BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi DBD
Infeksi virus Dengue di Indonesia sejak abad ke- 18. Infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai demam lima hari (vijfdaagse koorts), atau juga disebut sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan kepala.11
Seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD karena virus penyebab clan nyamuk penularnya tersebarluas baik di rumah maupun tempat- tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Pada saat ini seluruh propinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di kota maupun desa terutama yang padat penduduknya dan arus transportasinya lancar. Menurut laporan Ditjen PPM clan PLP penyakit ini telah tersebar di 27 propinsi di Indonesia. Dari 300 kabupaten di 27 propinsi pada tahun 1989 (awal Pelita V ) tercatat angka kejadian sebesar 6,9 % dan pada akhir Pelita V meningkat menjadi 9,2 %. Pada kurun waktu yang sama angka kematian tercatat sebesar 4,5 %.12
B. Pengertian DBD
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus tersebut merupakan genus Flafivivrus dan famili Flaviviridae. (buku penyakit tropis) DBD biasanya ditandai dengan demam tinggi, mendadak 27 hari, disertai muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual dan muntah. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar
di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatumole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam.11
C. Mekanisme penularan DBD
Penderita DBD bila digigit nyamuk Aedes aegypti, maka virus yang ada di dalam darah akan ikut terisap dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk kelenjar air liurnya. Setelah satu minggu setelah menghisap darah, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus dengue tersebut tetap berada pada tubuh nyamuk dan merupakan penularan (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit dan belum menghisap darah, maka nyamuk tersebut akan mengeluarkan kelenjar air liur melalui probosis, agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama dengar air liur virus dengue dipindahkan dari nyamuk keorang lain.13
D. Vektor penularan DBD
Vektor utama penyebaran DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti. Penularan penyakit DBD melaui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Para ahli taksonomi menggolongkan nyamuk tersebut ke dalam:14
Phylum: Antrhopods Class: Hexapoda Ordo: Diptera Subordo: Nematoda Familia: Culicidae Genus: Aedes
Species: Aedes aegypti E. Nyamuk Aedes aegypti
Aedes aegypti merupakan spesies nyamuk tropis dan subtropis, biasanya antara garis lintang 350U dan 350S, kira-kira berpengaruh pada musim dingin isotherm 100C. Meski Aedes aegypti telah ditemukan sampai sejauh 450U, inovasi ini telah terjadi selama musim hangat, dan nyamuk tidak hidup pada musim dingin. Aedes aegypti biasanya tidak ditemukan diatas ketinggian 1000 m tetapi telah dilaporkan pada
ketinggian 2121 m di India, pada 2200 m di Kolombia, dimana suhu rerata tahunan adalah 170C, dan pada ketinggian 2400 di Eritrea. Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat manusia dan sering hidup di dalam rumah. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dengan pengeringan), kadang selama lebih dari satu tahun.15
1. Morfologi
a. Aedes Aegypti dewasa
Nyamuk Aedes aegypti dewasa beukuran lebih kecil dibandingkandengan nyamuk-nyamuk lain. Aedes aegypti memiliki warna dasar hitam dan bintik-bintik putih pada bagian dada dan bulu kaki. Perbedaan morfologi nyamuk Aedes aegypti dewasa dengan betina adalah pada morfologi antenanya. Aedes aegypti betina memiliki antenna berbulu jarang, sedangkan yang jantan memiliki atena berbulu lebat.13
Nyamuk Aedes agypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan warna tubuh hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutpi sisik dengan garis keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan. Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari nyamuk betina. Pada nyamuk betina, probosis dipakai untukk menghisap darah, sedangkan pada jantan untuk mengisap bahan-bahan cair seperti cairan tumbuhan, buah-buahan dan keringat. Di kiri kanan probosis terdapatpalpus dan sepasang antena.16
b. Telur
Telur Aedes aegypti waktu dikeluarkan berwarna putih, dan berubah menjadi hitam dalam waktu 30 menit. Telur di letakan di permukaan aia atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak kurang lebih 2,5cm dari tempat perindukan. Telur mampu bertahan
sampai berbulan-bulan pada suhu 20C-40C. Telur akan menetas dalam waktu 1-2 hari pada kelembaban rendah. Telur Aedes aegypti berukuran 5 mikron, sepintas lalu tampak bulat panjang dan berbentuk lonjong (oval) memiliki torpedo.17
c. Larva
Telur akan menjadi larva atau jentik. Kelangsungan hidup larva dipengaruhi oleh suhu, pH air, cahaya, serta kelembaban fertilitas telur itu sendiri. Dalam kondisi optimal waktu yang dibutuhkan sejak telur menetas hingga menjadi nyamuk dewasa adalah tujuh hari termasuk dua hari masa pupa.18
Larva Aedes aegypti biasanya bergerak lincah dan aktif, yaitu dengan bergerak-gerak naik ke permukaan air dan turun ke dasar wadah secara berulang-ulang. Larva Aedes aegypti mengambil makanan di dasar wadah. Dan saat larva mengambil oksigen dari udara, larva menempatkan corong udara (siphon) pada permukaan air seolah-olah badan larva berada pada posisi membentuk sudut dengan permukaan air.19
d. Pupa
Larva instar IV akan berubah menjadi pupa yang berbentuk bulat gemuk menyerupai koma (,). Diperlukan waktu 2-3 hari untuk menjadi nyamuk dewasa. Suhu untuk perkembangan pupa optimal sekitar 270C-300C dan tidak memerlukan makan tetapi udara. Pada stadium pupa alat-alat tubuh nyamuk seperti sayap, kaki, alat kelamin, dan bagian tubuh lainnya akan terbentuk.20 2. Siklus hidup
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu dari bentuk telur, jentik, kepompong dan nyamuk dewasa. Stadium telur, jentik, dan kepompong hidup di dalam air (aquatik), sedangkan nyamuk hidup secara teresterial (di udara bebas). Nyamuk betina setiap kali bertelur akan mengeluarkan telurnya sebanyak 100 butir. Fase aquatik berlangsung selama 8-12 hari yaitu stadium jentik
berlangsung 6-8 hari, dan stadium pupa (kepompong) berlangsung 2-4 hari. Pertumbuhan telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama 10-14 hari. Umur nyamuk dapa mencapi 2-3 bulan.13
3. Tempat beristirahat (resting habits)
Nyamuk Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil, dan di dapur. Nyamuk ini jarang di temukan di luar rumah, di tumbuhan, atau di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang mereka sukai adalah di bawah furnitur, benda yangtergantung seperti baju dan korden, serta di dinding.21
4. Jarak terbang
Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi terbatas sampai 100 meter dari lokasi kemunculan. Penelitian terbaru di Puerto Rico menunjukkan bahwa nyamuk ini dapat menyebar lebih dari 400 meter terutama untuk mencari tempat bertelur. Transportasi pasif dapat berlangsung melalui telur dan larva yang ada dalam penampung.21
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak, dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mendapatkan cadangan air dari penguapan nyamuk terbatas jarak terbangnya.22
5. Tempat perindukan
Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti aadalah di tempat-tempat penampungan air (TPA) yang mengandung air jernih atau air yang sedikit terkontaminasi, bukan pada genangan-genangan air tanah. Perkembanan nyamuk Aedes aegypti terutama larvanya dipengaruhi oleh makanan yang terdapat pada media terutama
mikroorganisme yaitu bakteri dan spora jamur. Disamping itu suhu media tempat perindukan yang optimal berkisar antara 25 – 27 derajat celcius. Merupakan keadaan optimal untuk perkembangan larva nymuk Aedes aegypti. pH air media tempat perindukan juga memepengaruhi perkembangan larva.23
Kebiasaan hidup stadium pradewasa Aedes aegypti adalah pada bejana buatan manusia yang berada di dalam maupun di luar rumah. Sementara itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap perletakan telur nyamuk tersebut antara lain jenis wadah, warna wadah, air, suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan setempat .24
Pengendalian perindukan Aedes aegypti lebih dititikberatkan pada penutupan dan abatisasi bak mandi, dan penguburan barang buangan di sekitar rumah yang dapat menampung air hujan. Sedangkan penampungan air hujan belum mendapat perhatian, padahal peluang menjadi habitat Aedes aegypti cukup besar, seperti tempat minum burung, pot bunga, pelepah daun dan sumur. Aedes aegypti menyukai penampungan air jernih dan terlindung dari sinar matahari langsung sebagai tempat perindukannya. Penampungan air seperti itu umumnya banyak dijumpai di rumah dan sekitarnya. Air bersih yang ditampung oleh penduduk berasal dari berbagai sumber, seperti air hujan, ladang, dan sumur. Aedes aegypti lebih tertarik untuk meletakkan telur pada penampungan air yang berwarna gelap, terbuka lebar, terutama yang terlindung dari sinar matahari.7
Hasil penelitian di Singapura pada tahun 1996 (Tan.BT., and BT. Teo) telah diketahui habitat perindukan Aedes di rumah tangga (domestik) antara lain ember, drum, tempayan, baskom (21,9%), diikuti tempat air yang bekas (18,7%), tempat air hiasan, seperti vas bunga, pot tanaman (17,0%), lekukan pada lantai (8,7%) dan terpal/plastik (8,3%).24
F. Parameter air yang mempengaruhi keberadaan jentik Aedes aegypti 1. pH
Kondisi asam atau basa pada perairan ditentukan berdasarkan nilai pH (power ofhydrogen). Nilai pH berkisar antara 0-14, yang mana pH 7 merupakan pH normal. Kondisi pH kurang dari 7 menunjukkan air bersifat asam, sedangkan pH di atas 7 menunjukkan kondisi air bersifat basa. Makhluk hidup atau biota perairan tawar masing-masing memiliki kondisi pH yang berbeda-beda.10
Pengaruh pH pada biota terletak pada aktivitas enzim, misalnya dalam pH asam, enzim akan mengalami protonasi. Keasaman juga berpengaruh pada tingkat kelarutan suatu nutrien dalam perairan, yang menentukan keberadaan suatu organisme. Polusi juga bisa diindikasi dari pH yang terkait dengan konsentrasi oksigen (pH rendah pada konsentrasi oksigen rendah).10
Hidayat C dkk (1997) dalam penelitiannya tentang pengaruh pH air perindukan terhadap perkembangbiakan Aedes aegypti melaporkan bahwa pada pH air perindukan 7, lebih banyak didapati nyamuk daripada pH asam atau basa.7
2. Kekeruhan
Kekeruhan air dapat disebabkan oleh zat padat yang tersuspensi, baik yang bersifat organik maupun anorganik. Zat anorganik biasanya berasalkan pelapukan batuan dan logam, sedangkan yang bersifat organik dapat berasal dari pelapukan tanaman atau hewan. Limbah industri dapat juga merupakan sumber kekeruhan. Zat organik dapat menjadi makanan bakteri, sehingga mendukung perkembangbiakannya. Bakteri ini juga merupakan zat organik tersuspensi sehingga pertambahannya akan menambah kekeruhan air. Demikian pula dengan algae yang berkembangbiak karena adanya zat hara N, P, K akan menambah kekeruhan air. Air yang keruh sulit didesinfeksi, karena mikroba terlindung oleh zat tersuspensi tersebut.25
Hasil penelitian Upik K. Hadi dkk menunjukkan bahwa Aedes aegypti dapat bertelur pada berbagai media yang mengandung air terpolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air yang terpolusi dapat menjadi tempat perindukan dan berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.9
3. Total zat padat terlarut/TDS (Total Dissolve Solid)
Pengaruh Padatan tersuspensi (TSS) maupun padatan terlarut (TDS) sangat beragam, tergantung dari sifat kimia alamiah bahan tersuspensi tersebut. Pengaruh yang berbahaya pada ikan, zooplankton maupun makhluk hidup yang lain pada prinsipnya adalah terjadinya penyumbatan insang oleh partikel partikel yang menyebabkan afiksiasi.26
Jumlah zat padat terlarut/TDS (Total Dissolve Solid) biasanya terdiri atas zat organik, garam anorganik, dan gas terlarut. Bila TDS bertambah maka kesadahan akan naik pula. Selanjutnya, efek TDS ataupun kesadahan terhadap kesehatan tergantung pada spesies kimia penyebab masalah tersebut.25
Konsentrasi zat padat terlarut (TDS) dipengaruhi oleh debit dan tekanan sehingga bila tekanan bertambah maka akan mempercepat laju alir tetapi bila laju alir ditetapkan maka konsentrasi zat padat terlarut akan naik. Bila tekanan bertambah dan laju alir tetap sedangkan konsentrasi zat padat terlarut turun maka disebabkan oleh membran baru yang memiliki daya serap yang cukup bagus dan kualitas air yang dihasilkan meningkat.27
Pada penelitian Yoyo R dkk (2000) menyimpulkan bahwa karakteristik air antara lain pH, kekeruhan, kesadahan, kandungan Fe (besi) dan bahan terlarut (total dissolved) diduga bisa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan larva Aedes aegypti.7
G. Kerangka teori
Gambar 2.1 Kerangka teori H. Kerangka konsep
Variabel bebas Variabel terikat
Variabel pengganggu
Gambar 2.2 Kerangka konsep
Keberadaan jentik Aedes aegypti Parameter fisika dan
kimia air perindukan: - pH - Kekeruhan - TDS - Pasca pengurasan - Terdapat ikan - Terdapat abate Perilaku nyamuk Kebiasaan menggigit Kebiasaan istirahat Tempat perindukan (kontainer) Jarak terbang pH Kekeruhan TDS Keberadaan jentik aedes aegypti Sumber air Abatisasi Predator Pengurasan
I. Hipotesis
Berdasarkan tujuan penelitian maka dapat diajukan hipotesis bahwa: 1. Ada perbedaan pH air perindukan berdasarkan keberadaan jentik
Aedes aegypti di Daerah endemis DBD Kota Semarang.
2. Ada perbedaan kekeruhan air perindukan berdasarkan keberadaan jentik Aedes aegypti di Daerah endemis DBD Kota Semarang.
3. Ada perbedaan TDS air perindukan berdasarkan keberadaan jentik Aedes aegypti di Daerah endemis DBD Kota Semarang.