pengembangan desain karakter berbatik pada desain web tato motif batik. Tentunya peran warna pada tiap-tiap

ka-rakter sangat menentukan tampilan visualisasinya. Di sisi lain dengan teraplikasikannya motif batik pada kulit tokoh dan asesoris tokoh, akan semakin memudahkan untuk memberikan watak tokoh tersebut sesuai dengan jenis motif batik yang terterakan. Sehingga tiap-tiap karakter to-koh harus menggambarkan ciri motif batik tertentu seba-gai nama dan sifat/wataknya, misalnya: Si Kawung dengan

watak yang mudah ‘kawung’ dengan temannya. Dengan kata lain, desainer

bi-sa memberikan mu-atan makna filosofi (sebagai content ani-masi) pada tiap to-koh yang akandiani -masikan. Selain di da-sarkan atas motif batiknya, watak to-koh juga dimungkin-kan didasarkan atas warna motif batik

(20)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 19

Perancangan web/desain web pada dasarnya juga mempertimbangkan 3 aspek (trikotomi perancangan) sebagaimana diuraikan sebelumnya. Pada as-pek content, desainer dapat memberikan muatan filosofi batik pada desain karakter yang mungkin ada pada web tersebut. Selain aspek content tentu-nya aspek Estetika sangat berpeluang besar untuk menampung ideologi batik

7) Pengembangan desain karakter berbatik pada Cover Majalah

nuhi dengan motif batik. Ketika desain grafis saat itu sedang trend dengan Contoh cover majalah

berikut diambil dari sebuah

event1001 Inspiration De-sign Festival 2008” atau di-kenal dengan “lomba 1001

Cover Concept” yang dia-dakan oleh Majalah Con-cept. Lomba ini bertema “1001 Indie Smile/senyum Indonesia” yang diadakan sekitar bulan Maret-April 2008. Pemenangnya ada-lah Daud Budi, ia sangat cerdas memilih konsep ber-karya (media dan content), yaitu memilih batik sebagai motif untukmengangkat do-ngeng/cerita rakyat “Timun

Emas”. Semua bidang dipe-

sebagai tampilan visual desain karakternya

(21)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 20

ruang kosongnya, tampaknya desainer cover ini berani mengambil ciri yang berbeda dengan trend pasar tersebut. Karakter Buto Ijo dan Timun Emas dibuat dengan tekstur batik, demikian pula backgroundnya.

E. Pesan Pendidikan Karakter pada Desain Karakter Berbatik

Berdasasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa sebenar-nya pesan utama dari pendidikan karakter adalah pembentukan manusia Indo-nesia seutuhnya/MIS (meminjam istilah Orba). Pendidikan karakter ini diharapkan dapat mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia secara optimal, ada-nya keseimbangan otak kiri dan otak kanan dan menempatkan kedudukan manu-sia sebagai makhluk individu dan makhluk somanu-sial. Dalam istilah populer sekarang, diharapkan manusia berkembang ESQ-nya (Emosional Spritual Quetient). ESQ adalah istilah yang berasal dari Indonesia, diperkenalkan oleh Ary Ginanjar Agus-tian. Menurut Agustian, ESQ merupakansatu konsep yang terintegrasi/penggabung-an terintegrasi/penggabung-antara kecerdasterintegrasi/penggabung-an intelektual (IQ = Intellegence Quotient), kecerdasan emo-sional (EQ = Emotional Quotient), dan kecerdasan spritual (SQ = Spiritual Quoti-ent). (http://gempakz.forumotion.com/t621-program-esq-adalah-haram).

Pesan pendidikan karakter ini dimungkinkan dapat tersampaikan kepada manusia (dalam DKV dianalogikan sebagai khalayak sasaran) apabila desainer memahami pesannya dan dapat mengolah menjadi pesan visual. Pesan visual terutama ‘ditipkan’ pada filosofi batik yang memiliki makna pada tiap jenis motif -nya. Jenis motif batik yang memiliki filosofi ini, dalam proses penciptaan karya DKV akan bergabung dengan cerita naratif yang juga memiliki filosofi. Cerita na-ratif dimiliki oleh beberapa produk DKV seperti komik, animasi, game multimedia, dan lain-lain. Sehingga dalam kasus ini, proses pengolahan pesan pendidikan ka-rakter, filosofi motif batik, dan cerita naratif bersimbiosis-simulacrom, dikemas menjadi desain karakter pada media/produk-produk DKV. Sehingga dapat dite-rapkan pada media/produk-produk DKV dan akan menghasilkan desain karakter berbatik pada: ilustrasi komik, CD interaktif, game multimedia, film animasi, de-sain web, dede-sain cover majalah, dan lain-lain.

III. PENUTUP: Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

(22)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 21

budaya bangsa yang dapat diperhitungkan dalam percaturan global. Tentunya da-lam proses penciptaan ini tidak lupa mempertimbangkan tujuan-tujuan lain dada-lam pendidikan karakter (mengandung muatan ESQ). Batik yang banyak memiliki ben-tuk motif dan filosofi serta sebagai warisan budaya dunia diharapkan bisa memun-culkan desain karakter yang khas milik Indonesia, sehingga diakui dunia. Jika ke-unggulan ini ditambah dengan muatan cerita dalam produk DKV naratif (komik, animasi, game multimedia, dll.) yang juga memiliki filosofi tinggi, tentunya menjadi harapan besar bahwa desain karakter yang diciptakan akan menjadi produk bu-daya yang apik/estetis sekaligus mendidik. Harus dicatat, bahwa pembentukan karakter bangsa dan pembentukan karakter budaya bangsa yang apik dan men-didik bukanlah semudah membalikkan telapak tangan dan juga bukan proses ‘ce -tak foto kilat’ tetapi perlu proses dan merupakan investasi jangka panjang. Gene-rasi berikutnyalah barangkali yang bisa menuai dan menikmati investasi ini, dian-taranya investasi yang berupa (1) industri desain grafis dan multimedia yang apik

dan medidik; (2) perubahan watak dan sikap mental generasi berikutnya menuju sikap positif. Apalagi jika nantinya tampilan produk DKV dapat menerapkan baha-sa rupa tradisi (versi Tabrani/lihat Tabrani, 1991, 2005), dimungkinkan akan meng-hasilkan budaya bangsa yang khas dan semakin apik sekaligus mendidik.

DAFTAR PUSTAKA

Admin, 2010. Depdiknas Masukkan Pendidikan Karakter Bangsa dalam Kurikulum (dalam WordPress di http://www.budayanilai.com/?p=67diakses 20 Januari 2011 jam 21.30 WIB) Anonim. 1975. Buku Petunjuk Batik. Balai Penelitian Baik dan Kerajinan Yogyakarta. Yogyakarta. Echols, John Mc dan Hassan Shadily. 1994. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia. Jakarta. Gumelar, Michael. 2007. Comic Making Part 1 (diposting oleh ICArt / Indonesian Comic Artist,

pada tanggal 23 Januari 2008 dalam http://icart-iseeart.blogspot.com/2008/01/comic-making-oleh-michael.html).

Hamzuri. 1981. Batik Klasik (Classical Batik). Djambatan. Jakarta.

Harto, Dwi Budi. 2008. Trikotomi dalam Perancangan Pembelajaran Multime-dia Interaktif Bidang Seni (makalah pendamping dalam Seminar Nasional “Meraih Sukses Pembelajaran dengan Optimalisasi Multimedia Interaktif”, tanggal01 Maret 2008). Pasca Sarjana Udinus. Semarang.

Harto, Dwi Budi. 2010. Fungsi Batik Masih Bisa Diothak-Athik: Sebuah Tawar-an Revitalisasi Batik Untuk Film Animasi Khas Indonesia (makalah da-lam Proceeding Seminar Nasional Batik ”Revitalisasi Batik Melalui Dunia Pendidikan, 18 Mei 2010). Jurusan Pendidikan Seni Rupa FBS UNY bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.

(23)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 22

http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high&fname=/jiunkpe/s 1/jdkv/2002/jiunkpe-ns-s1-2002-42498058-863-postmodern-chapter2.pdf diakses 9 Mei 2011 jam 19.21 WIB.

http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/15/14150236/Mayoritas.Guru.Belum.Terapkan.Pendidika n.Karakter diakses 3 Mei 2011 jam 20.43 WIB.

http://gempakz.forumotion.com/t621-program-esq-adalah-haram diakses 9-5- 2011 jam 22.21 WIB.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi diakses 6 Mei 2011 jam 22.11 WIB.

http://mencatat-sejarah-lewat-batik-Indonesia-Proud.html. diakses 4 Mei 2011 jam 20.35 WIB

http://niamw.wordpress.com/2010/03/20/perencanaan-kurikulum-pendidikan-karakter/#sdfootnote3anc diakses 5 Mei 2011 jam 22.33 WIB

http://sayembara.dagraphic.com/index.php?modul=faq diakses 6 Mei 2011 jam 21.52 WIB

http://textandpictstudio.blogspot.com/2005/08/buku-peliput-komik.html diakses 9 Mei 2011 jam 22.22 WIB

http://www.muniryusuf.com/search/bagaimana-kurikulum-tentang-pendidikan-karakter diakses 7 Mei 2011 jam 20.19 WIB

Slamet, Margono. Tt. Pemberdayaan Sumberdaya Manusia adalah Kunci Penting untuk Meraih Mutu Organisasi (dalam eng.unri.ac.id/download/manajemen.../ PEMBERDAYA-AN%20.doc, diakses 6-5-2011 jam 22.30 WIB)

Kepala Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian. Tt. Revitalisasi Penyuluh-an Pertanian

(presentasi berformat pdf dalam situs http://wawasandigital krisisglobaldanrevitalisa-sipertanian.htm). Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian - Badan Pengembangan SDM Pertanian - Departemen Pertanian.

Santiko, Hariani. 1995. Seni Bangunan Sakral Masa Hindu - Budha di Indonesia (Abad VIII – XV Masehi): Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik (pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Tetap). Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.

Sikumbang, Achyar. 2008. Dominasi Komik Asing dan Kontroversi Keberada-an Komik dalam Dunia Pendidikan Indonesia (artikel dalam Jurnal Seni dan Desain “Ranah Seni”, Volume 02 Nomor 1, September 2008). Jurusan Seni Rupa – Universitas Negeri Padang. Padang. Tabrani, Primadi. 2005. Bahasa Rupa. Kelir. Bandung.

Tabrani, Primadi.1991, Meninjau Bahasa Rupa Wayang Beber Jaka Kembang Kuning dari Telaah Cara Wimba dan Tata Ungkapan Bahasa Ruparungu Dwimatra Statis Modern, dalam Hubungannya dengan Gambar Prasejarah, Primitip, Anak dan Relief Cerita Lalitavistara Borobudur (Disertasi Doktor). Fakultas Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Curriculum Vitae Drs. Dwi Budi Harto, M.Sn

Lahir di Kediri, 25 april 1967. Sejak tahun 1992 menjadi dosen di Jurusan Seni Rupa FBS asUnnes. Sejak 2001 menjadi dosen di Jurusan Seni Rupa FBS, Prodi Desain Komunikasi Visual Universitas Negeri Semarang, mengampu mata kuliah pokok: Batik, Animasi Kartun, Komputer Grafis, Multimedia Interaktif, Desain Komunikasi Visual, Menggambar, Presentasi Multimedia, Perancangan DKV, Desain Komunikasi Audio Visual, Sejarah Seni Rupa Indonesia. Selain aktif berpameran Seni Rupa dan Desain, kurang lebih 30 kali menjadi juara dalam lomba bidang Seni Rupa dan Desain baik tingkat lokal, regional, maupun nasional (khususnya bidang desain grafis dan multimedia).

Karya Ilmiah / Penelitian / Karya Seni / Desain (3 Tahun Terakhir):

1) Penelitian dana PPKP: Pengembangan Model Pembelajaran Outdoor dalam Mata Kuliah Gambar pada Jurusan Seni Rupa FBS UNNES, tahun 2008

2) Penelitian dana DIK: Peningkatan Kualitas Pembelajaran Melalui Metode Pencitraan Seni bagi Siswa Taman Kanak-Kanak (2008)

(24)

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik 23 2008. Judul makalah: Trikotomi dalam Perancangan Pembelajaran Multimedia Interaktif Bidang Seni

4) Pemakalah pendamping Seminar International Pengembangan Industri Kreatif Berbasis Tradisi Dalam Menghadapi Era Globalisasi” (Tradition Based Creative

Industry Development In Facing Globalization Era), di Institut Seni Indonesia (ISI)

Surakarta, 17 Desember 2008. Judul Makalah: Bahasa Rupa Tradisi sebagai Salah Satu Ciri ‘Local Genius’ Budaya Bangsa dalam Industri Kreatif Animasi Indonesia 5) Pemakalah pendamping International Seminar: "The Information and Communication

Technology (ICT) in Education", The Graduate School Yogyakarta State University 13

– 14 February 2009. Judul Makalah: Aesthetics Consideration in Interactive Learning

Multimedia (ILM) Designing (Pertimbangan Estetika dalam Perancangan Multimedia

Pembelajaran Interaktif / MPI)

6) Pemakalah Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat FBS UNNES, 17 Februari 2009. Judul Makalah: Montase Tematik sebagai Media Pembelajaran Di Taman Kanak-Kanak: Pelatihan pada Guru TK Se-Kota Kudus 7) Pemakalah Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat FBS

UNNES, 16 Februari 2010. Judul Makalah: Kepekaan Estetik Visual Siswa SMA di Jawa Tengah

8) Penelitian DIK: Peningkatan Kualitas Pembelajaran Melalui Metode Pencitraan Seni Bagi Siswa Taman Kanak-Kanak, tahun 2009

9) Artikel pada jurnal seni Imajinasi: Masa Pendirian Candi Surawana Dan Candi Tigawangi: Analisis Segi Relief Dan Inskripsi (2009)

10) Penelitian Institusi: Kepekaan Estetik Visual Siswa SMA di Jawa Tengah (2009) 11) Penelitian Dasar: Kajian Banding Bahasa Rupa Relief Candi Surawana dengan Relief

Teras Pendapa Panataran (2010)

12) Pemakalah pendamping pada Seminar Nasional Batik “Revitalisasi Batik melalui Dunia Pendidikan” di Universitas Negeri Yogyakarta, 18 Mei 2010, Judul makalah: Fungsi Batik Masih Bisa Diothak-Athik: Sebuah Tawaran Revitalisasi Batik untuk Film Animasi Khas Indonesia.

13) Penelitian Terapan: Penerapan Bahasa Rupa Tradisi Sekuen Sayembara Memanah Relief Lalitavistara Borobudur sebagai Model Film Animasi Berkarakter Budaya Indonesia (2010)

14) Pemakalah pada Seminar Nasional “Dinamika Industri Kreatif dalam Pendidikan Seni” di Dekanat FBS UNNES, 16 November 2010. Judul makalah: Dinamika Industri Kreatif Animasi di Indonesia

15) Pemakalah Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat FBS UNNES, 29 Desember 2010. Judul Makalah: Penerapan Bahasa Rupa Tradisi Sekuen Sayembara Memanah Relief Lalitavistara Borobudur sebagai Model Film Animasi Berkarakter Budaya Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Lembaga Sertifikasi ISPO yang selanjutnya disebut Lembaga Sertifikasi adalah lembaga independen yang telah mendapatkan pengakuan dari Komisi ISPO dengan persyaratan

Rina Khairunnisa, “Perbandingan Model Pembelajaran GI (Group Investigation) dengan Model Pembelajaran STAD (Student Teams Achievement Division) Terhadap Hasil Belajar

BIOETANOL SINGKONG SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKAR TERBAHARUKAN DAN SOLUSI UNTUK MENINGKATKAN PENGHASILAN PETANI SINGKONG.. Oleh :

penelitian ini diambil menggunakan teknik sampling purposive sampling dengan kriteria bahwa sampel yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini berdasarkan

[r]

Komponennya antara lain: (1) Kebijakan berwawasan lingkungan serta rencana kegiatan dan anggaran sekolah yang mana diaplikasikan di dalam ruang lingkup sekolah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan seorang perawat sebagai informasi dasar ketika memberikan asuhan keperawatan dan untuk meningkatkan kemampuan perawatan diri penderita DM Tipe

Untuk dapat dikatakan bahwa seseorang telah melek informasi (information literate) paling tidak harus memiliki kemampuan untuk menentukan cakupan informasi yang diperlukan,