F
IRMA
H
UKUM
MTM & ASSOCIATES
Paper Penelitian Hukum 2017-02
Mei 2017
P
ERSINGGUNGAN
H
UKUM
A
DMINISTRASI DENGAN
H
UKUM
P
IDANA DALAM
P
ENYELESAIAN
P
ERKARA
K
ORUPSI
Oleh
M
UHAMMAD
T
ABRANI
M
UTALIB
F
AKULTAS
H
UKUM
U
NIVERSITAS
M
UHAMMADIYAH
M
ALUKU
U
TARA
Paper ini dapat di unduh gratis dari akun Academia Penulis:
P
ERSINGGUNGAN
H
UKUM
A
DMINISTRASI DENGAN
H
UKUM
P
IDANA DALAM
P
ENYELESAIAN
P
ERKARA
K
ORUPSI
Oleh
M
UHAMMAD
T
ABRANI
M
UTALIB
F
AKULTAS
H
UKUM
U
NIVERSITAS
M
UHAMMADIYAH
M
ALUKU
U
TARA
Jl. KH Ahmad Dahlan No. 100, Sasa, Ternate-Maluku Utara
firmahukum.mtm@gmail.com
Abstract
This research investigates the problem of intersection (aanknopingspunten) between criminal law and administrative law in the settlement of corruption crime cases by using administrative law jurisdiction based on paradigm of ultimum remidium doctrine.
The results of the study found that there is indeed a connection (aanknopingspunten) between the field of administrative law with criminal law in the case of corruption. To be able to resolve the intersection, then in the prosecution of officials suspected of committing corruption crime must first or must use legal norms used by officials when doing its activities, namely administrative law as the entry way for the application and enforcement of law in corruption cases not only focus on aspects of punishment only, but rather should be more proportional, effective and targeted.
The benchmark to test the legality (legitimacy) of government action is the legislation and the general principles of good governance.
Keywords: Intersection between Criminal Law and Administrative Law, Corruption Cases, review the legality of government action
A. Pendahuluan
Sejak runtuhnya rezim orde baru yang berkuasa selama hampir 32 tahun dan
dimulainya suatu era baru yang disebut era reformasi telah memunculkan pelbagai desakan
kuat masyarakat yang menginginkan terwujudnya berbagai langkah nyata oleh pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Tuntutan demokratisasi, pembaruan komitmen dan kemauan politik
untuk memberantas dan mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme memerlukan
bangsa Indonesia saat itu sudah dianggap sangat serius, dan merupakan kejahatan yang
luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.1 Kejahatan
korupsi kala itu betul-betul menjadi salah satu agenda penting reformasi. Semangat ini
dapat dipahami karena sejak masa awal kemerdekaan, harapan tentang suatu pemerintahan
yang bersih, efektif dan efisien itu belum sepenuhnya terwujud.
Membangun suatu sistem pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme
memang bukan perkara mudah yang dapat diwujudkan dengan menggosok lampu Aladin
seperti dalam dongeng. Pemerintahan yang ideal bebas dari korupsi memang selamanya
mungkin tidak akan terwujud dalam realitas, sebab dalil tersebut memang mengandung
unsur utopia. Pengawasan dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang diharapkan
mampu melahirkan suatu sistem yang akuntabel pun terhalang oleh pelbagai
rintangan-rintangan politis dan prosedural. Namun terlepas dari itu, sejak tahun 1998 masalah
kejahatan korupsi telah ditetapkan Negara sebagai musuh bersama dan memerlukan
langkah-langkah percepatan berupa perumusan politik hukum pemberantasan korupsi. Hal
itu tampak dalam rumusan konsideran butir (a) dan (b) UU No. 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyatakan bahwa:
“Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
“Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi”.2
1 Lihat Konsideran menimbang butir (a), (b), (c), dan (d) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 Tahun 2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
2 Konsideran menimbang butir (a) dan (b) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Lebih lanjut, dalam konsideran menimbang butir (a) UU No. 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
rumusan di atas, lebih dipertegas lagi sebagai berikut:
“Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”.3
Atas dasar pertimbangan itulah, maka para perumus UU a quo saat itu dengan gagah
berani mendeklarasikan sekaligus menggolongkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan
yang luar biasa (extra ordinary crimes) yang berimplikasi pada cara penanganan dan
penyelesaian secara luar biasa pula (extra ordinary treatment).4 Sebab-musabab (asbābun
wurud) dari pertimbangan tersebut ialah didasarkan pada dalil bahwa perbuatan korupsi
dianggap berdampak menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada
gilirannya berimplikasi pada timbulnya krisis di berbagai bidang sehingga pada akhirnya
menghambat perwujudan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.5
Dalam sistem hukum Indonesia, tugas pemberantasan kejahatan korupsi sebagai
musuh bersama dijalankan oleh lembaga-lembaga negara (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK),
kinerja ini diperkuat juga dengan pembentukan Komisi Kepolisian Nasional, Komisi
3 Konsideran menimbang butir a Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134.
4“...Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.”
Lihat paragraf kedua penjelasan umum Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4150. Lihat hal senada juga dalam Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, poin no. [3.10.8] hlm. 115. Yang berbunyi “....oleh karenanya setiap tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa atau biasa disebut sebagai perbuatan yang bersifat extra ordinary crime.”
5 Disarikan dari penjelasan umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Kejaksaan, dan Komisi Yudisial.6 Disamping peran kelompok dari civil society yang
terus-menerus mengawasi kinerja lembaga-lembaga di atas. Meskipun demikian, hasil dari
semangat reformasi dan upaya luar biasa pemberantasan kejahatan korupsi ternyata pada
kenyataannya belum menunjukan capaian yang signifikan. Hal itu tampak dari Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari tahun 2010-2014 yang dilakukan oleh lembaga
Transparancy International (TI). Hasilnya antara lain:
“Pada tahun 2010, Indonesia berada pada peringkat 110 sebagai negara terbersih di dunia, lalu di tahun 2011 mengalami kenaikan pada angka 100. Peringkat Indonesia kembali turun pada 2012 ke-urutan 118, sedangkan peringkat Timor Leste pada tahun yang sama bahkan lebih baik. Peringkat Indonesia sedikit membaik di tahun 2013 pada peringkat 114 dan ditahun 2014 mengalami perbaikan lagi menempati urutan 107. Dengan merujuk data tersebut, Indonesia hingga 2014 belum berhasil masuk 50 teratas negara terbersih di dunia.”7
Sekalipun Indeks Persepsi Korupsi tersebut tidak dapat hanya dijadikan satu-satunya
parameter untuk mengukur keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,
namun data tersebut setidaknya menunjukan bahwa cara penanganan tindak pidana
korupsi yang lebih mengutamakan kuantitas perkara dan pendekatan retributif (penjeraan)
belum maksimal dan efektif dalam mengurangi dampak destruktif kejahatan korupsi.
Kebijkan hukum pemberantasan korupsi selama ini dirasa belum optimal diarahkan pada
upaya pencegahan (preventif) ataupun pengembalian kerugian keuangan negara.
Sejak tahun 2004 hingga akhir 2010, Menteri dalam Negeri telah mengeluarkan 157 izin
pemeriksaan terhadap kepala daerah yang terdiri dari 118 untuk pemeriksaan Bupati, 19
6 Romli Atmasasmita et.al, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Antikorupsi: Fakta dan Analisis, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2016, hlm. 3-4.
7 “...Sebelum tahun 2010, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di peringkat 85 bersama Angola.
surat izin pemeriksaan Walikota dan 20 untuk pemeriksaan Gubernur.8 Data ini
diperkirakan akan mengalami peningkatan dimasa yang akan datang, mengingat strategi
penanganan korupsi yang masih menitikberatkan pada kuantitas jumlah perkara korupsi
ketimbang strategi pencegahan dan alternatif upaya hukum lain.
Dalam laporan tahunan Indonesian Coruption Watch (ICW) disebutkan bahwa pada 2011
terdapat 1.056 jumlah tersangka korupsi, dan pada 2013 naik menjadi 1.271 kasus. Selain itu,
laporan kejaksanaan menyebutkan bahwa pada 2011 terdapat 699 kasus di tahap
penyelidikan korupsi, kemudian meningkat menjadi 1.696 kasus pada 2013. Namun,
kuantitas kasus korupsi tersebut tidak sebanding dengan pengembalian kerugian keuangan
negara. Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) fungsional tiga lembaga penegak hukum
(Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) tahun 2013 dan 2014 secara total sebesar Rp
7.058.154.097.096, sedangkan khusus KPK sendiri pada periode yang sama hanya Rp.
231.522.173.193 yang dikembalikan ke kas negara.9
Berkenaan dengan itu, Romli Atmasasmita mengatakan bahwa keadaan tersebut
disebabkan oleh masih melekatnya pengaruh aliran klasik dalam proses penegakan hukum,
khususnya dalam pemberantasan korupsi, yang lebih mengutamakan pendekatan retributif
(penjeraan) daripada pendekatan restoratif (pemulihan), dalam hal ini penyelamatan
keuangan negara.10 Patut pula disebutkan pandangan Syaiful Bakhri terkait pidana selain
penjara yakni bahwa implementasi pidana dalam hukum positif Indonesia tidak sesuai
dengan tujuan pemidanaan sebagaimana diatur dalam KUHP, dalam kenyataannya pidana
denda tidak berjalan efektif, walaupun banyak aturan mengenai pidana denda yang
8 http://www.beritasatu.com/nasional/8794-tahun-ini-15-bupati-akan-diperiksa.html diakses tanggal 9 Mei
2017
mengenakan pidana denda yang tinggi kepada pelaku kejahatan, tetapi tidak mampu
menciptakan efek pencegahan dan efek jera. Ditambah lagi keefektifan penerapan pidana
denda masih menjadi hal yang dipertanyakan. Dalam kasus korupsi, hakim lebih cenderung
memberikan pidana penjara yang tinggi dan hanya mengenakan pidana denda yang relatif
rendah. Ketiga, formulasi kebijakan pidana denda harus dilakukan secara efektif, pasti dan
rasional.11
Adapun dilihat dari optik hukum administrasi, Henk Addink dan G. Ten Berge
mengemukakan bahwa pendekatan terhadap korupsi hanya dilakukan dari satu sisi saja
(pendekatan pemidanaan dan represif) dan karenanya perspektifnya terlalu sempit.12
Konsekuensi dari pendekatan a quo ialah meletakan instrumen hukum pidana berada
didepan (premium remidium) sebagai alat pemukul paling utama dan satu-satunya terhadap
kejahatan korupsi. Padahal tujuan hukum pidana di era modern tidak lagi hanya sekedar
memerangi kejahatan korupsi semata, melainkan juga memperhatikan ilmu lain atau
alternatif upaya hukum lain terlebih dahulu. Dengan kata lain, menaruh hukum pidana
berada di belakang (ultimum remidium) sebagai sarana terakhir atau senjata pamungkas yang
digunakan untuk menyelesaikan perkara korupsi.13
Secara keilmuan hukum, telah jelas bahwa korupsi yang didalamnya ada unsur
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara itu tidak semata-mata perkara
11 Syaiful Bakhri, Kebijakan Legislatif tentang Pidana Denda dan Penerapannya dalam Upaya Penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 2, Vol. 17, April 2010, hlm. 317.
12 Henk Addink dan Gio Ten Berge, Inovasi Sarana Hukum Dalam Rangka Pemberantasan Korupsi Dalam
Pelayanan Publik di Belanda, judul asli Innovation of legal Means for Eliminating Corruption in The Public Service, Dalam Philipus M. Hadjon, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 82.
13 Disarikan dari Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Cahaya
hukum pidana, namun terkait pula dengan administrasi dan hukum perdata.14 Terkait hal
itu, Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa peran hukum administrasi tidak bisa diabaikan
dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, baik dari segi preventif (pencegahan)
maupun represif (penindakan). Lebih lanjut kata Hadjon, instrumen hukum yang utama
untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih adalah hukum administrasi.15 Sebab dalam
menjalankan setiap aktivitasnya, seorang pejabat (amsdragers) atau pegawai negeri
(ambtenaren) tunduk dan diatur oleh norma hukum administrasi. Disamping itu, korupsi
juga berkaitan dengan penggunaan wewenang. Hal tersebut yang sering luput dari
perhatian para penegak hukum, padahal pemahaman terhadap hukum administrasi
sangatlah penting agar penerapan dan penegakkan hukum dalam perkara korupsi tidak
hanya fokus pada aspek pidana saja, melainkan harus lebih proporsional, efektif dan tepat
sasaran.
Acapkali dalam penanganan kasus-kasus korupsi, seringkali muncul ungkapan seperti
“kriminalisasi jabatan atau kebijakan, kriminalisasi tindakan diskresi, atau kriminalisasi
tindakan bisnis”. Ungkapan-ungkapan seperti itu mengemuka dalam berbagai wacana
(discours) publik karena disebabkan adanya “salah pasang” atau penerapan norma hukum
yang kurang tepat dalam penyelesaian perkara-perkara korupsi. Ambil contoh, seringkali
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan hanya menggunakan an sich perspektif hukum pidana,
meletakkan unsur “melawan hukum” dan unsur “menyalahgunakan wewenang” yang
digandengkan dengan unsur “kerugian keuangan negara/perekonomian negara” tanpa
mempertimbangkan norma hukum administrasi yang menjadi pedoman atau patokan dasar
tindakan seorang pejabat/pegawai pemerintahan melakukan aktivitasnya. Ataupun unsur
14 Ridwan, Persinggungan Antar Bidang Hukum Dalam Perkara Korupsi, Cetakan Pertama, FH UII Press,
Yogyarkarta, 2016, hlm. v.
“kerugian keuangan negara/perekonomian negara” oleh JPU dijadikan sebagai dasar
sangkaan untuk mendakwa seorang pejabat/pegawai negeri tanpa disebutkan terlebih
dahulu bentuk pelanggarannya. Padahal korupsi sendiri merupakan tindak pidana (delik)
formil yang menitikberatkan pada perbuatan atau pelanggarannya16 dan bukan pada akibat
perbuatannya, yakni unsur “kerugian keuangan negara/perekonomian negara”. Pola pikir
penegakan hukum seperti itu merupakan cara berfikir yang terbalik, sebab yang harus
didudukkan terlebih dahulu sebagai dugaan awal ialah bentuk pelanggarannya, baik itu
unsur “melawan hukum” atau “menyalahgunakan kewenangan”.
Selain itu juga, sering JPU dalam dakwaannya memaknai perbuatan melawan hukum
dalam kasus korupsi sekedar perbuatan pejabat/pegawai negeri yang melanggar UU atau
peraturan perundang-undangan tanpa menjelaskan lebih spesifik bentuk perbuatan
melawan hukumnya, apakah seorang pejabat pemerintahan melampaui wewenang (beyond
authority) atau telah menyalahgunakan wewenang (detournement de puvoir), ataukah
melakukan tindakan sewenang-wenang (willekeur)? Padahal ketiganya dalam perspektif
hukum administrasi memiliki batu uji (parameter) yang berbeda.
Secara teoretik, telah menjadi pendapat umum para ahli hukum (communis opinio
doctorum) bahwa tindakan melampaui wewenang (beyond authority) yang hakikatnya adalah
tidak berwenang (onbevoegd) di ukur dengan asas legalitas (legaliteitbeginsel). adapun
menyalahgunakan kewenangan (detournement de puvoir) di ukur dengan asas spesialitas
(specialiteitbeginsel), sedangkan tindakan sewenang-wenang (willekeur/arbitrary) di ukur
dengan asas rasionalitas (redelijkheid). Disamping itu juga, ketiga konsep a quo merupakan
16 “...Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana
species dari perbuatan melawan hukum sebagai genus-nya. Hubungan genus dengan species
dapat diilustrasikan bahwa jika unsur melawan hukum (genus) terbukti, belum tentu atau
tidak secara mutatis mutandis unsur penyalahgunaan wewenang atau melampaui wewenang
atau tindakan sewenang-wenang (species) terbukti. Tetapi sebaliknya, unsur
penyalahgunaan wewenang/melampaui wewenang/tindakan sewenang-wenang terbukti,
maka unsur melawan hukum tidak perlu dibuktikan karena dengan sendirinya telah
terbukti. Mengenai hal tersebut akan diurai lebih lanjut pada bagian pembahasaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, nampak bahwa memang tidak dapat dipungkiri
dalam sebuah penyelesaian perkara korupsi, akan ditemui suatu titik persinggungan atau
pertautan (aanknopingspunten) antar bidang hukum, paling tidak in casu antara hukum
administrasi dengan hukum pidana. Berkenaan dengan itu, Ridwan menulis sebagai
berikut:
“Ketika pejabat melaksanakan tugas dan wewenangnya, ia tunduk pada norma-norma hukum administrasi, dan ketika pejabat yang bersangkutan melakukan korupsi, ia melanggar norma-norma hukum pidana, di samping ia juga melanggar norma perilaku (gedragnorm) hukum administrasi, dalam hal ini, ada persinggungan atau ada titik pertautan (aanknopingspunten) antara norma-norma hukum pidana dengan norma hukum administrasi.”17
Dalam konteks itulah, tulisan ini—dengan segala kekurangan dan keterbatasannya—
bermaksud menelaah secara akademis permasalahan persinggungan kedua bidang hukum a
quo dengan menggunakan kacamatan hukum administrasi dalam menyelesaikan perkara
korupsi yang didasarkan pada kasus-kasus kongkrit yang telah diputus oleh lembaga
Peradilan. Paradigma penelitian ini bersandar pada doktrin ultimum remidium atau ajaran
yang memandang bahwa hukum pidana seharusnya berperan sebagai sarana, upaya, dan
senjata pamungkas terakhir dalam menyelesaikan perkara korupsi. Titik tumpuan ini
sengaja dipilih dengan reasoning membatasi ruang lingkup kajian sekaligus sebagai titik
pangkal analisis dalam penelitian hukum ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pembahasan penelitian ini akan
dimulai dengan mengajukan 2 (dua) persoalan utama:
1. Adakah persinggungan hukum administrasi dengan hukum pidana dalam
penyelesaian kasus korupsi?
2. Bagaimanakah mengukur tindakan pejabat pemerintahan dapat dikualifikasikan
sebagai tindakan korupsi berdasarkan optik hukum administrasi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: pertama, mendapatkan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai titik singgung atau pertautan
(aanknopingspunten) antara hukum administrasi dan hukum pidana untuk menghindari
ketidaktepatan dan tidak proporsionalnya penerapan norma dalam penyelesaian perkara
korupsi. Kedua, diharapkan dapat memberikan sumbangan teoretis, paling tidak untuk
memahami parameter untuk mengukur tindakan korupsi pejabat pemerintah berdasarkan
perspektif hukum administrasi. Penulis sadar bahwa kajian ini hanya akan memberikan
rumusan teoretis dalam bentuk demikian, karena apa yang dikaji hanyalah terbatas pada
bahan hukum yang dikumpulkan dan terbatas pula pada kasus tertentu.
D. Metode Penelitian
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research) dengan menggunakan beberapa
pendekatan, antara lain: pertama, pendekatan perundang-undangan (statuta approach) untuk
penelitian. Kedua, pendekatan kasus (case approach) untuk menelaah sejumlah Putusan
Pengadilan antara lain: (1) Putusan Pengadilan Negeri Ternate No.
06/PID.TIPIKOR/2012/PN-TTE jo. Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara No.
01/PID.TIPIKOR/2013 PT.MALUT jis. Putusan Kasasi No. 1122 K/Pid.Sus/2013 dan Putusan
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 147 PK/PID.SUS/2014; (2) Putusan Pengadilan
Negeri Ternate No. 13 /Pid. TIPIKOR/2015/PN.Tte jo. Putusan Pengadilan Tinggi Maluku
Utara No. 09/PID.SUS-TPK/2015/PT.TTE. ketiga, pendekatan konseptual (conceptualapproach)
yakni beranjak dari pandangan-pandangan atau doktrin ahli hukum serta prinsip-prinsip
hukum yang terkait dengan isu hukum pada rumusan masalah untuk dijadikan acuan
dalam penelitian ini. Sasaran penelitian ini adalah menemukan norma hukum terkait
dengan isu hukum yang dirumuskan dalam rumusan masalah di atas, baik yang tertuang
dalam peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi (putusan pengadilan), asas
hukum, doktrin, teori terkait selebihnya.
Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan terkait, sedangkan bahan hukum sekunder
terdiri dari buku-buku dan jurnal hukum. Hasil penelitian diperoleh dari pengelolaan
bahan hukum yang terkumpul dengan cara identifikasi, sistematisasi dan mengeliminasi
hal-hal yang tidak relevan. Lalu kemudian diberikan interpretasi dalam bentuk argumentasi
untuk setiap isu hukum dalam rumusan masalah dan menarik kesimpulan. Setelah itu
langkah terakhir yang dilakukan adalah memberikan preskripsi terhadap kesimpulan
penelitian. Penulis menyadari bahwa hakikat ilmu adalah relatif dan akan selalu mengalami
perubahan terus-menerus, sebab itulah, hasil analisis ini akan selalu tidak memuaskan siapa
pun, namun paling tidak analisis ini dapat dinilai sebagai suatu ikhtiar untuk mencari dan
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Sebagaimana pernah disinggung sebelumnya dalam pendahuluan di atas bahwa ajaran
dalam hukum pidana yang berlaku secara universal yaitu ajaran ultimum remidium yang
berarti bahwa hukum pidana seharusnya berperan sebagai sarana, upaya, dan senjata
pamungkas terakhir dalam menyelesaikan perkara korupsi. Ajaran ultimum remidium ini
juga merupakan salah satu dari tiga (disamping memerangi kejahatan dan memperhatikan
ilmu yang lain) sebagai pijakan dasar aliran modern dalam hukum pidana.
Salah seorang ahli hukum Jerman Merkel mengatakan “der strafe komt eine subsidiare
stellung zu” (bahwa tempat hukum pidana adalah selalu subsider terhadap upaya hukum
lainnya). Senada dengan itu, menurut Eddy O.S. Hiariej bahwa hukum pidana merupakan
hukum terakhir yang digunakan jika instrumen hukum lainnya tidak dapat digunakan atau
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.18 Doktrin ultimum remidium tidak sekedar
berlaku terhadap pidana umum, melainkan juga bagi pidana khusus termasuk dalam
penyelesaian perkara korupsi.
Doktrin ultimum remidium ternyata dalam realitas penegakan hukum tindak pidana
korupsi tidak selalu di ikuti. Hal itu terlihat dari konsideran UU TIPIKOR yang telah
disebutkan diatas, menyatakan bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime) sehingga perlu adanya upaya-upaya penanganan yang luar biasa pula.
Dalil itu ditafsir bahwa UU TIPIKOR menganut ajaran premium remedium yang berarti
hukum pidana sebagai alat pemukul paling utama dan satu-satunya terhadap kejahatan
korupsi. Ajaran premium remedium yang terkandung dalam UU TIPIKOR berimplikasi
ditutupnya upaya hukum lain diluar dari kerangka (frame of thinking) hukum pidana. Cara
pandang pemberantasan korupsi seperti demikian itu dan didukung dengan pola pikir
“serba” hukum pidana para aparatur penegak hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan
maupun KPK menyebabkan terhadap perkara-perkara yang substansinya melanggar
hukum administrasi atau norma hukum perdata namun kemudian dituntut dengan norma
pidana.
Berdasarkan hukum pidana Indonesia, sebelum adanya Putusan MK No.
25/PUU-XIV/2016,19 kejahatan ‘korupsi’ diterjemahkan sebagai tindakan yang bertentangan dengan
norma hukum pidana dalam arti formil (formele wederrechtelijkheid) dan terhadap perbuatan
tersebut diancam dengan sanksi pidana. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan
atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (selanjutnya
disebut UU TIPIKOR).20 Tafsiran seperti itu dipertegas lagi dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 003/PUU-4/2006 yang menyatakan bahwa suatu perbuatan itu dikategorikan
melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang (wettelijk
straftbepaling), dengan konsekuensi bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999
mengenai sifat melawan hukum materil tidak lagi memiliki kekuatan mengikat dan yang
masih berlaku hanyalah perbuatan hukum dalam arti formil.21
19 Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD NRI Tahun 1945
20 Lihat Pasal 2 ayat (1), “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Lihat juga Pasal 3, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Paradigma seperti itu kemudian mengalami pergeseran sejak lahirnya UU APEM pada
tahun 2014, menyebabkan politik hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi
mengalami pergeseran dari yang mengutamakan pendekatan pidana menjadi
mengutamakan pendekatan hukum administrasi negara, dari pendekatan yang
mengutamakan penghukuman pidana penjara menjadi pendekatan yang mengutamakan
pengembalian uang negara. Disamping itu adanya Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, lebih
mempertegas bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TIPIKOR merupakan tindak pidana
materiil. Kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sebagaimana
disebutkan di atas pernah diputus MK dalam Putusan No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli
2006, dengan menyatakan tidak bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil
sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang ditafsirkan sesuai
dengan tafsiran Mahkamah (conditionally constitutional), yakni bahwa unsur kerugian negara
harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun
belum terjadi. Menurut MK, bahwa unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami
sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau
nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi.
Bahwa pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
membuat delik dalam kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Hal itu menurut MK
dalam praktik seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga
merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan diskresi atau
pelaksanaan asas freies Ermessen yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan
landasan hukumnya, sehingga seringkali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya
penyalahgunaan wewenang. Demikian juga terhadap kebijakan yang terkait dengan bisnis
pasal tersebut sebagai delik formil seringkali dikenakan tindak pidana korupsi. Kondisi
tersebut tentu dapat menyebabkan pejabat publik takut mengambil suatu kebijakan atau
khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tindak pidana korupsi, sehingga di
antaranya akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya
penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi. Kriminalisasi kebijakan
terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata “dapat” dalam unsur merugikan
keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum, sehingga
seringkali menimbulkan persoalan mulai dari perhitungan jumlah kerugian negara yang
sesungguhnya sampai kepada lembaga manakah yang berwenang menghitung kerugian
negara. Oleh sebab itu, pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah secara nyata bertentangan dengan
jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Kata “dapat” dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak
pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan
seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan
dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Lebih lanjut MK menegaskan sebagai berikut:
“[3.10.6] Bahwa penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi
Against Corruption, 2003) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.”22
Unsur delik dalam rumusan Pasal 2 ayat 1 UU TIPIKOR antara lain: (1) setiap orang; (2)
secara melawan hukum; (3) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang
lain/korporasi; (4) merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Sedangkan unsur
delik dalam rumusan Pasal 3 yaitu: (1) setiap orang; (2) tujuan menguntungkan diri
sendiri/orang lain/korporasi; (3) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana
karena jabatan; (4) merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Inti delik (bestandeel
delict) Pasal 2 ayat 1 ialah perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan Inti delik
Pasal 3 ialah penyalahgunaan kewenangan (detournement de puvoir). Oleh karena itu, bila
merujuk Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TIPIKOR maka, tindakan badan/pejabat
pemerintahan atau pegawai negeri dapat dikatakan kejahatan korupsi dengan syarat
adanya perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan/atau penyalahgunaan
wewenang (detournement de puvoir) yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Terkait hal itu, secara ilustrasi Ridwan menggambarkan kedua pasal
a quo sebagai berikut:
“Dakwaan terhadap tindak pidana korupsi umumnya dirumuskan secara subsidaritas, yakni: pertama, primair melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 1823 UU No. 31 tahun 1999
22 Lihat Putusan No. 25/PUU-XIV/2016, diputus rabu tanggal 25 Januari 2017, hlm. 114.
23 Bunyi Pasal 18 ayat (1): “Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai
pidana tambahan adalah :
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud, barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana;”
Ayat (2) berbunyi “Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.
sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-124 KUHP; kedua, subsidair melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Inti delik (bestandeel delict) dakwaan primair adalah perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) yang merupakan yang merupakan genus delict, sedangkan inti delik subsidair adalah penyalahgunaan wewenang (detournement de puvoir) yang merupakan species delict.25
Lebih lanjut, Ridwan menyebutkan bahwa dakwaan berlapis (subsidaritas) dengan
menggunakan Pasal 2 dan pasal 3 tersebut sebenarnya tidak tepat karena ketentuan kedua
Pasal a quo secara substansial sejenis dan hanya berbeda sifat, yakni yang pertama genus dan
yang kedua species. Oleh karena itu, semestinya dirumuskan secara alternatif. Senada
dengan hal itu, Nur Basuki Winarno juga mengatakan bahwa:
“...Secara implisit penyalahgunaan wewenang in haeren dengan melawan hukum, karena penyalahgunaan wewenang esensinya merupakan perbuatan melawan hukum. Unsur “melawan hukum” merupakan genusnya, sedangkan “penyalahgunaan wewenang” adalah spesiesnya. Sifat in haeren penyalahgunaan wewenang dan melawan hukum tidaklah berarti ‘melawan hukum’ terbukti tidak secara mutatis mutandis
‘penyalahgunaan wewenang’ terbukti, tetapi untuk sebaliknya unsur ‘penyalahhgunaan wewenang’ terbukti, maka unsur ‘melawan hukum’ tidak perlu dibuktikan karena dengan sendirinya unsur ‘melawan hukum’ telah terbukti. Dalam hal unsur ‘penyalahhgunaan wewenang’ tidak terbukti maka belum tentu unsur ‘melawan hukum’ tidak terbukti.”26
Berdasarkan pandangan di atas, tampak bahwa tidaklah proporsional dalam suatu
penyelesaian kasus korupsi, dakwaan dirumuskan secara subsidaritas (subsidair) atau
dengan kata lain, terdiri dari dua atau beberapa dakwaan disusun atau dijejerkan secara
berurutan mulai dari dakwaan tindak pidana terberat (Pasal 2 ancaman hukumannya paling
singkat 4 tahun) sampai kepada dakwaan tindak pidana teringan (Pasal 3 ancaman
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan karenanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”.
24 Pasal 55 ayat (1) ke-1 berbunyi: “dihukum sebagai orang yang mlakukan peristiwa pidana: orang yang
melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan itu”.
25 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 377. Lihat
uraian senada juga dalam Ridwan, Persinggungan...Op,Cit, hlm. 4-5.
hukumannya paling singkat 1 tahun). Melainkan harus dirumuskan secara alternatif, oleh
karena antara ketentuan Pasal 2 yang mengandung unsur “melawan hukum” dengan Pasal
3 yang mengandung unsur “menyalahgunakan wewenang” pada dasarnya adalah sejenis
dan hanya memiliki perbedaan sifat. Pilihan dakwaan alternatif juga bertujuan supaya
antara dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan (one that substitutes for
another) dan memberikan pilihan kepada hakim untuk menentukan dakwaan mana yang
tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang
dilakukannya.27
Dalam kerangka hukum administrasi negara, menurut Indriyanto Seno Adji bahwa
parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara ‘discretionary power’
adalah detournement de puvoir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit
(sewenang-wenang), sedangkan dalam area hukum pidana juga memiliki kriteria yang membatasi
gerak bebas kewenangan aparatur negara berupa unsur ‘wederrechtelijkheid’ dan
menyalahgunaan kewenangan. Permasalahannya adalah manakala aparatur negara
melakukan perbuatan yang dianggap menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum,
artinya mana yang dijadikan ujian bagi penyimpangan aparatur negara ini, hukum
administrasi negara ataukah hukum pidana, khususnya dalam perkara-perkara Tindak
Pidana Korupsi. Pemahaman yang berkaitan dengan penentuan yurisdiksi inilah yang
masih sangat terbatas dalam kehidupan praktik yudisiel.
Dalam konsteks itulah, disadari memang konsep “perbuatan melawan hukum” dan
“menyalahgunakan wewenang” berada pada wilayah abu-abu (grey area). Berkenaan
dengan itu, Ridwan menjawab pertanyaan Indriyanto di atas, bahwa hukum mana yang
27 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua,
akan dijadikan ujian setiap aktivitas pejabat itu tidak lain adalah hukum administrasi, yang
didalamnya memuat norma hukum pemerintahan (bestuursnorm) dan norma perilaku aparat
(gedragsnorm) karena mengingat para pejabat itu dalam melakukan aktivitasnya mereka
tunduk dan diatur oleh norma hukum administrasi. 28 Secara umum seorang pejabat selalu
memiliki dua kedudukan hukum (rechstpositie) yaitu disamping sebagai wakil
(vertegenwoordiger) jabatan. Pejabat yang melakukan tindakan untuk dan atas nama jabatan
(ambtshalve) berlaku norma pemerintahan (bestuursnorm) dan membawa konsekuensi
tanggung jawab jabatan. Disamping itu, seorang pejabat juga berkedudukan sebagai
manusia (natuurlijke persoon) yang tunduk pada norma perilaku aparat (gedragsnorm) dan
berpotensi melakukan tindakan maladministrasi yang membawa konsekuensi tanggung
jawab pribadi. Sanksi pidana baik berupa penjara maupun denda diterapkan terhadap
pejabat secara pribadi (inpersoon) yang melakukan tindakan maladministrasi.29
Atas dasar itulah, untuk menentukan titik persinggungan (aanknopingspunten) antara
hukum pidana dengan hukum administrasi dalam penyelesaian kasus korupsi, berikut
adalah beberapa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang diuraikan
secara singkat antara lain:
1. Putusan Pengadilan Negeri Ternate No. 06/PID.TIPIKOR/2012/PN-TTE jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Maluku Utara No. 01/PID.TIPIKOR/2013 PT.MALUT jis. Putusan
Kasasi No. 1122 K/Pid.Sus/2013 dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 147 PK/PID.SUS/2014
Dalam perkara a quo, Isnain Ibrahim dalam jabatannya selaku Sekretaris Daerah Kota
Ternate (Sekot) dan Ade Mustafa selaku Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah
Kota Ternate (Kabag Pemerintahan Setda). Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota
Ternate No.80/1.1/KT/2011 tanggal 11 Maret 2011, Sekot Isnain Ibrahim bertindak sebagai
Pengguna Anggaran pada Sekretariat Kota Ternate dan sebagai Ketua Panitia Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Umum Pemerintah Kota Ternate Tahun
Anggaran 2011. Sedangkan Kabag Pemerintahan Setda, Ade Mustafa berdasarkan
berdasarkan Surat Keputusan Walikota Ternate No.821/KEP/4758/ 2010 tanggal 20 Agustus
2010, sebagai Kuasa Pengguna Anggaran pada Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah
Kota Ternate, sebagai Anggota Panitia Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan
Umum Pemerintah Kota Ternate Tahun Anggaran 2011. Keduanya didakwa bersama-sama
dengan Burhan Abdulrahman, dalam jabatannya sebagai Walikota Ternate dan Johnny
Hary Soetantyo dalam kedudukan sebagai Komisaris PT. Nelayan Bhakti sebagai orang
yang melakukan atau turut serta melakukan.
Dalam dakwaan primair, Keduanya didakwa bersama-sama dengan Burhan
Abdulrahman dan Johnny Hary Soetantyo melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU
TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan
subsidair-nya didakwa melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ternate
No. 06/Pid.Tipikor/2012/PN-Tte, tanggal 06 Februari 2013 menyatakan bahwa: (1)
Menyatakan Isnain Ibrahim (Terdakwa I) dan Ade Mustafa (Terdakwa II) telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Korupsi Secara
Bersama-Sama dan Berlanjut”; (2) Menjatuhkan pidana terhadap Isnain Ibrahim (Terdakwa I) dan
Ade Mustafa (Terdakwa II) masing-masing oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1
(satu) tahun dan 8 (delapan) bulan. (3) Menghukum keduanya masing-masing untuk
kurungan. Sedangkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding pada
Pengadilan Tinggi Maluku Utara No. 01/PID.TIPIKOR/2013/PT.MALUT, tanggal 20 Maret
2013 malah menambah atau memperberat hukuman keduanya dengan bunyi amar putusan
antara lain: (1) Menyatakan Isnain Ibrahim (Terdakwa I) dan Ade Mustafa (Terdakwa II)
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi
secara bersama–sama dan berlanjut”; (2) Menjatuhkan pidana kepada Isnain Ibrahim
(Terdakwa I) dan Ade Mustafa (Terdakwa II) oleh karena itu dengan pidana penjara
masing-masing selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana
kurungan selama 4 (empat) bulan.
Mahkamah Agung pada tingkat kasasi berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi Para
Terdakwa (Isnain Ibrahim dan Ade Mustafa) tidak dapat dibenarkan karena perbuatan
Terdakwa I dan Terdakwa II yang membuat, memproses, menandatanganni surat-surat,
dokumen-dokumen untuk mencairkan dan membayar biaya yang menjadi beban APBD
merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 7 Perpres No.
65 Tahun 2006. Lebih lanjut, MA berpandangan bahwa perbuatan Para Terdakwa dalam
pengadaan tanah lahan eks. HGB No.1/Kayu Merah seluas 29.165 M2 dengan tidak
melibatkan Panitia Pengadaan Tanah bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 5 huruf g
Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Pasal 14 sampai dengan Pasal 53 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) RI No. 3 Tahun 2007. Atas dasar itulah, perbuatan Para
Terdakwa yang melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atau orang lain telah
mengakibatkan kerugian keuangan Negara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MA dalam putusan No. 1122 K/PID.SUS/2013
(Isnain Ibrahim dan Ade Mustafa). Tidak berhenti sampai disitu, para Terdakwa (Isnain
Ibrahim dan Ade Mustafa) pernah melakukan upaya peninjauan kembali (PK) namun, MA
dalam Putusan No. 147 PK/PID.SUS/2014 tanggal 25 Februari 2015 telah menolak
permohonan PK dari Para Pemohon PK yakni Terpidana I (Isnain Ibrahim) dan Terpidana II
(Ade Mustafa) tersebut dan menetapkan putusan yang dimohonkan PK tersebut tetap
berlaku.
Dalam perkara a quo, secara hukum administrasi dapat dianalisis sebagai berikut:
bahwa Sekot Isnain Ibrahim selaku Pengguna Anggaran (PA) berdasarkan SK Walikota
Ternate No.80/1.1/KT/2011 tanggal 11 Maret 2011 dan Kabag Pemerintahan Setda Ade
Mustafa selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) berdasarkan SK Walikota Ternate
No.821/KEP/4758/ 2010 tanggal 20 Agustus 2010, pada Bagian Pemerintahan Sekretariat
Daerah Kota Ternate. Penunjukan PA dan KPA sudah sesuai dengan Perpres 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang dan Jasa, SKPD termasuk institusi yang dapat menggunakan
anggaran. Adapun SK Walikota Ternate a quo merupakan pendelegasian kewenangan
penggunaan Anggaran, dengan kata lain Walikota tidak lagi berwenang karena telah
dilimpahkan kepada Sekot dan Kabag Pemerintahan Setda. Namun, pada tanggal 18
Agustus 2011, Burhan Abdulrahman selaku Walikota lalu memerintahkan secara lisan
kepada Ade Mustafa membuatkan Nota Dinas yang ditujukan kepada Walikota Ternate
dengan isi dalam rangka pengadaan tanah seluas 29.165 m2 untuk lokasi PLN, selanjutnya
terhadap permintaan biaya ini disetujui oleh Walikota Ternate dalam disposisi kepada
Isnain Ibrahim, tertanggal 22 Agustus 2011 dan selanjutnya Isnain Ibrahim mendisposisi
Nota Dinas tersebut pada tanggal 22 Agustus 2011 kepada Bendahara Pengeluaran
SPPD untuk Wakil Walikota dan Kabag Pemerintahan selama 4 hari yang akan berangkat
tanggal 24 Agustus 2011.
Atas dasar perintah lisan dan disposisi menunjukan bahwa Walikota selaku delegans
telah mengambil kembali delegasi kewenangan penggunaan anggaran dari Sekot Isnain
Ibrahim. Padahal setelah pendelegasian terjadi tanggung jawab kewenangan berada pada
Sekot Isnain Ibrahim penerima delegasi. Padahal Walikota selaku delegans baru dapat
menarik kembali wewenang yang telah didelegasikan apabila pelaksanaan wewenang
berdasarkan delegasi menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan.30
Terhadap tindakan Walikota tersebut secara hukum administrasi, tanggung jawab
hukumnya masih melekat pada jabatan Walikota, bukan pada Sekot dan Kabag
Pemerintahan berdasarkan asas “geen bevoegdheid zonder veraantwoordelijkheid atau geen
eraantwoordelijkheid zonder bevoegdheid” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban
atau tidak ada tanggungjawab tanpa ada kewenangan).
2. Putusan Pengadilan Negeri Ternate No. 13 /Pid. TIPIKOR/2015/PN.Tte jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Maluku Utara No. 09/PID.SUS-TPK/2015/PT.TTE.
Dalam kasus ini, Asrul Din dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) pelaksanaan pembangunan permukiman Kawasan transmigrasi di wilayah tertinggal
(P2KT) dan pelaksanaan pekerjaan fasilitasi perpindahan serta penempatan transmigrasi di
wilayah tertinggal, pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Halmahera
Tengah TA. 2007, berdasarkan SK Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I No:
KEP.70/MEN/I/2007 tanggal 15 Januari 2007 didakwa secara bersama-sama dengan
Suharsono Gunawan (Pihak Swasta PT. Subaim Buli Jaya) baik sebagai orang yang
30 Lihat Pasal 13 ayat (1) sampai (7) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
melakukan atau turut serta melakukan, secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri,
orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, perbuatan mana antara satu dengan yang lainnya mempunyai
hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut.31
Inti dari dakwaan JPU ialah bahwa Asrul Din selaku PKK telah menandatangani
kontrak pemborongan antara PPK dengan pihak penyedia barang/jasa PT. Subaim Buli Jaya
terhadap paket pekerjaan antara lain: (1) Pembangunan Rumah dan Fasilitas Umum
Transmigrasi. (2) Pembangunan jalan dan jembatan lokal. (3) Penyiapan dan Pematangan
lahan. Terhadap hal itu, Asrul Din dianggap tidak meneliti kebenaran dokumen kontrak PT.
Subaim Buli Jaya, yang dalam kenyataannya di palsukan oleh Hariyanto (kariyawan
PT.Subaim Buli Jaya) atas perintah Suharsono Gunawan. Padahal Direktur sebenarnya
adalah anak Suharsono Gunawan yakni Hermanto Gunawan. Disamping itu, Asrul Din
dianggap telah menyetujui permintaan pencairan dana PT. Subaim Buli Jaya sebagai
pelaksana baik untuk pencairan uang muka 20 % sampai dengan pencairan 100 % maupun
pencairan retensi 5 % tanpa meneliti kebenaran tandatangan Hermanto Gunawan sebagai
Direktur PT. Subaim Buli Jaya yang palsu sebagaimana disebutkan. Hal tersebut sampai
berakhirnya kontrak kerja Desember 2007 PT. Subaim Buli Jaya tidak dapat menyelesaikan
pekerjaan sesuai dengan pembayaran-pembayaran yang telah diterima atau pekerjaan tidak
dapat diselesaikan sesuai dengan kontrak.
Perbuatan Asrul Din bersama-sama dengan Suharsono Gunawan dianggap telah
memperkaya Suharsono Gunawan sebesar Rp. 1.540.414.291,- (satu milyar lima ratus empat
puluh juta empat ratus empat belas ribu dua ratus sembilan puluh satu rupiah) disamping
31 Dakwaan primair: Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
memperkaya dua perusahaan lain yang memenangkan tender yaitu CV. Sumber Cipta
sebesar Rp. 47.187.000,- (empat puluh tujuh juta seratus delapan puluh tujuh ribu rupiah)
dan PT. Titian Galang Persada sebesar Rp. 21.159.090,- (dua puluh satu juta seratus lima
puluh sembilan ribu sembilan puluh rupiah) yang mengakibatkan kerugian keuangan
negara sebesar Rp. 1.608.760.381,-(satu milyar enam ratus delapan juta tiga ratus delapan
puluh satu rupiah) berdasarkan Nota Hasil Post Audit Program Pembinaan Penyusunan
Pelaksanaan Persiapan Permukiman Transmigrasi (P4T) Ditjen P4Trans Dana Tugas
Pembantuan pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Halmahera Tengah
Provinsi Maluku Utara TA. 2007, tanggal 19 Agustus 2008.
Dalam putusannya Pengadilan Negeri Ternate No. 13/.Pid.Sus-TPK/2015/PN.Tte
tanggal 17 September 2015 menjatuhkan pidana penjara kepada Asrul Din selama 4 (empat)
tahun dan Denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan
karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Korupsi yang Dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut”. Putusan a quo dikuatkan
oleh Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara No. 09/PID.SUS-TPK/2015/PT.TTE tertanggal
16 Nopember 2015. Sedangkan Suharsono Gunawan divonis terpisah dalam Putusan No.
8/PID.SUS-TPK/2015/PT.TTE selama 4 (empat) tahun penjara dan denda sebesar Rp.
200.000.000 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan
pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Selain itu, menghukum Suharsono Gunawan
untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp.1.404.700.201,62 paling lama dalam waktu
satu bulan sesudah putusan ini berkekuatan hukum tetap, jika tidak membayar maka harta
ketentuan apabila Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka dipidana
dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Apabila menggunakan optik hukum adminitrasi, sebenarnya hubungan antara PPK
dengan PT. Subaim Buli Jaya (penyedia barang/jasa) adalah hubungan kontraktual yang
tunduk pada hukum perdata. Pelanggaran seperti pekerjaan tidak dapat diselesaikan sesuai
dengan kontrak ranahnya gugatan perdata, bukan di tuntut korupsi sebagai (medepleger).
Selain itu kedudukan hukum PPK hanya sebagai pejabat pelaksana (mandataris) yang
menjalankan perintah (mandat) dari Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau Pengguna
Anggaran (PA) selaku pemberi mandat (mandans). Dalam hal pemberian mandat tanggung
jawab hukumnya (liability) berada pemberi mandat (mandans), bukan pada penerima
mandat (mandataris). Selain itu, terhadap Suharsono Gunawan seharusnya bukan dijerat
korupsi karena ia hanya memerintah pemalsuan tandatangan direktur PT. Subaim Buli Jaya,
melainkan pemalsuan tandantangan atau dokumen proyek. Adapun Pasal 2 UU TIPIKOR
yang didakwa tidak berlaku bagi pihak swasta karena unsur setiap orang dalam pasal a quo,
adressat subyeknya adalah Public Official atau pejabat publik. Bila Suharsono Gunawan
ternyata bukanlah pejabat publik, maka ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
hukum karena tindakan korupsi atas dasar penerapan Pasal 2 UU TIPIKOR.
Berdasarkan dua kasus yang di uraikan di atas, tampak bahwa memang terjadi
persinggungan atau pertautan (aanknopingspunten) antar bidang hukum administrasi
dengan hukum pidana dalam perkara korupsi. Untuk dapat menyelesaikan persinggungan
tersebut, maka dalam penindakan pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi
terlebih dahulu harus menggunakan norma-norma hukum yang digunakan oleh pejabat
ketika melakukan aktivitasnya, yakni hukum administrasi. Jika ditemukan adanya
pemerintahan (bestuursnorm) maupun norma perilaku aparat (gedragsnorm) dan ada unsur
maladministrasi serta terdapat kerugian negara, barulah pejabat yang bersangkutan
ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi.32
Adapun prinsip paling mendasar dalam hukum administrasi untuk menentukan
keabsahan tindakan pejabat pemerintahan dalam hukum administrasi ialah asas legalitas
(legaliteitsbeginsel) yang mengandung arti setiap tindakan pejabat pemerintahan harus
berdasarkan kewenangan yang sah menurut hukum. Karena setiap tindakan pejabat
pemerintah merupakan penggunaan jabatan. Prinsip itulah yang kemudian dikenal dengan
ungkapan “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid” (tiada wewenang tanpa
pertanggungjawaban atau dibalik “zonder bevoegdheid geen verantwoordelijkheid” (tanpa
wewenang tindak ada pertanggungjawaban). Bertumpu pada prinsip tersebut maka, setiap
tindak pemerintahan harus dilandaskan pada (1) wewenang yang sah, (2) prosedur yang
tepat, dan (3) substansi yang tepat.
Parameter menguji legalitas (keabsahan) tindakan pemerintahan adalah peraturan
perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).33 Peraturan
perundang-undangan yang dimaksud adalah segala macam peraturan tertulis yang memuat
32 dari Ridwan HR...Op,Cit, hlm. 388.
33 Philipus M. Hadjon, Op,Cit, hlm. 7. Dalam sistem civil law, tolak ukur atau dasar pengujian tindakan
pemerintah selain disandarkan pada pendekatan rechtmatigheid dan doelmatigheid. H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan ada empat dasar pengujian (de vier beroepsgronden), yaitu:
(a) strijd met algemeen verbindend voorscrhrift {strijd met het geschreven} (bertentangan dengan peraturan perudang-undangan atau bertentangan dengan hukum tertulis);
(b) het administratieve orgaan bij het geven van de beschikking van zijn bevoegheid kennelijk tot een ander doel gebruik heeft gemaakt dan tot de doeleinden, waartoe die bevoegdheid gegeven is (organ administrasi dalam merumuskan keputusan berdasarkan kewenangannya untuk tujuan lain sebagaimana maksud wewenang itu diberikan);
(c) het administratieve orgaan bij afweging van de betrokken belangen niet in redelijkheid tot de beschikking heeft kunnen komen (organ administrasi dalam merumuskan keputusan tidak mempertimbangkan kepentingan-kepentingan terkait yang terkena keputusan tersebut);
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.34 Sedangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB)
meliputi prinsip-prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi
Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.35
Ketentuan Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(selanjutnya disebut UU APEM) menyebutkan bahwa AUPB meliputi asas kepastian
hukum,36 asas kemanfaatan,37 asas ketidakberpihakan,38 asas kecermatan,39 asas tidak
menyalahgunakan kewenangan,40 asas keterbukaan,41 asas kepentingan umum,42 asas
34 Lihat ketentuan umum Pasal 1 butir 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82.
35 Lihat ketentuan umum Pasal 1 butir 17 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292.
36 Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
37 Asas kemanfaatan adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan
individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita.
38 Asas ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.
39Asas kecermatan adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus
didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.
40Asas tidak menyalahgunakan kewenangan adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
41Asas keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
42 Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum
pelayanan yang baik.43 Disamping itu, dalam penjelasan Pasal 53 ayat 2 huruf b UU No. 9
Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang merujuk juga pada Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme merumuskan juga
beberapa AUPB antara lain: asas tertib penyelenggaraan negara,44 asas proporsionalitas,45
asas profesionalitas,46 asas akuntabilitas.47 Selain itu juga, AUPB diluar rumusan di atas
dapat juga diterapkan sepanjang telah dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam
putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap seperti yang telah di ketahui yaitu asas
persamaan,48 asas permainan yang layak (fair play),49 dan asas larangan perbuatan
sewenang-wenang (willekeur/a bus de droit).50
Berkenaan dengan tindak pidana korupsi, hukum administrasi telah memberikan
rambu-rambu untuk mengukur sejauh mana suatu perbuatan atau tindakan perjabat
pemerintahan yang menyimpang sehingga dapat dimintai pertanggung jawaban hukum
baik secara administratif maupun pidana. Seorang pejabat (ambsdager) atau pegawai negeri
(ambtenaren) dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi apabila pejabat atau
43 Asas pelayanan yang baik adalah asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan
biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
44Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keseraslan, dan
keseimbangan dalam pengendalian Penyelenqgara Negara.
45 Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
Penyelenggara Negara.
46 Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang beriandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
47Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
48 Putusan PTUN Medan No. 86/F/1992/PTUN-MDN, 7 Agustus 1992, Lihat S.F. Marbun, Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, Cetakan Pertama, Yogyakarta: FH UII Press, 2014, hlm. 121.
49 Asas permainan yang layak sering juga disebut asas kejujuran atau fair play. Lihat Putusan PTUN
Bandung No. 06/G/PTUN-BDG/1994/PT.TUN-JKT dan Putusan PTTUN Jakarta No. 74/B/1994/PT.TUN-JKT, tanggal 29 Juni 1994. Ibid, hlm. 122-123.
50 Putusan PTUN Medan No. 10/G/1992/PTUN-MDN, tanggal 25 Juni 1992; Putusan PTUN Palembang No.
pegawai negeri tersebut melakukan tindakan maladministasi yang berupa penyalahgunaan
wewenang (detournement de puvoir) atau melampaui wewenang (beyond authority) atau
tindakan sewenang-wenang (willekeur) serta membawa akibat kerugian keuangan atau
perekonomian negara.
Secara teoretik, untuk menguji tindakan penyalahgunaan wewenang (detournement de
puvoir), batu uji (toetsingsgrond) yang digunakan adalah asas spesialitas (specialiteitsbeginsel)
yang berarti asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada pejabat dengan
tujuan tertentu.51 Tindakan yang bertentangan dengan tujuan tertentu adalah terlarang bagi
mereka yang menjalankan wewenang. Terkait hal itu, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt
mengatakan “een door de gegeven bevoegdheid mag uitsluitend worden gebruikt voor het doel
wartoe de wetgever haar aan het bestuursorgaan heeft gegeven”52 (suatu pemberian wewenang
harus digunakan khusus untuk tujuan sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk
undang-undang terhadap organ pemerintahan). Secara historis, Konsep penyalahgunaan
wewenang (detournement de puvoir) muncul pertama kali di Perancis dan menjadi dasar
pengujian lembaga peradilan administrasi negara terhadap suatu tindakan pemerintahan.53
Saat ini, Conseil d’Etat (Mahkamah Agung khusus peradilan administrasi di Perancis) telah
mengembangkan konsep detournement de pouvoir menjadi tiga kategori:
(1) Ketika tindakan pejabat pemerintahan tersebut benar-benar diambil tanpa didasari kepentingan publik (when the administrative act is completely taken without the public interest in mind).
(2) Ketika tindakan pejabat pemerintahan diambil atas dasar kepentingan umum, tetapi diskresi yang dilakukannya itu tidak sesuai tujuan dari peraturan dasarnya (when the administrative act is taken in the basis of the public interest but the discretion which the administration exercise in doing so was not conferred bay law for that purpose).
51 Ridwan,...Op,Cit, hlm. 41.
52 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken...op,cit, hlm. 116.
53 H. Yulius, Menyelisik Makna Penyalahgunaan Wewenang dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan
(3) Dalam kasus yang bersifat prosedural, pejabat pemerintahan bertindak menyimpang ketika menerapkan suatu norma dalam peraturan, yang prosedurnya sesuai ketentuan yang ada, tetapi tujuannya lain dari apa yang ada dalam peraturan tersebut (in cases of detournement de procedure where the administration, concealing the real content of the act under a false appearance, follows a procedure reserved by law for other purpose).54
Penyalahgunaan wewenang (detournement de puvoir) hanya mungkin dilakukan oleh
pejabat yang memperoleh wewenang atas dasar atribusi dan delegasi. Dalam hal mandat,
pihak yang mungkin menyalahgunakan wewenang adalah pemberi tugas (mandans) dan
bukan pelaksana tugas (mandataris), karena pelaksana tugas tidak dilekati wewenang
sehingga tidak dibebani tanggung jawab hukum. Akan tetapi, Menurut Ridwan dalam
praktik, sering ditemukan pengabaian atas norma hubungan hukum mandat tersebut.
Pejabat perangkat daerah seperti sekretaris daerah, sekretaris DPRD, Kepala Dinas, bahkan
panitia pembebasan tanah menjadi terpidana tanpa dibuktikan terlebih dahulu ada tidaknya
unsur maladministrasi yang mereka lakukan, sementara kepala daerah selaku mandans
terbebas dari tanggung jawab hukum. 55
Cakupan dari rumusan larangan penyalahgunaan wewenang diatur dalam Pasal 17
UU AP yang meliputi: (a) larangan melampaui wewenang; (b) larangan
mencampuradukkan wewenang; (c) larangan bertindak sewenang-wenang. Berdasarkan
rumusan tersebut, konsep “penyalahgunaan wewenang” dimaknai secara luas oleh UU a
quo, yang mana termasuk juga didalamnya “melampaui wewenang” maupun “tindakan
sewenang-wenang”. Berikut ini tolak ukur dan cakupan dari penyalagunaan wewenang
diuraikan sebagai berikut:
Tabel 1. Cakupan dan tolak ukur penyalahgunaan wewenang berdasarkan UU AP56
54Ibid, hlm. 8.
55 Disarikan dari Ridwan HR...Op,Cit, hlm. 383.
56 Lihat Pasal 17 – 19 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Lembaran Negara Tahun