• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI - Hubungan Antara Persepsi Terhadap Kualitas Dengan Post Purchase Dissonance Pada Pembelian Online

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI - Hubungan Antara Persepsi Terhadap Kualitas Dengan Post Purchase Dissonance Pada Pembelian Online"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. POST PURCHASE DISSONANCE

1. Pengertian Post Purchase Dissonance

(2)

Gambar 1: Post purchase dissonance: kepuasan kepada perhatian kepada pembelian ulang

Keraguan atau kecemasan ini terjadi karena konsumen berada dalam suatu kondisi yang mengharuskannya membuat komitmen yang relatif permanen terhadap sebuah pilihan alternatif dari pilihan alternatif lainnya yang tidak dipilih. Keputusan yang membuat seseorang memilih kelebihan dan kekurangan dari produk ataupun alternatif dari produk tersebut biasanya menimbulkan respon negatif sewaktu keputusan untuk melakukan pembelian diambil. Emosi negatif meningkatkan kemungkinan seorang konsumen untuk menghindari atau menunda keputusannya (Hawkins, Mothersbaugh, dan Best, 2007).

(3)

karakteristik positif dan negatif. Setelah keputusan dan pembelian dialkukan, konsumen berusaha mengurangi perasaan disonansi yang mucul dengan :

1. Meningkatkan ketertarikan terhadap produk yang dibeli; 2. Mengurangi rasa suka terhadap alternatif yang ditolak;

3. Mengurangi tingkat kepentingan terhadap keputusan membeli; serta 4. Mengembalikan produk ketika belum digunakan.

Karenanya post purchase dissonance disimpulkan sebagai keraguan konsumen akan produk yang dibelinya karena keputusan membeli produk tersebut sulit dan relatif permanen.

2. Aspek-aspek Post purchase Dissonance

Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000) mengemukakan bahwa

dissonance melibatkan aspek kognitif dan emosi. Dimensi tersebut adalah: 1. Emosi

Ketidaknyamanan psikologis karena keputusan membeli suatu produk. Keadaan psikologis yang tidak nyaman karena keputusan membeli yang dialami individu apabila produk itu dirasa penting untuk dirinya maka individu tersebut dapat dikatakan mengalami post purchase dissonance.

2. Kebijaksanaan membeli

(4)

mengemukakan bahwa walaupun individu telah membuat keputusan, individu sering dihadapkan dengan ketidakpastian akan pembelian produknya. Karenanya, apabila keputusan sulit yang diambil membawa atribut positif pada alternatif yang ditolak dan alternatif yang dipilih memiliki atribut negatif, maka akan timbul ketidakkonsistenan logika antara elemen kognitif.

3. Perhatian pada transaksi

Kesadaran individu setelah melakukan pembelian bahwa individu dipengaruhi kepercayaannya oleh staf sales. Bell dalam Sweeney et al (2000) mengidentifikasi bahwa persuasi yang diterima konsumen atau keadaan dimana mereka dipengaruhi oleh sales merupakan pengaruh besar yang menyebabkan individu mengalami dissonance.

Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) mengemukakan bahwa tiga syarat mengapa dissonance terjadi:

1. Keputusan pemecahan masalah yang penting 2. Keputusan membeli tidak dapat dibatalkan 3. Keputusan dilakukan sendiri

4. Produk tersebut tidak dapat dikembalikan lagi apabila telah dibeli.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Post purchase Dissonance

Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007) menyebutkan faktor yang dapat mempengaruhi post purchase dissonance, yaitu:

(5)

Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang mengalami kebingungan (dissonance). Hal ini dapat terjadi pada saat membeli suatu produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dimana masing-masing alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Dengan demikian keputusan untuk mengubah pembelian terhadap suatu produk seperti di atas tidak akan mengarah kepada post purchase dissonance. Keputusan yang telah dibuat tidak mungkin lagi diubah oleh konsumen tersebut.

2. The importance of decision to the consumer

Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar kemungkinannya mengalami disonansi. Keputusan seperti ini akan membuat seorang konsumen memikirkan secara matang produk yang hendak dibeli sebelum melakukan pembelian. Oleh karena itu keputusan yang salah dalam membeli suatu produk akan mengarah kepada post purchase dissonance yang akan dialami oleh konsumen tersebut.

3. The difficulty of choosing among alternatives

Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seorang konsumen mengalami disonansi. Hal ini dikarenakan alternatif yang ada tidak menawarkan kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak ada pada produk yang hendak dipilih. Atau dengn kata lain alternatif yang ada tidak dapat menutupi kekurangan yang ada pada produk yang hendak dibeli.

(6)

Beberapa individu memiliki tingkatan atau kecenderungan yang berbeda antara satu dengan yang lain dalam mengalami rasa cemas. Kecemasan ini dapat disebabkan oleh salah trait kepribadian yang dimiliki oleh seorang konsumen yang merupakan bawaan dari lahir (nature) ataupun dikarenakan pengaruh lingkungan (nurture). Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki oleh seorang individu maka semakin tinggi kemungkinannya mengalami post purchase dissonance. Dari sejumlah faktor yang dikemukakan (Hawkins, Mothersbaugh & Best 2007; Halloway, dalam Loudon & Bitta, 1993) maka pada dasarnya faktor penyebab keraguan pasca pembelian (post purchase dissonance) dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari diri individu. Eksternal adalah kondisi diluar individu, dalam hal ini misalnya adanya sejumlah pilihan dan alternatif produk, bujukan, dan ketersediaan informasi. Sedangkan faktor internal adalah kondisi kepribadian individu yang menyebabkan mereka mudah merasa cemas, sulit untuk memiliki komitmen pada produk yang telah dipilihnya, keberanian mengambil resiko dan tingkat pengetahuan yang dimiliki.

4. Kondisi Yang Memunculkan Post Purchase Dissonance

(7)

1. Jika batas ambang toleransi pada disonansi telah lewat, hal ini terjadi pada konsumen yang sering memiliki pengalaman-pengalaman yang bersifat tidak konsisten dalam kehidupannya.

2. Keputusan yang diambil tidak bisa diubah atau dibatalkan. Sering kali konsumen berharap keputusan yang telah ia ambil dapat dibatalkan dan ia bisa kembali mendapatkan uangnya. Hal ini terjadi pada pembelian dengan alokasi uang yang besar.

3. Kurang memperhatikan alternatif merek lain pada kategori produk yang sama, padahal semuanya memiliki hal-hal unik yang perlu untuk dipertimbangkan.

4. Alternatif pada merk lain untuk produk yang sama sangat banyak dan semuanya diamati dan dipelajari oleh konsumen. Semakin banyak informasi yang dimiliki konsumen maka semakin sulit untuk memutuskan produk mana yang akan dibeli.

5. Semua alternatif merek untuk produk yang sama memiliki kualitas yang persis sama pula.

6. Komitmen pada keputusan yang diambil disebabkan oleh kondisi psikologis. Misalnya pada pembelian perabotan untuk ruang tamu yang dianggap penting karena merefleksikan nilai rasa dekoratif, filosofi yang dianut dan gaya hidup konsumen. Hal ini akan semakin penting jika keterlibatan ego juga terjadi pada saat pemilihan.

(8)

B.PERSEPSI TERHADAP KUALITAS

1. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan prroses pengorganisasian dan menginterpretasi informasi yang didapat dari dunia luar (Lahey, 2007). Atkinson (2000) mendefinisikan persepsi sebagai proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukan individu baik positif maupun negatif terhadap suatu benda, manusia, atau kejadian. Persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu menyeleksi, mengorganisir, dan menginterpretasikan stimulus ke dalam gambaran yang berarti dan koheren. Stimulus merupakan banyak unit yang masuk melalui panca indra misalnya produk, nama merek, iklan dan produk (Schiffman & Kanuk, 2007). Hoyer (2010) mendefinisikan persepsi merupakan sebuah proses dimana stimulus yang datang mengaktifkan reseptor sensori yaitu mata, telinga, perasa, kulit dan lainnya.

Berdasarkan uraian diatas maka persepsi adalah proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukan individu baik positif maupun negatif terhadap suatu objek dan stimulus ini bisa saja produk, nama, merek, iklan dan produk.

Proses persepsi dimulai dengan adanya stimuus yang ada dilingkungan kemudian panca indra kita menyeleksi stimulus yang ada tersebut dan membuat organisasi persepsi dan interpretasi

2. Pengertian Kualitas

(9)

Keadaan dinamis berarti bahwa kualitas dapat dan sering berubah seiring berjalannya waktu dan lingkungan yang berubah (Goetsch & Davis, 2006). Garvin dalam Foster (2010) mengemukakan lima defenisi dari kualitas yaitu transenden, berdasarkan produk, berdasarkan pemakai, berdasarkan perusahaan yang memproduksi, berdasarkan nilai (value). Transenden: Kualitas adalah sesuatu yang secara intuisi dimengerti tetapi sulit untuk dikomunikasikan. Berdasarkan produk: kualitas ditemukan didalam komponen atau atribut dari suatu produk. Berdasarkan pemakai: jika konsumen puas maka produk tersebut memiliki kualitas yang bagus. berdasarkan perusahaan yang memproduksi:jika produk sesuai dengan spesifikasi desain maka produk tersebut memliki kualitas yang bagus. Berdasarkan nilai: jika produk itu dipersepsikan memiliki nilai yang bagus sesuai dengan harganya, produk tersebut memiliki kualitas yang baik.

Berdasarkan uraian diatas maka kualitas merupakan suatu penilaian tentang suatu produk yang dilihat berdasarkan pemakai, perusahaan yang memproduksi dan berdasarkan nilai.

3. Pengertian Persepsi terhadap Kualitas

(10)

Garvin dalam Foster (2010), persepsi terhadap kualitas merupakan dimensi dari kualitas yang didasarkan pada opini pelanggan. Pelanggan menginspirasikan produk dan pelayanan dengan pemahaman mereka tentang bagusnya produk tersebut. Sehingga yang mempengaruhi persepsi tentang kualitas adalah seperti

brand image, pengetahuan akan merek, jumlah iklan, dan word of mouth.

Persepsi terhadap kualitas juga menyediakan motivasi ataupun inspirasi untuk pekerja untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, bertahan dalam memberikan pelayanan dan produk yang terbaik (Aaker, 1991)

Berdasarkan uraian diatas persepsi terhadap kualitas merupakan persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang berkaitan dengan apa yang diharapkan konsumen

4. Dimensi Kualitas

Garvin dalam Foster (2010) menyebutkan bahwa kualitas memiliki dimensi

a. Performance

Merupakan kefisienan dimana produk meraih tujuan yang dimaksudkan. Umumnya, performa yang bagus menggambarkan kualitas yang bagus pula.

b. Features

(11)

c. Conformance

Merupakan keadaan dimana tidak ada kecacatan pada produk dan kesesuaian produk dengan standar kualifikasi

d. Reliability

Kecenderungan produk untuk berkerja secara konsisten pada masa hidupnya. Sebuah produk dikatakan reliable jika kesempatan produk tersebut untuk gagal pada masa hidupnya sangat rendah.

e. Durability

Merupakan pengukuran kehidupan produk misalnya kebanayakan konsumen menggunakan sebuah produk sebelum kadaluarsanya atau produk tersebut harus digantikan

f. Serviceability

Kemudahan untuk memperbaiki atau mendapatkan layananan terkait suatu produk. Sebuah produk sangat serviceable jika produk tersebut dapat diperbaiki dengan mudah dan murah.

g. Aesthetics

Karakteristik sensori subjektif seperti rasa (makanan), perasaan, bunyi, ataupun bau. Dalam aesthetics, kita mengukur kualitas pada tingkatan dimana atribut produk sesuai dengan kesukaannya konsumen.

C. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KUALITAS DENGAN POST PURCHASE DISSONANCE

(12)

Penggunaan internet yang meningkat diakibatkan oleh keuntungan–keuntungan yang didapatkan seperti kemudahan mengakses produk dan pelayanan 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan 365 setahun dan banyak keuntungan lainnya (Peter & Olsen, 2010). Disamping keuntungan tersebut, pembelian secara online

memiliki beberapa resiko seperti perhatian terhadap keamanan kartu kredit, produk tidak bisa disentuh, ongkos kirim terlalu mahal, dan kebanyakan konsumen mendengarkan pengalaman buruk dari konsumen lainnya dalam membeli online (Hawkins et al, 2007).

Resiko dalam pembelian ini membuat konsumen tidak merasa nyaman dengan apa yang mereka peroleh, konsumsi ataupun keputusan yang mereka ambil. Ketidaknyamanan ini akan yang disebut dengan Post purchase dissonance

(Hawkins et al., 2007).

Post purchase dissonance dapat mempengaruhi perilaku konsumen karena menciptakan perasaan cemas yang ingin dikurangi oleh konsumen, terutama apabila motivasi, kemampuan, dan kesempatan tinggi (Hoyer, 2010). Salah satu cara untuk mengurangi dissonance yang dirasakan konsumen adalah dengan menambahkan kognisi yang konsisten. Respon kognitif untuk mengatasi ketidaknyamanan ini dilakukan dengan keterlibatan konsumen pada produk tersebut (Mittal, 1989).

(13)

penggunaan produk tersebut di waktu lampau dan karakteristik dari produk tersebut (Peter, 2010).

Keterlibatan akan suatu produk dapat terjadi karena karakteristik produk tersebut (Peter, 2010). Karakteristik suatu produk merupakan tampilan yang melekat yang ditawarkan suatu produk, baik aktual ataupun yang dipersepsikan konsumen. Karakteristik produk dapat berbentuk gambaran produk misalnya warna, merek, bentuk (Czinkota & Ronkainen, 2007).

Semakin baik karakteristik produk dipersepsikan oleh konsumen maka semakin tinggi juga keterlibatan konsumen terhadap produk. Karakteristik produk ini muncul dari persepsi kualitas dari suatu produk. Persepsi kualitas adalah hasil dari pengujian subjektif pembeli pada kualitas dari sebuah produk. Persepsi terhadap kualitas menurut Garvin dalam Foster (2010) merupakan dimensi dari kualitas yang didasarkan pada opini konsumen.

(14)

Penjualan produk baju menurut Hawkins et al (2007) mengalami peningkatan yang sangat pesat dibandingkan kategori lainnya pada Internet. Hal ini menarik untuk diteliti karena penjualan produk baju memiliki kelemahan seperti produk tidak bisa disentuh yang menjadi masalah utama. Di luar negri sendiri hal ini diatasi dengan penggunaan fitur zoom untuk memungkinkan konsumen melihat produk dengan lebih jelas. Tetapi hal ini belum terjadi di Indonesia. Di Indonesia sendiri, dari berbagai situs penjualan baju online yang peneliti lihat, kebanyakan penjual onlinenya memberitahukan material dari produk tersebut dalam spesifikasi produknya. Walaupun spesifikasi produknya telah diberitahukan, sering produk yang diikirimkan berbeda materialnya dengan yang ada di foto seperti yang ditulis dalam Kompasiana.com. Selain material yang berbeda warna juga tidak sama dengan apa yang terdapat di foto.

(15)

D. HIPOTESA

Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Ada hubungan antara persepsi terhadap kualitas dengan post

purchase dissonance pada individu yang melakukan pembelian secara online,

dimana bila persepsi terhadap kualitas suatu produk positif maka post

Gambar

Gambar 1: Post purchase dissonance: kepuasan kepada perhatian kepada pembelian ulang

Referensi

Dokumen terkait

Dalam situasi semacam ini doa ini memohon segala macam 'hasanah' dari karunia Tuhan, termasuk perbuatan kita supaya menjadi hal yang menyebabkan kita mendapatkan 'hasanah' di

Korelasi antara hepcidin dan sTfR pada penelitian ini dari subjek 28 penderita β -thalassemia trait dapat dilihat pada grafik 4.1 menunjukkankoefisien korelasi positif kuat

Dalam mendesain judul film Kiko : Man`s Tale, penulis menggunakan font Charlemagne Std pada tulisan “Kiko” selain memiliki keterbacaan yang baik, sudut-sudut

Manfaat yang diharapkan dalam karya pertunjukan teater yang berpijak dari fenomena kecantikan ialah dapat mengedukasi penonton yang menyaksikan pertunjukan tersebut tentang

pelayanan kebidanan yaitu sebanyak 24 responden (77,4%), hampir seluruh responden Non BPJS puas terhadap pelayanan kebidanan yaitu sebanyak 37 responden (94,9%) dari

Dari uraian kajian kepustakaan diatas penulis dapat memberikan simpulan bahwa masih belum ada penelitian yang mengkaji tentang Studi Komparasi Konsep Pendidikan

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu TiO 2 lebih banyak dalam mendegradasi Rhodamin B karena sifatnya yang sebagai fotokatalisis yang mampu menyerap sinar UV