• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL HUMANITER INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL HUMANITER INTERNASIONAL"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia dan harus dihindari, karena akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan bagi umat manusia. Oleh karena itu dengan alasan apapun perang sebisa mungkin harus dihindari.

Namun upaya menghapus perang sama sekali dari muka bumi nampaknya sia-sia karena perang akan selalu terjadi. Karena upaya menghapus perang tidak mungkin dilakukan maka umat manusia berupaya mengurangi penderitaan akibat perang dengan membuat hukum. Hukum yang dimaksud pada waktu dulu dikenal dengan istilah hukum perang dan sekarang lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.

Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut internasional humanitarian law

applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian

berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenaldengan istilah hukum humaniter.

Hukum Humaniter Internasional merupakan salah satu cabang dari hukum internasional yang tertua. Sejarah Hukum Humaniter Internasional itu sendiri telah ada setua perang dan kehidupan manusia itu sendiri.

Hukum perang dalam bentuknya yang sekarang walaupun baru, memiliki sejarah yang panjang. Bahkan jauh pada masa dahulu kala, para pemimpin militer kadang-kadang memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan jiwa musuh yang tertangkap atau terluka, merawat mereka dengan baik, dan menyelamatkan penduduk sipil musuh dan harta benda mereka.Manakala permusuhan berakhir, para pihak menyetujui untuk menukarkan tawanan yang berada di tangan mereka. Selama waktu tersebut, praktek ini dan praktek yang serupa telah berkembang secara bertahap kedalam seperangkat aturan kebiasaan yang berkaitan dengan tindakan perang.

Hukum perang pada awalnya hanya berdasarkan pada kebiasaan (custom) yang berlaku dalam perang. Kebiasaan (custom) ini sangat dipengaruhi oleh agama, asas perikemanusiaan dan asas kesatriaan. Baru dalam abad ke-19 ada usaha dari beberapa negara untuk mengadakan perjanjian yang berisi ketentuan tentang perang. Perang merupakan kejadian yang tidak diinginkan tetapi perang juga tidak dapat dicegah. Maka diusahakan dalam perang meminimalisir korban dan menciptakan perang yang manusiawi.

(2)

bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh, dan mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.

Hukum Humaniter Internasional merupakan cabang hukum internasional, maka oleh karena itu sebagai cabang hukum internasional Hukum Humaniter Internasional mempunyai sumber yang sama dengan hukum internasional pada umumnya.

Secara umum dapat digambarkan bahwa arti dari Hukum Humaniter Internasional adalah perangkat ketentuan-ketentuan internasional yang melindungi para korban pertikaian bersenjata dan mencegah konflik bersenjata itu sendiri agar tidak menggunakan cara dan metode perang yang membabi buta. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur agar penyerangan ditujukan hanya terhadap objek-objek militer dan tidak terhadap objek sipil.

Dari pengertian tersebut memunculkan prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Humaniter Internasional, yaitu Prinsip Kemanusiaan (humanity principle), prinsip keterpaksaan (necessity

principle), prinsip proporsionalitas (proportionality principle), prinsip pembedaan (distinction

(3)

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter.

2. Mengetahui tentang perlindungan anak-anak dalam daerah konflik bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional

C. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum

I. Mengetahui prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter Internasional.

II. Mengetahui tentang perlindungan anak-anak dalam daerah konflik bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional

2. Tujuan Khusus

(4)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) adalah istilah baru dari Hukum Perang (Law of War). Hukum ini adalah salah satu cabang dari Hukum Internasional Publik yang membatasi penggunaan kekerasan dalam sengketa ataupun permusuhan bersenjata

(hostilities). Starke mengemukakan bahwa perkembangan yang sangat penting dari Peraturan

Perang adalah “the importation of human right rules and standars into the law of armed conflict”.

Istilah Hukum Humaniter sendiri dalam kepustakaan Hukum Internasional merupakan istilah baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of

Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971.

Hukum Humaniter Internasional merupakan bagian dari Hukum Internasional. Hukum Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum Internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.

Tujuan utama hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut serta dalam permusuhan maupun yang tidak turut serta dalam permusuhan.

Sumber hukum humaniter internasional dalam bentuk perjanjian internasional dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum humaniter utama dan sumber-sumber hukum lain. Sumber hukum humaniter yang utama, terdiri dari hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.

Konvensi merupakan salah satu sumber hukum humaniter internasional dalam bentuk perjanjian internasional. Seperti Konvensi Jenewa yang ditandatangan oleh wakil-wakil Kuasa Penuh dari Pemerintah-pemerintah yang hadir pada Konferensi Diplomatik yang diadakan di Jenewa dari tanggal 21 April sampai dengan tanggal 12 Agustus 1949 dengan maksud meninjau kembali Konvensi Den Haag ke-X tanggal 18 Oktober 1906 mengenai Peperangan di Laut. Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan Konvensi Jenewa yang keempat yaitu:

(5)

2. Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906. 3. Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai Perlakuan Tawanan

Perang, 1929.

4. Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949.

B. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional

Di dalam Hukum Humaniter Internasional terdapat pula prinsip-prinsip yang sangat fundamental yang mempengaruhi Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag yaitu:

1.

Prinsip kemanusiaan

Mahkamah Internasional PBB mrnafsirkan prinsip kemanusiaan sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa adanya diskriminasi kepada kombatan atau penduduk sipil untuk mengurangi penderitaan dimanapun ditemukan. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi, menjamin penghormatan terhadapn manusia dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

2.

Prinsip keterpaksaan

Di dalam Hukum Humaniter Internasional telah ditetapkan bahwa yang dapat dijadikan sasaran serangan hanyalah kombatan yang ikut bertempur dan objek-objek militer, dengan adanya prinsip keterpaksaan terdapat pengecualian sipil menjadi sasaran militer apabila memenuhi persyaratan tertentu yaitu:

a. Penduduk sispil member kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak musuh

b. Penduduk sipil melakukan penghancuran, penghancuran, atau pelucutan terhadap objek.

Selanjutnya, tindakan yang telah dijelaskan diatas boleh dilaksanakan terhadap objek sipil tersebut sebagai tindakan militer apabila:

a. Tujuan politis dari kemenangan hanya bias dicapai melalui tindakan tersebut dengan mengarahkannya terhadap sasaran militer.

b. Dua kriteria di atas mengenai kontribusi efektif dan perlunya tindakan keras tersebut memang terpenuhi dalam hal yang berlangsung pada waktu itu.

(6)

“apabila dimungkinkan pilihan antara beberapa sasaran militer untuk memperoeh keuntungan militer yang sama, maka sasaran yang akan dipilih adalah sasaran yang apabila diserang dapat diharapkan mengakibatkan bahaya yang paling kecil bagi nyawa orang-orang sipil dan objek-objek sipil”

3.

Prinsip proporsionalitas

Prinsip proporsionalitas merupakan prinsip mengenai serangan yang tidak diperbolehkan secara berlebihan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung yang dimana setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak menyebabkan korban dari pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang diharapkan langsung dari terhadap penduduk sipilyang berada dalam kekuasaan pihak yang bersengketa (treatment of persons in the power of a party to a conflict)2.

Dengan demikian bahwa semua yang di luar kombatan adalah golongan civilians

atau penduduk sipil, dan golongan ini harus dilindungi dalam peperangan. Prinsip pembedaan memerlukan penjabaran lebih jauh dalam sejumlah asas pelaksanaan

(principle of applications) dalam realisasi perlindungan penduduk sipil, yaitu:

a. Pihak-pihak yang bersengketa harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil.

b. Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan objek.

c. Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil dilarang.

d. Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidak-tidaknya untuk menekan kerugian dan kerusakan yang tidak disengaja.

e. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

1 http://www.pelita.or.id/baca.php? id=88924, Diakses tanggal 20 Desember 2016

(7)

5.

Prinsip kesatriaan

Asas ini mengandung arti bahwa ketika perang berlangsung, kejujuran merupakan suatu hal yang sifat nya sangatlah penting. Kejujuran harus diutamakan. Kejujuran yang dimaksud difokuskan pada penggunaan senjata yang tidak diperkenankan untuk digunakan, tidak dibenarkan melakukan berbagai ragam tipu muislihat dan tidak dibenarkan juga melakukan pengkhianatan. Dalam istilah asing asas ini disebut chilvary.

C. Perlindungan anak-anak dalam daerah konflik bersenjata menurut Hukum

Humaniter Internasional

Dalam Hukum Humaniter Internasional, konflik bersenjata dibagi menjadi dua, yaitu konflik bersenjata internasional (international armed conflict) dan konflik bersenjata non intternasional (non internasional armed conflict). Konflik bersenjata internasional terjadi apabila melibatkan dua negara atau lebih, sedangkan konflik bersenjata non internasional merupakan konflik yang terjadi dalam suatu wilayah negara antara pemerintah dengan warga negara yang memberontak

Salah satu azas yang menjadi landasan utama Hukum Humaniter Internasional adalah pembagian penduduk suatu negara yang sedang berperang, bermusuhan, atau terlibat pertikaian bersenjata ke dalam dua kategori, yaitu kombatan (combatant) dan penduduk sipil (non

combatant atau civilians). Perempuan dan anak masuk dalam kategori penduduk sipil, tetapi

perempuan yang tergabung dalam Kesatuan Angkatan Perang dan dipersenjatai tetap masuk dalam kategori kombatan. Aspek yuridis dalam aturan ini adalah bahwa penduduk sipil (semua orang selain kombatan) tidak boleh dijadikan objek kekerasan dan harus dilindungi dari segala kaitannya dengan peperangan, sedangkan kombatan (anggota angkatan perang) adalah orang yang terlibat langsung dalam peperangan dan dapat dijadikan objek kekerasan ketika berperang tetapi tetap harus dilindungi ketika menjadi tawanan perang.

Aspek-aspek pembeda tersebut digunakan untuk menetapkan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam suatu pertikaian sehingga tujuan pengaturan Hukum Humaniter Internasional dapat tercapai, yaitu memanusiakan perang sebagai salah satu bentuk kebudayaan manusia yang beradab. Dari beberapa pembeda tersebut, prinsip perlindungan (protection) memiliki fungsi yang sangat penting terhadap penduduk sipil.

Masuk ke dalam kategori perlindungan sipil ini adalah wilayah-wilayah sipil, artinya Hukum Humaniter mengatur tentang daerah-daerah yang tidak boleh diserang. Tempat-tempat umum yang sangat penting untuk warga sipil, seperti sumber air minum, sumber listrik, sekolah, pasar, rumah sakit, dan tempat peribadatan, merupakan tempat-tempat yang harus dilindungi. Oleh karenanya, bila tempat ini diserang, maka dipastikan yang paling menderita adalah anak-anak3.

(8)

Penduduk sipil dalam setiap permusuhan atau perang selalu dalam posisi lemah dan selalu menerima langsung akibat buruk dari perang atau permusuhan. Posisi lemah ini menurut Hans Peter Gasser, terbentuk dari dua kegiatan dalam setiap permusuhan atau perang, yaitu bahaya yang disebabkan oleh operasi langsung militer selama permusuhan atau perang dan ancaman yang bisa membahayakan orang-orang (penduduk sipil) ketika berada dalam kekuasaan musuh.

Didalam Hukum Humaniter Internasional terdapat prinsip pembedaan yang membadakan antara penduduk sipil dan kombatan (distinction principle) untuk pertama kali secara konvensional diatur dalam Konvensi Den Haag (Hague Regulations/HR) tahun 1907 yang kemudian disempurnakan dalam Peraturan Geneva Conventions 1949. Perubahan terakhir yang terdapat dalam Protokol I 1977 benar-benar mengubah secara fundamental ketentuan yang berlaku sebelumnya.

Perlindungan terhadap penduduk sipil ini diatur secara rinci dalam Konvensi Jenewa IV

(Geneva Convention), yang dikenal dengan perlindungan umum karena mengatur perlindungan

terhadap penduduk sipil secara menyeluruh (general principle), dan dalam Protokol Tambahan 1977 khususnya dalam bagian IV. Dalam bagian ini diatur perlindungan umum (general

protection), bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civilian population), dan

perlakuan terhadap penduduk civil yang berada dalam kekuasaan pihak yang bersengketa

(treatment of persons in the power of a party to a conflict).Dengan demikian, prinsip pembedaan

(distinction principle) merupakan aturan dasar normatif yang mengikat semua pihak dari pelaksanaan prinsip perlindungan terhadap penduduk sipil, dan berfungsi sebagai sarana pencegah (preventive rules) dari timbulnya kejahatan/pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional.

Orang-orang yang dijamin perlindungan dalam konflik bersenjata adalah orang-orang yang tidak ikut aktif dalam konflik tersebut, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata karena luka, sakit dan sebab lainnya. Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi termasuk kombatan. Kombatan yang telah berstatus hors de combat harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang. Perlindungan dalam hal ini adalah perlindungan terhadap orang-orang yang turut serta dalam konflik bersenjata yang menjadi korban karena luka, sakit atau tertawan sebagai tawanan perang, seperti diatur dalam Pasal 13 Konvensi Jenewa I, II dan III 1949 dan Pasal 4 Konvensi Jenewa III. Dengan demikian merupakan kewajiban bagi pihak-pihak yang berperang untuk melindungi orang-orang tersebut

(9)

1. Memaksa, baik jasmani atau pun rohani untuk memperoleh keterangan;

2. Menimbulkan penderitaan jasmani;

3. Menjatuhkan hukuman kolektif;

4. Mengadakan intimidasi, terorisme dan perampokan;

5. Tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil;

6. Menangkap orang-orang untuk ditahan sebagai sandera.

Larangan tersebut sangat penting dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bertempur, baik dalam konflik bersenjata internasional dan non internasional. Masalah pelaksanaannya dalam konflik bersenjata non internasional sangat tergantung kepada kemauan negara dan tindakan pihak yang bertikai. Padahal korban konflik bersenjata non internasional dewasa ini mencapai 80% dari korban sengketa yang ada. Selain itu ditingkatkan perlindungan terhadap orang-orang dari tindakan kekerasan, pelecehan atau martabat manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Suhaidi, yaitu masyarakat internasional terus melakukan usaha dalam perlindungan terhadap martabat manusia melalui instrumen internasional.

Anak membutuhkan pembedaan yang khusus dan menyerukan perbaikan yang terus menerus bagi kondisi anak tanpa pembedaan maupun bagi perkembangan dan pendidikan anak-anak. Ada beberapa kelompok anak yang memerlukan perlindungan khusus yaitu:

1. anak yang berada dalam keadaan darurat yaitu pengungsi, anak yang berada dalam konflik bersenjata;

2. anak yang mengalami konflik hukum, yang menyangkut soal administratif pengadilan anak, perenggutan kebebasan anak, pemulihan kondisi fisik dan psikologis anak;

3. anak dalam situasi eksploitasi anak harus dilindungi dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang membahayakan dirinya, pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, ikut dalam kegiatan bersenjata dan penyalahgunaan narkoba4.

Perlakuan khusus terhadap anak-anak yang diatur dalam Konvensi Jenewa ini kemudian dilengkapi pula dengan ketentuan baru sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 Protokol I 1977. Menurut Protokol I, anak-anak berhak atas perawatan dan bantuan yang dibutuhkan sesuai dengan usia mereka, mereka tidak boleh didaftarkan menjadi anggota angkatan perang sebelum berusia 15 tahun, dan jika usia tersebut mereka terlibat langsung dalam pertempuran, maka apabila tertangkap mereka harus menerima perlakuan khusus sesuai dengan usia mereka dan terhadap mereka yang tertangkap sebelum usia 18 tahun tidak boleh dijatuhi hukuman mati5.

Para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata dilarang memasukkan atau tidak merekrut anak-anak di bawah umur dalam angkatan bersenjatanya atau tidak melibatkan anak-anak dalam konflik bersenjata, sehingga anak-anak tidak menjadi korban dari pekerjaan yang belum cocok untuknya.

Dengan dijiwai oleh Hukum Humaniter, PBB terus mengusahakan melindungi perempuan anak-anak dari peperangan, termasuk juga usaha untuk mencegah timbulnya perang dan mengusahakan perdamaian. Pada tanggal 31 Oktober 2000, Resolusi 1325 (S/RES/1325) Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan menemukan kata

4http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41118/3/Chapter%20II.pdf

(10)

sepakat untuk untuk disahkan6. S/RES/1325 merupakan satu-satunya resolusi yang disahkan oleh Dewan Keamanan. Resolusi ini menggambarkan dan mengangkat dampak perang terhadap perempuan, termasuk menyatakan kekhawatiran yang besar terhadap penduduk sipil, terutama perempuan dan anak-anak, yang paling rentan terkena dampak perang bersenjata.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perang selalu menimbulkan korban yang besar, dan korban terbesar adalah masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai kelompok rentan dalam peperangan. Kekerasan terhadap anak-anak yang dilakukan secara sistematik dan terencana di dalam perang masuk dalam kategori kejahatan perang.

Pencegahan pertikaian bersenjata tetap menjadi prioritas utama dari kerja sama internasional, selanjutnya, melindungi hak-hak kemanusiaan di tengah kenyataan perang. Hal itulah maksud Hukum Humaniter Internasional, dengan prinsip utamanya distinction principle. Dalam prinsip ini, terdapat seperangkat aturan yang mengatur pembedaan penduduk ketika perang yang bertujuan sebagai perlindungan terhadap para korban perang, terutama penduduk sipil, yaitu perempuan dan anak.

Dari mulai di keluarkannya Konvensi Jenewa tahun 1949 sampai saat ini, seperangkat hukum dan resolusi-resolusi dan kesepakatan-kesepakatan telah dikeluarkan oleh berbagai negara dan organisasi internasional, terutama PBB sebagai organisasi bangsa-bangsa di dunia. Akan tetapi, tanpa keinginan dan perjuangan yang teguh untuk menegakannya maka konvensi dan revolusi tidak akan efektif.

Pihak yang bertikai harus menerapkan hukum humaniter untuk mencegah korban yang sudah menyerah dan juga orang sipil yang tidak bersalah. Hukum humaniter harus dilaksanakan secara efektif dan bahkan perlu diratifikasikannya protokol tambahan I dan II/1977 bagi penguatan hukum dalam rangka menyelamatkan orang-orang dalam konflik, agar tidak menimbulkan korban orang yang tidak bersalah. Pemberlakuan hukum humaniter mewajibkan kombatan membedakan secara tegas sasaran tembaknya yang hanya boleh terhadap kombatan musuh yang bertempur, dan bilamana mereka tidak lagi ikut karena luka dan sakit, maka mereka harus dilindungi sebagaimana diamanatkan oleh prinsip pembedaan, demikian juga terhadap orang sipil yang tidak boleh di jadikan sasaran kekerasan. Bilamana tindakan para pihak dalam konflik atau para kombatan tersebut didasarkan pada prinsip kesatria serta prinsip kemanusiaan yang mengharuskan bertindak secara kesatria, jujur dan benar, ditunjang dengan sikap atau

(11)

tindakan yang manusiawi, maka korban terhadap orang-orang yang dilindungi dan yang tidak bersalah dapat dihindari.

B.

Daftar Pustaka

Aryuni Yuliantiningsih, “Perlindungan Terhadap Pengungsi Domestik Menurut Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8 No. 3 September 2008

http://www.pelita.or.id/baca.php? id=88924,

http://rikiseptiawan180991.blogspot.com/2012/05/makalah-konvensi-jenewa-iii.html,

Intan Innayatun Soeparna, “ Global War on Terror oleh Amerika Serikat dalam Perspektif Hukum Inernasional,” http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ArticleIntan.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41118/3/Chapter%20II.pdf

Referensi

Dokumen terkait

Berlandaskan kepada kejayaan ini, saya percaya bahawa penswastaan KTM Berhad melalui perancangan yang lebih kemas dan teratur akan dapat menjadi sebuah syarikat pengangkutan

Hasil pengukuran logam Pb dalam susu asal sapi perah Kelurahan Kebon Pedes yang menggunakan tiga jenis pakan yaitu rumput lapangan, klobot jagung serta

c c c c ^ Melahirkan bangsa Malaysia yang taat setia dan bersatu paduc c Melahirkan insan yang beriman, berakhlak mulia, berilmu, berketrampilan dan sejahterac c Menyediakan

Nias Barat Tahun 2009 maka tidak selalu Kepala Dinas bersama dengan Berdahara mengembalikan dana tersebut sesuai dengan Petunjuk Teknis Pemanfaatan Dana Bantuan

Hidayat C dkk (1997) dalam penelitiannya tentang pengaruh pH air perindukan terhadap perkembangbiakan Aedes aegypti melaporkan bahwa pada pH air perindukan 7, lebih

Berdasarkan uraian dan hasil analisis pada bab-bab sebelumnya dan merujuk pada topik pembahasan mengenai pengaruh citra merek, inovasi produk dan iklan terhadap

 Semua kriteria pelayanan MIS memerlukan perbaikan dengan menghasilkan nilai di bawah 0 atau belum baik, serta secara keseluruhan pelayanan MIS menghasilkan

Beberapa sifat resesif yang dapat dideteksi secara dini pada tanaman haploid yang berkembang dari embriogenesis mikrospora antara lain adalah toleransi terhadap kondisi