• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYULUHAN DIALOGIS UNTUK MENJADIKAN PET

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENYULUHAN DIALOGIS UNTUK MENJADIKAN PET"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PENYULUHAN DIALOGIS UNTUK

MENJADIKAN PETANI PENYULUH DAN MANDIRI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian

Universitas Gadjah Mada

Oleh:

(2)

PENYULUHAN DIALOGIS UNTUK

MENJADIKAN PETANI PENYULUH DAN MANDIRI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian

Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada

Pada tanggal 25 Februari 2009 Di Yogyakarta

Oleh

(3)

PENYULUHAN DIALOGIS UNTUK

MENJADIKAN PETANI PENYULUH DAN MANDIRI

Pendahuluan

Penyuluhan lahir di Inggris pada pertengahan abad 19, istilah university extension muncul di negeri tersebut. Sekitar tahun 1850 dilakukan diskusi-diskusi di Universitas Oxford dan Cambride mengenai bagaimana memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di sekitar tempat tinggal penduduk, terutama dengan cepatnya pertumbuhan penduduk di daerah industri dan perkotaan. Para pengajar terutama memberikan pengajaran mengenai topik-topik sosial, namun pada dekade 1890 an topik-topik pertanian juga dimasukan bahan pengajaran untuk masyarakat pedesaan. Keber-hasilan kegiatan penyuluhan di Inggris ini berpengaruh berkembang-nya kegiatan sejenis di berbagai negara terutama di Amerika Serikat. Selama dua dekade awal abad tersebut, kegiatan dari Land Grant College di AS dalam pelayanan keluarga tani berkembang cepat dan terorganisasi secara formal, namun penggunaan istilah “extension” terus digunakan (Jones and Garforth dalam Swanson et al, 1997).

Sejak awal abad ke 20 istilah “penyuluhan pertanian” mulai digunakan secara umum di Amerika Serikat untuk menunjukkan bahwa sasaran pengajaran dari universitas tidak hanya terbatas di lingkungan kampus saja, tetapi juga diperluas hingga semua fihak yang hidup di lingkungan manapun. Kegiatan penyuluhan pertanian semakin berkembang karena ada krisis merebaknya penyakit pada tanaman kentang (“potato blight”) di Eropa pada tahun 1845, di Irlandia banyak terjadi kematian tanaman kentang, dan terjadi kelaparan kentang (“potato famine”) sampai dengan tahun 1851.

(4)

secara khusus mempelajari teori, prosedur, dan cara-cara yang dapat dipergunakan untuk menyampaikan teknologi baru yang ditemukan dari hasil penelitian ilmu pertanian dan ilmu sosial kepada masyarakat melalui proses pendidikan sehingga mereka mengerti, menerima, dan mempergunakannya untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi (Nuraini, 1977; Prodjosoehardjo, 1979). Cruz dari FAO merumuskan bahwa penyuluhan pertanian pada dasarnya adalah pendidikan orang dewasa dengan tujuan memberikan arahan dan persuasi kepada petani agar mau mengadopsi praktek yang terbaik usaha pertanian dan ternak yang selanjutnya merubah mentalitas dan berinisiatif memperbaiki praktek dan pengetahuannya. Padmanegara mengartikan bahwa penyuluhan pertanian sebagai sistem pendidikan di luar sekolah (non formal) untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya meningkatkan kesejahteraannya sendiri serta masyarakatnya (Anonim, 2001). Dalam Undang Undang Sistem Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Tahun 2006 (UU SP3K), Penyuluhan pertanian didefinisikan sebagai proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian, pengertian penyuluhan sangat berbeda dengan penerangan, karena penerangan hanya sekedar memberi tahu saja (to inform). Dari berbagai definisi tersebut, penyuluhan pertanian dapat dipandang sebagai suatu ilmu terapan dan juga suatu proses pendidikan atau pembelajaran bagi orang dewasa atau petani agar mereka mampu menolong dirinya sendiri.

Ilmu Terapan dan Falsafah Penyuluhan

(5)

kebetulan-kebetulan dalam sistemnya sendiri menjadi jaringan hubungan yang dapat diterapkan, oleh karena itu bersifat mutlak. Percobaan atau penelitian untuk menyusun teori juga berfungsi sebagai penerapan. Ilmu terapan memasuki masyarakat lebih mendalam, tujuan dunia praktis menjadi bagian dari teori ilmu. Ilmu penyuluhan obyeknya adalah masyarakat terutama yang terkait dengan pertanian ditinjau dari segi perilaku dalam upaya menolong diri sendiri melalui proses pendidikan. Metode dan teknik penelitian yang digunakan menggunakan pendekatan kuantitatif atau kualitatif, ataupun memadu pendekatan kualitatif dan kuantitatif.

Perkembangan ilmu penyuluhan tidak terlepas dari perkem-bangan riset dari berbagai pendekatan ilmu, misalnya teori “difusi inovasi” dalam penyuluhan, berkembang dari pengalaman dan riset Antroplogi oleh Wissler (1923) dan Wellin (1955), riset Sosiologi Pedesaan oleh Ryan & Gross (1943), riset pendidikan oleh Paul Mort (1920), riset komunikasi oleh Shannon & Weaver (1949). Demikian juga teori “proses adopsi inovasi” oleh Rogers, yang kemudian diperkaya oleh teori penerapan melalui peniruan yakni “social learning” yang dikemukakan oleh Bandura (1977). Melalui episte-mologi yang telah dilakukan oleh para pemikir terdahulu tersebut, menghasilkan karya-karya yang memperkaya teori penyuluhan sebagai ilmu dan mempertajam analisis guna memecahkan problema yang dihadapi oleh petani dan masyarakat.

(6)

melaksanakan sesuatu, 3. penyuluhan berdasar pada anggapan bahwa petani mempunyai keinginan untuk memperoleh informasi/inovasi dan memanfaatkannya untuk memperbaiki usahanya. Falsafah penyuluhan pertanian di Amerika Serikat dikenal dengan sebutan 3T, yang dirumuskan oleh Mosher (Mosher, 1978) sebagai : True, Truth, dan Teach (Kebenaran, Kenyataan, dan Pendidikan), yang maknanya: bahwa materi yang disuluhkan itu harus benar menurut rasio dan diperoleh dari hasil penelitian, materi yang benar tersebut harus secara nyata dapat diterapkan dan penyuluh yakin dapat menerapkan ditempat tersebut, kemudian penyebaran materi penyuluhan tersebut melalui proses pendidikan.

Di Indonesia, secara luas Pancasila menjadi dasar falsafah penyuluhan, namun ada yang berpendapat bahwa hal itu terlalu luas, sehingga secara khusus falsafah penyuluhan identik dengan falsafah pendidikan. Penyuluhan adalah juga merupakan proses pendidikan, sehingga falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara/Taman Siswa juga digunakan sebagai falsafah penyuluhan: Ing ngarso sung tulodo, Ing Madyo mbangun karso, Tut Wuri Handayani, yang maknanya: penyuluh bila berada di depan petani harus memberi contoh/ teladan, apabila berada ditengah-tengah petani harus memberikan inisiatif dan semangat untuk berkarya, dan apabila berada dibelakang petani harus tetap mengamati/ mengiringi untuk memperbaiki apabila ada kesalahan. Departemen Pertanian RI lebih cenderung menganut falsafah seperti yang dianut di Inggris (Nuraini, 1977), yang menganggap petani memiliki: intelegensi/kecerdasan, kecakapan, dan keinginan memperbaiki usahanya/kehidupannya. Berdasarkan pada falsafah penyuluhan tersebut, berarti apabila terjadi kesulitan dan masalah dalam penyuluhan dan bahkan terjadi kegagalan, maka kegagalan tersebut tidak boleh ditimpakan dengan alasan “kebodohan petani”, akan tetapi harus diletakkan pada penyuluhnya untuk introspeksi diri dan mencari solusinya.

Penyuluhan Pertanian sebagai Proses Pendidikan bagi petani

(7)

namun di berbagai hal belum sesuai dengan falsafah dan prinsip penyuluhan. Ketika era Pangreh Praja, penyuluhan dilakukan dengan cara memerintah. Pada zaman orde baru, penyuluhan sebagai mesin pembangunan banyak program yang top down, crash-program yang harus dikerjakan secara cepat dan menyeluruh oleh petani, sehingga dalam penyuluhan ada istilah “dipaksa- terpaksa- bisa- terbiasa” (Tohir. 2000), yang artinya penyuluhan dilakukan dengan cara dipak-sakan kepada petani, yang kemudian terpaksa melakukan, akhirnya bisa melakukan, dan menjadi terbiasa melakukan, suatu “metode” yang jauh dari falsafah penyuluhan yang diharapkan. Dalam beberapa hal memang dapat meningkatkan produksi, namun kurang menjadikan “kemandirian dan kreativitas” petani. Disamping itu, pendekatan penyuluhan banyak dilakukan melalui targetoriented dan sistem paket yang kurang memperhatikan keragaman masyarakat dan ekologi.

(8)

mengadakan “pengumuman” serta “menyetor simpanan” yang oleh para petani diterima dengan sabar untuk diterapkan. Inilah yang oleh Paulo Frairie (Joebhaar. 1984) disebut dengan konsep pendidikan “sistem bank”.

Dalam konsep pendidikan “sistem bank”, pengetahuan merupakan hadiah yang dianugerahkan oleh orang- orang yang menganggap diri sebagai pemilik pengetahuan, kepada orang-orang yang mereka anggap tidak tahu sesuatu apapun. Dalam pendidikan atau penyuluhan sistem bank, posisi guru dan pelajar, atau posisi penyuluh dan petani jauh berbeda, konsep pendidikan penyuluhan sistem bank:

1. Penyuluh mengajari dan petani diajari

2. Penyuluh mahatahu dan petani tidak tahu apa-apa 3. Penyuluh berfikir dan petani difikirkan

4. Penyuluh berbicara dan para petani mendengarkan dengan patuh 5. Penyuluh mendisiplinkan dan petani didisiplinkan

6. Penyuluh melakukan pilihan-pilihan serta melaksanakan pilihannya, dan petani menerima pilihan itu

7. Penyuluh bertindak dan petani mendapatkan ilusi seolah mereka bertindak melalui tindakan penyuluh

8. Penyuluh memilih materi untuk penyuluhan, dan para petani menyesuaikan diri pada pilihan tersebut

9. Penyuluh mengacaukan wewenang pengetahuannya dengan wewenang profesinya, yang diterapkan dengan cara melawan kebebasan petani

10.Penyuluh menjadi subyek dalam proses penyuluhan, sedangkan petani merupakan obyek penyuluhan belaka.

Penyuluhan Dialogis

(9)

model sistem bank mengurangi daya kreatif para petani atau malah sama sekali menghilangkannya, sehingga justru menyebabkan pasif dan tidak mandiri.

Penyuluh yang sejati haruslah menolak konsep “sistem bank” secara keseluruhan, dan sebagai penggantinya adalah konsep mengenai manusia sebagai mahluk yang sadar, kesadaran yang ditujukan terhadap dunia, seperti yang dikonsepsikan oleh Rogres (2000) dalam proses adopsi (awareness, interest, trial, evaluation, dan adoption). Penyuluh sejati haruslah melepaskan tujuan menyuluh untuk memberikan “simpanan” kepada petani, harus mengganti penyuluhan “system bank” dengan “penyuluhan dialogis”. Penyuluhan dialogis, yakni penyuluhan bersifat terbuka dan komunikatif, dengan cara “dialektika” yaitu penalaran dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah, yang kemudian mencari solusinya. Disini penyuluh menggunakan cara berfikir yang “dialektik”, yakni berfikir secara teratur, logis dan teliti, yang diawali dengan tesis, antitesis dan sintesis dalam mengatasi problema petani untuk dihadapi bersama-sama dengan melibatkan peran serta (partisipasi) petani. Penyuluhan dialogis dengan cara “dialektika” mengemukakan problema, menanggapi hakekat kesadaran, dan terarah mewujudkan komunikasi dua arah. Teknik penyuluhan ini memberikan ciri khas dari kesadaran “sadar akan”, tidak saja ditujukan kepada obyek di luar melainkan juga terarah ke dalam dirinya sendiri sebagai kesadaran mengenai kesadaran. Penyuluhan dengan cara dialektika “mengemukakan problema” memberi arah kepada petani untuk mengenal dan mengetahui serta mencari solusi, bukan hanya menerima perpindahan inovasi pertanian saja. Melaksanakan penyuluhan dialogis tersebut pertama-tama menuntut agar kontradiksi penyuluh – petani dipecahkan. Karena itu, hubungan dialog mutlak diperlukan bagi penyuluh dengan petani yang secara partisipatif turut terlibat mencari solusi problema pertanian.

Model: Penyuluh petani – Petani penyuluh

(10)

timbullah sebuah konsep baru, yakni: guru-pelajar dengan pelajar-guru. Dalam penyuluhan pertanian, akan menciptakan model: penyuluh-petani dengan petani-penyuluh. Ini berarti, penyuluh tidak lagi merupakan sekedar orang yang menyuluh kepada petani, melainkan orang yang dalam dialog dengan para petani juga belajar kepada petani, sedangkan para petani sambil belajar dari penyuluh juga mengajar kepada penyuluh berdasar pengalamannya. Penyuluh dan petani bersama-sama bertanggung jawab atas sesuatu proses pertumbuhan bagi semua yang terlibat. Disini, tidak ada mengajar orang lain, juga tidak ada yang belajar sendiri. Manusia saling mengajar tentang dunia/ pertanian, yang dalam pendidikan sistem bank mengajar itu hanya “dipunyai” oleh penyuluh.

Penyuluhan “system bank” membius serta menghalangi daya kreatif petani, sedangkan penyuluhan dialogis dengan cara dialektika mencakup pengungkapan realitas secara terus menerus. Pada penyuluhan dialogis, dengan meningkatnya jumlah masalah yang dihadapi oleh petani, justru akan mendorong petani semakin merasa ditantang serta berkewajiban untuk menaggapi tantangan tersebut. Mereka menganggap tantangan tersebut berkaitan dengan masalah- masalah lain dalam keseluruhan suatu konteks, dan bukan suatu masalah teoritis, dalam fikiran mereka cenderung untuk menjadi semakin kritis terhadap realitas dunia. Sambutan mereka terhadap tantangan menimbulkan tantangan-tantangan baru, disusul dengan pengertian- pengertian baru, dan lambat laun sang petani sampai kepada saat merasa dirinya terlibat dan turut bertanggung jawab (berpartisipasi) dalam proses mengatasi masalah.

(11)

menampilkan alam dunia nyata tersebut kepada para petani dan menyajikannya bukan sebagai suatu “kuliah”, melainkan sebagai suatu “masalah” yang perlu diatasi bersama-sama secara partisipatif.

Sebenarnya, penyuluhan dialogis dengan cara dialektika yang membahas problema petani, dan mencari solusi pemecahannya berdasar pengalaman petani (experiential learning) pernah diterapkan dalam metode Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu sejak tahun 1990an, yang kemudian melahirkan petani penyuluh-petani penyuluh yang dikenal dengan penyuluh swadaya atau “petani pemandu”, yakni para petani mantan peserta SLPHT yang dengan sukarela menjadi penyuluh swadaya. Penyuluhan partisipatif dengan model Sekolah Lapangan (Farmer Field Schools) ini merupakan model yang dikembangkan dan juga diaplikasikan di berbagai negara dengan biaya dari FAO, diantaranya di Negara-negara Asia (sejak Th 1980an), dan juga Bolivia, Equador, serta Peru (Rivera, 2001).

Petani Mandiri

Penyuluhan dialogis dengan cara dialektika yang menyajikan problema mengakui bahwa manusia sebagai mahluk dalam proses “menjadi”, sebagai mahluk yang tidak “lengkap”, tidak selesai dan yang sedang berada dalam realitas yang juga tidak selesai. Berbeda dengan hewan, meskipun hewan juga belum selesai, tetapi ia tidak bersejarah, sedangkan manusia mengetahui bahwa dirinya tidak selesai, ia sadar akan ketidak lengkapan dirinya yang berjalan dalam proses sejarah. Dalam kesadaran dan ketidak lengkapan ini tertanam akar pendidikan sebagai manifestasi yang semata-mata bersifat manusiawi. Sifat tidak selesai manusia serta sifat realitas yang selalu dalam transformasi berakibat bahwa penyuluhan harus merupakan suatu kegiatan yang berlangsung terus menerus. Penyuluhan yang merupakan proses pendidikan dengan menggunakan cara “dialogis” mendasarkan diri pada kreatifitas dan merangsang refleksi serta tindakan sejati terhadap realitas, menciptakan pemikir-pemikir kritis dan kreatif, sehingga menjadikan petani lebih “mandiri” yang selalu berusaha mengatasi problemanya tanpa menggantung kan orang lain.

(12)

yang menyejarah. Maka, ia mengakui manusia sebagai mahluk yang maju serta memandang ke depan, yang menganggap kemandegan merupakan suatu ancaman. Bagi sistem pendidikan/ penyuluhan dialogis menoleh kebelakang masa lalu hanyalah merupakan suatu sarana untuk lebih memahami persoalan apa dan siapa mereka, agar bisa membangun masa depan dengan lebih bijaksana.

Dialogis merupakan pertemuan antara manusia yang memiliki tugas bersama untuk belajar dan bertindak, akan terpecah apabila salah satau atau kedua fihak tidak mampu berendah hati. Dialog tidak mungkin berkembang manakala tanpa kerendahan hati. Bagaimana mungkin penyuluh bisa memulai dialog dengan petani, manakala penyuluh selalu memproyeksikan kebodohan kepada petani dan tidak menyadari bahwa dirinya juga memiliki kekurangan. Bagaimana mungkin penyuluh bisa memulai dialog, jika ia menganggap dirinya adalah pemilik kebenaran dan pengetahuan, yang memandang orang lain/petani serba tidak tahu dan tidak mandiri. Selanjutnya, dialog memerlukan kepercayaan mendalam terhadap manusia, kepercayaan bahwa ia mampu membuat dan membuat kembali, mencipta dan mencipta kembali. Kepercayaan akan seseorang merupakan syarat terjadinya dialog, “manusia dialog” percaya akan sesama manusia bahkan sebelum ia bertemu muka dengan mereka.

(13)

terhadap yang lain, kepercayaan tidak mungkin ada manakala kata-kata fihak satu tersebut tidak sesuai dengan perbuatannya.

Pemahaman Karakteristik Petani dalam Penyuluhan: Farmer vs Peasant

Dalam penyuluhan, penyuluh harus memahami siapa petani dengan karakteristiknya. Selama ini, petani sering difahami sebagai “farmer”, padahal banyak diantara petani Indonesia ini yang masih “peasant”. Farmer adalah petani pengusaha pertanian, memiliki lahan luas, orientasi pasar, dan dalam berusaha memiliki prinsip “profit maximization” yakni memaksimalkan keuntungan (Mosher,1984), dengan demikian farmer selalu mencari peluang- peluang pasar untuk meningkatkan keuntungannya, mencari dan menerapkan inovasi pertanian, menyebabkan ia mudah menerima inovasi atau teknologi baru. Sedangkan “peasant” adalah petani yang lebih bersifat subsisten, memiliki lahan sempit, kurang berorientasi pasar, dan dalam berusaha memiliki prinsip “risk minimization” atau meminimalkan resiko dan bukan mementingkan keuntungan (Scott,1983). Peasant digambarkan seperti orang yang sedang tenggelam di air sebatas leher, bila ada air beriak sedikit saja dapat menenggelamkannya. Dengan demikian, peasant sangat takut resiko gagal panen, menyebabkan agak susah menerima inovasi atau teknologi baru. Dalam pengertian ini, bukan dilihat dari luas atau sempit lahan yang dikelola, tetapi lebih melihat prinsip dalam berusaha tani, banyak petani/peasant di pedesaan yang masih takut resiko, selalu meminimalkan resiko gagal panen, petani inilah yang seringkali sulit diyakinkan oleh para penyuluh mengenai inovasi pertanian, mereka harus melihat sendiri buktinya, petani mau mengadopsi bila hasilnya memuaskan dan resikonya kecil. Petani “peasant” inilah yang harus dibimbing secara dialogis yang intensif, agar secara bertahap mampu menemukan akar problemanya dan mampu mengatasi persoalannya. Berlainan dengan petani “farmer” yang inovatif dan kosmopolit serta berani mengambil resiko, bimbingan melalui dialogis akan mempercepat dan mempermudah mencari solusi permasalahan yang dihadapi.

(14)

didalam bisnis pasti ada resiko-resiko. Hariadi (2004) dalam penelitiannya di Gunungkidul menemukan, bahwa kelompok tani yang maju berkembang karena dipengaruhi oleh keyakinan diri mampu berhasil (self efficacy) yang tinggi, kelompok tani tersebut memiliki bisnis; usaha warung, koperasi, bermitra dengan perusahaan. Menurut Bandura (1977), peningkatan self efficacy bagi seseorang (termasuk petani) dapat dilakukan melalui kegiatan: magang di lembaga bisnis yang berhasil, pelatihan-pelatihan, dan sebagainya.

Realitasnya, banyak diantara petani yang sudah mulai mandiri dan menjadi farmer serta sumber inovasi bagi petani lainnya, Padmanegara (Setyorini et al, 2000) mencatat bahwa petani Indramayu telah mampu melakukan kajian-kajian yang hasilnya disajikan pada media cetak yang dikelola oleh petani tersebut, dan hasil kajian mereka mendapat dukungan pemerintah setempat, DPRD, serta telah menjadi program daerah yang didukung dana yang memadai. Di Pangalengan, melalui studi dan pengkajian, kelompok tani mampu menghasilkan insektisida baru untuk tanaman kentang. Di Indramayu, terdapat ARF (Action Research Facility) yang merupakan wadhah belajar melakukan penelitian oleh kelompok tani yang disponsori FAO. Di Turi Sleman, beberapa petani telah mampu membuat percobaan-percobaan beragam rasa salak melalui pemupukan dan persilangan, dan hasil penelitiannya (coba-coba) disebarluaskan kepada: kerabat, tetangga, anggota kelompok tani, yang dikenal. Petani peneliti dan sekaligus petani penyuluh ini memiliki karakteristik umur sekitar 29-50 tahun, pendidikan SLTA/PT, status sosial cukup tinggi (pengurus kelompok, tokoh masyarakat, pemilik lahan salak luas ( 3500-17500 m2), suka bergaul (Hariadi, 2007). Dengan demikian, kedepan penyuluhan dialogis yang merupakan model “penyuluh- petani dan petani- penyuluh” perlu dikembangkan, bahkan mewujudkan petani- peneliti.

Undang-undang Penyuluhan Pertanian

(15)

rendah, hal ini mengakibatkan membanjirnya produk- produk pertanian masuk ke Indonesia, misalnya: beras, kedele, bawang merah, dsb. Cukup ironis ketika Negara Indonesia ini merupakan Negara agraris, akan tetapi mengimpor produk-produk pertanian. Tampaknya, kondisi ini menyadarkan kita semua mengenai pentingnya peran penyuluhan pertanian bagi petani, maka dibuatlah UU Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP 3 K) yang ditetapkan pada tahun 2006, sebagai landasan untuk revitalisasi penyuluhan pertanian di Indonesia. Melalui UU ini, memberi jaminan kepastian hukum bagi Penyuluh Pertanian, dan memberikan kepastian hak bagi petani untuk memperoleh penyuluhan. Menurut UU SP3 K tahun 2006 ini, penyuluh pertanian tidak hanya memperoleh tunjangan transportasi, tetapi juga tunjangan jabatan fungsional dan profesi, dengan demikian diharapkan kinerja penyuluh pertanian semakin tinggi, mengingat problem yang dihadapi di bidang pertanian semakin kompleks.

Sejak adanya otonomi daerah, menuntut perubahan pengelolaan pembangunan pertanian dari sentralisasi top down menjadi desentralisasi bottom up. Pada masa desentralisasi ini peran masyarakat diharapkan menjadi dominan. Pemerintah terutama pemerintah daerah akan menjadi fasilitator dan motivator pembangunan di daerahnya. Masyarakatlah yang menggerakkan pembangunan (people driven). Perencanaan, strategi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembiayaan semua ditentukan oleh masyarakat yang difasilitasi pemerintah daerah. Dengan demikian, penyuluhan dialogis yang melibatkan peranserta petani dengan cara dialektika menjadi suatu teknik yang perlu diterapkan dan dikembangkan.

(16)

pembangunan itu sendiri. Permasalahan petani dan teknologi pertanian menjadi semakin kompleks, dengan terbatasnya penyuluh negeri dan perlunya dukungan dari berbagai pihak, maka tidak dapat dipungkiri perlunya penyuluh swasta (Ameur. 1994). Privatisasi penyuluhan ini akan terus meningkat karena problema yang dihadapi petani dan masyarakat pedesaan juga terus berkembang, ditambah lagi dengan perkembangan sistem informasi elektronik menyebabkan privatisasi penyuluhan semakin dipercepat seperti terjadi di Amerika, Belanda, dan Australia (Rivera & Cary, 1997).

Penyuluhan Pertanian di Masa Depan

Pembangunan pertanian di era orde baru lebih menitik beratkan peningkatan produksi terutama pangan sebagai realitas dari revolusi hijau di Indonesia, Pembangunan pertanian ke depan lebih menitik beratkan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, sehingga perlu meningkatkan produktivitas dan nilai tambah. Untuk mencapai tujuan tersebut, yang dikembangkan bukan hanya usaha tani (produksi) saja, tetapi juga usaha agroindustri, pemasaran hasil pertanian, dan usaha jasa penunjang pertanian pedesaan. Adanya perubahan orientasi pembangunan tersebut, tentu berakibat pada perubahan materi penyuluhan pertanian dari materi produksi usaha tani ke materi pengembangan agroindustri, pemasaran hasil pertanian, pengem-bangan usaha jasa penunjang pertanian, disamping juga materi produksi usaha tani. Untuk implikasi penyuluhannya, dapat belajar dari konsep AKIS (Agricultural Knowledge Information System) yang dikembangkan oleh Roling & Engel (1990), yakni seperangkat organisasi ataupun orang-orang yang membentuk jaringan kerjasama dalam mengelola beragam informasi dan pengetahuan pertanian guna mendukung aplikasi inovasi pertanian.

(17)

teknis pertanian dan sosial ekonomi. Inovasi pertanian harus terus menerus dikaji oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi, bahkan petani pun mulai banyak yang berperan menemukan inovasi. Melihat gejala perkembangan tersebut, Roling & Engel (1990) menyatakan bahwa sebenarnya penyuluhan merupakan 2 ilmu, pertama ilmu Pertanian yang mencakup pengendalian biologi dan proses usaha tani, dan ke-dua, ilmu penyuluhan yang mencakup sistematika pemanfaatan komunikasi guna membantu petani mengatasi masalahnya melalui proses belajar. Dengan demikian; penelitian, penyuluh an, dan petani merupakan tiga komponen yang harus terus berinteraksi dalam proses pembangunan pertanian (Valera et al, 1987).

(18)

Model-model penyuluhan pertanian ke depan tentu harus lebih memperhatikan karakteristik dan potensi sumber daya manusia pertanian, potensi lokalita wilayah, jaringan kerja, kelembagaan ekonomi/ masyarakat. Pengembangan potensi lokal tersebut dapat dicapai ketika penyuluh mampu melakukan penyuluhan dialogis menggunakan cara pikir dialektik, sehingga terjadi proses petani yang kreatif serta memiliki “self efficacy” yang tinggi yakni keyakinan diri mampu berhasil dalam bisnis, pada akhirnya menjadikan petani mandiri, yang berhasil dalam bisnis dan meningkat kesejahteraannya serta berhasil dalam melestarikan nilai-nilai pembangunan.

Ke depan, meningkatnya kemampuan dan tingkat pendidikan petani serta teknologi komunikasi, akan meningkatkan penggunaan Teknologi Komunikasi Informasi (ITC) dalam pembangunan pertanian, meningkatkan pula efektivitas dan efisiensi penyuluhan, seperti terjadi di negara India (Van den Ban & Samanta, 2006). Penggunaan Teknologi Komunikasi Informasi, akan mendukung terjadinya proses penyuluhan dialogis. Melalui modifikasi program pengembangan penyuluhan pertanian (Deptan, 2003), unsur-unsur yang penting dalam arah pengembangan penyuluhan pertanian ke depan meliputi:

Unsur Masa lalu Kedepan

1. Metode Belajar

2. Peranan Penyuluh

3. Kedudukan petani

4. Program penyu-du petani, Ikut belajar bersa-ma petani

Mitra aktif dalam penyuluhan dan pengkajian teknologi

Berorientasi kebutuhan petani dan terpadu

(19)

6. Model

7. Maksud

8. Strategi

9.Sumber informasi

10.Tujuan Utama

Alih teknologi, Linier

Penyampaian rekomendasi, Adopsi inovasi linier Umum, Seragam

Lembaga Penelitian

Peningkatan produksi

Teknologi spesifik lokasi, Interaktif

Petani berdaya,Petani ahli memilih alternatif inovasi Berorientasi: sumberdaya, sistem sosial, budaya lokal Petani, sektor swasta, Lem-baga Pendidikan, LemLem-baga Penelitian

(20)

REFERENSI

Ameur, C. 1994. Agricultural Extension, A Step Beyond The Next Step. The World Bank. Washington.

Anonim. 2001. Penyuluhan pertanian. Yayasan Sinar Tani. Jakarta. Bandura, A. 1977a. Social Learning Theory. Englewood Clifft.

Prentice Hall. New Jersey.

Bandura, A. 1977b. Self Efficacy: The Exercise of Control. WH Freeman and Company. New York.

Departemen Pertanian. 2002. Kebijaksanaan Nasional Penyeleng-garaan Penyuluhan Pertanian. Badan Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta.

Departemen pertanian. 2003. Program Nasional Pengembangan Penyuluhan Pertanian. Badan Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta.

Hariadi, SS and Chamala. 1995. Women in Farming: The Indonesian Experience. In Samanta RK (ed) 1995. Women in Agriculture. MD Publications. PvtLtd. New Delhi.

Hariadi, SS. 2000. Dinamika Kelompok Tani dalam Pembangunan Pertanian. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Hariadi, SS. 2004. Kajian Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Keberhasilan Kelompok Tani sebagai Media Belajar, Kerjasama, Produksi, dan Usaha. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Hariadi, SS. 2007. Model Pemberdayaan Petani Salak menjadi Peneliti dan Penyuluh Swadaya. Jurnal PIRAMIDA, Kependudukan dan Pengembangan SDM. Pusat Penelitian Kependudukan dan PSDM Universitas Udayana. Denpasar. Vol III. No.2 Desember 2007. ISSN: 1907-3275. Hal: 73-79.

Joebhaar, Mien. 1984. Paulo Freire: Pendidikan, Pembebasan, Perubahan Sosial. PT Sangkala Pulsar. Jakarta.

Jones & Garforth. 1997. The History, Development, and Future of Agricultural Extension. Dalam: Swanson, BE and Robert P Bentz, Andrew J Sofrano. 1997. Improving Agricultural Extension. FAO. Rome.

(21)

Englewood Cliffs.

Martaatmadja, AS. 1993. Agricultural Extension System in Indonesia. Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia. Jakarta.

Martins, Christine & Monika Fischer, Eva G Castener, Maren Lieberum, Frank Lowen, Bernd Seiffert. 1997. Indonesian Agricultural Extension Planning at a Crossroads. Humboldt Universitat. Berlin.

Maunder, A. 1977. Agricultural Extension. FAO. Rome

Mosher, AT. 1984. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV Yasaguna. Jakarta.

Nuraini, K. 1977. Penyuluhan Pertanian. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Peursen, C. 1985. Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. PT Gramedia. Jakarta.

Prodjosoehardjo, M. 1979. Ilmu Penyuluhan Pertanian. Departemen Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Rivera, WM. 2001. Agricultural and Rural Extension Worldwide:

Option for Institutional Reform in The Developing Countries. FAO. Rome.

Rivera, WM & Carry. 1997. Privatizing Agricultural Extension in Swanson, BE Bentz, Sofrano. 1997. Improving Agricultural Extension. FAO-UN. Rome.

Roling, N & Engel. 1990. The Development of The Concept of Agricultural Knowledge Information System (AKIS): Implication for Extension. In. Rivera, WM & Gustafson. 1990. Agricultural Extension: Worldwide Institutional Evolution and Forces for Change. Elsevie. Noew York.

Roling, N & Pretty, JN. 1997. Extensions Role in Sustainable Agricultural Development. in Swanson, BE, Bentz, Sofrano. 1997. Improving AgriculturalExtension. FAO-UN. Rome.

Scott, J. 1983. Moral Ekonomi Petani. LP3ES. Jakarta.

Swanson, BE. 1990. Report of The Global Consultation on Agricultural Extension. FAO-UN. Rome.

(22)

Valera, Martinez, Flopino. 1987. Extension Delivery System. Island Publishing House Inc. Manila.

Van den Ban & Samanta. 2006. Changing Roles of Agricultural Extension in Asian Nations. BR Publishing Coorporation. New Delhi.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya komunikasi dapat membentuk sikap seseorang serta bagaimana sikap itu dapat berubah, sebab melalui proses komunikasi dapat memengaruhi tindakan

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui proses pembuktian tindak pidana kesusilaan yang menggunakan media sosial berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor

Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji apakah terdapat perbedaan model karakteristik jaring makanan (food webs), tingkatan trofik (tropic levels) dan pertumbuhan

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Bangka Tengah Tahun 2012 Nomor 170),

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana perbedaan persepsi orangtua terhadap Pentingnya Pendidikan di Kelompok Bermain ditinjau dari pekerjaan orangtua

luar diri individu dan self-perception yang merupakan persepsi itu disebabkan oleh rasangan yang berasal dari dalam diri individu yang berarti objeknya adalah

Faktor yang dapat mempengaruhi motivasi, jenjang karier dan disiplin terhadap kinerja karyawan dengan variabel intervening kompensasi adalah faktor penentu yang penting untuk

Berdasarkan distribusi responden terhadap asupan zat besi menunjukan bahwa responden dengan asupan zat besi kurang memiliki distribusi tertinggi pada penelitian ini yaitu