• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dominasi Teknologi Informasi Pada Masyar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dominasi Teknologi Informasi Pada Masyar"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Televisi : Dominasi Teknologi Informasi Pada Masyarakat

Modern

Oleh: Puji Laksono

(Pascasarjana Sosiologi Universitas Sebelas Maret)

Para Kapitalis seperti mucikari, menggunakan segala terik untuk mengkomersialkan setiap rangsangan libido demi memperoleh nilai tambah. Mereka mengeksploitasi kegairahan secara tanpa batas.

(Jean Francois Lyotard)

Abstrak :

Masyarakat modern dengan kekuatan rasionalitasnya telah melejit jauh menuju peradapan digital yang mutahir. Manusia dengan ilmu pengetahuan tengah berada pada puncak kekuasaanya atas alam. Teknologi informasi merupakan alat ampuh untuk menundukan alam, dengan teknologi informasi manusia mampu mengontrol kehidupan. Namun pada akhirnya manusia yang berharap kesejahteraan serta kebebasan dengan teknologi informasi, kini justru teknologi tersebut yang berbalik mengkontrol kehidupan manusia. Salah satu teknologi informasi yang mendominasi dan mengntrol kehidupan masyarakat modern adalah televisi. Televisi telah berkembang menjadi sosok fasisme, dewa penentu kehidupan masyarakat modern, ia mengendalikan, menguasai, dan mendikte kehidupan sosial masyarakat modern.

Key words : Televisi, Dominasi, Masyarakat Modern.

Pendahuluan

(2)

berani menjamahnya. Melalui pencerahan manusia dengan rasionya telah berhasil membuka selubung misteri jagad raya. Manusia mematahkan selubung mistis yang membelenggu dirinya. Manusia mulai mengontrol jagat raya dengan akal budinya dan penelitian empiris. Manusia menundukkan Alam dengan angka-angka dengan kalkulasi yaitu secara matematis ilmu pasti.

Manusia mendaulatkan diri sebagai penguasa alam, memang benar kiranya bahwa alam raya ini diciptakan untuk manusia, itu sebabnya kenapa Adam dilempar ke dunia ini. Sang rasul aliran rasionalisme Rene Descartes dengan lantang berkikrar bahwa “Cogito ergo sum” (aku berfikir maka aku ada), jika ditafsirkan bahwasanya betapa berkuasanya akal pikiran manusia untuk mengatur diri dan dunia di sekelilingnya. Lalu disusul sang rasul aliran empirisme Hobbes yang mengatakan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh hanya melalui pengamatan empiris. Manusia bisa melakukan apapun terhadap alam bahkan menerjang kehendak Tuhan. Seakan tiada sabda yang tak terbantahkan, semua bisa dijadikan objek untuk dimanipulasi.

Menurut Adorno dan Horkheimer, pencerahan itu telah menelanjangi misteri alam raya yang sebelumya menakutkan dan membuat manusia tidak berani menyentuhnya dengan pengetahuan rasionalnya. Justru melalui pencerahan, pengetahuan manusia membuka selubung misteri itu. Dewa-dewi, roh, jin, dan berbagai bentuk kekuatan gaib lainya, sebagaimana yang diceritakan dalam mitos, tak lain sebagai usaha manusia untuk memehami alam dan masyarakat. akan tetapi, dengan pemahaman mistis seperti itu manusia justru membelenggu dirinya sendiri. Melalui pencerahan, belenggu itu dipatahkan dan sebagai gantinya rasio manusia bangkit memerintah alam. Begitu momok mitologis dijauhkan dari alam, alam menjadi barang yang netral dan bersamaan dengan itu manusia mampu menghadapinya sebagai objek yang dimanipulasi . Rasionlitas menjadi adalah masyarakat modern dalam menhadapi kehidupanya.1

Perdapan manusia berkembang begitu mutahir, diawali dengan revolusi industri yaitu beralihnya sistem pertanian ke sistem industri, kemudian hingga

(3)

saat ini muncul ciber society yang merupakan perwujudan dari teknologi canggih seperti handphone, komputer, televisi, internet yang pada akhirnya menciptakan dunia tanpa sekat yang disebut globalisasi. Kalau dulu bulan hanya dianggap sebagai bulatan cahaya yang jauh di atas sana maka sekarang manusia dengan pengetahuanya dapat menapakan kakinya di sana, bahkan rencananya manusia bakal migrasi kesana kalau bumi kelak akan hancur. Peradapan manusia tidak berhenti sampai disini, permainan menjadi Tuhan pun dimulai dengan mencoba mereproduksi ras manusia dengan teknologi cloning walaupun belum digunakan untuk manusia. Sungguh manusia telah menjadi manusia yang berdaulat penuh atas alam. Disini Tuhan seakan-akan sedang sekarat, bahkan telah dibunuh oleh Nietzsche, di mana konsep tetang Tuhan dianggap tidak mampu lagi untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan teleologi. Manusia diposisikan sebagai manusia purna dengan kehendak berkuasa dan mencintai kehidupan.

Masyarakat modern dengan pemujaan atas rasionalitas, telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian jauh, hingga Teknologi Informasi saat ini telah mendominasi semua elemen kehidupan masyarakat. salah satu kemajuan teknologi yang dihasilkan masyarakat modern adalah televisi. Televisi adalah salah satu sarana hiburan yang paling banyak di pakai oleh masyarakat di dunia. selain sebagai sarana hiburan Televisi juga sebagai salah satu sarana penyampai informasi di dunia. Dengan Televisi kita bisa mengaetahui kejadian yang terjadi di daerah bahkan di Negara lain secara langsung.

(4)

secara keseluruhan yang dapat difahami. (Hall dalam Becker) . Di sinilah televisi yang awalnya dimaksudkan untuk mensejahterakan manusia, di mana ia merupakan hasil dari kekuatan rasional masyarakat modern pada akhirnya teknologi berbalik menguasai manusia. Ia mengendalikan, mengontrol dan mendominasi kehidupan masyarakat modern.

Makalah ini mencoba untuk membahas tentang dominasi teknologi informasi dari perspektif teori kritis. Teori kritis yang tergabung dalam kelompok

Frankfurt School adalah kelompok intelektual yang pertama kali melihat gejala akan dominasi teknologi informasi pada masyarakat modern. Televise meruapak salah contohnya, dengan mengambil contoh televisi sebagai salah satu media yang sangat familiar dalam masyarakat. Televisi telah berkembang menjadi alat kontrol tersendiri bagi masyarakat modern. Melalui tayangan-tayangan yang disajikan ia telah mengkontruksi realitas sosial masyarakat. Masyarakat modern dengan hukum positivistik, di mana segala sesuatu dapat dikalkulasikan telah memunculkan kapitalisme sebagai dewa-dewa pencipta realita dengan hukum komoditi. Kapitalisme menciptakan industri budaya massa melalui tayangan-tayangan televisi yang merupakan penipuan massa. Iklan menjadi salah satu bagaimana masyarakat modern dikontrol oleh kebutuhan-kebutuhan semu.

Televisi menjadi media hiburan yang paling digemari oleh masyarakat. dengan keunggulan melalui visual (gambar) dan audio (suara) memberikan kesan

realistic (kesan nyata). Televisi mempunyai karakteristik khusus yaitu kombinasi gambar, suara dan gerak. Oleh karena itu pesan yang disampaikan sangat menarik perhatian penonton. Dengan perkembangan teknologi informasi, yaitu dengan didukung oleh grafis komputer yang canggih, televisi menjadi hidup. Hal itulah yang membawa masyarakat tenggelam dalam dominasi televisi memalui program tayangan, iklan yang pada akhirnya menyeret masyarakat pada pengorganisasian secara umum dalam industry budaya yang penuh manipulasi. Oleh karena latar belakang di atas, makalah ini mengambil permasalah tentang bagaimana dominisi teknologi informasi yang terjadi terhadap masyarakat modern.

(5)

Kritik Frankfurt School Atas Masyarakat Modern

Sebelum membahas bagaimana dominasi teknologi terhadap masyarakat modern, terlebih dahulu perlu kita ketahui tentang teori kritik dari kelompok Frankfurt School. Kelompok ini sangatlah aktif dalam mengkritisi perkembangan masyarakat modern. Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang dilahirkan di Frankfurt.

Sekelompok intelektual yang kemudian dikenal sebagai anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat karena tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu, produksi media hiburan dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang merupakan ciri masyarakat kapitalis dan, kemudian, menjadi fokus studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah hubungan produksi kapitalis.

(6)

menyukai memusatkan perhatian pada aktifitas manusia maupun pada cara-cara aktivitas tersebut mempengaruhi struktur sosial yang lebih luas. Singkatnya positivisme dianggap mengabaikan aktor, menurunkan aktor ke derajad yang pasif yang ditentukan oleh kekuatan alamiah. Karena mereka yakin akan kekhasan sifat aktor, teoritisi kritis tak dapat menerima gagsan bahwa hukum umum sains dapat diterapkan terhadap tindakan manusia begitu saja. Positivisme diserang karena berpuas diri hanya dengan menilai alat untuk mencapai tujuan tertentu, dan karena tak membuat penilaian serupa terhadap tujuan. Kritik ini mengarah ke pandangan bahwa positivisme berwatak konservatif, tak mampu menantang sistem yang ada.

Ilmu pengetahuan dengan wujudnya yaitu teknologi memang telah menimbulkan dampak positif yang luar biasa bagi peradapan manusia akan tetapi ketika semua peradapan itu diawali dengan berkuasanya akal pikiran manusia, maka sampailah kita pada akal pikiran yang mulai kehilangan kontrolnya. Manusia justru dikendalikan oleh ilmu pengetahuan teknologi. Melihat kondisi seperti ini Herbert Marcuse dalam One Dimensional man bahwasanya manusia tidak lagi ditindas oleh manusia lainya namun manusia ditindas oleh sistem teknologi. Hukum teknologi telah mencengkram kuat yang mengatur dan memaksa manusia untuk tuntutan ekonomis dan politis kepada manusia3. Marcuse

juga mengkritik masyarakat modern yang hanya bersifat One Dimensional dan hal ini tampak dalam semua aspek, yakni ilmu pengetahuan, seni, filsafat, pemikiran sehari-hari, sistem politik, ekonomi dan teknologi. Manusia modern kehilangan daya dan prinsip kritis. Masyarakat modern, baik manusia maupun benda direduksi menjadi sesuatu yang fungsional saja, terlepas dari substansi dan otonomi. Prinsip kritis tersebut diambil dari konsep-konsep filsafat yang memungkinkan orang memahami kebebasan, keindahan, akal budi, kegembiraan hidup dan lain sebagainya .

Meski kehidupan modern kelihatan rasional, aliran kritis memandang masyarakat modern penuh dengan ketidakrasionalan. Gagasan ini dapat diberi nama “irasionalitas dari rasionalitas formal”. Menurut pandangan marcuse, meski tampaknya rasionalitas diwujudkan, masyarakat ini secara keseluruhan.

(7)

Masyarakat adalah tak rasional karena dunia rasional merusak individu, serta kebutuhan dan kemampuan mereka, bahwa perdamaian dipertahankan melalui ancaman terus menerus dan bahwa meski sarana yang ada sudah cukup, rakyat tetap miskin, tertindas, tereksploitasi dan tak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Aliran kritis terutama memusatkan perhatian pada satu bentuk rasionalitas formal teknologi modern, misalnya mengecam keras tehnologi modern setidaknya seperti yang digunakan dalam kapitalisme. Sebenarnya ia memandang tehnologi modern berperan penting sebagai metode pengendalian eksternal terhadap individu yang baru, lebih efektif, dan bahkan lebih menyenangkan.

Sistem kapitalisme di mata Marcuse cenderung bersifat represif dan totaliter. Sistem kapitalisme dalam detailnya memang terkesan serba rasional, menawarkan kemakmuran dan kehidupan yang makin enak bagi para warganya, memberikan kekuasaan yang lebih besar, serta pengaturan yang lebih efektif, efisiensi dan produktif. Tetapi bila dipandang secara keseluruhan, menurut Marcuse kihidupan masyarakat industri modern sesungguhnya irrasional, penuh dengan kepalsuan, dan manipulasi4. Di mata teoritisi kritis, perkembangan industri

kebudayaan yang melahirkan produk-produk industry budaya dan budaya massa atau budaya popular, bukan hanya dinilai sebagai hasil rekayasa kekuatan komersial yang kapitalistik, tetapi juga berdampak mengendalikan, menciptakan yang serba palsu dari pada sesuatu yang riil. Menurutnya industri-industri kebudayaan merupakan organ-organ penipu massa yang memanipulasi individu-individu untuk menerima pengorganisasian masyarakat secara umum. Dalam pandangan mereka, industri kebudayaan sedang melibatkan diri dalam bentuk indoktrinasi ideologi yang canggih dengan menggunakan hiburan untuk mempermanis penindasan sambil menggerogoti standart kebudayaan dengan tujuan menekansetiap bentuk ekspresi yang menentang tatanan yang ada5.

Televisi : Dominasi Teknologi Pada Masyarakat Modern

4 Bagong Suyanto dan M. Khusna Amal.2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Aditya Media : Malang. Hlm 122.

(8)

Kemajuan teknologi televisi dewasa ini berkembang begitu cepat. Televisi telah menjadi jendala dunia, televisi telah menjadi media yang menembus ruang dan waktu. Dunia ibarat daun kelor, menjadi sempit karena adanya teknologi televisi. Dengan memanfaatkan teknologi satelit, saat ini televisi dapat digunakan di rumah-rumah, saat ini telah diproduksi juga televisi mobil yang bisa dibawa kemana-mana, dengan demikian orang dapat menyaksikan siaran televisi di manapun berada. Produksi seperti ini seperti televisi yang ada pada handphone, televisi genggam, televisi mobil. Selain televisi satelit, sekarang ini juga sudah berkembang televisi kabel yang juga digunakan di rumah-rumah dengan teknologi digital. Televisi jenis ini sudah melampaui teknologi televisi anolog yang sudah dianggap ketinggalan zaman. Saat ini televisi sudah dapat digabungkan dengan internet. Sehingga televisi sudah mengalami perkembangan yang begitu canggih, tidak lagi menggunakan teknologi satelit dan radio.

Televisi yang membawa kepada kemajuan teknologi informasi pada manusia. Ia menjadi semacam pencapaian tertinggi dalam peradapan manusia. Televisi memberikan informasi, hiburan kepada masyarakat. Tetapi di balik segala kemajuan yang ditawarkan televisi, di satu sisi televisi membawa manusia pada ketertundukan demi kepentingan ekonomi. Keterpihakan media massa termasuk televisi kepada kapitalisme, telah membawa masyarakat modern hidup dalam dominasi teknologi. Televisi digunakan untuk kekuatan-kekuatan kapital yang menjadikanya sebagai mesin penghasil uang dan pelipatgandaan modal. Keperpihakan media terhadap kapitalisme tersebut menyebabkan televisi hanya memberikan keterpihakan semu kepada masyarakat. Keterpihakan semu tersebut adalah rasa simpati dan empati yang pada ujung-ujungnya untuk kepentingan ekonomi dengan menjual siaran. Keterpihakan televisi kepada kapitalisme ini pada akhirnya menjadikanya sebagai alat penundukan dan dominasi yang ampuh dalam masyarakat.

1. Narasi Fasisme Pada Layar Kaca

(9)

dunia dengan menyediakan dukungan ideologis bagi kapitalisme, dan korporasi transnasional khususnya. Media dilihat sebagai kendaraan bagi pemasaran korporat, memanipulasi penonton dan menjadikan mereka sebagai pemasang iklan. Ini beriringan dengan pengakuan atas efek ideologis secara umum di mana pesan-pesan media menciptakan dan memaksa keterikatan penonton pada status quo6. Masyarakat modern secara sosial-politik dalam pandangan

teoritis kritis, cenderung mengarah kepada bentuk totaliterisme, di mana teknologi manjadi alat pengendalian sosial, bahkan menjadi alat penindas yang ampuh.

Sistem kapitalisme di mata Marcuse cenderung bersifat represif dan totaliter. Sistem kapitalisme dalam detailnya memang terkesan serba rasional, menawarkan kemakmuran dan kehidupan yang makin enak bagi para warganya, memberikan kekuasaan yang lebih besar, serta pengaturan yang lebih efektif, efisiensi dan produktif. Tetapi bila dipandang secara keseluruhan, menurut Marcuse kehidupan masyarakat industri modern sesungguhnya irrasional, penuh dengan kepalsuan, dan manipulasi.7 Di mata teoritisi kritis,

perkembangan industry kebudayaan yang melahirkan produk-produk industri budaya dan budaya massa atau budaya popular, bukan hanya dinilai sebagai hasil rekayasa kekuatan komersial yang kapitalistik, tetapi juga berdampak mengendalikan, menciptakan yang serba palsu dari pada sesuatu yang riil. Menurutnya industri-industri kebudayaan merupakan organ-organ penipu massa yang memanipulasi individu-individu untuk menerima pengorganisasian masyarakat secara umum. Dalam pandangan mereka, industri kebudayaan sedang melibatkan diri dalam bentuk indoktrinasi ideologi yang canggih dengan menggunakan hiburan untuk mempermanis penindasan sambil menggerogoti standart kebudayaan dengan tujuan menekan setiap bentuk ekspresi yang menentang tatanan yang ada8.

6 Loc cit. Bekcer Cris. Hlm 275.

7 Loc Cit. Bagong Suyanto. Hlm 122.

(10)

Televisi sebagai wujud dari teknologi informasi telah menjadi satu alat pengendalian masyarakat. Iklan sebagai alat-alat kapitalisme telah mengendalikan masyarakat dalam budaya konsumerisme. Televisi menunjukan sifat-sifat fasismenya, sosok fasisme dalam diri kapitalisme cenderung menciptakan kebudayaan massa berdasarkan mekanisme kekuasaan totaliter. Di mana masyarakat dikomando dalam budaya konsumerime. Adalah Adorno yang menyamakan sitem kapitalisme dan fasisme tersebut. Keduanya menurut Adorno memiliki kesamaan yaitu merayakan insting primitif, penolakan akal sehat dan pesona akan tanda-tanda kemegahan. Hal ini identik dengan fasisme yang diamalkan oleh Hitler dan Mussolini.

Sebagai sosok fasisme dalam layar kaca, kapitalisme seakan mengontrol masyarakat secara totaliter melalui budaya konsumerisme. Dalam pemahamanya konsumerisme adalah paham, aliran atau ideologi di mana seseorang, kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Bisa juga disebut konsumtif dan gampangnya lagi apabila konsumtif tersebut dijadikan sebagai gaya hidup. Kemudian sangat ironis, bahwasanya konsumerisme cenderung mewabah di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Kapitalisme melalui televisi ini terjadi akibat derasnya persaingan industri pertelevisian dewasa ini. Kompetisi tersebut memiliki imbas ke khalayak (konsumen) ketika kemudian khalayak dibentuk oleh televisi (baca: industri) menjadi segmen-segmen yang kemudian akhirnya dijual kepada

advertiser. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh khalayak pada awal tumbuhnya televisi sifatnya menjadi semu, terutama karena justru posisi publik menjadi “terkontrol” oleh kepentingan dalam bentuk lain yang lebih kompleks yaitu ekonomi politik.9 Masyarakat modern

menurut mereka, merupakan masyarakat yang irrasional. Dalam masyarakat seperti ini, produksi sebenarnya tidak diciptakan untuk memenuhi kebutuhan

(11)

manusia, malainkan kebutuhan manusia yang diciptakan, dimanupulasi dan diproduksi.

Melalui televisi, kapitalisme memanfaatkan hasrat manusia yang tanpa batas. Iklan sepeda motor merupakan contoh yang bagus sebagai penjelasaan nyata tentang apa yang sedang menjangkit dalam masyarakat kita. Hampir setiap rumah dipastikan sudah memiliki televisi. Dalam setiap tayangannya televisi selalu menayangkan iklan dengan pengulangan yang begitu padat. Aktis Koming menjadi familiar dengan iklan sepeda motor Jupiter karena ia bisa muncul berkali-kali setiap hari. Ia menawarkan tentang suatu produk sepeda motor yang ideal bagi masyarakat terkini. Beberapa bulan kemudian ia muncul dengan iklan yang lain tetapi masih dengan produk yang sama. Di sini mayarakat setiap harinya dijejali dengan iklan-iklan yang terus menjajah dan mengeksploitasi masyarakat. Belum selesai produk yang awal, sudah muncul lagi produk yang baru.

(12)

Gambar 1. Iklan yang ditayangkan berulang-ulang, dengan model-model produk terbaru, membuat penonton berada dalam tekanan psikis kebutuhan palsu

Hasrat manusia adalah sasaran ampuh, ia menjadi bidikan kapitalisme melalui iklan. Dewa baru yang dipuja namanya “wellness”. Industri mensugestikan bahwa kita berhak atas perasaan “well”, berhak atas kebahagiaan, lalu kita dimanipulasi untuk merasa butuh produk-produk agar bisa bahagia. Hal ini oleh Franz Magnis Susesno disebut semacam fancy desire

(keinginan yang bukan-bukan)10. Kebudayaan konsumerisme yang

dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sabagai raja, yang menghormati nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkapnya dan sebaik-baiknya kebutuhan, aspirasi, keinginan hasrat, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asik dengan dirinya sendiri. Maka di sini masyarakat modern telah teramanipulasi dan tertindas secara psikis oleh teknologi informasi televisi.

2. Nyanyian “Nina Bobo” Yang Melelapkan

Masih berlanjut tentang sosok fasisme di layar kaca yang menawarkan yaitu merayakan insting primitif (kesenangan hasrat), penolakan akal sehat dan pesona akan tanda-tanda kemegahan (komsumerisme). Dalam bidang sosio-politik, terjadi penundukan atas para oposan yang menjadikanya oposan yang hidup “dalam status quo”. Televisi memiliki wajah ganda, di satu sisi ia

(13)

menawarkan tentang kesejahteraan, di sisi yang lain justru menjerumuskan masyarakat kepada mindset dari media televisi dan kepentingan ekonomi politiknya yang hegemonik.

Televisi menjadi alat kontrol yang ampuh terhadap segala bentuk perlawanan-perlawanan akan realitas sosial yang ada. Televisi seperti yang telah dipaparkan di atas dengan berbagai bujuk rayu iklan yang disajikan telah membuat satu generasi yang pasif/pragmatis. Budaya industri kapitalisme yang disuguhkan kapitalisme televisi melahirkan komsumerisme-hedonisme telah menciptakan massa diam (the silent mayority). Di mana ketika massa sudah terbuai dalam budaya konsumerisme-hedonisme, maka masa hanya akan berdimensi tunggal (Meminjam istilah Adorno), dimensi yang lainya_dimensi kritis/perlawanan_ menjadi hilang. Segala jenis hiburan serta kesenangan-kesenangan yang ditawarkan oleh televisi, menyebabkan tumpulnya satu generasi idealis. Mereka telah terbuai dalam kehidupan yang menyenangkan dan cenderung pragmatis.

Hal ini menjadi nyanyian“nina bobo” bagi para oposan (baca : kekritisan). Televisi menjadi alat kekuasaan di mana, “status quo”

dipertahankan. Terjaminya konsumsi produk/jasa para kapitalis, yang nota bene juga menjadi bagian kepemilikan saham di media televisi, maupun juga bentuk hegemoni baru dari penguasa dalam membentuk komunitas masyarakat “baru” yang bersifat konsumtif, hedonis, dan barangkali apolitis, yang sangat mungkin diposisikan untuk tidak mengganggu kepentingan ekonomi politik penguasa. Di sisi lainnya televisi menjadi alat ampuh untuk menundukan bibit-bibit perlawanan terhadap kekuasaan.

Herbert Marcuse dalam tulisanya “A Criticque of Pure Tolerance”

(14)

dan toleran. Akan tetapi, menurut Marcuse, di bawah hukum yang keseluruhan represif, kebebasan dapat dibuat menjadi alat dominasi yang kuat.11 Kontrol

teknologi seperti televisi yang menyugukan kebebasan berekspresi ternyata berbalik menjadi alat dominasi, di mana kekuatan perlawanan pada akhirnya kehilangan sifatnya, malah kemudian membela status quo.

Televisi melalui bentuk kehadiranya sendiri, merupakan kontrol sosial yang ampuh. Situasi sebagaimana ia hadir lebih efisien dari seorang intel pemerintah dalam mengawasi dan mengontrol kehidupan pribadi orang.12

Televisi memiliki kekuasaan mengontrol seseorang untuk memastikan jadwal kegiatan mereka sehari-hari. Ia mengendalikan manusia lewat penjadwalan program-program yang dibuat. Inilah yang membuat bagaimana seseorang bisa betah bertahan berjam-jam di depan televisi. Hal tersebut bisa mematikan simpul sikap kritis seseorang, membuat malas, sehingga seseorang cenderung asyik dengan kesenangannya sendiri.

Sikap kesenangan yang disuguhkan televisi ini membuat seseorang tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, atau lupa untuk melakukan hal-hal yang lebih penting dari sekedar melihat tontonan televisi. Konsumerisme-hedonisme yang disosialisasikan oleh televisi, yang dijejalkan setiap hari, di mana pemenuhan hasrat menjadi utama sehingga seorang individu akan lupa dengan saudara-saudaranya yang kekurangan. Sikap individulistik yang kian marak pada akhirnya mematikan sikap sosial kita, sikap di mana kita dibuat untuk tidak peduli dengan yang lain, yang berarti di sini kita turut melanggengkan kemiskinan (status quo).

Sikap konsumerisme-hedonisme yang dijejalkan televisi ini yang kemudian membuat suatu generasi menjadi pragmatis. Maraknya perilaku korupsi ini juga disinyalir karena tuntutan gaya hidup mewah tersebut. Gaya hidup yang lebih mengutamakan kesenangan tersebut membuat orang akan melakukan apa saja untuk memenuhi hasrat tentang kesenangnya, antara lain 11 Loc. Cit .F Budi Hardiman. Hlm 76.

(15)

dengan cara korupsi. Pada kasus-kasus korupsi, bisa kita lihat betapa para pelaku kesemuanya adalah orang-orang yang berselera tinggi, orang-orang yang mendewakan “wellness”. Generasi muda juga tak luput dari perilaku pragmatis ini, bagaimana gaya hidup konsumerisme-hedonisme yang disuguhkan televisi pada akhirnya mempengaruhi psikis mereka untuk suatu tuntutan bergaya hidup. Sehingga hal ini membuat dimensi kekritisan tentang kenyataan sosial (ketidakadilan, kemiskinan, dominasi, keserakahan) menjadi tumpul, serta individualisme yang semakin tinggi. Sehingga televisi hanya meyuguhkan nyanyian “nina bobo” bagi para oposan, untuk ikut larut dalam dunia penuh bujuk rayu. Serangkaian tontonan yang disuguhkan oleh media massa kapitalisme menurut Baulldirad telah menjadikan individu-individu sebagai massa yang diam, massa yang tertunduk pada hasrat kesenangan.

Pada kasus politik-kekuasaan bisa kita lihat, bagaimana ketika televisi dimiliki oleh politikus. Ambilah contoh TV ONE, salah satu televisi swasta di Negara kita yang dimiliki oleh seorang politikus bernama Abu Rizal Bakrie. Nampak bahwa persinggungan antara media dan politik telah menghasilkan kontrol kekuasaan pada masyarakat. Maka televisi semacam ini sebagai media massa ia tidak akan bisa menjadi netral. Ia akan berkembang menjadi alat dominasi kekuasaan, yang mengontrol dan mengendalikan massa kritis untuk dinyanyikan “nina bobo” agar mereka terdiam dan terlelap sehingga tidak mengganggu jalannya kekuasaan. Bibit-bibit pengganggu itu semisal kelompok korban Lapindo akan di tundukkan melalui pemberitaan. Masih segar dalam ingatan kita tentang peristiwa seorang korban Lapindo bernama Hari Suwandi, yang malakukan aksi jalan kaki Sidorajo-Surabaya untuk menuntut keadilan. Akan tetapi sungguh mengejutkan beberapa hari kemudian setelah sampai di Jakarta, justru ia berbalik mengingkari tuntutanya dan meminta maaf atas perbuatanya kepada Abu Rizal Bakrie.

(16)

tersebut. Pemberitaan tentang Lumpur lapindo mem-frame bahwa masalah itu sudah diselesaikan dengan baik. Satu catatan bahwa pemberitaan tentang lumpur lapindo oleh TV One tidak pernah menyebut “Lumpur Lapindo” tetapi “Lumpur Sidoarjo”. Hal ini memberikan kesan bahwa bencana tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan PT. Minarak Lapindo Jaya. Di sini berarti televisi telah menjadi “nyanyian nina bobo” untuk oposan, yang pada akhirnya tetap memertahankan status quo.

3. Dewa Pencipta Realitas Sosial

Televisi disyarati oleh muatan-muatan makna ideologis tersembunyi, yang menurut Theodore Adorno muncul semata-mata melalui cara suatu acara atau iklan memandang manusia. Pemirsa dalam hal ini, diundang untuk melihat satu karakter dengan cara yang sama ia melihat dirinya, tanpa menyadari bahwa sebenarnya telah terjadi indoktrinasi.13 Televisi dengan visualisinya

teknologi garfis yang sempurna, telah menjadikan suatu realitas semu seakan-akan menjadi nyata. Hal ini yang disebut oleh Bauldillard sebagai hiperreality. Penonton dibuat percaya bahwa apa yang ditampilkan di televisi merupakan realita sosial yang ada dalam kehidupan mereka.

Realitas sosial yang dimaksud adalah sebuah konstruksi pengetahuan dan/atau wacana dalam dunia kognitif yang hanya hidup dalam pikiran individu dan simbol-simbol masyarakat, namun sebenarnya tidak ditemukan dalam dunia nyata. Refeleksi realitas sosial itu baru terlihat saat individu menidentifikasikan dirinya dengan lingkungan sosialnya, dalam bentuk-bentuk yang lebih kongkret terlihat di saat mereka menentukan pilihan-pilihan mereka terhadap sebuah produk untuk dicapai. Koridor inilah yang dimaksud dengan realitas yang dicitrakan media, artinya realitas citra itu hanya ada dalam media14.

13 Idi Subandy Ibrahim.1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Jalasutra : Yogjakarta. Hlm 180.

(17)

Kita bisa lihat gejala mimesis (peniruan) yang dilakukan anak muda terhadap para akris yang tampil ditelevisi. Ambillah contoh tentang sebuah film drama anak muda yang menyuguhkan cerita cinta, kemewahan, kesenangan yang diperankan oleh aktris-aktrisnya. Diperankan bahwa seorang mahasiswa atau bahkan anak SMA pergi ke kampus dengan mobil mewah. Di kampus hanya menceritakan seputar cinta remaja, shoping mall, serta gaya hidup lainya yang jauh dari kenyataan sosial anak muda di masyarakat kita. Hal inilah yang kemudian mengkontruksi suatu realita sosial tentang anak muda. Seakan televisi muncul sebagai Dewa pencerahan, yang berbicara dan menyampaikan suatu sabda kepada penontonya bahwa ”Hai anak muda beginilah seharusnya kalian hidup sehari-hari, beginilah kehidupan yang ideal bagi kalian”.Atau mungkin iklan-iklan yang ditayangkan berulang-ulang, menyuguhkan berbagai produk dengan memakai aktris yang tampan atau pun cantik. Iklan susu L-Men

(18)

Gambar 2. Iklan di televisi mengkonstruksikan tentang realitas sosial tubuh laki-laki yang ideal

Pada akhirnya dengan tayangan-tayangan yang disuguhkan oleh televisi tersebut, secara bersamaan ia menjadi Dewa pencipta konstruksi realita sosial yang secara nyata jauh dari kehidupan masyarakat. Relaitas semu tersebut pada akhirnya membuat masyarakat terbawa arus untuk bergaya hidup seperti yang digambarkan oleh televisi. Suatu realita semu yang dibumbuhi dengan kesenangan-kesenangan, sehingga akan diiukuti serta merta oleh penotonnya. Selain perilaku remaja, perilaku anak-pun bisa dibentuk malaui televisi ini. Televisi yang menyuguhkan berbagai film kartun atau film-film anak-anak yang terkadang syarat akan kekerasan juga menjadikan suatu yang negatif terhadap perkembangan anak. Ketika film kartun yang popular seperti Naruto ditayangkan, ia akan menarik penggemarnya tersendiri. Si-anak akan melakukan peniruan akan sifat-sifat kekerasan yang diperagakan dalam film laga tersebut. Jika si-anak dibiarkan melihat tontonan televisi tanpa bimbingan, tentu itu akan berbahaya bagi perkembangan perilaku anak-anak.

Televisi telah menjadi berhala yang disembah oleh masyarakat tontonan. Berbagai acara yang penuh akan pesona yang memabukkan hasrat, kesenangan, kecabulan hingga kekerasan disugguhkan oleh televisi. Berbagai acara reality show, acara musik, olahraga, film-film menjadi terik tersendiri bagi perusahaan pertelevisian untuk menjaring pemirsa. Masyarakat disuguhi akan realita semu yang terus merengsek ke dalam sendi-sendi kehidupan. Tontonan gossip yang mengumbar aib para artis, tontonan relity show seperti

Silet yang menyuguhkan realita secara berlebihan, acara musik seperti Dhasyat

(19)

Televisi telah memanipulasi suatu realita sosial dengan mengeksploitasi moment yang sedang terjadi. Kemudian menyakinkan penonton bahwa apa yang dilihatnya merupakan suatu kenyataan sosial yang harus diikuti. Seperti yang dikatakan Schlesinger, Berita televisi bukanlah cerminan relitas, melainkan meletakkan realitas secara bersama-sama. Maksudnya berita bukan merupakan “jendela dunia” yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian yang membentuk realitas. Pemilihan berbagai hal yang akan dimasukan ke dalam berita dan cara-cara khusus di mana suatu berita telah dipilih, maka cerita yang hasil konstruksi itu tidak pernah netral lagi. Berita itu merupakan versi tertentu dari suatu peristiwa15. Dalam dunia

pers, dikenal istilah “Bad News and Good News”. Good News di sini berarti adalah pemberitaan yang cenderung baik atau dibaik-baikan, dengan menimbulkan kesan kebaikan dari sesuatu yang diberitakan. Kemudian Bad News berarti kebalikanya, yaitu berita yang cenderung dijelek-jelekan, atau menimbulkan kesan kejelekan pada sesuatu yang diberitakan.

Istilah ini sering dipakai oleh para wartawan untuk mencari berita atau memberitakan sesuatu. Tuntunan dalam mencari berita adalah “Bad News Is Good News”, sehingga pemberitaan lebih condong kepada pemberian bumbu-bumbu tentang kejelekan. Berita tentang kriminal misalnya, maka akan memberikan kesan atau citraan yang sejelek-jeleknya. Meskipun mungkin objek yang menjadi pemberitaan tidak sejelek yang digambarkan, namun karena “Bad news is Good news” menjadi daya tarik berita, maka wartawan akan cenderung memperparah kesan jelek yang melekat pada perilaku kriminal tersebut. Seorang John Key yang tertangkap dan tertuduh dalang pembunuhan, maka yang disorot berita adalah kesan jeleknya. Untuk menambah kesan menyakinkan kepada pemirsa, maka televisi membentuk suatu realita sosial dengan gambar visual yang meyakinkan dengan diiringi bumbu-bumbu dramatisasi.

Berbeda halnya dengan prinsip “Bad News Is Good News”, televisi juga membentuk realita sosial secara “Good News”. Seperti iklan, dengan

(20)

segala cara maka televisi akan menimbulkan kesan yang bagus-bagus menurut pesanan pemasan iklan. Televisi akan menayangkan sebaik mungkin citra baik dari iklan tersebut. Karena iklan merupakan sumber penghasilan dari televisi tersebut. Dari kedua perbandingan tersebut, terlihat jelas bahwa televisi menampilkan suatu realitas sosial yang telah tersetting, termanipulasi untuk suatu kepentingan tertentu. Sehingga realitas sosial yang ditampilkan oleh televisi tidak bisa netral. Televisi berusaha menggambarkan suatu realita yang menyakinkan kepada khalayak bahwa hal tersebut merupakan suatu realitas sosial yang nyata.

Penutup

Masyarakat modern dengan pengagungan atas rasionalitasnya, telah membawanya pada peradapan yang mutahir. Hal itu ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Berbagai teknologi dikembangkan untuk menundukkan alam, mengeksploitasi untuk kepentingan manusia. Dengan kecanggihanya teknologi masyarakat modern berharap pada suatu kesejarteraan hidup. Teknologi informasi berkembang secara pesat di abad ini, mulai dari ditemukanya komputer, televisi, radio, internet dan lainya yang merupakan tingkat kemutahiran manusia dalam teknologi informasi.

(21)

yang disebut “kapitalisme”. Masyarakat modern dengan kuasa kapitalisme telah mengembangkan apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah hubungan produksi kapitalis.

Televisi sebagai teknologi informasi telah mengendalikan masyarakat modern secara ekomi-politik. Televisi memiliki wajah ganda, di satu sisi ia menawarkan tentang kesejarteraan, di sisi yang lain justru menjerumuskan masyarakat kepada mindset dari media televisi dan kepentingan ekonomi politiknya yang hegemonik. Televisi berkembang menjadi semacam kekuasaan Fasisme, yaitu faham yang menawarkan insting primitive , penolakan akal sehat dan pesona akan tanda-tanda kemegahan (konsumerisme-hedonisme). Dengan iklan ia mengendalikan manusia melalui eksploitasi dan manipulasi hasrat kesenangan. Kemudian televisi juga telah menjadi nyanyian “nina bobo” bagi bibit-bibit oposisi. Manusia yang seharusnya kritis terhadap lingkungan kehidupanya, menjadi tumpul karena gaya hidup yang ditawarkan televisi. Kemudian televisi menjadi semacam “Dewa” yang menciptakan realitas sosial pada masyarakat modern. Realitas sosial semu yang ditampilkan televisi, yang tidak sesuai dengan realitas nyata, menjadi masyarakat modern irrasional dalam rasionalitasannya.

Daftar Pustaka

(22)

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi ; Teori Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana : Jakarta.

Budi H, Setyo. 2004. Industri Televisi Swasta Dalam Prespektif Ekonomi Politik. FISIP Universitas Atmajaya : Yogjakarta.

Hardiman, F. Budi. 2008. Kritik Ideologi: Menyingap Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Hebermas . Kanisius : Yogjakarta

Ibrahim, Idi Subandy.1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Jalasutra : Yogjakarta.

Magniz-Suseno, Franz. 2008: Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan. Kanisius : Yogyakarta.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Matahari : Bandung.

Gambar

Gambar 1. Iklan yang ditayangkan berulang-ulang, dengan model-model produk terbaru,

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka putusan Mahkamah Syar'iyah Simpang Tiga Redelong tersebut tidak dapat dipertahankan

tebang memuat kayu sampai kembali ke Tempat Pengumpulan Kayu (TPn) dan membongkar kayu di TPn tersebut. Setiap lintasan forwarder diberi tanda dengan telah melintas 1 kali , 2

Dengan melihat hal tersebut, dimana penggunaan mobile social network telah menyentuh hampir semua individu, maka penggunaannya dapat digunakan sebagai sistem

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariephinus), merupakan ikan jenis konsumsi yang memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan, karena mudah untuk dibudidayakan dan tidak

Frugal architecture merupakan sebuah konsep perancangan guna menghemat biaya pembangunan dan memanfaatkan bahan bangunan yang ada di sekitar demi keberlangsungan

 Catatan , terdiri dari elemen data yang berhubungan dengan suatu objek atau kegiatan tertentu, misalnya catatan yang menjelaskan tiap jenis persediaan dan tiap penjualan.  File

Berdasarkan data yang telah terkumpul dari hasil identifikasi masalah, konselor menetapkan masalah utama yang dihadapi konseli yaitu pada sikap yang dimiliki oleh

Selain itu, terdapat juga tiga jalur lalu lintas perairan yang cukup ramai, yaitu Selat Gibraltar di antara Maroko dan Spanyol, Terusan Suez di Mesir, dan Terusan Panama