• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMODELAN TEC IONOSFER DI ATAS SUMATRA D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMODELAN TEC IONOSFER DI ATAS SUMATRA D"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN TEC IONOSFER DI ATAS SUMATRA DAN

SEKITARNYA MENDEKATI REAL TIME DARI DATA GPS NTUS

Buldan Muslim

Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung, 40173 Telp. 022-6012602

Email: mbuldan@yahoo.co.id

INTISARI

Ionosfer mempengaruhi propagasi sinyal radio yang menjalar dari satelit sampai penerima GPS berupa tambahan waktu propagasi yang besarnya tergantung pada TEC ionosfer dan frekuensi yang digunakan. Jika koordinat satelit dan stasiun penerima GPS diketahui maka dari data GPS frekuensi ganda dapat diturunkan parameter total electron content (TEC) ionosfer pada titik potong lintasan sinyal GPS di ionosfer. Dari satu stasiun GPS Singapura NTUS dapat dikembangkan model TEC ionosfer di atas Sumatra dan sekitarnya yang mana cakupan model tersebut tergantung pada sudut elevasi minimum yang digunakan. Makalah ini menerangkan prosedur pemodelan TEC mendekati real time di atas Sumatra dan sekitarnya dari satu stasiun GPS NTUS di Singapura.

Kata kunci: GPS, TEC, model.

1. Pendahuluan

Ionosfer adalah bagian dari atmosfer atas (di atas 100 km dari permukaan bumi)

yang terdiri dari elektron-elektron yang dapat mempengaruhi propagasi gelombang

elektromagnetik. Ionosfer mempengaruhi propagasi sinyal kode GPS berupa tambahan

waktu tempuh penjalarannya yang besarnya tergantung pada total electron content

(TEC) di ionosfer dan frekuensi sinyal GPS.

TEC adalah kandungan elektron total dalam suatu silinder berpenampang 1 meter

persegi yang panjangnya sama dengan jarak dari satelit ke penerima GPS. Dalam

kondisi normal pengaruh ionosfer pada sinyal GPS biasanya hanya beberapa meter

sampai beberapa puluh meter, tetapi dapat mencapai 100 meter atau lebih pada saat ada

badai ionosfer. Setelah Selective Availability (SA) tidak diaktifkan, pengaruh ionosfer

menjadi sumber kesalahan yang terbesar. Untuk mendapatkan penentuan posisi dengan

presisi yang tinggi kesalahan yang bersumber dari ionosfer harus diestimasi agar dapat

dieliminir dalam pengamatan GPS. Estimasi pengaruh ionosfer juga penting untuk

penelitian cuaca antariksa dan aplikasi pengamatan bumi (Komjathy, 1997).

(2)

Amerika sejak 2004 telah dapat diperoleh produk karakterisasi TEC ionosfer di

atas CONUS (Continental US) secara real time dari SEC (NOAA Space Environment

Center). Produk berupa peta TEC di atas CONUS diberikan secara real time setiap 15

menit menggunakan sekitar 100 GPS real time dari jaringan CORS. Peta TEC real time

ini telah diaplikasikan untuk koreksi ionosfer pada penentuan posisi GPS frekuensi

tunggal, NDGPS, resolusi ambiguitas double differences untuk penentuan posisi cepat

dengan presisi sentimeter. Model yang digunakan untuk pemetaan TEC US ini adalah

model assimilasi ionosfer dengan filter Kalman dan dengan data GPS real time

(Kunches, 2007).

Buldan dkk., (2009) telah mengembangkan metode komputasi TEC harian dan

jaman mendekati real time dari data GPS NTUS sehingga diperoleh data TEC

mendekati real time yang dapat diakses dengan keterlambatan sekitar antara 1 - 2 jam.

Makalah ini menjelaskan prosedur pemodelan TEC ionosfer di atas Sumatra dan

sekitarnya yang diturunkan dari data GPS Singapura NTUS mendekati real time.

2. Data dan Metodologi

Data yang digunakan dalam komputasi TEC mendekati real time ini adalah data

pengamatan GPS mendekati real time resolusi tinggi (1Hz), data orbit satelit GPS dan

data koordinat stasiun GPS serta data bias receiver. Data tersebut dapat didownload

dari ftp://cddis.nasa.gov/ (data GPS stasiun NTUS dan data orbit GPS), dari

ftp://ftp.unibe.ch/aiub/CODE/ (data DCB untuk kalibrasi hasil komputasi TEC) dan dari

ftp://igscb.jpl.nasa.gov/pub/stastion/general/igs.snx (untuk data koordinat stasiun

NTUS).

Prosedur pertama kali pemodelan TEC mendekati real time adalah identifikasi

waktu yang meliputi tahun, bulan, tanggal, jam dan menit yang diperoleh dari jam di

PC. Untuk stasiun GPS di Indonesia dan sekitarnya yang dapat memberikan data jaman

mendekati real time dengan resolusi 1 Hz adalah data GPS NTUS sehingga pada awal

program ditentukan stasiun GPS NTUS.

Prosedur berikutnya adalah mencari data yang diperlukan yang telah tersedia di

server ftp sesuai dengan waktu yang telah diidentifikasi. Jika pencarian berhasil maka

langkah berikutnya adalah mendownload data GPS, data orbit, data stasiun dan data bias

(3)

Data yang ada pada penerima sinyal GPS frekuensi ganda yang digunakan di

stasiun referensi berisi pengamatan kode dan fase pada frekuensi L1 (f1 = 1575,42 MHz)

dan L2 (f2 = 1227,60 MHz) yang dinotasikan dengan Pi dan Φi (i = 1, 2). Secara

matematik pengamatan-pengamatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Gao dkk,

2002, dengan sedikit perubahan notasi)

Untuk frekuensi L1:

Dengan ρrs adalah jarak geometri sebenarnya antara satelit dan penerima (m), c adalah

kecepatan cahaya (m/s), dt adalah kesalahan jam satelit terhadap waktu GPS (s), dT

adalah kesalahan jam penerima terhadap waktu GPS (s), λi adalah panjang gelombang

sinyal GPS pada frekuensi Li (m) , Ni adalah ambiguitas integer fase gelombang

pembawa (siklus), dtrop adalah waktu tunda troposfer (m), dion adalah waktu tunda

ionosfer (m), dorb adalah kesalahan orbit satelit (m), dm adalah efek multipath (m), b

adalah waktu tunda hardware satelit (m), B adalah waktu tunda hardware penerima (m), ε adalah derau pengukuran (m).

Dengan data persamaan pengamatan jarak kode satelit GPS tersebut kita dapat

menghitung TEC dengan persamaan (Liu, 2004)

(

)

di mana bp adalah bias differensial pengamatan jarak kode untuk satelit dan Bp adalah

bias differensial pengamatan kode untuk penerima GPS dan γ = ( f1/ f2).

Dari data pengamatan jarak fase satelit GPS juga dapat dihitung TEC fase (STECf)

menggunakan persamaan (Liu, 2004)

(4)

dengan bf dan Bf adalah bias diferensial pengamatan jarak fase untuk satelit dan

penerima masing-masing.

Pengurangan persamaan (5) dengan (6) menghasilkan perbedaan antara TEC

kode dan TEC fase dalam bentuk

f k

n STEC STEC

STEC = −

∆ (7)

yang dengan substitusi akan diperoleh persamaan yang setelah disusun kembali menjadi

(

)

(

)

Secara teori nilai ∆STEC ini tetap selama periode tertentu karena antara kode dan fase

melewati ionosfer yang sama lokasinya. Maka dapat diperoleh secara lebih halus

(smooth) dengan perata-rataan dalam selang waktu tertentu. Nilai rata-rata perbedaan

tersebut pada waktu pengamatan N dapat diperoleh secara rekursif menggunakan

persamaan

Setelah nilai nilai rata-rata perbedaan tersebut dihitung maka dapat ditambahkan

pada persamaan STEC fase untuk mendapatkan STEC kombinasi STEC kode dan

STEC fase sebagai

N

yang dengan memasukkan persamaan-persamaan yang sesuai dapat disusun kembali

menjadi

Setelah diperoleh data TEC turunan dari data kode dan fase sinyal GPS sebagaimana

diungkapkan dalam persamaan (11), kemudian data tersebut dikonversikan ke dalam

TEC arah vertikal menggunakan persamaan

(5)

Secara geometri hubungan antara lintasan sinyal GPS di ionosfer dengan model ionosfer

satu lapis itunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Ionosfer model satu lapis pada ketinggian 350 km.

Pada setiap jam pengamatan dapat diperoleh pengamatan VTEC dari beberapa

satelit GPS yang dapat diamati dari penerima NTUS yang melintasi ionosfer pada

lintang dan bujur yang berbeda-beda di atas Sumatra, Kalimantan Barat dan Jawa Barat

serta daerah sekitarnya yang mana cakupan pengamatan ionosfer tersebut tergantung

pada sudut elevasi yang digunakan.

Dengan diperolehnya data VTEC dari stasiun pengamatan GPS NTUS maka

model VTEC lokal di atas Sumatra dan sekitarnya dapat dibuat menggunakan

persamaan

variabel lintang dan M adalah orde fungsi polinom dengan variabel bujur. N dan M

dapat ditentukan berdasarkan kriteria rata-rata kesalahan mutlak yang terkecil antara

model dengan data pengamatan untuk sudut elevasi yang berbeda-beda dan pada orde

yang bervariasi.

Data komputasi TEC mendekati real time, model spasial TEC regional tiap jam

dalam bentuk gambar dan file numerik selanjutnya disimpan di PC pemroses. Data TEC

diupload ke server ftp://ftp.bdg.lapan.go.id/Ionosfer_dan_Telekomunikasi/TECGPS,dan

ke ftp://ftp.bdg.lapan.go.id/Ionosfer_dan_Telekomunikasi/IONOSFER_INDONESIA/

(6)

Prosedur selanjutnya adalah kembali ke awal yaitu indentifikasi waktu setelah

proses pemodelan TEC pada jam tersebut selesai. Jika jam menunjukkan masih sama

dengan jam pada awal proses maka dilakukan penundaan sampai masuk jam berikutnya

dan menitnya sudah masuk ke menit lebih besar dari menit ke 37, untuk menjamin dapat

GPS NTUS telah tersedia di server ftp. Secara skematik algoritma pemodelan TEC

mendekati real time dalam makalah ini diilustrasikan dengan Gambar 2

Gambar 2 Diagram alir pemodelan TEC ionosfer regional mendekati real time.

3. Hasil dan Pembahasan

Proses download otomatis data GPS dan komputasi serta pemodelan TEC regional

dari data GPS NTUS telah dapat diimplementasikan dalam matlab dan telah

operasional. Proses pemodelan mulai dari identifikasi waktu sampai penyimpanan

hasilnya memerlukan waktu rata-rata kurang dari 30 menit kecuali pada saat trafik

internet sangat padat bisa lebih dari 30 menit bahkan bisa terjadi kegagalan koneksi

sehingga proses pemodelan harus diulang kembali.

Hasil komputasi TEC untuk pengamaatan GPS NTUS tanggal 3 Juni 2009 dapat

dilihat pada Gambar 3a, 3b, 3c dan 3d yang masing-masing memperlihatkan nilai TEC Pencarian

data

Interpolasi spasial

Data DCB

ftp://ftp.unibe.ch/aiub/CODE/

ftp://igscb.jpl.nasa.gov/pub/stastion/ Koordinat Stasiun

FTP

Ya

Tdk

Peta TEC lokal Area terbatas Identifikasi

waktu (jj-mm-dd) Dan stasiun

Server Data GPS (Near) real time

IGS

ftp://cddis.nasa.gov/

Ketemu

Preprocessing Komputasi TEC Kalibrasi TEC ntus129b.09t Server FTP:

ftp.bdg.lapan.go.id Simpan

Tunda sampai waktu komputasi

Upload

User

Mnt > 37

tdk

(7)

dengan batas sudut elevasi minimum (cut off angle) bervariasi dari 0, 5, 10 dan 15

derajat. Diketahui dari gambar tersebut bahwa pada batas sudut elevasi minimum 15

derajat nilai TEC memiliki sifat yang kontinyu dan lebih halus tidak mengandung

multipath seperti pada sudut elevasi minimum kurang dari 10 derajat. Oleh karena itu

dalam pemodelan TEC dari data GPS disarankan menggunakan batas elevasi minimum

sebesar 15 derajat.

a b c d

Gambar 3. TEC ionosfer yang diturunkan dari data GPS NTUS untuk tanggal 3 Juni

2009.

Pada Gambar 4 ditunjukkan nilai simpangan mutlak rata-rata (MAD, mean

absolute deviasion) model spasial TEC pada beberapa sudut elevasi yang berbeda mulai

dari 5 sampai 50 derajat dan untuk orde fungsi polinom yang bervariasi mulai dari orde

P(N,M) = P(1,1) sampai P(5,5). Dari gambar tersebut didapatkan bahwa pada sudut

elevasi minimum 15 derajat model P(3,2) merupakan model yang optimum karena pada

orde yang lebih tinggi peningkatan akurasi model tidak signifikan yaitu hanya sekitar

0,1 TECU. Simpangan model P(3,2) pada jam 8 UTC (15 LTC) kurang dari 1 TECU.

Untuk sudut elevasi minimum yang lebih tinggi sampai 35 derajat peningkatan akurasi

model kurang dari 0,2 TECU tetapi cakupan model menjadi lebih sempit.

Contoh model spasial TEC P(3,2) mendekati real time untuk tanggal 30 Mei 2009

pada jam 3, 5 dan 12 UTC ditunjukkan pada Gambar 5 yang memperlihatkan adanya

respon ionosfer terhadap perubahan ionisasi dari radiasi matahari yang semakin

meningkat dari jam 3 sampai 5 UTC sementara pada jam 12 UTC mulai terjadi

penurunan TEC karena semakin lemahnya sumber radiasi matahari pada waktu tersebut

(8)

NTUS 30 Mei 2009 jam 8 UTC

0 0.5 1 1.5 2 2.5

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Sudut elevasi minimum (der)

M

A

D

(

T

E

C

U

)

P(1,1) P(2,1) P(2,2) P(3,2) P(3,3) P(4,3) P(4,4) P(5,4) P(5,5)

Gambar 4. MAD model TEC pada beberapa sudut elevasi minimum dan dengan orde polinom yang bervariasi dari P(N,M) = P(1,1), P(2,1), ... , P(5,5).

Gambar 5. TEC model P(3,2) dari data GPS NTUS tanggal 30 Mei 2009.

Gambar 6 menunjukkan variasi TEC harian pada ham 8 UTC dari tanggal 1 sampai 9

Juni 2009. Secara umum terdapat peningkatan TEC di sebelah timur dari peta yaitu di

atas Kalimantan Barat dan Jawa Barat serta Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa

model P(3,2) dapat merepresentasikan dengan baik TEC di atas Sumatra, Jawa Barat

dan Kalimantan Barat pada jam 8 UTC. Tetapi untuk jam-jam lainnya model P(3,2)

dengan sudut elevasi minimum 15 derajat belum tentu dapat mencakup daerah seluas

pada jam 8 UTC tersebut seperti yang terjadi pada jam 2 UTC pada tanggal yang sama.

Sebagai perbandingan TEC model P(3,2) telah dibandingkan dengan TEC model

regional MSILRI (Buldan, 2007). TEC model MSILRI merupakan model bulanan yang

mewakili kondisi ionosfer yang tenang. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7, nilai

maksimum TEC model lokal P(3,2) mencapai 29 TECU hampir sama dengan nilai

maksimum TEC MSILRI yaitu sebesar 29,99 TECU tetapi terjadi pada waktu yang

(9)

1,5 TECU sedangkan TEC MSILRI mencapai terendah pada jam 6 waktu lokal dengan

nilai 3,2 TECU. Pola diurnal hampir sama dengan nilai korelasi 0,8. Pola paling mirip

terjadi pada waktu awal siang 9 – 13. Perbedaan terbesar terjadi pada jam sore hari jam

2 sampai jam 21 waktu lokal. Hal ini menunjukkan bahwa variabilitas anomali ionisasi

ionosfer lintang rendah sangat dinamis yang disebabkan oleh kombinasi drift

elketrodinamika E X B dan difusi sepanjang garis medan magnet bumi karena gravitasi

bumi.

Model TEC lokal di atas Sumatra dari data GPS NTUS masih perlu divalidasi

menggunakan model TEC lainnya untuk periode pengamatan yang lebih panjang.

Gambar 6. Variasi harian TEC model P(3,2) , 1 sampai 9 Juni 2009 pada jam 8 UTC.

Perbandingan model TEC

0 5 10 15 20 25 30 35

0 5 10 15 20 25

Waktu (LT)

T

E

C

(

T

E

C

U

)

TEC lokal TECMSILRI

(10)

4. Kesimpulan dan Rekomendasi

Pemodelan TEC ionosfer mendekati real di atas Sumatra dan sekitarnya dari data

GPS NTUS telah dapat dibuat dan telah dapat operasional secara otomatis melalui

pendeteksian waktu real di PC pemroses data GPS. Untuk stasiun GPS diperoleh sudut

elevasi minimum 15 derajat dan pada sudut tersebut diperoleh model TEC optimum

adalah P(3,2). Perbandingan model TEC lokal P(3,2) dari data GPS NTUS dengan

model TEC MSILRI menunjukkan bahwa model TEC tersebut memiliki pola kemiripan

cukup tinggi terutama pada saat proses ionisasi ionosfer lebih dominan pada pagi

setelah matahari terbit sampai siang hari. Karena dinamika ionosfer lintang rendah maka

nilai TEC model P(3,2) berbeda jauh dengan model TEC regional MSILRI pada saat

terjadi anomali ionisasi ionosfer lintang rendah pada sore hari sampai jam 21 LT.

Validasi lanjut diperlukan untuk mengetahui tingkat validitas cakupan pengamatan

ionosfer dari satu stasiun GPS NTUS.

Untuk membuat prediksi TEC secara spasial yang mencakup Indonesia bagian

barat diperlukan data GPS dari stasiun IGS lainnya seperti COCO di Cocos Island dan

XMIS di Crismast Island, DARW di Darwin dan PIMO di Filipina.

5. Daftar Pustaka

Buldan, M. (2009) : Pemodelan Ionosfer Lintang Rendah Geomagnet di Atas Wilayah Indonesia Dari Data GPS, Disertasi Doktor, ITB.

Gao, Y., dan Liu, Z.Z. (2002) : Precise Ionospheric Modeling Using Regional GPS Network Data, Journal of Global Positioning System, Vol. 1, No.1, 18-24.

Komjathy, A. (1997) : Global Ionospheric Total Electron Content Mapping Using the

Global Positioning System, Ph.D. dissertation, Department of Geodesy and

Geomatics Engineering Technical Report NO. 188, University of New Brunswick, Fredericton, New Brunswick, Canada, 248pp.

Kunches, J. (1997) : Space Weather Services for GPS, 47th CGSIC Fort Worth September 24, 2007

Liu, Z.Z. (2004) : Ionospheric Tomographic Modeling and Application Using Global

Positioning System (GPS) Measurements, Doctoral Thesis, University of Calgary,

Gambar

Gambar 1. Ionosfer model satu lapis pada ketinggian 350 km.
Gambar 2 Diagram alir pemodelan TEC ionosfer regional mendekati real time.
Gambar 3. TEC ionosfer yang diturunkan dari data GPS NTUS untuk tanggal 3 Juni
Gambar 4. MAD model TEC pada beberapa sudut elevasi minimum dan dengan orde polinom yang bervariasi dari P(N,M) = P(1,1), P(2,1), ..
+2

Referensi

Dokumen terkait

bahwa induk yang diberi pakan yang rendah vitamin E akan menghasilkan larva abnormal yang tinggi. Defisiensi vitamin E pada ikan dapat

Dengan adanya motivasi kerja, akan sangat berpengaruh terhadap psikologis seorang karyawan, karena dengan adanya motivasi kerja, maka dalam diri karyawan akan

variabel independen Lingkungan Kerja (X1) dan Motivasi Kerja (X2) yang dilakukan dalam penelitian ini mampu mempengaruhi terhadap variabel dependen yaitu Semangat

Alhamdulilllah puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

Beton pracetak adalah teknologi konstruksi struktur beton dengan komponen - komponen penyusun yang dicetak terlebih dahulu pada suatu tempat khusus (off site

Inilah yang juga harus menjadi prioritas kita khususnya di bulan Ramadhan ini, menjadi generasi rabbani dan menjadi bagian dari kemenangan Islam.. ليبس

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya sehingga ia

Anak domba jantan memiliki bobot sapih lebih tinggi dibandingkan betina, seperti terlihat pada hasil penelitian ini rata-rata bobot sapih individual jantan pada domba