• Tidak ada hasil yang ditemukan

DImensi Keadilan Dalam Al Quran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DImensi Keadilan Dalam Al Quran"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

DIMENSI KEADILAN DALAM

AL-QUR’AN

Makalah

Disampaikan Pada Seminar Kelas

Mata Kuliah Pemikiran Politik Islam Semester 3

Program Pascasarjana (S2)

Oleh :

N U R D I N

NIM. 80100213100

Dosen Pemandu :

Prof. Dr. H. Usman Jafar, M.Ag

Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA (S2)

(2)

2 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai landasan normatif, Al-Qur’an memfungsikan dirinya menjadi petunjuk bagi manusia (hudan li al nas), yang bertujuan untuk membimbing agar hidup manusia menjadi bermoral. Semangat dasar Al-Qur’an adalah semangat moral1. Pesan moral Al-Qur’an (al-Akhlaq al-Qur’an) terbentang dalam keseluruhan

isi dan kandunganya, dan menempatkan keadilan sebagai bahagian yang terpenting di dalam pesan itu.

Ayat-ayat mengenai keadilan (al-adl) dan yang semakna dengan keadilan seperti, al-qisth, al-mizan, dan al-wasath terdapat dalam berbagai tempat dalam Al Qur’an. Selain dari ungkapan-ungkapan yang secara eksplisit menyebut kata keadilan, sebenarnya pada ayat-ayat dan surat-surat yang paling awal, gagasan dan pikiran tentang keadilan telah datang secara bersamaan. Kenyataan ini sangat beralasan, karena kondisi riil dan objektif yang dihadapi oleh Nabi Muhammad Saw. Setelah beliau memperkenalkan ajaran tauhid (monoteisme) adalah implikasinya tentang keadilan.

Keadilan memang mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan ajaran tauhid. Derivasi ajaran tauhid yang memberi penekanan kepada “pemerdekaan diri” (tahrir al-nafs) secara individu, dan sekaligus membawa pesan “persamaan” (al-musawah) dalam kehidupan sosial, jelas menurut tegaknya keadilan dalam seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang tidak berkeadilan dan kepemilikan kekayaan yang berlebih-lebihan oleh sementara penduduk Mekkah seperti yang dikritik dalam sejumlah ayat-ayat Makkiyah2 jelas bertentangan dengan konsep tauhid dan pesan keadilan yang

diajarkan oleh Al Qur’an.

Izutsu menekankan bahwa manusia dituntut untuk berlaku adil dan berbuat baik terhadap sesamanya, sebab Tuhan telah berbuat baik dan adil kepada manusia. Manusia tidak dibenarkan berbuat zalim kepada orang lain, karena Tuhan

1 Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University or Chicago Press, 1979), h. 32 Menurut

Rahman, tauhid, keadilan dan kepercayaan kepada hari keadilan (akhirat) adalah tiga landasan moral yang terkandung dalam Al-Qur’an. Di atas ketiga landasan itulah karier Nabi Muhammad Saw. Terlihat ditegakkan sepanjang tugas kerasulanya.

2 Lihat antara lain, Q.s. al Takatsur/102: 1-8, al Humazah/104:1-9, al Lahab/ 111: 1-5.

(3)

3 sendiri tidak pernah berbuat zalim kepada orang lain, karena Tuhan sendiri tidak pernah berbuat zalim kepada siapapun.3 Walaupun Izutsu menekankan pentingnya

ditegakan keadilan dan mengingatkan bahaya kezaliman, ia tidak merumuskan arti keadilan secara tuntas.

Dilihat dari segi pendekatan yang dipergunakan oleh Izutsu, hampir sama dengan Fazlur Rahman kedua-duanya sama-sama menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber informasi, terutama untuk mendapatkan penafsiran yang otentik tentang konsep-konsep tertentu.

Kajian tentang keadilan, meskipun dalam pola pendekatan yang dikembangkan dari informasi Al-Qur’an belum sepenuhnya objektif, namun setidaknya dengan keterbatasan yang dimiliki mampu menjadi inspirasi tersendiri bagi untuk melakukan kajian lebih mendalam lagi.

B. Rumusan Masalah

Masalah pokok yang akan dirumuskan dalam makalah ini sebagai kajian utama adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana makna keadilan dalam perspektif Al-Qur’an ?

2. Bagaimana Prinsip Keadilan terkait dengan pemerintahan, serta keralatifan keadilan penguasa?

3 Dalam tulisan Itsuzu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an makna kezaliman (al-zulm)

(4)

4 BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Keadilan Dalam Al-quran

Kata al-‘adl dari segi bahasa memiliki beberapa arti.4 Dari pengertian yang

bermacam-macam itu dapat dikembalikan kepada makna: “Luzum wast wa al-ijtinab ‘an janibaiy al-ifrat wa al-tafrith”.5 Keadilan adalah kata jadian dari kata ”adil” yang terambil dari bahasa Arab “adl”. Apabila dicermati term-term atau simpul-simpul keadilan yang berakar kata ‘a-d-l terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 31 kali.6 Menurut M. Quraisy Syihab, “Kata adl yang dalam berbagai bentuk terulang

28 kali dalam Al-Qur’an, tidak satupun yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifat-Nya.

Kamus bahasa Arab mengimformasikan bahwa kata “adil” pada umumnya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat immaterial. Keadilan diungkapkan oleh Al-Qur’an antara lain dengan kata-kata al-‘adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. ‘Adl, yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak tidak akan terjadi persamaan.

Qisth7 arti asalnya adalah “bahagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. Bukankah “bagian” dapat saja diperoleh oleh

4 Jamaluddin Muhammad Ibn Mukarram al-Ansari, Lisan al-‘Arab, Juz 13-14, (Mesir: Dar

al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, tt), h. 456-463

5 Artinya: Senantiasa mengambil sikap tengah dan menjauhkan dua sikap ekstrim yaitu ifrat

(berlebihan) dan tafrit (ketaksiran). Muhammad Husain al-Thabatabai, al-Mizan fi al- Tafsir Al-Qur’an, Juz 12, (Beirut: Muassasah al-A’la li al-Matbu’at, tt), h. 331

6 Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz Al-Qur’an al-Karim

(Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 448-449

7 Dalil yang mendukung kata qisth di antaranya firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4) :

135

ﻓ ﺎﻤﮭﺑ ﻰﻟوأ ﺎﻓ اﺮﯿﻘﻓ وأ ﺎﯿﻨﻏ ﻦﻜﯾ نإ ﻦﯿﺑﺮﻗﻷاو ﻦﯾﺪﻟاﻮﻟا وأ ﻢﻜﺴﻔﻧأ ﻰﻠﻋ ﻮﻟو ءاﺪﮭﺷ ﻂﺴﻘﻟﺎﺑ ﻦﯿﻣاﻮﻗ اﻮﻧﻮﻛ اﻮﻨﻣاء ﻦﯾﺬﻟا ﺎﮭﯾأﺎﯾ ﻼ

اﺮﯿﺒﺧ نﻮﻠﻤﻌﺗ ﺎﻤﺑ نﺎﻛ ﷲ نﺈﻓ اﻮﺿﺮﻌﺗ وأ اوﻮﻠﺗ نإو اﻮﻟﺪﻌﺗ نأ ىﻮﮭﻟا اﻮﻌﺒﺘﺗ

(5)

5 satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih umum dari pada adil, dan karena itu pula ketika Al-Qur’an menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.

Mizan berasal dari asal kata wazn yang berarti timbangan. Oleh karena itu, mizan adalah “alat untuk menimbang”. Namun dapat pula berarti “keadilan”, karena bahasa sering kali menyebutkan “alat” untuk makna hasil penggunaan alat itu. Menurut Muhammad Mutawalli Sya’rawi, “acuan dari proses timbangan tersebut adalah ketelitian dalam timbangan supaya tidak ada unsur kecurangan sedikitpun di dalamnya. Karena itu pulalah dipilih kata al-mizan, karena kata ini merupakan standar yang paling tepat untuk menentukan segala sesuatu tanpa unsur kecurangan”.8

Adil dalam arti luas dapat diartikan menjaga keseimbangan dalam masyarakat, artinya keadilan adalah segala sesuatu yang dapat melahirkan kemaslahatan bagi masyarakat atau menjaga dan memeliharanya dalam bentuk lebih baik sehingga masyarakat mendapatkan kemajuan.9 Jika diperhatikan secara

seksama ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keadilan, tampaknya keadilan yang diperintahkan Tuhan kepada penguasa di bumi adalah keadilan yang seimbang.

Keadilan yang dibicarakan dan dituntut Al-Qur’an amat beragam, tidak hanya pada proses penepatan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, melainkan Al-Qur’an menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika

atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.

8 Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Adalatullah:Keadilan dan Hidayah Allah, terj. Ahsan

Askan, (Jakarta: Cendekia, 2005), h. 21

9 Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman, Terj. Ahmad Sobandi, (Bandung:

(6)

6 berucap10, menulis11, atau bersikap batin12. Al-Qur’an memandang kepemimpinan

sebagai “perjanjian Ilahi” yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan13. Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam

pandangan ayat di atas bukan sekedar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan. Bahkan Al-Qur’an menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan.

Menurut M. Quraisy Syihab, Paling tidak, ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh pakar agama, yaitu: Pertama, adil dalam arti “sama”. surat Al-Nisa’ (4): 5814 dinyatakan bahwa,

لﺪﻌﻟﺎﺑ اﻮﻤﻜﺤﺗ نا سﺎﻨﻟا ﻦﯿﺑ ﻢﺘﻤﻜﺣذإو

Kata “adil” dalam ayat ini bila diartikan ‘sama” hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Kedua, adil dalam arti “seimbang”. Keseimbangan15 ditemukan pada suatu kelompok yang didalamnya

10 Adil dalam berkata-kata terdapat dalam firman Allah berikut ini: ﻰﺑﺮﻗاذ نﺎﻛﻮﻟواﻮﻟﺪﻋﺎﻓ ﻢﺘﻠﻗ اذاو

Artinya: Dan apbila kamu berkata, maka hendaklah berlaku adil walaupun terhadap kerabat…! (Q.S Al Baqarah (2): 152)

11 Adil dalam menulis tercermin dalam firman Allah berikut ini: لﺪﻌﻟﺎﺑ ﺐﺗﺎﻛ ﻢﻜﻨﯿﺑ ﺐﺘﻜﯿﻟو Artinya:

Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil (Q.S Al Baqarah (2): 282)

12 Adil dalam sikap tercermin dalam firman Allah berikut ini: ﻢﮭﻌﻣ ﺎﻨﻟﺰﻧأو ﺖﻨﯿﺒﻟﺎﺑ ﺎﻨﻠﺳر ﺎﻨﻠﺳرا ﺪﻘﻟ ﻂﺴﻘﻟﺎﺑ سﺎﻨﻟا مﻮﻘﯿﻟ ناﺰﯿﻤﻟاو ﺐﺘﻜﻟاSesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan (Q.S Al-Hadid (57): 25)

13 Ayat-ayat berikut ini menerangkan tentang pentingnya keadilan ditegakkan. Ayat-berikut

ialah: ﲔﻤﻠﻈﻟا ىﺪﻬﻋ لﺎﻨﻳﻻ لﺎﻗ ﱴﻳرذ ﻦﻣو لﺎﻗ ﺎﻣﺎﻣإ سﺎﻨﻠﻟ ﻚﻠﻋﺎﺟ ﱏإ لﺎﻗ

Allah berfirman, “sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-keturunanku.” Allah berfirman, “Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim.” (Q.S Al Baqarah (2): 124).

14 Artinya: Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau

mengutuskannya dengan adil…

15 Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar

atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi ketidak seimbangan (keadilan). Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama ekosistemnya, Al-Qur’an menyatakan bahwa:

رﻮﻄﻗ ﻦﻣ ىﺮﺗ ﻞﻫ ﺮﺼﺒﻟا ﻊﺟرﺎﻓ تﻮﻔﺗ ﻦﻣ ﻦﻤﺣﺮﻟﺎﻘﻠﺧ ﻰﻓ ىﺮﺗﺎﻣ ﺎﻗﺎﺒﻃ تﻮﻤﺳ ﻊﺒﺳ ﻖﻠﺧ ىﺬﻟا

(7)

7 terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu. Salama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian surat al-Infithar ayat 6-7.16

كﺮﻏﺎﻣ ﻦﺴﻧﻻا ﺎﮭﯾﺎﯾ

ﻚﻟﺪﻌﻓ كﻮﺴﻓ ﻚﻘﻠﺟ ىﺬﻟا ؛ﻢﯾﺮﻜﻟا ﻚﺑﺮﺑ

Dari sini, keadilan identik dengan kesesuaian (keproporsionalan), bukan

lawan kata “kezaliman”. Ketiga, adil adalah “pengertian terhadap hak-hak individu dan memberi hak-hak itu kepada setiap pemiliknya”. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berati “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu.” Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekwensi bahwa rahmat Allah. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Al-Qur’an17[ mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada Nabi

Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang petama memiliki sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus. Nabi Daud tidak memutuskan perkara itu dengan mebagikan kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (Q.S Shad (38): 23). Menurut Muhammad Mutawalli Sya’rawi, “Ayat di atas menyiratkan bahwa Nabi Daud agaknya telah terpengaruh oleh kondisi tertentu ketika memutuskan sebuah kasus persengketaan. Beliau terpengaruh dengan banyaknya jumlah kambing sehingga ia tidak rela melihat orang memiliki 99 kambing betina merampas seekor milik orang lain. Padahal penyebutan jumlah yang banyak bukan suatu alasan tergugat telah bersalah. Bahkan boleh jadi yang

16 Artinya: Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka)

terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu,dan menjadikan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang).

(8)

8 tidak memiliki sesuatu apapun atau yang memiliki sesuatu yang lebih sedikit adalah pihak yang bersalah. Oleh karena itu, banyaknya kuantitas sesuatu semestinya dijadikan alasan dalam menjastifikasi sebuah keputusan”18

Akan tetapi perasaan dan emosi Nabi Daud agaknya cenderung membela orang miskin yang hanya memiliki seekor kambing betina. Oleh karena itu ketika beliau diminta untuk memutuskan persengketaan di antara kedua orang tersebut, beliau tidak sukses dalam mengadili kasus tersebut, malah beliau mengatakan: “Sesungguhnya dia telah berbuat aniaya kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya”.

Kesimpulannya, dalam Al-Qur’an dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, dari tawhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi. Kebahagiaan duniawi dan ukhrawi akan dapat dicapai bila penguasa dengan sungguh-sungguh melaksanakan dan menegakkan keadilan.

B. Prinsip Keadilan Negara 1. Prinsip Keadilan Penguas

Selain prinsip tauhid, sebagai bagian yang paling penting dalam sistem demokrasi, prinsip dasar dalam pengelolaan negara, menurut Nurcholish Madjid, adalah prinsip keadilan, yang menurutnya sebagai "sunnatullah", dan usaha mewujudkannya merupakan tantangan yang tidak pernah berhenti untuk diperjuangkan.

"Keadilan", kata Nurcholish Madjid, "merupakan inti tugas suci (risalah) para Nabi".19 Lebih lanjut dijelaskan, bahwa di dalam Al-Qur'ān , masalah keadilan

disebutkan dalam berbagai konteks. Kata adil mempunyai beragam terminologi

18 Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Adalatullah:Keadilan…, h. 25-26

19 Nurcholish Madjid, "Konsep Keadilan dalam Al-Qur'ān dan Kemungkinan Perwujudannya

(9)

9 dalam bahasa Arab, seperti adl, qist, dan wast; juga kata mīzān yang padanannya dalam bahasa Inggris ialah, just atau justice. Sedangkan pengertian adil dalam kacamata Nurcholish Madjid, "tengah" atau "pertengahan". Namun diakuinya bahwa membahas keadilan tidak cukup lewat penjelasan-penjelasan etimologis belaka. Sebab, "konsep keadilan memiliki bentangan makna yang jauh lebih luas dan rumit".20

Nurcholish Madjid dengan mengutip Murtadha Mutahhari, selanjutnya membahas pembagian konsep keadilan: (1). Bermakna perimbangan atau keadaan seimbang (mauzun, balanced), tidak pincang; (2) bermakna persamaan (musawah, egalitarian); (3) bermakna hak-hak pribadi atau "pembagian hak kepada siapa saja yang berhak"; khususnya yang berkaitan dengan hak pemilikan dan kekhususan hakikat manusia.

Konsepsi keadilan merupakan bagian inti dari ajaran Islām, memang agaknya sulit diragukan. Sebab menurut Nurcholish Madjid, cita-cita itu dirasakan sekali denyut nadinya secara kuat dalam surat-surat atau ayat-ayat al-Qur'ān yang semuanya termasuk hal-hal yang diturunkan kepada Rasulullah mengenai masyarakat Makah misalnya, kata Nurcholish Madjid ialah politeismenya dan kedhaliman (ketidakadilan) sistem ekonominya. Politeisme baginya, "merupakan dosa yang tak terampuni,21 dan karena itu merupakan kejahatan terbesar manusia

kepada dirinya sendiri".22

20 Nurcholish Madjid, "Konsep Keadilan…, h. 9-10

21 Untuk itu ia mengutip firman Tuhan yang artinya "Allāh tidak memberi ampun jika

sesuatu dipersekutukan kepada-Nya, tetapi Ia mengampuni yang selain-Nya, kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan siapa yang mempersekutukan Allāh, ia telah berbuat dosa yang besar". (Q.,s. An-Nisā’/4:48).

Mengenai ayat ini ditafsirkan oleh A. Yusuf Ali dari dimensi politik dan tasawuf sebagai berikut: "Seperti halnya dengan kerajaan negara di bumi, kejahatan yang paling buruk ialah pengkhianatan, sebab ia justru yang akan menghancurkan eksistensi negara itu. Begitu juga dengan dunia rohani, dosa yang tak berampun ialah pengkhianatan yang sifatnya tidak taat kepada Allāh dengan menempatkan makhluk-makhluk Allāh sebagai saingan-Nya". Inilah yang disebut ingkar terhadap inti dan sumber kehidupan rohani, yang oleh Plato disebut "kebohongan di dalam jiwa". Tetapi sungguhpun begitu, jika kekufurannya disebabkan oleh kebodohan, lalu bertobat dengan sepenuh hati dan memperbaiki diri, maka kasih Allāh selalu terbuka. A. Yusuf Ali, Al-Qur'ān Terjemah dan Tafsirnya, Terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 195

(10)

10 Karena itu, tingkah laku ekonomi yang menghalangi terwujudnya keadilan23

sosial, demikian ditandaskan Nurcholish Madjid, dikutuk Al-Qur'ān dengan keras. Bahkan, tambah Nurcholish Madjid", tidak ada kutukan kitab suci yang lebih keras daripada kutukan kepada para pelaku ekonomi yang tidak adil". Yang termasuk dari kategori ini ialah, mereka yang tidak produktif dan egois. Untuk memperkuat argumentasi ini, Nurcholish Madjid menunjukkan surat at-Takāsur, al-Humazah dan al-Tawbah, ayat 35-36. Berdasarkan pendapat tersebut, Nurcholish Madjid tampaknya mengkritik beberapa kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru yang tidak berpihak kepada kaum lemah. Termasuk juga pola penggunaan kekayaan yang disebutnya sebagai value judgment guna mengubah persepsi atas lembaga-lembaga yang sudah ada tersebut.

2. Perintah Menetapkan Hukum dengan Adil

Perintah menetapkan hukum dengan adil dapat dipahami dan dimulai uraianya dengan mengutip Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 57:

ﷲا نإ لدﻌﻟﺎﺑ اوﻣﻛﺣﺗ نأ سﺎﻧﻟا نﯾﺑ مﺗﻣﻛﺣ اذ ٕاو ﺎﻬﻠﻫأ ﻰﻟإ تﺎﻧﺎﻣﻷا اودؤﺗ نأ مﻛرﻣﺄﯾ ﷲا نإ

ارﯾﺻﺑ ﺎﻌﯾﻣﺳ نﺎﻛ ﷲا نإ ﻪﺑ مﻛظﻌﯾ ﺎﻣﻌﻧ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Menurut Dr. Abd Muin Salim, secara struktural ayat di atas terdiri dari dua klausa yang tidak dapat dilepaskan dari klausa inti di awal ayat, yakni inna Allah ya’

23 Konsep keadilan ini, dalam hukum fiqih, menurut ulasan Nurcholish Madjid, dijabarkan

(11)

11 murukum. Hubungan ini terwujud oleh adanya partikel “wa” dan yang berfungsi sebagai perangkai. Klausa pertama adalah klausa kondisional, karena di dahului oleh partikel “iza” “apabila” yang tidak hanya berkonotasi temporal tetapi juga kondisional (dharfiyat syarthiyah).24 Sedangkan klausa kedua berkedudukan

sebagai objek. Dengan demikian ayat di atas dapat dikonstruksikan ke dalam ungkapan Inna Allah ya’ murukum an tahkumu bi ‘adl iza hakamtum baina al-nas. “Sesungguhnya Allah memerintahkan agar kamu menetapkan hukum dengan adil apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia.”

Menetapkan hukum dalam ungkapan ayat di atas mencakup pengertian “membuat dan menerapkan hukum”. Secara kontekstual perintah dalam ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat Muslim, tetapi ditujukan kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan memimpin orang-orang lain, seperti suami terhadap istri-istrinya, dan orang tua terhadap anak-anaknya. Meskipun begitu, takhsis ungkapan tersebut dengan kekuasaan politik seperti yang dikemukakan Muhammad Abduh dapat diterima karena pandangan tersebut sejalan dengan sebab turunnya ayat itu.

Konsep lain yang terkandung dalam klausa di atas adalah “keadilan” yang diungkapkan dengan al-‘adl. Al-Baidhawi menyatakan bahwa adil bermakna al-inshaf wa al-sawiyayyat “berada dipertengahan dan mempersamakan”.25

Pendapat yang sama dikemukakan oleh al-Raghib dan Rasyid Ridha.26 Sejalan

dengan pendapat ini, Sayyid Quthb menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang.27 Ini berarti bahwa manusia

24 Badr al-Din Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Mesir:

Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyat, tt), h. 195

25 Nashr al-Din Abu al-Khair ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi, Anwar Tanzil wa Asrar

al-Ta’wil, Juz I, (Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1939/1358), h. 191

26 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim, (Tafsir al-Manar), Juz V, (Mesir:

Maktabah al-Qahirah, 1379/1960), h. 174. Ridha menyatakan bahwa keadilan yang diperintahkan dalam ayat itu dikenal oleh ahli bahasa Arab, dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti dalam agama.

27 Sayyid Quthb, Fi Dhilal Al-Qur’an, Juz V, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-‘Arabi,

(12)

12 mempunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Pengertian yang berbeda dikemukakan oleh al-Maraghi. Ia tidak melihat keadilan dari segi persamaan hak, tetapi menekankan aspek terselenggaranya atau terpenuhinya hak-hak yang telah ditetapkan setelah menjadi milik seseorang. Konsep al-Maraghi ini lebih relevan dengan kata al-qisth daripada kata al-‘adl.

Menurut Dr. Abd Muin Salim, pendapat Ibn Jarir dan Abduh tentang keadilan berimplikasi yang berbeda. Pendapat Ibn Jarir mengandung arti bahwa perintah menetapkan hukum dengan adil dalam ayat di atas terbatas pada penerapan Al-Qur’an dan Sunnah. Ini juga berarti adanya pemberian kekuasaan pelaksanaan (kekuasaan eksekutif). Sebaliknya pendapat Muhammad Abduh mengandung arti bahwa perintah dalam ayat itu adalah perintah membuat hukum sekaligus berisi pemberian kekuasaan pembentukan aturan-aturan hukum (kekuasaan legislatif). Selanjutnya Abd Muin Salim mengatakan “meskipun argumentasi Abduh di atas kurang dapat diterima, namun pendapatnya di atas menarik ditelaah karena lebih konsisten dengan perintah yang terdapat dalam ayat sebelumnya yang relevan dengan fungsi eksekutif dan yudikatif.”28

Tugas penguasa baik penguasa di bidang eksekutif, yudikatif maupun legislatif adalah melaksanakan amanah Allah. Amanah yang dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menyangkut hal ini amat banyak, salah satu diantaranya berupa teguran kepada Nabi SAW, yang hampir menyalahkan orang Yahudi karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam konteks inilah turun firman Allah:

ﺎﻤﯿﺼﺧ ﻦﯿﻨﺋﺎﺨﻠﻟ ﻦﻜﺗ ﻻو

sifatnya sebagai manusia, dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan. Pandangan ini perlu diteliti secara seksama karena Al-Qur’an sendiri menegaskan hak yang diperoleh manusia berdasarkan usahanya.

(13)

13

Artinya: Dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 105).

Berdasarkan ayat tersebut, dituntut kepada pemimpin agar berhati-hati dalam memutuskan suatu perkara, jangan sampai berat sebelah atau tidak sama sehingga membuat kerugian sepihak. Kewajiban-kewajiban tersebut secara ringkas dapat disimpulkan dalam dua hal, yaitu: Menunaikan amanah, dan menegakkan hukum dengan adil kepada seluruh ummat.Mengatur kepentingan negara sesuai dengan tuntutannya, sehingga membawa kebaikan bagi individu maupun jama'ah, ke dalam maupun ke luar.

3. Relativitas Keadilan Penguasa

Mewujudkan keadilan yang objektif adalah sikap yang sangat sulit untuk dicapai oleh manusia, disebabkan oleh kodrat manusia dengan kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Karena itulah banyak ulama yang menolak dirinya dipromosikan menjadi hakim, bukan karena mereka enggan untuk menghakimi suatu masalah, tetapi karena mereka khawatir kalau-kalau ia tidak mampu mewujudkan keadilan yang objektif disebabkan oleh emosi ataupun hawa nafsu yang menyelimuti dirinya29. Contoh relativitas keadilan manusia dapat disimak

kisah Nabi Daud ketika mengadili dua orang yang bersengketa sebagaimana telah disebutkan terdahulu.

Allah SWT. tulis Rasyid Ridha yang menurunkan ayat-ayat ini mengetahui perubahan-perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa-bangsa dan pemeluk-pemeluk agama seperti terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang Mukmin, namun berbalik membantu kaum Muslimin dalam beberapa peperangan seperti di Andalusia atau seperti halnya orang-orang Mesir yang membantu kaum Muslimin melawan Romawi.

(14)

14 Dari sini terlihat bahwa Al-Qur’an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin kerja sama apalagi mengambil sikap tidak bersahabat. Al-Qur’an memerintahkan agar setiap umat berpacu dalam kebijakan.30 Bahkan Al-Qur’an sama sekali tidak melarang kaum Muslimin untuk

berbuat baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapapun, selama mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum Muslimin dari kampung halaman mereka.31 Ditaati dalam hal-hal yang baik, mendapatkan

bantuan dalam hal-hal yang diperintahkan, mendapatkan hak finansial yang mencukupi diri dan keluarganya secara tidak berlebihan.

30 Lihat Surat al-Baqarah: 148 “….Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan ” 31 Lihat, Surat al-Mumtahanah: 8 “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan

(15)

15 BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa uraian tentang tanggung jawab penguasa dalam menegakkan keadilan yang ditinjau dari sudut Al-Qur’an dapat disimpulkan sebagai berikut: Keadilan yang diungkapkan oleh Al-Qur’an antara lain dengan kata-kata al-‘adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. ‘Adl, yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak tidak akan terjadi persamaan. Keadilan yang dibicarakan dan dituntut Al-Qur’an amat beragam, tidak hanya pada proses penepatan hukum atau terhadap pihak yang beselisih, melainkan Al-Qur’an menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin. Ketiga kata qisth, ‘adl, dan mizan pada berbagai bentuk digunakan oleh Al-Qur’an dalam konteks perintah kepada manusia untuk berlaku adil.

Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh pakar agama, yaitu: Pertama, adil dalam arti “sama”. Kedua, adil dalam arti “seimbang”. Ketiga, adil adalah “pengertian terhadap hak-hak individu dan memberi hak-hak itu kepada setiap pemiliknya”. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu.”

(16)

16 DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahnya

Badr al-Din Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyat, tt)

Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University or Chicago Press, 1979)

https://ntanrahmah.wordpress.com/2013/01/09/makna-keadilan-dalam-al-quran/

http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/02/keadilan-dalam-alquran.html

http://politeknik-lp3i-bandung.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=884:peri

ntah-islam-untuk-berlaku-adil-perintah-islam-untuk-berlaku-adil&catid=73:imtak&Itemid=178

Itsuzu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an

Jamaluddin Muhammad Ibn Mukarram al-Ansari, Lisan al-‘Arab, Juz 13-14, (Mesir: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, tt)

Muhammad Husain al-Thabatabai, al-Mizan fi al- Tafsir Al-Qur’an, Juz 12, (Beirut: Muassasah al-A’la li al-Matbu’at, tt), h. 331

Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz Al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1981)

Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Adalatullah:Keadilan dan Hidayah Allah, terj. Ahsan Askan, (Jakarta: Cendekia, 2005)

Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman, Terj. Ahmad Sobandi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim, (Tafsir al-Manar), Juz V, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1379/1960)

(17)

17 Nashr al-Din Abu al-Khair ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar

al-Ta’wil, Juz I, (Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1939/1358)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perlawanan virtual, lagu yang direkam merupakan bagian dari media seni dan sastra sendiri yang sejatinya sudah lama dijadikan untuk melayangkan kritik perlawanan

Cara pemupukan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan adalah dengan cara ditugal atau membuat pocket sebanyak 8 titik disekeliling tanaman kelapa sawit, cara ini diterapkan oleh

signifikan antara penerapan nilai- nilai keagamaan dengan kualitas pelayanan masyarakat di Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Kota Pekanbaru.. METODE PENELITIAN Lokasi

Quadratic Cost outPut Feedback Control for Bilinear Systems Proc.2nd Asian Contro1 Conference (1997.7)I-577/1-580 Seigo Sasaki,Kenko

Di samping itu telah memenuhi syarat alternatif untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Faktor ancaman dari faktor strategik eksternal yang mempengaruhi peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Situbondo memiliki total skor sebesar 1,293 dengan faktor

KONSTRUKSI PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PERATURAN MENTERI TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT JASA KONSTRUKSI PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENYEDIAAN