PESANTREN:
WAJAH MULTIKULTURAL ISLAM-INDONESIA
Hamam Faizin
Pesantren sebagai entitas tak terpisahkan dari Islam-Nusantara selalu menarik untuk dikaji dan ditelaah ulang. Dunia pesantren dewasa ini telah banyak berperan dan memberikan kontribusi berarti di tengah dinamika sosial yang menuntut perubahan. Sudah banyak para peneliti membuktikan kontribusi tersebut. Di antaranya pondok pesantren telah memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren. Mereka menggunakan justifikasi religius dan term-term simbolik menuju gerbang kemerdekaan.1 Pesantren juga
memiliki peran penting dalam mempertahankan tradisi tasawuf di Jawa.2 Sampai saat ini,
pesantren juga telah menjaga tradisi intelektualisme Islam di Nusantara,3 bahkan terus
berlanjut hingga melahirkan ‘Santri Baru’ di aras pemikiran Islam kontemporer.4
Tidak berhenti di sini, sekitar awal tahun 1990-an, pesantren ditulis dan dipandang dengan warna baru. Pesantren mulai dihitung sebagai entitas politik (baca: politk praktis) yang menyumbang berbagai makna baru dan perubahan dalam diskursus politik di Indonesia. Diskursus ini dikembangkan terutama untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan alternatif di tengah sistem politik yang totalitarian. Greg Fealy, Andree Feilard, Greg Barton adalah beberapa pengamat Indonesia yang mencoba melihat relasi NU-Pesantren dengan tali politik nasional dalam panggung kontestasi yang tak berkesudahan.
Lebih dari itu, pesantren selalu berkembang. Ia tidak lagi sekadar memainkan fungsi tradisional, tetapi juga menjadi penyuluh kesehatan; pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan; pusat usaha dan penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup dan lebih penting menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.5
Track record pesantren yang cukup panjang ini menunjukkan bahwa ada dinamika pergulatan konsepsional dalam menghadapi persoalan-persoalan sosial, kultural, ekonomi dan politik, termasuk yang berkaitan dengan masalah-masalah keislaman sendiri. Fenomena pesantren memang sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan, dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya.
1 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal.
234. Baca juga Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, hal. 149.
2 Zulkifli, Sufism in Java: The Role of The Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java, Leiden-Jakarta,
INIS, 2002.
3 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi Yogyakarta: LKiS, 2004. 4 Nur Khalik Ridwan, Santri Baru: Pemetaan, Wacana, Ideologi dan Kritik, Yogyakarta: Gerigi Pustaka,
2004.
5 Azyumardi Azra “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam pengantar buku Nurcholish Madjid,
Peranan dan keaktifannya dalam berkontribusi, sedikit banyak, menuntut pesantren melakukan penyesuaian, pengembangan dan bahkan ketahanan diri (self-defence) terhadap perubahan sosial. Penyesuaian, pengembangan dan ketahanan diri pesantren terhadap perubahan sosial, termasuk industrialisasi dan urbanisasi, misalnya, telah terbukti memberikan andil yang berarti bagi transformasi nilai demi pembentukan mental spiritual santri dalam bidang kehidupan, bahkan dalam keadaan krisis sekalipun. Reaksi pesantren menghadapi perubahan6 cukup beragam. Keragaman sikap tersebut menimbulkan
diversifikasi pesantren ke dalam model, kelompok dan ideologi tertentu hingga membentuk sebuah mozaik kepesantrenan yang indah.
Terkait dengan perubahan sosial, sekitar satu dekade terakhir ini atau lebih tepatnya semenjak runtuhnya rezim Orde Baru, bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada wacana multikultural, yakni sistem nilai yang menerima kelompok lain secara sama sebagai satu kesatuan, tak peduli perbedaan budaya, jender, agama ataupun yang lain.7 Wacana ini
berhembus seiring dengan munculnya konflik-konflik yang bernuansa SARA dan tindak kekerasan terorisme atas nama agama oleh sekelompok umat beragama. Konflik dan tindakan terorisme tersebut paling tidak menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang beragama tersebut belum bisa menyelesaikan keberbedaan dengan the other secara kondusif dan konstruktif. Mereka tidak memiliki sistem atau kearifan dalam mengelola keragaman tersebut. Penyelesaiannya hanyalah dengan cara yang desktruktif, yakni konflik.
Persoalan konflik ini, terutama terorisme, semakin meruncing dan menggiring perhatian khayalak kepada sebuah institusi pendidikan Islam klasik, yakni pesantren. Kenyataan ini terbukti dengan terlibatnya kalangan pesantren dalam konflik yang terjadi di sejumlah daerah dan terungkapnya para pelaku aksi pengeboman Bali yang melibatkan alumni santri Pondok Pesantren al-Islam, Lamongan seperti Amrozi, Imam Samudra, Mukhlas dan ditangkapnya Ustadz Abu Bakar Ba'asyir sebagai pimpinan Pondok Pesantren al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo.8
Fenomena tersebut mendorong International Center for Islam and Pluralisme bekerja sama dengan Badan Kerjasama Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) dan AusAID, melakukan penelitian pada awal tahun 2006. Penelitian tersebut memfokuskan pada tema-tema seputar wacana multikulturalisme, semisal toleransi, demokrasi, jender, dan Syari’at Islam, dan secara spesifik menguji apakah betul kalangan pesanten mensahkan tindak kekerasan dan tidak ramah terhadap perbedaan. Sampel yang diambil adalah 20 pesantren di Jawa Barat dari 2200 pesantren yang tergabung dalam Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI).
6 Salah satu bukti konkret pengadopsian elemen-elemen kebudayaan Barat oleh pesantren adalah
diterapkannya sistem sekolah (madrasah) dan organisasi-organisasi modern. Lihat Ivan Alhadar, “Pesantren Antara Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban-Industri”, dalam Dinamika Pesantren: Dampak Pesantren dalam Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat, Manfred Oepen dan Wolfgang Kareher (eds.), Jakarta: P3M, 1988), hal. 144.
7 Webster’s New World College Dictionary.
8 Sebagaimana Laporan International Crisis Group (ICG) ada beberapa kasus pemboman yang dilakukan oleh
Hasil penelitian tersebut cukup mengagetkan. Di antaranya dinyatakan bahwa kalangan pesantren inkonsisten dalam menyikapi multikulturalisme. Di satu sisi, mereka bersikap moderat dan toleran dalam masalah sosial, politik dan ekonomi. Namun, di sisi lain, mereka bersikap intoleran dalam masalah akidah. Pemahaman sejumlah kalangan pesantren di Jawa Barat belum sepenuhnya dapat menerima kenyataan multikulturalisme. Hal ini diungkap tim peneliti ICIP dalam seminar dan workshop bertajuk “Persepsi Komunitas Pesantren di Jawa Barat terhadap Isu-isu Keagamaan dan Multikulturalisme”, di kawasan Depok, Jawa Barat.9
Tentu saja hasil penelitian ini menuai pro dan kontra. Terkait dengan wacana tersebut, tulisan singkat ini akan mengeksplorasi bagaimana sebenarnya peran strategis pondok pesantren dalam merespons realitas kekinian yang plural dan multikultur itu. Apakah pesantren memang benar-benar menolak wacana multikultural dan apakah tindakan terorisme dan penegakan Syari’at Islam yang dilakukan oleh sebagian pesantren merupakan bukti penolakan tersebut? Atau bahkan sebaliknya, pesantren mendukung wacana multikultural? Lalu, adakah nilai-nilai budaya atau tradisi-tradisi pesantren yang mendukung wacana multikultural? Dan tentu pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang serius dari semua pihak dan memerlukan sebuah analisis yang jernih dari berbagai sudut pandang.
Pengakuan atas Perbedaan, Kesetaraan di Ruang Publik
Sebelum memasuki lebih jauh ke dalam pembahasan tentang pesantren, kiranya akan lebih tepat apabila ada penyamaan persepsi tentang apa itu multikultural. Dengan tujuan agar ada pemahaman yang sama sehingga kesalahpahaman (misunderstanding) bisa dihindari sejak awal.
Hal tersebut dapat dimulai dari pertanyaan tentang apa sebetulnya yang dimaksud dengan multikulturalisme? Ia kerap merupakan sebuah pertanyaan yang menjebak sebab definisinya sangat tergantung pada konteks di mana istilah tersebut didiskusikan. Di samping, itu konsep multikuluralisme selalu berubah sejauh masyarakat berusaha menjadikan suara-suara mereka terdengar oleh sebuah audien yang tumbuh secara berkelanjutan. Di Amerika Serikat sendiri, yang gagasan mulikuturalismenya kerap dijadikan referensi utama, multiculturalism merupakan sebuah gerakan sosial dan politis. Ia juga merupakan sebuah posisi yang menyakini keberbedaan antara setiap individu dan kelompok untuk menjadi sebuah sumber kekuatan dan pembaharuan yang potensial ketimbang menjadikannya sebagai titik picu konflik.
Multikulturalisme menghargai keragaman perspektif manusia dan mempertahankanya melalui pengalaman dan latar belakang yang beragam yang berasal dari ras, etnik, jender, orientasi seksual atau perbedaan kelas di masyarakat. Multikulturalisme berjuang untuk meningkatkan cita-cita equality, equity dan kebebasan, dan memasukkan rasa penghormatan bagi setiap individu dan kelompok sebagai sebuah prinsip fundamental bagi kesuksesan dan pertumbuhan negara tersebut.
Awalnya, multikulturalisme terutama berkembang sebagai refleksi atas keadaan baru di banyak negara Barat yang kini mengalami perubahan cukup besar akibat migrasi besar-besaran dari luar (Eropa Timur, Asia, Afrika). Dari sudut kebudayaan, mereka tidak
homogen lagi. Multikulturalisme mencoba memikirkan konsekuensi etis-politikya. Jika multikulturalisme dapat meyakinkan para penyelenggara negara (pemerintah, partai-partai politik, dan lain-lain), maka semua syarat terpenuhi untuk menciptakan suasana kemasyarakatan penuh toleransi dan kerukunan.10
Istilah ‘multikulturalisme’ secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multi-lingual. Sedangkan sejumlah pakar seperti Fay, Jary D, J. Jary dan Watson )2000( mendefinisikan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Jadi, secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya.”11 Sebenarnya, ada
tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga hal itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural.
Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition)12 terhadap semua perbedaan sebagai entitas
dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.
10 K. Bartens, “Ekumenisme dan Multikulturalisme” dalam Kompas, 2 Januari 2006.
11 Scott Lash dan Mike Featherstone (eds.), Recognition And Difference: Politics, Identity,Multiculture,
London: Sage Publication, 2002, hal. 2-6.
12 Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka di Princenton
Kesadaran Multikultural di tengah Keragaman dan Kerentanan
Dari sinilah kiranya dapat dimengerti bahwa multikulturalisme merupakan pengalaman normal manusia. Ia ada dan hadir dalam realitas empirik. Mau tidak mau pasti manusia akan menghadapinya. Multikultural merupakan sunnatullah yang tidak bisa dielakkan lagi. Di Indonesia keberagaman dalam budaya, agama, bahasa, ras dan etnis merupakan realitas yang tak terbantahkan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kesadaran multikultural mau tidak mau harus ditumbuhkan kembali sebagai counter wacana atas konflik dan tindakan kekerasan yang selama ini terjadi.
Semangat multikultural memang sudah ada dan sudah ditanamkan oleh founding fathers-mothers bangsa ini dengan merumuskan sebuah konsep negara yang mampu merengkuh keberagaman dan kepelbagaian tersebut dalam kerangka persatuan dan kesatuan. Mereka menetapkan negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler. Pilihannya berada tepat di tengah-tengah di antara keduanya. Pilihan untuk menjadi negara non-agama waktu itu memang memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai kepelbagaian dan menjunjung tinggi perbedaan itu. Namun, semangat tersebut tidak memiliki gigi yang kuat sehingga mudah dikalahkan oleh kekuatan lain, yakni rezim Orde Baru yang bersifat monokultural. Politik monokultural (penyeragaman) ini dilakukan atas nama stabilitas untuk pembangunan (developmentalism). Pendek kata, politik monokultural semakin kuat pada masa tersebut.
Sejak lengsernya Soeharto pada tahun 1998, bangsa Indonesia lalu mengalami transisi dari monokultural ala Orde Baru menuju kesadaran multikultural dan transisi dari demokrasi (prosedural) menuju konsolidasi demokrasi. Pada kondisi tersebut, sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia sangat rentan terhadap ancaman disintegrasi. Di tengah-tengah kondisi dan kemajemukan budaya tersebut, benturan kepentingan dan potensi konflik dalam masa transisi bisa menjadi bagian dari ancaman separatisme dan disintegrasi, dan itupun sulit dihindari. Keran kebebasan yang dibuka lebar-lebar terkadang disalahartikan. Maka, tidaklah heran apabila muncul serentetan konflik di berbagai daerah di tanah air, seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, dan lainnya.
Transisi menuju konsolidasi ke demokrasi tentu bukanlah situasi yang ideal untuk bisa menyatukan beraneka ragam hal. Fenomena tersebut bukan saja akan semakin mengancam persatuan Indonesia, melainkan juga bisa menghambat terwujudnya konsolidasi demokrasi di mana nilai-nilai keadaban demokrasi (democratic civility), seperti toleransi, HAM, masyarakat madani tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Rentetan konflik dan tindakan kekerasan tersebut semakin meneguhkan kenyataan bahwa kesadaran multikultural memang sangat penting. Ia bertujuan untuk membangun kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi. Tujuan ini mengajak masyarakat untuk lebih arif melihat perbedaan dan berupaya untuk bekerjasama secara positif dengan yang berbeda, selain terus mewaspadai segala bentuk sikap yang bisa mereduksi multikulturalisme itu sendiri. Kesadaran akan adanya keberagaman budaya meniscayakan adanya kesadaran akan keberagaman dan peningkatan apresiasi yang dielaborasi secara positif sebagai wujud dari pemahaman multikulturalisme.
menimbulkan tindakan diskriminatif. Diskriminatif adalah buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka.13 Hal tersebut dilakukan
tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa ataupun agama. Oleh karena itu, isu yang sering muncul dalam wacana multikultural biasanya adalah diskriminasi, pengabaian hak-hak budaya suatu komunitas agama, etnik, adat dan kepercayaan, serta marjinalisasi negara terhadap kelompok-kelompok minoritas agama, etnik dan ras.
Jadi, fokus multikultural adalah bagaimana berbagai elemen-elemen masyarakat ikut bersama-sama mewujudkan kebhinekaan dalam kebersamaan. 14 Dengan demikian,
berbagai konflik yang bernuansa agama dan etnis, yang sering melibatkan masyarakat berhadapan di antara mereka sendiri secara horisontal bisa dihindari. Selain itu, multikulturalisme juga bersentuhan dengan berbagai isu yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, Hak Asasi Manusia (HAM), hak budaya dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Pra-syarat Membangun Kesadaran Multikultural
Ada sejumlah persyaratan untuk mewujudkan kesadaran multikultural. Menurut Parsudi Suparlan,15 dalam konteks upaya membangun kesadaran multikultural di Indonesia hanya
mungkin terwujud bila, pertama, konsep multikulturalisme menyebarluas dan dipahami penting bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Syarat pertama ini meniscayakan integritas dan komitmen dari segala elemen masyarakat sebab tanpa integritas dan komitmen, rasanya sulit untuk mewujudkan kesadaran multikultural di dalam diri seseorang dan juga komunitas yang lebih besar.
Kedua, kesamaan pemahaman di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya. Tidak adanya pemahaman yang sama mengenai hal tersebut hanya akan menimbulkan anggapan-anggapan yang kontra-produktif, misalnya anggapan bahwa wacana multikulturalisme berasal dari Barat yang berbeda dengan ideologi Islam atau multikulturalisme adalah model lain dari toleransi yang berlebihan, dan sebagainya. Apalagi, istilah multikultural merupakan istilah yang masih asing bagi sebagian kalangan.
Ketiga, adanya upaya-upaya taktis dan praktis (political will) yang dapat dilakukan untuk mewujudkan cita-cita ini, baik oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya maupun masyarakat melalui pemimpin-pemimpinnya.
Berdasarkan atas syarat tersebut, kesadaran multikultural untuk meminimalisir konflik bisa terwujud apabila adanya penanaman kesadaran pada masyarakat akan keragaman
13 Amin Abdullah, “Kesadaran Multikultural: Sebuah Gerakan “Interest Minimalization” dalam Meredakan
Konflik Sosial,” dalam kata pengantar buku M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2007, Cet. Ke-2, hlm. viii-xix.
14 Ahmad Baso, “Demokrasi dan Multikulturalisme,” dalam www.wahanakebangsaan.com.
15 Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Keynote Address yang disajikan
(plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi dalam beragam aktivitas sosial.
Wacana tentang multikultural akhir-akhir ini semakin menemukan momentumnya untuk diproduksi ulang mengingat maraknya fenomena gesekan bahkan konflik lintas suku, agama, dan antar aliran kepercayaan (SARA) di Indonesia dekade ini. Dalam konteks integritas bangsa, idiom multikulturalisme tampaknya lebih bisa diterima daripada “pluralisme”16 karena diksi terakhir menimbulkan banyak resisitensi bagi kalangan
agamawan konservatif. Oleh sebab itu, wacana multikulturalisme semakin populer. Indikasinya, diskusi mengenai wacana tersebut tidak saja terjadi di lingkungan tradisi akademis, melainkan telah menjadi bagian dari wacana dan kebijakan publik. Diskursus mengenai multikultural telah menjadi materi pendidikan, pelatihan, malahan kursus singkat yang amat praktis. Oleh sebab itu, kiranya sudah saatnya bangsa ini merayakan keberbedaan dengan menanamkan kesadaran multikultural.
Sayangnya istilah-istilah seperti sekularisme, pluralisme, dan multikuturalisme merupakan ‘isme’ yang dianggap membingungkan bagi kalangan pesantren. Kata multikulturalisme memang asing di telinga warga Indonesia, khususnya kalangan pesantren yang tak pernah diajarkan kitab berbahasa Inggris. Istilah dan pengertian asing ini sangat gencar menyerang wacana di Indonesia dan menembus masuk ke pesantren yang sebenarnya tidak terusik dengan istilah itu jika mereka tidak diganggu dengan berbagai tuduhan miring terhadap aktivitas di pesantren, seperti terorisme. Fakta dan tekanan yang melingkupi pesantren ini tentu membuat kalangan pesantren harus mereposisi diri, yakni berhati-hati dengan wacana tersebut. Namun sikap tersebut hanya berkembang di sebagian kecil kelompok pesantren. Dan hal tersebut sangat bisa dimaklumi.
Multikulturalisme dalam Islam: Gagasan dan Praktik
Berdasarkan atas pengertian-pengertian tentang multikultural di atas, kiranya apabila mau menelisik lebih jauh, keadaan sejarah umat Islam menunjukkan bahwa apa yang sering disebut ‘peradaban Islam’ sesungguhnya merupakan produk dari berbagai kebudayaan (multikultur). Peradaban Islam pada dasarnya bersifat multikultural. Apa yang disebut dengan politik Islam, ekonomi Islam, seni Islam dan sejenisnya tidak lain merupakan hasil kreatif para pakar muslim dan non-muslim dari berbagai sumber tradisi ilmu dan kebudayaan, yang seringkali sulit dilacak sumber asal-usulnya. Kalau diteliti secara serius buku-buku karangan muslim mengenai politik Islam akan didapati teori-teori yang dikenal dengan teori-teori Barat. Penggunaan rebana, alat-alat musik modern, pakaian para penari dan lain-lain merupakan kreasi para seniman yang berasal dari beragam latar belakang kultur.17
16 Perhatikan Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia, Nomor: 7/Munas VII/MUI/II/2005 tentang
Pengharaman Paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama. Padahal pluralisme adalah sebuah terminologi yang ingin menegaskan pandangan dan sikap terhadap keberagaman, kemajemukan dan kebihinekaan alam semesta khususnya manusia. Sementara mutikulturalisme pada dasarnya sama dengan pluralisme, tetapi konotasinya lebih mencerminkan pandangan dan sikap terhadap keberagaman ekspresi budaya dan tradisi masyarakat. Keberagaman ini meliputi banyak hal, antara lain ras, warna kulit, kebangsaan, jenis kelamin, pandangan, paham dan keyakinan agama dan sebagainya. Lihat Husain Muhammad, “Pesantren sebagai Sumber Pembelajaran Pluralisme dan Multikulturalisme” makalah, disampaikan dalam semiloka “Pluralisme, Good Governance dan Otonomi Daerah Melalui Pesantren di Jawa” diselenggarakan atas kerjasama ICIP dan Pondok Pesantren Al-Ishlah, Bobos, Cirebon, Jawa Barat, 4 Mei 2008 di Aula MI Al-Ishlah, Bobos.
Di Iran, wajah keislaman mereka berbeda dengan wajah muslim Indonesia. Sebagian muslimah di sana memakai cadar sementara di Indonesia tidak. Cara mereka menghormati keluarga Ali juga lebih antusias ketimbang umat Islam Indonesia pada umumnya. Pendek kata, di dalam peradaban Islam terdapat budaya yang sangat beragam, ada Islam Arab, Persi, Turki, bengali, Punjabii, Maghribi, Asia, China dan sebagainya. 18 Di Asia Tenggra
Islam tidak hanya berbeda dengan Islam di Timur Tengah, tetapi juga berbeda di wilayah Asia Tenggara sendiri. Di Melayu, Melayu diidentikkan dengan Islam dan sebaliknya Islam diidentikkan dengan Melayu. Mereka yang bukan Melayu misalnya, ketika memeluk Islam dianggap masuk Melayu. Begitu pula, mereka yang berasal dari Melayu tetapi tidak memeluk Islam tidak dianggap Melayu. Di sini etnisitas dan agama sangat berkaitan. Sedangkan di Indonesia kondisinya berbeda. Orang Islam berasal dari etnis yang berbeda yang berjumlah sekitar 300-an etnis dan bahasa. Ada orang Betawi Islam, ada pula orang Batak Islam dan seterusnya. Masing-masing memperlihatkan ekspresi ke-Islam-an yang berbeda, karena sedikit banyak dipengaruhi oleh etnisitas dan adat masing-masing. Seni Tari Randai di Sumatera Barat misalnya, merupakan perpaduan budaya Minang dan bacaan-bacaan Islam.
Para ulama besar masa lalu juga telah menjadikan budaya atau tradisi masyarakat sebagai dasar hukum. Cara-cara melaksanakan syari'ah seperti ini juga telah dilakukan para ulama, terutama para penyebar agama Islam di Indonesia (para wali). Beberapa contoh misalnya praktik kenduri baik untuk perkawinan atau khitan atau keperluan lain, penggunaan kentongan atau bedug untuk memanggil/mengajak orang untuk shalat, di samping adzan, penggunaan kain sarung dan peci. Demikian pula sistem pendidikan pesantren, bahkan juga istilah pesantren dan santri, atau arsitektur bangunan masjid yang didirikan para walisanga. Ini semua jelas bukan cara-cara yang dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabatnya, tetapi justeru diserap atau diadopsi dari tradisi dan budaya masyarakat Hindu atau lainnya.
Di Banjarmasin, seorang ulama besar, Syeikh Muhammad Arsyad, telah memperkenalkan hukum pembagian harta waris antara suami-isteri berdasarkan adat yang disebut "Adat Perpantangan". Menurut adat ini harta peninggalan almarhum dibagi dua terlebih dahulu antara suami dan isteri. Setelah itu harta hasil pembagian ini baru dibagi berdasarkan hukum waris Islam. Pemikiran hukum ini dilakukan dalam rangka merespons tradisi masyarakat Banjar, di mana para isteri di sana juga bekerja bersama suaminya. Maka harta yang terkumpul akibat perkawinan keduanya menjadi harta bersama. Cara pembagian seperti ini telah menjadi bagian dari sistem hukum waris di Indonesia dengan sebutan harta "gono-gini", menggantikan sistem pembagian "sepikul-segendong".19 Ini artinya, hukum
adat bisa diakomodir oleh hukum Islam dan hukum Islam sangat bisa berintegrasi dengan hukum adat.
Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa multikulturalisme telah mendapat apresiasi yang kuat dalam Islam. Di samping itu, apabila Islam ditelaah lebih mendalam pasti juga akan ditemukan nilai-nilai multikultural yang kompatibel dengan
18Ibid.
19 Husain Muhammad, “Multikulturalisme dan Syari’at Islam,” makalah, disampaikan pada diskusi
ajaran-ajaran Islam. Sebab Islam sendiri adalah agama yang cinta damai dalam meramu keberagaman.
Dilihat dari sisi bahasa, kata ‘Islam’ itu sendiri artinya damai. Nilai-nilai multikultural di dalam agama Islam yang dimaksud adalah seperti pluralisme, kesetaraan, kemanusiaan, penghormatan, keadilan dan sebagainya. sejatinya jauh sebelum wacana ini mencuat di dunia Barat, Islam telah berbicara tentang hal tersebut. Satu ayat yang sangat representatif dalam konteks ini adalah firman Allah SWT:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurât [49]: 13).
Pemilihan uslub nida’ (gaya bahasa ‘memanggil’) yâ ayyuhâ an-nâs (hai manusia) dan yang dipanggil adalah manusia (naas) dalam ayat tersebut mengindikasikan bahwa ayat ini bersifat universal (‘amm), mencakup semua unsur manusia, tanpa melihat jenis kelamin, warna kulit, bentuk tubuh, bahasa, dan keyakinan mereka. Sementara lafadz syu’ûb (bangsa-bangsa) dan qabâil (suku-suku) menunjukkan bahwa manusia diciptakan dan dipisah-pisah ke dalam beberapa kelompok masyarakat, ada yang masuk dalam komunitas besar (sya’b), juga ada yang masuk dalam komunitas kecil (qabîlah). Keberbedaan komunitas dan kelompok masyarakat ini meniscayakan adanya keragaman dan keberbedaan dalam kultur, bahasa, dan peradaban.
Tujuan dari itu semua hanyalah satu yaitu li ta’ârafû (agar saling kenal mengenal). Kata ta’âruf mengikuti wazan tafâ’ala-yatafâ’alu-tafâ’ulan yang memiliki fungsi saling (resiprokal) membantu dan saling menguntungkan. Pesan yang terkandung di balik ayat tersebut adalah bahwa melalui kegiatan perkenalan (ta’âruf), diharapkan akan terjadi proses saling memberi dan menerima (take and give) dan bersikap arif (‘arif). Dengan demikian, kedua belah pihak (antara satu bangsa dengan bangsa lain, atau antara suku satu dengan suku lain) sama-sama menjadi subjek dan pelaku yang aktif, tidak ada diskriminasi, subordinasi dan alienasi. Ayat ini bisa menjadi landasan bagi tumbuhnya kesadaran multikultural di dalam Islam.
Islam selain memberikan landasan umum juga memberikan konsep-konsep atau ajaran-ajaran yang memerinci landasan umum tersebut. Berikut adalah perincian tentang konsep atau ajaran Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai multikultural beserta dalil-dalil normatifnya.
Pluralisme
alam semesta atau Sunnatullah. Dengan kata lain keberagaman merupakan kehendak Allah dalam alam semesta. Al Qur’an menyatakan dengan jelas mengenai hal ini:
"Di antara bukti kemahabesaran dan kemahabijaksanaan Tuhan adalah bahwa Dia menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan keberagaman bahasa dan warna kulit manusia. Realitas ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi orang-orang yang mengerti (li al 'alimin/ulu al-ilm)" (Q.S. al-Rum [30]; 22).
Dalam bacaan (qira’at) lain disebutkan: "li al 'alamin" (dzawi al 'uqul/bagi ciptaaan Tuhan yang mempunyai pikiran/seluruh manusia). Muhammad Thahir bin 'Asyur menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbedaan bahasa adalah perbedaan berpikir dan berekspresi (ikhtilaf al tafkir wa tanwi' al-tasharruf).20
Pluralisme di dalam al-Quran sudah disebutkan sejak penciptaan manusia. Tuhan sebagai Dzat yang transenden menciptakan manusia dari sepasang laki-laki dan perempuan, dan dari keduanya dijadikanlah manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa (QS al-Hujurat [49]:13). Jadi secara natural manusia diciptakan oleh Tuhan sangat variatif dan berbeda. Mengapa Tuhan sebagai Dzat yang Maha Tahu tidak menciptakan manusia dalam satu rumpun suku yang homogen? Selain untuk menguji manusia untuk berlomba-lomba menunjukkan usaha dan pengabdian terbaiknya (fastabiqul khairat) kepada Tuhan di dunia yang plural, tujuan utama penciptaan manusia yang berbeda-beda adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan saling memahami. Bukankah dengan adanya perbedaan mendorong manusia untuk bertanya, menganalisa dan mencoba berpikir keras untuk saling memahami? Perbedaan juga menuntut manusia untuk saling mempromosikan harmonitas dan kerjasama. Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang berbeda bukan sebagai sumber perpecahan atau polarisasi masyarakat.
Sikap dan pandangan Al-Qur’an tentang pluralisme di atas dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan dideklarasikan sebagai prinsip kehidupan bersama dalam komunitas masyarakat bangsa. Sebagaimana diketahui bersama bahwa ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah (Yatsrib), beliau melihat sebuah realitas masyarakat yang plural baik dari aspek kesukuan maupun keyakinan keagamaan. Madinah (Yatsrib) ketika itu terdiri dari pemeluk tiga agama besar: Muslimin, Musyrikin dan Yahudi. Muslimin terdiri dari Anshar dan Muhajirin. Golongan Yahudi terdiri dari bani Nadir, bani Qainuqa dan bani Quraizah. Sementara golongan musyrik adalah orang-orang Arab penyembah berhala.
Di tengah kemajemukan masyarakat tersebut Nabi SAW membangun sistem sosial yang isinya mencakup bagi tiga golongan tersebut. Sistem ini kemudian dikenal dengan Shahifah Madinah (Piagam Madinah) atau Constitution of Madinah. Inilah konstitusi pertama di dunia tentang hak-hak asasi mansia. Piagam ini pada intinya merupakan perjanjian hidup bersama dalam kedamaian dan saling menghormati di antara penduduk Madinah, terlepas dari latar belakang identitas sosial dan keyakinan agama mereka. Piagam ini juga memberikan jaminan beragama bagi segenap penduduk Madinah. Pada pasal 25 piagam ini ditegaskan: “Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka.” Piagam ini juga memuat mekanisme atau tata cara yang harus dilakukan dalam hubungan antar pemeluk agama. Pasal 37 menjelaskan: “orang-orang
20 Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir at-Tahrir wa al-Tanwir, Juz xxi , Tunisia: al-Dar al-Tunisiyyah lin
muslim dan orang-orang Yahudi perlu bekerjasama dan saling menolong dalam menghadapi pihak musuh.” Pasal 44 menegaskan: “Semua warga harus saling bahu membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib.”
Secara singkat pokok-pokok pikiran dalam piagam ini meliputi persatuan dan kesatuan bangsa, persamaan dan keadilan, kebebasan beragama, pertahanan keamanan negara, pelestarian adat istiadat atau kultur yang baik, supremasi hukum dan politik damai dan prokteksi. Dari sejarah tersebut terlihatlah bahwa pluralisme dalam Islam sudah ada sejak dahulu.
Persamaan (Equality)
Al-Quran juga menekankan bahwa manusia di dunia, tanpa memandang perbedaan suku dan ras, disatukan dalam ketaatan mereka kepada satu Tuhan Sang Pencipta. Dalam ayat yang lain, Al-Quran menekankan prinsip persatuan dalam perbedaan (unity in diversity). “Sungguh komunitasmu adalah komunitas yang satu dan Aku adalah Tuhan-mu, maka mengabdilah kepada-Ku” (Q.S. al-Anbiya’ [21]:92). Penekanan tentang pesan Tuhan yang universal, bahwa tugas seluruh manusia adalah mengabdi kepada Tuhan, dengan jelas tercermin dalam Al-Qur’an., yang menyebutkan bahwa perintah pengabdian kepada Tuhan adalah pesan Tuhan kepada seluruh manusia, tak ada satu orang atau satu bangsa pun yang tertinggal (QS. Fathir [35]:24).
Al-Quran juga mengakui adanya umat sebelum Muhammad dan kitab suci mereka. Berulangkali Al-Quran mengkonfirmasikan bahwa kebenaran yang ada pada kitab-kitab sebelum Muhammad adalah datang dari Tuhan yang sama, dan Al-Quran adalah wahyu Tuhan terakhir yang bersifat penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya:
“Katakanlah bahwa kami beriman kepada Tuhan dan kepada kitab yang diturunkan-Nya, kami juga beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan kami juga beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain. Kami tidak membuat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya dan hanya kepada Allahlah kami beribadah (QS. Ali Imran [3]:84).
Adapula pernyataan Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan pada semangat persamaan. Nabi Muhammad mengatakan: “Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, kecuali karena ketaqwaannya.” Nabi SAW juga pernah mengatakan “Allah tidak melihat kalian dari tubuh dan wajah kalian, melainkan pada hati dan perbuatan kalian.”
Pengertian taqwa dijelaskan secara luas dalam Al-Qur’an. Ia tidak semata-mata berarti tekun dalam menjalankan ibadah-ibadah individual, melainkan juga berarti kerja-kerja sosial yang baik, menegakkan keadilan, menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim, menghargai orang lain dan kerja-kerja kemanusiaan dalam arti yang luas.
Toleransi
berasal dari bahasa Belanda, ”tolerantie”, yang kata kerjanya adalah ”toleran.” Atau berasal dari bahasa Inggris ”toleration” yang kata kerjanya adalah ”tolerate”. Toleransi juga berasal dari bahasa latin, ”tolerare” yang berarti menahan diri, sabar, membiarkan orang lain, dan berhati lapang terhadap pendapat yang berbeda. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, toleran mengandung pengertian bersikap menghargai pendirian yang berbeda dengan pendirian sendiri.21 Dari pengertian tersebut kiranya dapat dimengerti bahwa
toleransi adalah rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lain dengan tetap menjunjung tinggi rasa persatuan dan persaudaraan demi mewujudkan kehidupan yang damai, tentram dan bahagia.
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut dengan istilah ”tasâmuh”22 yang artinya sikap
membiarkan, lapang dada, murah hati, dan suka berderma. Jadi, toleransi (tasamuh) adalah menghargai dan menghormati keyakinan atau kepercayaan atau budaya dan kultur seseorang atau kelompok lain dengan sabar dan sadar. Yang perlu dicatat adalah bahwa toleransi tidak berarti ikut membenarkan keyakinan atau kepercayaan orang lain, tapi lebih kepada menghargai dan menghormati hak asasi yang berbeda. Penerapan nilai-nilai toleransi dalam Al-Quran sudah dicontohkan oleh Rasul Muhammad SAW ketika pertama kali hijrah ke Madinah.23
Sejarah mencatat bahwa Rasul SAW bukan hanya mampu mendamaikan dua suku Aus dan Khazraj yang senantiasa bertikai, tetapi juga mampu menerapkan jargon “no compulsion in religion” terhadap masyarakat Madinah ketika itu. Tradisi toleransi beragama ini dilanjutkan oleh Khulafaur Rashidin pasca Rasul SAW wafat. Sebagai contoh, sejarah mencatat bagaimana Ali bin Abi Thalib sangat menekankan dan menghargai kebebasan beragama ketika dia menjadi khalifah keempat. Dalam salah satu suratnya kepada Malik al-Ashtar yang ditunjuk Ali menjadi Gubernur Mesir, dia mencatat “Penuhi dadamu dengan cinta dan kasih sayang terhadap sesama, baik terhadap sesama Muslim atau non-Muslim.”24
Lebih jauh Al-Quran menghormati dan mengakui adanya ahlul kitab, sehingga apabila ada keraguan pada diri Muhammad tentang penunjukkan dirinya sebagai Nabi dan Al-Quran sebagai wahyu, Muhammad dipersilahkan untuk bertanya kepada para Ahli Kitab sebagaimana yang dinyatakan dalam (QS. Yunus [10]:94:
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu.”
Dan juga Q.S. al-‘Ankabut [29]:46):
21 Hari Setiawan, Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Gemilang Utama, 1996, hal. 330. 22 Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Bairut: Dâr Shâdir, 1998, hal. 95.
23 Penjelasan lebih mendalam tentang kegiatan yang dilakukan Rasulullah selama di Madinah dapat dilihat
dalam Abdul Muhdi Abdul Qadir, As-Sîrah an-Nabawîyah fî Dhau’ al-Kitâb wa as-Sunnah, Kairo: Universitas Al-Azhar, 2005, hal. 125-142.
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri".
Dalam hal toleransi dan kebebasan beragama dengan jelas Al-Quran menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (QS al-Baqarah [2] :256) dan dalam hal praktik keagamaan Al-Quran menyebutkan bahwa “untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS al-Kafirun [109]:6).
Kemanusiaan
Bahwa Allah menciptakan manusia di dunia ini secara sama dan nilai-nilai kemanusiaannya dijamin oleh Allah, yakni melindungi kehormatan, nyawa dan harta benda manusia. Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa Rasul Muhammad memberi khotbah di hadapan sekitar 15.000 orang Islam di Mekah. Yang menarik, dalam khotbah itu, Rasul menyeru kepada umat manusia (dengan menggunakan uslub nida’ “ayyuhan naas” [wahai manusia]), bukan umat muslim saja.
Dalam khutbah tersebut, Rasul Muhammad mengatakan bahwa semua manusia, tanpa memandang agama, suku, dan atribut primordial lain, diciptakan Allah sebagai makhluk dengan derajat yang paling tinggi dan barang-barang milik manusia diberikan sebagai penunjang kehidupan. Karena semua manusia merupakan ciptaan Tuhan, maka pembunuhan, gangguan, atau perusakan terhadap manusia dan harta miliknya merupakan penghinaan terhadap penciptaan mereka. Jadi, membunuh orang Kristen pada dasarnya sama dengan membunuh orang Muslim karena pencipta mereka adalah sama. Demikian juga membakar gereja atau Al-Kitab sama dengan membakar masjid atau Al-Quran karena semua itu diberikan Tuhan untuk mendukung kehidupan manusia. Bahkan di dalam ayat lain dengan tegas diibaratkan bahwa membunuh satu manusia saja yang tidak berdosa bagaikan membunuh seluruh manusia di muka bumi ini, (QS Al-Maidah: [5] 32).
Allah juga memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat baik (menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan) dan bertindak adil kepada mereka, sepanjang mereka tidak melakukan penyerangan dan pengusiran. Al-Qur’an menegaskan:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu “yang lain” untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Mumtahanah, [60]:7-8).
sebagai manusia/orang, apapun identitas dirinya, yang harus dihormati dan dihargai, sebagaimana Tuhan sendiri menghormati dan menghargainya.
Dari sini kiranya dapat disimpulkan bahwa wacana multikultural sangat kompatibel dengan peradaban Islam dan prinsip-prinsip Islam yang telah digariskan di dalam teks agama, baik Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Sayangnya, di antara umat Islam ada yang tidak mau menerima kenyataan pluralitas dan multikulturalitas ini. (Sebelum kalimat ini mungkin perlu diuraikan sebelumnya tentang sekelompok orang Islam yang tidak toleran terhadap non-Islam!!!) Sekelompok umat Islam dikejar ambisi untuk menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik, padahal tidak pernah berhasil sepanjang sejarah, kecuali pada masa Nabi Muhammad SAW. Kelompok ini ingin memperjuangkan Islam sebagai satu agama yang harus sama dalam segala aspeknya. Namun mereka lupa bahwa mereka sendiri adalah produk sejarah lokal dan produk sejarah masa kini. Mereka lupa bahwa pakaian yang mereka pakai, bentuk tulisan kitab suci yang mereka baca, tulisan hadis yang mereka pelajari, fiqih ibadah dan fiqih muamalat yang mereka ikuti semuanya memiliki dimensi sejarah. Mereka juga lupa bahwa hanya dengan adaptasi dan akomodasi kebudayaan, Islam mampu diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. 25 Dan inilah yang dilakukan oleh pesantren selama
bertahun-tahun.
Pesantren adalah lembaga yang melestarikan nilai-nilai ajaran Islam. Ruh pesantren tidak akan lepas dari misi Al-Qur’an dan hadis sebagai dalil naqli mereka. Meskipun begitu nilai normatif agama dalam pesantren tentu tidak bisa dilepaskan dari wacana dan gerak praksis kehidupan sehari-hari mereka. Hal inilah yang menyebabkan pesantren bisa diterima oleh masyarakat karena dianggap lebih toleran dan fleksibel, mengerti perasaan dan jiwa masyarakat.
Pesantren: Miniatur Masyarakat Multikultural
Pondok pesantren diakui sebagai sistem pendidikan tertua. Ia memiliki sejarah panjang di negeri ini. Sejarah perkembangan pesantren itu sendiri tidak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam Nusantara. Bahkan geneologi sistem pendidikan pondok pesantren dapat ditelusuri dari masa sebelum masuknya Islam di Indonesia.
Ketika Indonesia memasuki babak kemerdekaaan, keberadaan pesantren kebanyakan masih berada di wilayah pinggiran atau pedesaan. Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, pondok pesantren mengalami perkembangan yang pesat. Pesantren kini mengalami banyak kemajuan, misalnya madrasah-madrasah di lingkungan pesantren semakin mengejar ketertinggalannya dengan sekolah-sekolah umum. Dalam hal ilmu agama, pesantren memang menjadi basis bagi identitas moral. Pondok pesantren telah masuk dalam bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional, sebagaimana UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jumlah Pondok pesantren di Indonesia kini telah mencapai 14.656 dengan jumlah santri 3.369.103 (Data 2005).26 Jumlah tersebut secara garis besar bisa dikategorikan ke dalam
tiga kelompok besar: 27
1. Pesantren modern yang bercirikan memiliki managemen dan administrasi dengan standart modern, tidak terikat pada kyai sebagai figur sentral, pola dan sistem pendidikan modern dengan kurikulum tidak hanya ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum, sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan dan teratur. Pesantren dengan corak ini mencapai 1.172.
2. Pesantren Tradisional bercirikan tidak memiliki managemen dan administrasi modern, sistem pengelelolaan berpusat pada aturan yang dibuat kyai dan diterjemahkan oleh pengurus pondok, terikat pada figur kyai, pola dan sistem pendidikan bersifat konvensional berpijak pada tradisi lama, pengajaran bersifat satu arah dan bangunan asrama tidak tertata rapi, masih menggunakan bangunan kuno dan bangunan kayu. Pensantren tradisional ini mencapai 9.105 pesantren.
3. Pesantren Semi-modern, paduan antara tradisional dan modern. Bercirikan nilai-nilai tradisional yang masih kental dipengang, kyai masih menempati figur sentral, norma dan kode etik pesantren klasik tetap menjadi standar pola relasi dan norma keseharian. Tetapi mengadaptasi sistem pendidikan modern dan sarana fisik pesantren. Jumlah pesantren dengan corak ini mencapai 4.379 pesantren.
Tiga kategori ini pada dasarnya menunjukkan bahwa pesantren tidak bisa digolongkan dalam satu jenis saja. Ia beragam dan variatif dalam menyikapi tantangan modernisasi. Di samping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa telah terjadi pluralisme di dunia pesantren. Pesantren tidak lagi mencerminkan realitas yang tunggal sebagaimana pada awal-awal pertumbuhannya. Telah terjadi perubahan nilai, pola, pemahaman dan ideologi dalam dunia pesantren.
Sebagai sebuah kembaga pendidikan yang unik, pesantren memiliki elemen-elemen penting,28 yakni, pertama, pondok. Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat
sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya.29 Di Jawa,
besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki. Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan atau lahan pertenakan.
Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Salah satu
26 Amin Haedari, “Pengantar,” dalam Direktori Pesantren, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren, Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia 2006, hal. iii.
27 Pembagian pesantren ini dan juga jumlahnya didasarkan pada Direktori Pesantren, hal. iii. Sedangkan
ciri-ciri atau karakteristiknya didasarkan pada karya Hamdan Farchan, Titik Tengkar Pesantren: Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren, Yogyakarta: Pilar Religia, 2005, hal. 1-2.
28 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994,
Cet. 6, hal. 44-56.
29 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan,
niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan.
Kedua adalah masjid atau surau (langgar). Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam konteks pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.”
Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai. Masjid atau surau merupakan tempat yang paling tepat untuk mendidik santri, terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang Jum’at dan pengajaran kitab-kitab klasik (Kitab Kuning).
Ketiga, kitab-kitab Islam klasik, yakni kitab-kitab yang ditulis para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Di kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut “kitab kuning” karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning. Menurut Dhofier pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam. Dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.30
Kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik pesantren yang merupakan alat produksi dari subkultur tersebut. Selain sebagai pedoman tata cara beragama, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai referensi (maraji’) universal dalam menyingkapi segala persoalan kehidupan. Aspek dinamis yang diperlihatkan kitab kuning itu adalah transfer pembentukan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik atau adab. Peran kitab kuning dalam pesantren sangatlah strategis. Soalnya, tanpa keberadaan kitab kuning ini, tradisi intelektual Indonesia agaknya tidak akan keluar dari jeratan model sufi-ekstrem atau fikih-ekstrem. Dengan demikian kitab kuning dalam persantren bisa menjadi ‘landasan pacu’ dalam memahami sekaligus merumuskan kembali pemikiran keislaman dalam merespons kemajuan.31
30 Ibid.
Keempat, santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren.
Kelima, peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren32
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa.33 Dalam bahasa
Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu (1) sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta, (2) gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya, dan (3) gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.34
Dari gambaran sekilas tentang jumlah, ragam pesantren dan elemen-elemen yang dimilikinya, orang yang pernah mengecap pendidikan pesantren, atau paling tidak mengamati ritme kehidupan pesantren, dapat mencermati bahwa dunia pesantren merupakan representrasi miniatur kehidupan riil di masyarakat. Tapi, pesantren bukan benar-benar gambaran nyata masyarakat secara umum, sebab unsur-unsur sosialnya kurang beragam dibanding unsur sosial masyarakat yang lebih besar. Di pesantren, unsur-unsur sosial pokoknya tak lebih dari kyai sebagai figur sentral, guru-guru atau asatizah sebagai pembantu kyai, dan para santri. Kalau pun ada anasir sosial lain di luar anasir pokok, seperti tukang masak, tukang kebun, dan para pekerja lainnya, perannya tak lebih sebagai pelengkap miniatur masyarakat pokok saja. Artinya, pesantren dapat disebut miniatur masyarakat yang memang kurang lengkap.
32 Hasbullah, Op.Cit.
33 Ziemek Manfred., Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986, hal. 130.
Sebagian peneliti menyebut istilah sub-kultur dari kultur masyarakat yang lebih besar untuk pesantren35, yaitu suatu gerakan sosial budaya yang dilakukan komunitas santri
dengan karakter keagamaan dalam kurun waktu yang relatif panjang. Sub-kultur yang dibangun komunitas pesantren senantiasa berada dalam sistem sosial budaya yang lebih besar. Pondok pesantren membentuk tradisi keagamaan yang bergerak dalam bingkai sosial kultural masyarakat pluralistik dan bersifat kompleks.36
Berdasarkan petimbangan itulah, kiranya tidak salah apabila pesantren diandaikan sebagai epitome (contoh yang tepat) untuk sebuah masyarakat kecil yang multikultur (sub-kultur yang multikultur), karena para santrinya datang dari berbagai kultur yang beragam budaya dan suku. Keragaman ini kemudian saling mengisi satu sama lain sehingga mewarnai dan menjadi ciri khas kehidupan suatu pesantren. Misalnya, Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur. Di Lirboyo, para santri biasanya ditempatkan pada komplek daerah asal masing-masing. Interaksi sosial para santri dari berbagai daerah itu terbentuk dalam ruang-ruang kelas, diskusi (musyawarah), dan ruang publik lain dalam pesantren tersebut. 37 Berbeda
dengan pesantren Lirboyo, santri Pesantren Ploso tidak mendiami komplek menurut daerah asal mereka, tetapi campur. Interaksi sosial para santri Ploso tentulah lebih luas dari para santri Lirboyo. Memang tidak jarang terjadi gesekan dan konflik bernuansa sentimen antar-daerah. Kendati demikian, mereka dapat menjaga harmoni sesuai dengan tradisi masing-masing. Mereka bisa saling mengenal dan belajar satu sama lain dalam banyak hal, seperti soal gaya hidup, dialek, dan kebiasaan mereka masing-masing.38
Kalau mau dirunut, proses islamisasi yang dilakukan oleh para ulama pesantren adalah melalui konversi, asimilasi dan adopsi antara tradisi Islam dengan tradisi dan kebudayaan lain yang sudah lama ada di Nusantara. Bahkan, karakter otentik pesantren dari zaman awal berdirinya pesantren sesungguhnya menampilkan wajahnya yang toleran dan damai. Di pelosok-pelosok pedesaan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, banyak ditemukan performance pesantren yang berhasil melakukan dialog dengan budaya masyarakat setempat.
Pesantren-pesantren yang ada di Jawa, terutama yang bermazhab Syafi'i dan memiliki hubungan dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) menampilkan sikap akomodasi yang seimbang dengan budaya setempat. Sehingga pesantren mengalami pembauran dengan masyarakat secara baik. Keberhasilan pesantren seperti ini kemudian menjadi model keberagamaan yang toleran di kalangan umat Islam pada umumnya. Tak heran, jika karakter Islam di Indonesia seringkali dipersepsikan sebagai Muslim yang ramah dan damai. Karena itu, hampir tidak pernah terjadi proses radikalisasi di kalangan santri atas nama doktrin agama dalam bentuk aksi kekerasan.
Jadi, sebetulnya pesantren sudah terbiasa dengan keberbedaan atau keragaman. Kaitannya dengan pesantren, multikulturalisme adalah spirit alamiah yang telah tumbuh berkembang sebelum istilah ini dikenal. Ditilik dari segi namanya saja, pesantren terkesan unik. Nama lembaga yang menjadi lokus pendidikan Islam di Indonesia ini bersumber dari bahasa
35 Novriantoni, “Ketika Media Kebencian Masuk Pesantren,” dalam www.islamlib.com, 04/12/2005.
36 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1999, hal. 2. Baca juga Moeslim
Abdurrahman, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal. 49.
Sansekerta, yaitu “shastri” yang artinya orang yang mendalami kitab suci. Dengan demikian pondok pesantren berarti asrama orang-orang yang tahu buku-buku suci. 39
Pesantren juga dipandang sebagai kelanjutan dari bentuk mandala pada masa Hindu.40
Mandala adalah sebuah asrama bagi para pertapa atau pelajar dari agama siwa yang terletak di tengah-tengah hutan yang dipimpin oleh seorang dewa guru. Jadi, pesantren, dalam konteks budaya Indonesia kuno, adalah tempat pemeluk agama Hindu dan Budha mempelajari dan mendalami kitab sucinya. Istilah ini kemudian diadopsi oleh Islam. Ini artinya bahwa kalangan pesantren tak gamang bergaul dengan agama lain.41
Pakaian sarung atau kopiah yang dikenakan para santri juga adalah pakaian masyarakat Hindu. Jika kita pernah berkunjung ke Srilanka atau Bengali atau Bali, kita akan menjumpai masyarakatnya yang mengenakan sarung tersebut. Sampai hari ini pakaian ini seakan-akan telah menjadi simbol kesalehan santri. Dalam bidang seni, kesenian wayang misalnya, menunjukkan bahwa alur cerita berikut tokoh-tokoh utamanya diambil dari kisah epos Mahabarata dan Ramayana dari India. Tetapi dalam perkembangannya alur cerita tersebut oleh para ulama lalu dikonversikan ke dalam istilah-istilah Arab-Islam. Banyak sekali istilah-istilah Indonesia yang berasal dari tradisi masyarakat Hindu-Jawa. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahasa yang digunakan dalam pengajian kitab-kitab kuning di pesantren juga banyak menggunakan bahasa Jawa-Kuno.42
Kasus lain yang terkait dengan sikap pesantren atas keragaman adalah kisah dari Fuad Al-Anshori pengurus Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor. Saat diskusi di Public Corner Metro TV, ia sering melihat kalangan non-muslim bertamu ke pesantren yang diasuh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar ini. Tamu-tamu itu diterima dengan lapang dada. Fuad menjelaskan sembari menyitir sabda Nabi, “ihtarim al-dhuyûf walau kâna kâfiron,” (hormatilah tamu walapun itu seorang kafir). Pesantren Nurul Iman pernah didatangi delapan orang pendeta. Mereka ingin mengetahui ajaran Islam yang sebenarnya. Ia menginap selama tiga hari. Setelah bergaul di pesantren yang jumlah santrinya tak kurang dari 9000 itu, mereka baru sadar, ternyata Islam adalah agama penuh toleransi dan damai.43
Satu hal menarik adalah kenyataan bagaimana hubungan Islam dan agama-agama lain dapat hidup bersama secara damai, dapat dilihat dari rumah-rumah ibadah yang didirikan secara saling berhadapan atau berdekatan. Ini misalnya dapat dilihat di Arjawinangun. Masjid Jami dan Pondok Pesantren yang didirikan oleh Kiyai Abdullah Sathori, ayah K.H. A. Ibnu Ubaidillah, pengasuh pesanten Dar al-Tauhid sekarang, dibangun sangat berdekatan dengan dua rumah ibadah non muslim, yaitu vihara dan gereja. Bangunan antara vihara dan gereja sendiri berada dalam posisi berhadap-hadapan dan hanya dipisah oleh jalan raya.
Hubungan antara Kyai Satori dengan para pemeluk agama non muslim di sana terjalin dengan baik, saling menghargai dan saling membantu. Sampai hari ini hubungan tersebut masih tetap terjalin dengan baik. Tidak ada masalah dalam hubungan mereka. Sejarahnya
39 Dhofier, Op.Cit., hal. 4.
40 M. Habib Moestopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan,
Yogyakarta: Jendela, 2001, hal. 150.
pergaulan antara umat Islam dan non muslim di Arjawinangun membawa pengaruh yang besar, di mana banyak warga non muslim, terutama keturunan Tionghoa menjadi muslim dan melaksanakan haji.44
Kitab-kitab atau buku ajar yang digunakan di pesantren juga mencerminkan bisa diterimanya sebuah keragaman. Misalnya kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi adalah menu sehari-hari santri saat kegiatan musyawarah atau bahtsul masail. Kitab ini memuat empat madzhab fikih dalam Islam. Kitab-kitab fiqh, ta'lim muta'allim, dan tafsir yang digunakan kalangan pesantren tidak selalu seragam. Sebab, pada dasarnya, tidak ada kurikulum bersama di kalangan pesantren dengan kitab-kitab yang telah dibakukan. Menariknya, dinamika perbedaan pendapat itu berjalan sesuai dengan logika dan koridor perdebatan masing-masing, tanpa menyalahkan satu sama lain.
Berdasarkan hal-hal di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa di tengah carut-marutnya hubungan antar agama dan antar umat Islam sendiri dewasa ini, pesantren menjadi semakin penting untuk mengambil peran mendamaikan dan menjadi pusat pembelajaran toleransi antar berbagai orang sesama bangsa.
Pesantren, sebagai miniatur masyarakat multikultural sudah seharusnya merekonstruksi dirinya menjadi pusat belajar untuk kesadaran multikultural. Karena itu, fenomena multikulturalisme di dunia pesantren adalah hal yang wajar. Fenomena ini sejalan dengan lima pilar penyanggah pesantren, yaitu tawâsuth (berada di tengah atau moderasi), tawâzun (seimbang menjaga keseimbangan), tasâmuh (toleransi), `adâlah (keadilan), dan terakhir tasyâwur (musyawarah). Di sini, sebenarnya bisa dicatat kesadaran multikultural sudah ada di pesantren baik baik secara sosio-kultural ataupun bahkan dalam soal teologis sekalipun.
Akar, Tradisi, dan Peran Multikulturalisme Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam yang digunakan sebagai tempat mempelajari, mamahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Walaupun dikatakan tradisional, bukan berarti pesantren tidak mengalami penyesuaian dengan perkembangan zaman. Kaidah Ushul Fiqih yang kerap dipakai oleh masyarakat pesantren adalah al-muhafadhatu alal qadimish shalih walakhdzu bil jadidil ashlah (mempertahankan pola lama yang baik dan mengambil pola baru yang lebih baik). Karena itu, pesantren dari masa ke masa telah mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Fondasi perubahan pesantren tidak hanya dipengaruhi oleh kyai, santri, dan pesantren (masjid), tetapi juga telah digerakkan oleh elemen eksternal, seperti media massa, politik dan masyarakat sipil. Karena itu, pesantren beradaptasi ke dalam tuntutan sosial Indonesia, dengan persoalan kompleks di level nasional dan global.
Masyarakat pesantren telah berkiprah dalam stabilitas internasional, dan rekonsiliasi regional. Mereka telah terjun dalam memediasi persoalan dan konflik antara masyarakat dan negara. Masyarakat petani, nelayan, buruh dan bahkan pelaku industri menyerahkan pada peran komunitas pesantren sebagai wadah dan media rekonsiliasi dengan pemerintah.45 Pusat Studi Konflik dan Perdamaian, LP3ES dan Forum Sebangsa selama
enam bulan (September 2004-Januari 2005) melakukan studi lapangan terhadap sepuluh
pesantren di lima provinsi, yaitu Jawa (Timur, Tengah, Barat), Sulawesi Selatan, dan NTB tentang bagaimana peran komunitas pesantren dalam menumbuhkan peaceful culture (budaya damai). 46
Riset yang dilakukan oleh LP3ES menghasilkan sejumlah kesimpulan. Pertama, terjadi proses dialogis antara komunitas pesantren dengan tradisi lokal. Islam Indonesia merupakan manifestasi akhir dari akulturasi antara tradisi Islam Arab dengan tradisi lokal. Tetapi proses evolutif ini mendapat tantangan dari fenomena tumbuhnya pesantren baru yang cenderung eksklusif, menolak dialogis antara Islam dan tradisi lokal.
Kedua, komunitas pesantren juga memiliki peran aktif dalam membendung derasnya kerusuhan dan konflik yang terjadi sejak paruh akhir Orde Baru. Elit pesantren melakukan upaya preventif dan rekonsiliasi antar komunitas berbeda etnis dan agama di Situbondo, Tasikmalaya dan Mataram. Mereka juga membendung emosi muslim ketika berkembang retorika yang mengajak jihad melawan Kristen Maluku dan Poso. Upaya damai ini seringkali dimentahkan oleh kebijakan kontraproduktif keamanan nasional dan sekelompok elit politik yang memiliki interest tersendiri atas kerusuhan dan konflik ini.
45Badrus Shaleh dan dan Abdul Mun’im DZ, “Pesantren dan Perdamaian Regional,” makalah,
dipresentasikan pada “Annual Conference Kajian Islam” yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Agama RI di Lembang Bandung 26-30 November 2006.
Kalau dicermati secara historis, berdasarkan studi tentang sepuluh pesantren dalam lima wilayah Indonesia tersebut, terdapat spektrum dinamika baru pesantren yang tidak hanya didominasi oleh pesantren mainstream yang didirikan sejak abad 19 dengan karakter inklusif, akomodatif dengan tradisi lokal dan terbuka dengan dialog-dialog antar iman, tetapi juga pesantren jenis baru yang memiliki kecenderungan berbeda dengan pesantren mainstream yang masih mayoritas di Indonesia. Pesantren jenis baru ini cenderung radikal, eksklusif dan non-akomodatif, bahkan lekat dengan gerakan kekerasan berlandaskan ideologi agama. Peran aktif mereka dalam dukungan jihad ke Maluku dan Poso, baik melalui retorika dakwah maupun pengiriman sukarelawan “pejuang” melawan Kristen Maluku dan Poso, bertolak belakang dengan ide, argumentasi dan gerakan pesantren mainstream.
Guruta K.H. Ambo Dalle (almarhum), dilanjutkan dengan penerusnya K.H. Faried Wajedy, M.A., pengasuh DDI-AD Mangkoso, Kab. Barru, Sulawesi Selatan, menolak upaya pengiriman sukarelawan ke Poso dan Maluku. Keduanya menekankan pentingnya aktualisasi doktrin bahwa Islam mengayomi kedamaian alam semesta (al-Islam rahmatan lil alamin). Ini juga menjadi dasar pemikiran bahwa pelaksanaan Syari’at Islam yang sedang trend di Sulawesi Selatan senantiasa menghargai tradisi dan agama lain. Argumentasi senada dilakukan oleh T.G.H. Turmudzi, pengasuh Pesantren Bagu, Nusa Tenggara Barat, yang telah berupaya aktif menahan gelombang dukungan atas tablig akbar di Mataram, yang kemudian menimbulkan kerusuhan Mataram pada 2000. Tablig ini mengajak masyarakat Muslim Mataram untuk merespon terdesaknya Muslim Maluku dalam kerusuhan 1999-2000. Tablig ini juga dilakukan oleh jaringan pesantren non-mainstream di beberapa kota besar di Indonesia.
Di Tasikmalaya, Jawa Barat, pesantren jenis baru tersebut juga getol berdakwah untuk penggalangan dana dan pengiriman sukarelawan ke Maluku dan Poso. Tetapi muslim setempat tidak meresponnya secara positif. Mayoritas pesantren mainstream bersama masyarakat muslim tetap konsisten mengembangkan gerakan kultural. Dalam penanggapi gagasan pelaksanaan Syari’at Islam misalnya, para kyai dan komunitas pesantren melakukan gerakan Gerbang Marhamah. Gerakan ini secara tegas berhadapan dengan gerakan destruktif Gerbang Malhamah. Gerakan ini juga dilakukan di Situbondo, dengan keterlibatan komunitas pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo, Kab. Situbondo, dalam pendampingan masyarakat petani. Sayangnya, hal ini tidak didukung secara merata oleh pesantren-pesantren lainnya.