• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembanga. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembanga. docx"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA

(Studi Kasus Partisipasi Masyarakat dalam Program MDK Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi)

Oleh: Nasrun

Seiring dengan pergeseran paradigma kepariwisataan internasional dari bentuk pariwisata massal (mass tourism) ke wisata minat khusus (special interest tourism), pemerintah mulai melirik wisata minat khusus (ekowisata) menjadi wisata yang trend yang dianggap memiliki prospek yang baik dalam melestarikan sumber daya alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di samping penyelamatan ekosistem lewat konservasi lingkungan, ekowisata mampu memperluas lapangan kerja dan meningkatkan devisa negara. Hampir 10% jumlah pekerja di dunia, bekerja di sektor pariwisata dan kurang dari 11% Gross Domestic Product (GDP) seluruh dunia berasal dari sektor ini. Di Indonesia, ekowisata telah menyumbangkan devisa sebesar Rp. 80 triliun pada tahun 2008 dengan jumlah wisatawan mancanegara sebanyak 6,5 juta orang. Penerimaan tersebut meningkat 33% dari tahun 2007 yang kontribusinya sebesar Rp.60 triliun, dengan jumlah wisatawan mancanegara sebanyak 5 juta orang (www.dephut.go.id).

(2)

ditetapkan sebanyak 50 Taman Nasional di Indonesia yang menyebar di seluruh tanah air dan salah satu diantaranya adalah Taman Nasional Wakatobi (www.dephut.go.id ).

Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan di sekitarnya ditetapkan sebagai Taman Nasional Wakatobi (TNW) melalui beberapa tahapan. Berdasarkan SK Menhut RI No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996, Kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai Taman Nasional. Perubahan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) menjadi Taman Nasional Wakatobi (TNW) berdasarkan Permenhut No. P.29/Menhut-II/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Penetapan Wakatobi sebagai Taman Nasional berdasarkan alasan bahwa perairan Kepulauan Wakatobi memiliki keanekaragam sumberdaya hayati dan ekosistemnya. Keanekaragaman sumberdaya hayati di TNW tidak terlepas dari kondisi fisik-biologi kawasan tersebut. Taman Nasional Wakatobi berada pada wilayah “Coral Triangel” atau wilayah segitiga terumbu karang yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon (Balai TNW, 2013).

Wakatobi adalah akronim dari beberapa pulau yaitu Wangi-Wangi (Wa), Kaledupa (Ka), Tomia (To), dan Binongko (Bi). Sejak tahun 2003 Kepulauan Wakatobi telah menjadi Kabupaten sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan letak dan luas kawasan, Kabupaten Wakatobi sama persis atau overlap dengan letak dan luas kawasan Taman Nasional Wakatobi yakni seluas 1.390.000 Ha. Dari luasan tersebut sebanyak 97% merupakan wilayah perairan/laut dan sisanya sebanyak 3% merupakan wilayah daratan berupa pulau-pulau (Balai TNW, 2013).

(3)

samping sektor perikanan dan pertanian. Keseriusan pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi untuk mengembangkan potensi daya tarik wisatanya diwujudkan dengan ditetapkannya 6 kawasan pariwisata di Kabupaten Wakatobi, antara lain: 1) kawasan pariwisata Matahora (Wangi-Wangi); 2) kawasan pariwisata Hoga (Kaledupa); 3) kawasan pariwisata Peropa (Kaledupa); 4) kawasan pariwisata Untete (Tomia); 5) kawasan pariwisata Tolandono (Tomia); dan 6) kawasan pariwisata Palahidu (Binongko) (Rippda, 2008). Pola pengembangan pariwisata di Kabupaten Wakatobi diarahkan pada prinsip-prinsip ekowisata diantaranya memiliki fokus kepada natural area, menyediakan interpretasi, memperhatikan keberlanjutan secara ekologis, memberikan kontribusi terhadap konservasi alam dan warisan budaya, memberikan kontribusi kepada masyarakat lokal, menghargai nilai-nilai budaya yang ada di Kabupaten Wakatobi, memenuhi harapan konsumen dan dipasarkan secara jujur dan akurat. Hal ini sesuai dengan Visi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wakatobi yakni “Terwujudnya Wakatobi sebagai Daerah Tujuan Wisata Ekologi (Ecotourism) Dunia 2010” (Rippda Kab. Wakatobi, 2008).

Sejak ditetapkannya Wakatobi sebagai Taman Nasional pada tahun 1996, jumlah kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnus) mulai berkembang. Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan di Kabupaten Wakatobi berkembang pesat pada tahun 2008. Untuk data jumlah kunjungan wisman dan wisnus di Kabupaten Wakatobi dari tahun 2007-2012 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2008-2012

Tahun Wisman Wisnus Jumlah

2007 977 137 1114

2008 1.883 2.772 4.655

(4)

2010 1.910 4.883 6.793

2011 2.274 5.424 7.698

2012 2.312 3.534 5.846

Sumber: BPS Kab. Wakatobi, 2013

Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan di suatu daerah merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Tentunya, dengan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan akan memberikan dampak terhadap perkembangan ekonomi suatu negara atau daerah. Seperti halnya beberapa analisis yang pernah dilakukan para ahli (de Kadt, Mathieson & Wall, Luebben, dan Max ) dalam (Damanik, 2005) bahwa sumbangan pariwisata yang secara signifikan pada perkembangan ekonomi suatu negara atau daerah tampak dalam tiga bentuk yakni perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan (devisa) dan pemerataan pembangunan antar wilayah. Oleh karenanya, sewajarnya pemerintah Kabupaten Wakatobi menggiatkan sektor pariwisata pada beberapa pulau dalam kawasannya termasuk Pulau Kapota.

Pulau Kapota secara administratif pemerintahan, berada pada Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi dengan luas kawasan ±1.805 Ha (Balai TNW, 2008). Menurut data dari aparat desa, jumlah penduduk Pulau Kapota sebanyak ±5.520 jiwa yang terdiri dari 5 Desa yaitu Desa Kapota, Desa Kapota Utara, Desa Kabita, Desa Kabita Togo dan Desa Wisata Kollo. Penduduk di Pulau ini masih hidup berdampingan dengan teratur, rukun dan saling menghargai. Agama yang mereka anut 100% agama islam, akan tetapi kepercayaan kepada hal-hal mistik masih cukup kental dikalangan sebagian masyarakat. Mata pencaharian masyarakat di Pulau Kapota lebih banyak sebagai nelayan dan petani, beberapa menjadi pengrajin tenun, dan PNS.

(5)

kebudayaan masyarakat pesisir. Obyek-obyek ekowisata tersebut sudah dikemas dalam bentuk paket ekowisata yang ditawarkan.

Upaya pemerintah dalam mengembangkan ekowisata di Kabupaten Wakatobi direalisasikan dalam program Model Desa Konservasi. Model ini merupakan percontohan atau model desa konservasi alam. Pulau Kapota termasuk salah satu dari lima MDK yang ada di Kabupaten Wakatobi. Model Desa Konservasi (MDK) dikelola bersama masyarakat melalui Sentral Penyuluhan Kehutanan Perdesaan (SPKP). Program ini bertujuan untuk memberikan stimulus kepada berbagai kalangan untuk berpartisipasi dalam kegiatan konservasi alam dan salah satunya melalui kegiatan ekowisata. Model Desa Konservasi diharapkan mampu mendorong keikutsertaan atau partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekowisata. Dengan keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan program maka diharapkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat akan terakomodir karena masyarakatlah yang mengetahui segala kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, pengembangan ekowisata Pulau Kapota akan lebih tepat sasaran.

Damanik dan Weber (2006) mengungkapkan bahwa penawaran wisata sering disebut dengan triple A’s yang terdiri dari atraksi, amenitas dan aksesibilitas. Atraksi yang menjadi perhatian dalam pengembangan ekowisata Pulau Kapota meliputi atraksi alam dan atraksi budaya. Berbagai fasilitas penunjang pariwisata juga disediakan seperti alat transportasi, pusat informasi obyek wisata, homestay, rest area, dan warung/kios milik warga.

(6)

pengembangan pariwisata merupakan kunci untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan melalui pengembangan pariwisata. Hanya dengan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pembagian hasil maka mereka dapat memperoleh manfaat dari pengembangan pariwisata (Damanik, 2013).

Menurut Diana Conyers (1991) dalam Nurchasanah (2010), partisipasi masyarakat bersifat penting karena, pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya. Ketiga, partisipasi merupakan urgen karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu bentuk demokrasi jika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan. Dalam konteks ini masyarakat memiliki hak untuk memberikan saran dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka termasuk dalam pengembangan ekowisata.

Berlatar belakang pada pemikiran tersebut, penelitian ini bermaksud bukan untuk mencari siapa yang salah, namun berangkat dari program Community Based Ecotourism (CBE) yang sejak awal melibatkan kepentingan masyarakat yang berperan

Referensi

Dokumen terkait

Wakil Ketua : Aliyanta Wakil Ketua : Samsuri Wakil Ketua : Jumeni Wakil Ketua : Jasmani Wakil Ketua : Suhardono Wakil Ketua :Ari Winarta Wakil Ketua :Khoirufahmi

Trombosis hemostatis yang bersifat self-limited dan terlokalisir untuk mencegah hilangnya darah yang berlebihan merupakan respon normal tubuh terhadap trauma akut

Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lain dapat juga dilakukan dengan sistem penyediaan jasa pekerja/ buruh. Perusahaan penyedia jasa pekerja wajib

Aplikasi Sistem Informasi inventory ini dapat membantu pegawai STIKes Hang Tuah Pekanbaru, baik Unit Kerja, Bagian Perlengkapan dan Ketua STIKes Hang Tuah

Pengembangan aplikasi perwalian (E-KRS) berbasis web di Sekolah Tinggi Teknologi Bandung belum ada, sistem yang berjalan dalam proses perwalian masih secara manual sehingga

Menurut Hamka orang bahagia adalah apabila tekun menempuh laju spiritual tertentu, menyiksa badan hingga hancur lebur, dikiranya dengan itu dapat mencapai

Inovasi teknologi pada pengelolaan lahan yaitu pembuatan tapak (rorak); perbenihan yaitu introduksi teknologi produksi benih dari satu buku; pemasangan tajar yaitu

Secara mendasar, gerakan reformasi harus diinterpretasikan sebagai suatu upaya yang terorganisir dan sistematis dari bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai