• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERKAITAN ANTARA KONSEP METAFISIKA DEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KETERKAITAN ANTARA KONSEP METAFISIKA DEN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN ANTARA KONSEP METAFISIKA DENGAN

SAINS DALAM FILSAFAT ILMU

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Oleh:

Nur Wulan Puji Permari (1402378)

Dosen:

Achmad Munandar, Prof., DR., M.Pd.

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudut pandang beberapa kalangan antara metafisika dan sains sangat berbeda-beda. Beberapa kalangan peneliti atau saintis memandang bahwa sains itu nyata dan sangat tidak berhubungan dengan hal-hal metafisika, seperti tidak berdasarkan logika, tidak rasional, atau tidak nyata. Akan tetapi, beberapa kalangan setuju bahwa metafisika memiliki hubungan yang erat dengan sains dalam beberapa segi. Oleh karena itu, banyak perdebatan dalam pandangan metafisika yang memiliki hubungan dengan sains.

Dalam sejarah, metafisika dan sains pernah memiliki hubungan yang erat dimana keduanya dinilai sebagai suatu kesatuan dan berada dalam wilayah yang sama yakni, filsafat alam (natural philosophy). Namun dalam perkembangan selanjutnya terjadi pemisahan antar keduanya. Pemisahan ini sebenarnya sudah memiliki bibit sejak masa yunani kuno namun diperkuat oleh berbagai pandangan pemikir sesudahnya mengenai relasi metafisika dan sains. Salah satu pandangan yang memisahkan keduanya adalah pandangan kaum positivistik. Kaum positivistik dipersatukan oleh ketidakpercayaan terhadap metafisika (Callender, 2011). Ketidakpercayaan ini memunculkan usaha untuk memberikan pembatasan antara sains dengan non-sains; secara lebih partikular, antara sains dengan metafisika spekulatif.

Kritik terhadap metafisika tidak hanya datang dari para kaum positivistik sendiri melainkan juga dari para penulis lain yang bergulat dengan filsafat ilmu (Callender, 2011). Menarik dicatat bahwa para penulis ini justru tidak berangkat dari rasa anti terhadap metafisika; tidak berangkat dari rasa curiga terhadap metafisika. Bahkan mereka dalam penulisannya, memberikan ruang bagi beberapa pandangan metafisika.

B. Tujuan

(3)

1. Memaparkan bagaimana hubungan rumit antara metafisika dan sains.

2. Memaparkan bagaimana memahami keterkaitan antara metafisika dan sains.

BAB II

(4)

A. Pandangan Umum Metafisika

Kata metafisika sendiri dikenal pertama kali dalam karya Aristoteles untuk merujuk pada persoalan Being qua Being, Ada sejauh Ada (Mumford, 2008). Kata metafisika sendiri tidak berasal dari Aristoteles sendiri melainkan dari hasil penerjemahan yang merujuk pada dua kata yakni, “sesudah fisika” (me ta ta phusika). Istilah metafisika diberikan kepada karya Aristoteles oleh Andronicos dari Rhodes. Namun, secara kebetulan metafisika yang diartikannya sebagai “sesudah fisika” ini memiliki makna yang lebih lanjut. Adapun makna metafisika menjadi apa yang ada di atas atau sesuatu hal yang melampaui fisika terkait dengan objek kajiannya. Bagi Aristoteles, persoalan metafisika memiliki isi (konten) yang lebih abstrak ketimbang ilmu sains. Di sini ia mempertimbangkan persoalan Ada dalam konteks yang umum dan abstrak, melampaui apa yang empiris. Pemikiran Aristoteles ini mengandung bibit pemisahan antara sains dan metafisika.

Namun pemisahan tegas antar keduanya terjadi dalam rentang masa berikutnya baik dari sudut filosofis maupun sains itu sendiri (Mumford, 2008). Pemisahan ini berangkat dari berbagai kecurigaan para pemikir terhadap metafisika. Ada dua hal yang patut diperhatikan berkaitan dengan metafisika. Pertama, metafisika dan sains sama-sama memiliki objek kajian yang sama meski dengan pendekatan berbeda terhadap objek tersebut. Objek kajian keduanya adalah realitas. Namun pada metafisika, investigasi terhadap realitas terealisasikan dengan cara mencari jawaban atas pertanyaan: ”apakah ada prinsip-prinsip yang dilekatkan kepada seluruh realitas?”. Selain mencari jawaban atas berbagai prinsip dasar tersebut, metafisika juga bekerja untuk menemukan apa kenyataan yang paling utama. Jawaban dari pertanyaan mengenai “kenyataan yang paling utama” ini sering kali sangat berbeda dengan pengalaman yang kita jumpai dalam dunia.

(5)

melalui pengalaman. Fokus metafisika adalah prinsip paling dasar dari realitas serta apa itu realitas yang sebenarnya. Dengan kata lain, fokus metafisika terletak pada apa yang melampaui data-data empiris. Jika dikaitkan dengan persoalan sains, kita dapat dengan mudah melihat perbedaan antara keduanya. Sains sangat lekat dengan data-data empiris sementara metafisika sering dimasukkan dalam golongan “bukan empiris”. Bahkan pandangan mengenai perbedaan keduanya juga menyangkut cara mendapatkan kebenaran. Pada sains, kebenaran diperoleh lewat pengalaman a posteriori sementara metafisika mendapatkan kebenaran melalui pengalaman a priori (Mumford, 2008).

Dari penjelasan penjabaran di atas, apakah lantas metafisika dan sains adalah dua hal yang benar-benar berbeda dan tak bisa didamaikan? Apakah mungkin metafisika memiliki nilai positif dalam sains? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini melahirkan perdebatan panjang. Dalam bagian selanjutnya akan dipaparkan perdebatan mengenai garis tegas antara sains dan metafisika. Bagian ini tidak hanya akan menunjukkan perdebatan itu sendiri namun akan menunjukkan bagaimana faktor metafisika itu sendiri memicu kesulitan dalam pembatasannya dengan sains.

B. Perdebatan mengenai Metafisika dan Sains

Ketidakpercayaan terhadap metafisika di dalam sains tidak hanya diakui oleh pihak ilmuwan sebagai pelaku sains, melainkan juga dari para pemikir filsafat. Immanuel Kant yang menyatakan bahwa metafisika merupakan ketidakwajaran dalam pemahaman (understanding). Bahkan menurut Carnap (1963) dalam Callender (2011: 34), bagi para pemikir yang terinspirasi oleh Kant, metafisika dianggap telah kehilangan kontak dengan yang empiris:

(6)

Pandangan ini memuat konsekuensi logis dimana sains yang lekat dengan berbagai data empiris sungguh bertolak belakang bahkan tidak memiliki hubungan apa-apa dengan metafisika. Dengan demikian harus ada batas tegas antara sains dengan metafisika.

Perlu diketahui bahwa kritik terhadap metafisika itu tidak hanya dilancarkan oleh pihak-pihak yang memang ingin memisahkan keduanya, namun juga datang dari beberapa pemikir yang justru memberi ruang bagi metafisika dalam filsafat ilmu, seperti Willard van Orman Quine (Callender, 2011). Bagi Quine, fokus dari para metafisikus tidaklah berbeda dengan fokus para ilmuwan yakni persoalan berupa pertanyaan ontologis seperti “apakah itu X?”. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang masuk akal. Hal tersebut berbeda dengan pandangan dari kaum empirisisme yang melihat bahwa pertanyaan yang muncul dari non-sains adalah tidak masuk akal. Pertanyaan ontologis di atas masuk akal sejauh pernyataan tersebut dapat digolongkan ke dalam bentuk logis yang layak. Pertanyaan mengenai X dalam teori hanya bisa dikatakan masuk akal jika X masuk dalam wilayah variabel teori tersebut. Lewat contoh di atas, kita bisa melihat bagaimana metafisika masih bisa mengambil bagian dalam sains dengan beberapa kondisi yang diberlakukan dalam wilayah sains.

(7)

Namun perdebatan mengenai batasan tegas antara metafisika dan sains tidak benar-benar menghasilkan batas yang tegas. Hal ini dapat dibuktikan dengan mempelajari salah satu tema metafisika yakni, persoalan modalitas. Modalitas mengacu pada karakteristik dari entitas dan pernyataan peristiwa yang dideskripsikan oleh proposisi pengandaian (Audi, 1999).

Persoalan mengenai modalitas metafisis dalam pemikiran Kripke merupakan salah satu pandangan yang dapat membawa kita pada pemahaman akan sulitnya membatasi unsur metafisika dalam sains. Kripke melihat bahwa kita memiliki intuisi yang kuat mengenai apa yang mungkin (posibilitas) dan intuisi ini berasal dari wilayah modalitas metafisis (Callender, 2011). Contoh dari pemahaman ini adalah:”jika dikatakan bahwa air merupakan H2O, maka air tidak

bisa lain daripada itu”. Pernyataan “maka air tidak bisa lain daripada itu” merupakan kepastian metafisis, dimana gagasan air merujuk pada H2O. Dari

pandangan Kripke kita bisa melihat bahwa ada pengandaian mengenai keterkaitan erat antara metafisika dengan data hasil pengalaman (data empiris). Fisika sendiri tidak memiliki kata “air” untuk merujuk pada kasus H2O. Dari penjabaran ini kita

bisa melihat bahwa tidak ada garansi bahwa posibilitas metafisis bebas terhadap sains aktual.

Seluruh pemaparan di atas sebenarnya ingin menunjukkan bagaimana para pemikir berusaha untuk memberikan batasan-batasan terhadap sains dan metafisika. Ada yang benar-benar menolak metafisika tetapi ada juga yang memberikan ruang bagi unsur metafisika tertentu. Setelah melihat usaha pembatasan antara sains dan metafisika maka kita bisa menyimpulkan bahwa ada relasi antara metafisika dan sains. Relasi antara sains dan metafisika akan dijabarkan pada bagian selanjutnya, dimana pandangan mengenai relasi keduanya terbagi menjadi tiga yakni; pandangan Realisme, Rancangan Canberra, dan A posteriorisme.

(8)

Kita sudah melihat bagaimana usaha untuk menarik batas antara sains dan metafisika pada bagian sebelumnya. Pada bagian ini akan dibahas bagaimana pandangan terhadap relasi antara sains dan metafisika itu sendiri. Pandangan terhadap relasi sains dan metafisika terdiri dari beberapa bentuk. Adapun pembagian bentuk pandangan tersebut diambil dari penjabaran Stephen Mumford yang tertuang dalam tulisan berjudul “Metaphysics”.

Menurut Mumford (2008), terdapat setidaknya tiga bentuk pandangan yang memiliki pemikiran berbeda terhadap relasi sains dan metafisika dengan berfokus pada penilaian mereka terhadap metafisika itu sendiri. Adapun tiga pandangan tersebut meliputi realisme, Rancangan Canberra (The Canberra Plan), dan A posteriorisme. Ketiganya memiliki posisi tersendiri dalam menilai metafisika. Pandangan realisme dapat diwakilkan oleh pandangan E.J Lowe. Lowe (2002: 4) dalam Mumford (2008: 32) mengatakan bahwa “kita semua merupakan merupakan metafisikus terlepas dari kita mengetahuinya atau tidak, dan terlepas dari apakah kita menyukainya atau tidak”. Apa maksud dari ucapannya ini?

(9)

Lewat pandangan di atas, Lowe ingin menunjukkan peran metafisika sebagai ilmu yang utama dan fundamental (Mumford, 2008). Namun pandangannya mengenai metafisika tidak serta-merta menggeser apa yang empiris. Ia memberikan kelonggaran terhadap hal empiris. Baginya, pertimbangan empiris dan metafisika bisa saling berinteraksi untuk membangun metafisika yang diterangkan secara empiris.

Berbeda dengan pandangan realisme, Rancangan Canberra melihat bahwa metafisika merupakan usaha untuk mengumpulkan berbagai anggapan atau pernyataan hambar, yaitu seluruh kebenaran a priori yang mengatakan apa itu beberapa fenomena yang ada dihadapan kita (Mumford, 2008). Misalnya, metafisika hanya berbicara mengenai hubungan sebab akibat yang seharusnya, atau hukum alam. Metafisika hanya akan berbicara mengenai keterkaitan berbagai kejadian yang terkait dalam proses pencarian hubungan sebab-akibat. Setelah mendapatkan keterkaitan tersebut, metafisika mencoba membentuk rangkaian tetap diantara berbagai kejadian, dan seterusnya. Bagi Frank Jackson yang adalah pencetus rancangan Canberra, tahap metafisika hanyalah tahap awal. Tahap kedua yang penting dilakukan adalah melihat dan menemukan apa yang menjadi pembentuk fakta empiris. Atau dengan kata lain, dalam tahap kedua, manusia perlu menemukan apa yang ada di balik dan menjadi pembentuk realitas. Misalnya, pemindahan energi ataupun kekuatan kausal. Para ilmuwan berperan pada tahap kedua ini.

(10)

selesai, karena penyelesaian persoalan selalu harus berada dalam tahap kedua. Para metafisikus sendiri enggan untuk “memberikan” begitu saja tahap kedua kepada para ilmuwan.

Persoalan kedua yang muncul dari Rancangan Canberra adalah menyangkut keterkaitan metafisika dengan cara berpikir alamiah (Mumford, 2008). Dengan mengatakan bahwa metafisika hanya sekedar mengumpulkan kebenaran-kebenaran a priori pada tahap awal, maka pendapat ini justru mereduksi metafisika menjadi hanya sekedar kumpulan dari pikiran praktis. Hal ini mereduksi metafisika yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk berkembang, memperbaiki dan mengorganisasikan cara kita untuk berpikir.

Adapun bentuk pandangan mengenai relasi sains dan metafisika yang terakhir adalah pandangan a posteriorisme (Mumford, 2008). Pandangannya mengenai metafisika berangkat dari penolakkan terhadap kepastian pengetahuan a priori. Pandangan ini diwakilkan oleh Putnam yang berargumen bahwa kepastian pengetahuan a priori bisa saja menjadi salah. Ia sebenarnya ingin secara umum ingin menguji pandangan mengenai kebenaran yang pasti dan abadi. Jika memang benar ada kebenaran yang pasti dan abadi maka persoalan posibilitas dalam metafisika tidak relevan lagi, sehingga dapat dipertanyakan apakah metafisika masih diperlukan atau tidak.

(11)

pandangan global. Ketika kita menarik suatu pandangan global maka pada saat itulah kita sudah berada pada spektrum metafisika.

Ketiga pandangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa meskipun memiliki kelemahan dan menjadi sasaran kritik dari para pemikir, metafisika tetap memiliki kontribusi terhadap perkembangan sains. Lewat tiga bentuk pandangan mengenai metafisika ini kita bisa melihat bahwa penarikan batas tegas antara sains dan metafisika tidak menghilangkan relasi antara keduanya.

BAB III

KESIMPULAN

(12)

keduanya yang tertuang dalam tiga bentuk pandangan yakni; realisme, rancangan canberra, dan a posteriori. Ketiga bentuk pandangan ini berangkat justru dari batasan-batasan yang diberikan oleh para pemikir bagi sains maupun metafisika.

Perdebatan mengenai batas antara metafisika dan sains terdapat ke dalam tiga poin. Pertama, metafisika dan sains dipisahkan terkait dengan relasinya terhadap “yang empiris”. Kedua, wilayah kerja antara metafisika dan sains memiliki perbedaan yang sangat menyolok. Ketiga, perdebatan mengenai batasan antara metafisika dan sains justru tidak membuat metafisika menjadi kajian yang tidak penting. Metafisika dan sains justru saling terkait.

Perdebatan mengenai batasan tegas antara metafisika dan sains dalam artian tertentu ikut ambil bagian dalam pembentukkan relasi antar keduanya. Setidaknya ada tiga bentuk pandangan yang mewakili berbagai pandangan mengenai relasi antara metafisika dan sains. Relasi pertama dipahami dalam pandangan realisme. Pandangan realisme melihat bahwa metafisika merupakan disiplin ilmu yang substansial dan utama. Pandangan kedua adalah Rancangan Canberra. Pendapat ini melihat bahwa metafisika dan sains berada dalam tingkatan yang berbeda. Metafisika dinilai sebagai ilmu yang berada di tingkat awal. Sementara sains berada di tingkat kedua dimana hanya dalam tingkat ini realitas dapat dipahami. Pandangan ketiga mengenai relasi antara metafisika dan sains adalah pandangan a posteriorisme. Pandangan ini menolak gagasan bahwa metafisika dan sains berada dalam wilayah yang berbeda yakni; wilayah a priori dan a posteriori.

DAFTAR PUSTAKA

(13)

Callender, C. (2011). Philosophy of Science and Metaphysics. The Continuum Companion to the Philosophy of Science, pp. 33-54. [Online]. Tersedia: http://philosophyfaculty.ecsd.edu [4 Mei 2015]

Mumford, S. (2008). Metaphysics. The Routledge Companion to Philosophy of Science, pp. 26-35. [Online]. Tersedia: http://sociology.sunimc.net [4 Mei 2015]

Referensi

Dokumen terkait

Drive merupakan teknik pukulan yang dilakukan dengan cara menggerakan bet dari bawah serong ke atas dan sikap bet tertutup Service yaitu teknik memukul untuk menyajikan bola

Permasalahan mendasar dalam penelitian ini yaitu (1) apa saja kebutuhan guru dan siswa SD 02 Bangkle di Kabupaten Blora terhadap media pembelajaran keterampilan berbicara,

 Peserta didik memperoleh umpan balik (feedback) dari guru dan teman tentang hasil analisis mereka tentang fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan yang

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan nikmat sehingga penulis

Jika sistem terdahulu yaitu pascabayar, pembayaran atau tagihan di bayar diakhir bulan maka pada prabayar pembayaran dilakukan pada saat ingin menggunakan listrik

mudhārabah di BRISyariah Kantor Cabang Banjarmasin. Nasabah menerima bilyet deposito, bilyet ini berfungsi sebagai bukti kepemilikan deposito mudhārabah di BRISyariah

Pada halaman Daftar Bimbingan Akademik pilih mahasiswa yang ingin dilihat transkrip nilainya dan tekan link Transkrip yang terdapat pada kolom Lihat sehingga akan

pokok melaksanakan sebagian tugas kepala dinas dalam hal fasilitasi, koordinasi, pembinaan, Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan Kesehatan dasar, kesehatan