BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pada saat ini kejahatan semakin beragam dan terus berkembang di dalam
kehidupan masyarakat. Bukan saja pada masyarakat yang sudah maju, namun juga
terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang. Kejahatan timbul sejak
manusia ada dan akan selalu ada selama manusia hidup dan mendiami bumi ini.
Masalah kejahatan bukan hanya menyangkut masalah pelanggaran norma hukum
saja, tetapi juga melanggar norma-norma yang lain, misalnya norma agama,
norma susila, dan lain-lain. Di dalam realita kehidupan manusia kejahatan
merupakan suatu permasalahan yang tidak akan pernah ada habisnya. Dengan
demikian bahwa diperlukannya suatu eksistensi hukum ditengah-tengah
masyarakat yang artinya hukum mempunyai keterkaitan yang erat dengan
kehidupan masyarakat. Hukum sering disebut sebagai gejala sosial, dimana ada
masyarakat disitu ada hukum. keberadaan hukum merupakan suatu kebutuhan
masyarakat, baik kebutuhan masyarakat secara individual maupun dalam
berinteraksi dengan orang lain dalam pergaulannya. Hukum bahkan dibutuhkan
dalam pergaulan yang sederhana sampai pergaulan yang luas antar bangsa, karena
hukumlah yang menjadi landasan aturan permainan dalam tata kehidupan.1
Adanya perkembangan budaya dan iptek yang sangat pesat berpengaruh
terhadap perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara yang
1
menjadikannya semakin kompleks. Perilaku yang demikian apabila dipandang
dari segi hukum tentunya ada perilaku yang sesuai dengan norma dan adapula
yang tidak sesuai dengan norma. Perilaku yang sesuai dengan norma tentunya
tidak ada masalah, akan tetapi terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma
yang biasanya menimbulkan permasalahan dibidang hukum atau penyelewengan
terhadap norma yang telah disepakati. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma
yang berlaku, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan
bahkan suatu kejahatan. Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala
sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat bahkan negara.
Kenyataan telah membuktikan bahwa kejahatan dan pelanggaran hanya dapat
dicegah dan dikurangi, tetapi sulit untuk diberantas secara tuntas. Antisipasi atas
kejahatan dan pelanggaran tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen
hukum pidana secara efektif dan tepat melalui penegakan hukum (law
enforcement).2
Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi pada lingkungan
masyarakat adalah pemalsuan. Kejahatan pemalsuan tidak terbatas pada kalangan
masyarakat tertentu saja, melainkan setiap ada kesempatan dan tersedia objeknya
Kejahatan konvensional seperti mencuri, menipu dan memalsu kualitasnya
terus meningkat, karena modus operandinya terselubung cangih dan kerap kali
memanfaatkan atau menyalahgunakan alat teknologi canggih seperti dalam
perbuatan korupsi, pemalsuan dokumen kendaraan bermotor, pembobolan bank
melalui situs komputer, kejahatan media, dan lain-lain yang terselubung.
2
maka kejahatan pemalsuan itu dapat terjadi. Delik pemalsuan merupakan bagian
dari kejahatan terhadap harta benda. Kejahatan pemalsuan yang paling sering
terjadi di dalam masyarakat adalah pemalsuan surat. Kejahatan mengenai
pemalsuan atau disingkat dengan kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan
yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas
sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya
padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.3 Juga dalam
pemalsuan surat ini sangat mengemukakan terancamnya kepentingan masyarakat
(terutama yang sudah melek huruf) berupa kepercayaan terhadap surat-surat yang
mempunyai akibat hukum.4 Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenaran
adalah perbuatan yang patut di pidana, yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai suatu kejahatan. Memberikan atau menempatkan sifat terlarangnya bagi
perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap kepercayaan itu dalam
undang-undang adalah berupa suatu perlindungan hukum terhadap kepercayaan
atas kebenarannya dari objek-objek itu. Penggolongan kejahatan pemalsuan
didasarkan atas objek dari pemalsuaan, yang jika dirincikan lebih lanjut ada 6
(enam) objek kejahatan, yaitu (1) keterangan di atas sumpah; (2) mata uang; (3)
uang kertas; (4) materai; (5) merek; dan (6) surat.5
Kejahatan pemalsuan dengan objek pemalsuan surat yang tidak kalah
banyak ditemukan di lingkungan masyarakat adalah kejahatan pemalsuan surat
kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor merupakan sarana transportasi yang
3
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hlm. 3.
4
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Cetakan Pertama, Jakarta, 1983. hlm. 5.
5Ibid
sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mendukung kegiatan sehari-hari dalam
memenuhi kebutuhannya. Transportasi adalah pergerakan manusia, barang dan
informasi dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman, nyaman, cepat, murah
dan sesuai dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.6
Transportasi yang pada intinya berupa pergerakan manusia dan barang
sebenarnya hanyalah merupakan kebutuhan turunan, sedangkan kebutuhan dasar
manusia adalah pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia berupa barang
dan jasa.7 Dalam usaha mewujudkan pemenuhan tersebut, seringkali terjadi
perbuatan-perbuatan yang bersifat “melawan hukum” sehingga menimbulkan
perselisihan di antara anggota masyarakat yang akhirnya akan menimbulkan
keresahan atau ketidaktentraman dalam kehidupan masyarakat. Surat yang
biasanya dipalsukan adalah seperti Surat Izin Mengemudi (yang selanjutnya
disingkat dengan SIM). Yang dimana menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan
jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.8
6
Budiarto dan Mahmudah, Rekayasa Lalu Lintas, UNS Press, Malang, 2007, hlm. 1.
7Ibid
.
8
Pasal 77 ayat (1) Undang-undang No. 22 Thn. 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam hal ini juga nantinya akan
adanya sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling
yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat
menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah.9
B. Rumusan Masalah
Maka dalam hal ini yang akan dibahas tentang pemalsuan SIM. Dalam
skripsi ini juga nantinya akan dibahas putusan perkara Nomor
600/Pid.B/2009/PN.Mdn tentang tindak pidana pemalsuan SIM.
Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah tertarik untuk mengkaji
masalah tersebut dengan judul, “Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Izin Mengemudi (Studi Putusan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn)”.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM?
2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya
memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang
menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM.
9
2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di
dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.
Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan
kajian maupun masukan terhadap pemahaman mengenai tindak pidana
pemalsuan SIM serta pemahamannya di dalam menganalisis Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.
2. Secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan
referensi demi perkembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai informasi
mengenai tindak pidana pemalsuan SIM serta pemahamannya di dalam
menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
600/Pid.B/2009/PN.Mdn.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Utara, maka skripsi
yang berjudul ”Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi
(Studi Putusan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn)” belum pernah diajukan. Oleh
karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat
dipertanggungjawabkan.
E. Tinjauan Kepustakaan
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di
Indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda
strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada
istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan
merupakan “subjek” tindak pidana.10
Sedangkan dalam buku pelajaran hukum pidana karya Adami Chazawi,
menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal
dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit“, tetapi tidak ada penjelasan
tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum
berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum
ada keragaman pendapat.11
a. Rumusan Simon
Strafbaar feit memiliki pengertian yang berbeda di kalangan para sarjana,
antara lain :
Strafbaar feit adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
10
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 58.
11
atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai
suatu tindakan yang dapat dihukum.12
b. Rumusan Van Hamel
Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan
dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut di pidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.13
c. Rumusan V.O.S.
Memberikan definisi yang singkat, bahwa “strafbaar feit” kelakuan atau
tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan
pidana.14
d. Rumusan Pompe
Pompe memberikan pengertian straafbaarfeit dengan membedakan antara
definisi menurut teori dengan menurut hukum positif, sebagai berikut:15
1) definisi menurut teori yaitu suatu pelanggaran terhadap norma atau
kaedah hukum yang dilakukan karena kesalahan si pelaku dan diancam
dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
kesejahteraan hukum.
2) definisi menurut hukum positif yaitu suatu feit (kejadian) yang oleh
undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum.
12
C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan I, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 37.
13
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 56.
14
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 225.
15Ibid
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan
yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah
strafbaar feit adalah: 16
a. Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita
dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita menggunakan istilah
ini.
b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, R. Tresna
dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”. Dan para ahli hukum lainnya.
c. Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk menggambarkan
apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di
beberapa literatur, misalnya Utrect.
d. Pelanggaran pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana
yang ditulis oleh M.H. Tirtaamidjaja.
e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam
bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.
f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan
undang-undang dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak
(Pasal 3).
g. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moelyatno dalam beberapa tulisan beliau.
16
Menurut Moelyatno, memakai istilah perbuatan pidana yang memberi
pengertian yakni perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang
mana disertai ancaman yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar
larangan tersebut.17
Usman Simanjuntak, dalam bukunya “Teknik Penuntutan dan Upaya
Hukum” mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan phisik yang
termasuk kedalam perbuatan pidana.
Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja
dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuatan, yaitu suatu
keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman
pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara
larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara
kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.
Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan
perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan
konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang
berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
18
17
Moelyatno, Op. Cit., 2008, hlm. 54.
18
Usman Simanjutak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 95.
Pendapat Usman Simanjuntak ini
cenderung menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” dalam mengartikan “Straff
baar Feit”, karena istilah perbuatan pidana itu lebih kongkrit yang mengarah ke
perbuatan pidana, dan begitu juga sebaliknya dengan suatu perbuatan phisik dapat
menimbulkan beberapa perbuatan pidana.
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:19
a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat
dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten).
c. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja
(doleus delicten) dan tindak pidana dengan tidak disengaja (culpose delicten).
d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis)
dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta
omissionis).
e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara
tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama
atau berlangsung lama/berlangsung terus.
f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus.
19Ibid
g. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana
communia (yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria
(dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu).
h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka dibedakan
antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht
delicten).
i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana bentuk pokok (eencoudige delicten), tindak pidana yang
diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan
(gequalifeceerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan
(gepriviligieerde delicten).
j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak
terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi,
seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak
pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan
lain sebagainya.
k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan
antara tindak pidana tunggal (ekelovoudige delicten) dan tindak pidana
berangkai (samengestelde delicten).
Setiap tindak pidana (perbuatan pidana) harus terdiri dari unsur-unsur
ditimbulkan karenanya.20
Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbuatan pidana.
Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti
P.A.F Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana sejumlah
tiga sifat. Wederrechtjek (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat
dihukum).
Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan
perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari
perbuatan pidana itu sendiri.
21
Adapun Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat
melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan
manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar
(dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld
(terjadi karena kesalahan).22
Sementara itu, Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal
pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri.
Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup
rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.23
20
Moelyatno, Op. Cit., hlm. 64.
21
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1992, hlm. 173.
22
C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Op. Cit., 2007, hlm. 38.
23
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, LIBERTY, Yokyakarta, 1995, hlm.27.
pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam
rumusan delik, Wederrechtjek (melanggar hukum), dan dapat dicela.
Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan di atas, Moelyatno
menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan
dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,
keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang
subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif.24
a. Handeling (perbuatan manusia)
Dari kesemua rumusan di atas dapat kita lihat bahwa ada beberapa kriteria
yang satu atau dua bahkan semua sarjana menyebutkannya. Pertama, unsur
melanggar hukum yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua, unsur
“perbuatan” yang disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali P.A.F Lamintang.
Selebihnya para sarjana berbeda dalam penyebutannya.
Meskipun P.A.F Lamintang tidak menyebutkan perbuatan manusia sebagai
salah satu unsur perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga
mengakui perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. Jika kita
berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya,
maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan
manusia.25
24
Moelyatno, Op. Cit., hlm. 69.
25
P.A.F Lamintang, Op. Cit., hlm. 183.
Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan
berbuat).26 Juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan
hukum.27 Penjelasan terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak
melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan
antara kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri
dapat di pidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Dalam hal ini seperti yang
dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yaitu ”Barang siapa mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.” Terlihat dari pasal tersebut, seorang dapat diancam
karena pencurian disebabkan oleh perbuatan mengambil barang. Inilah yang
disebut sebagai een doen (melakukan sesuatu). Sedangkan, seorang ibu yang
tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi sehingga anak itu
meninggal dunia. Kini, ibu itu dapat dipersalahkan melakukan pembunuhan
dari Pasal 338 KUHP.28
26
C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Log. Cit.
27
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Log. Cit.
28
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm. 61.
Ibu tersebut tidak diancam karena pembunuhan yang
diakibatkan oleh ketidak berbuatannya. Inilah yang dikenal sebagai een
nalaten atau niet doen. Perlu diingat, bahwasannya ibu tersebut dapat di
pidana dikarenakan ia memiliki kewajiban untuk merawat anaknya. Hal
tersebut berdasar pada Pasal 298 KUH Perdata. Masalah ini haruslah di
jelaskan demi membatasi cakupan subjek perbuatan pidana. Kalau seorang
anak mati karena tidak diberi makan, maka dapat dikatakan bahwa semua
demikian lingkuangan pembuat tidak dibatasi. Yang dapat di pidana hanya
tidak adanya perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang.29
b. Wederrechtjek (melanggar hukum)
Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang berbeda-beda
yang masing-masing dinamakan sama.30
1) Sifat melawan hukum formal
Maka haruslah dijelaskan
keempatnya.
Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam undang-undang
telah terpenuhi. Seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Maka
rumusannya adalah:
• Mengambil barang orang lain
• Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum
2) Sifat melawan hukum materil
Artinya perbuatan tersebut telah merusak atau melanggar kepentingan
hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tersebut. Kepentingan yang
hendak dilindungi pembentuk undang-undang itu dinamakan “kepentingan
hukum”.31
3) Sifat melawan hukum umum
Seperti di pidananya pembunuhan itu demi melindungi
kepentingan hukum berupa nyawa manusia. Pencurian diancam pidana
karena melindungi kepentingan hukum yaitu kepemilikan.
29
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op. Cit., hlm. 33.
30Ibid
, hlm. 39.
31Ibid
Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih
menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan
hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan.
4) Sifat melawan hukum khusus
Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis
terkait melawan hukum. Seperti pada rumusan delik pencurian “...dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum..”. Meskipun pada rumusan
perbuatan pidana lainnya tidak ditemukan adanya pernytaan tersebut.
Dicontohkan dengan Pasal 338 KUHP “Barang siapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.” Seperti yang terlihat dari rumusan
pencurian, sifat perbuatan pengambilan saja tidaklah cukup untuk
menyifati sebuah pencurian. Ia baru disebut mencuri bila memiliki maksud
untuk memiliki secara melawan hukum. Sehingga, bila seorang mahasiswa
mengambil buku mahal dari kamar temannya. Tidaklah berarti bahwa dia
berbuat melawan hukum. Ini tergantung dari apakah ia telah mendapat izin
dari si pemilik atau tidak.
Selain itu, sifat melawan hukum dilihat dari sumber perlawanannya terbagi
menjadi dua. Pertama, unsur melawan hukum yang objektif yaitu menunjuk
kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.32
32
Moelyatno, Op. Cit., hlm. 68.
Hal ini
(1) Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan
tertutup yang dipakai orang lain dengan me- lawan hukum atau berada di
situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau
suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
Hal yang menjadi tuntutan atau larangan disitu ialah keadaan ekstern dari
si pelaku. Yaitu tidak dizinkan atau dalam istilah di atas “dan atas permintaan
yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”. Maka ia melanggar
atau melawan hukum yang objektif.
Kedua, unsur melawan hukum yang subjektif yaitu yang kesalahan atau
peanggarannya terletak dihati terdakwa sendiri. Seperti rumusan pencurian yang
mencantumkan maksud pengambilan untuk memiliki barang secara melawan
hukum.
Selain kedua rumusan yang disepakati oleh banyak sarjana di atas. Masih
ada begitu banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana. pada
pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menjabarkan beberapa unsur-unsur
atau rumusan-rumusan tersebut.
2. Pengertian pemalsuan surat
Pemalsuan berasal dari kata dasar palsu yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia artinya adalah tiruan.33
33
atau Bedrog yang artinya proses, cara atau perbuatan memalsu.34 Pemalsuan yang
artinya tidak tulen, tidak sah, tiruan, gadungan, tidak jujur, sumbang. Pemalsuan
berarti proses, cara, perbuatan memalsukan. Dengan kata lain perbuatan
pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan
kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi
orang lain. Sedangkan, surat (geschrift) adalah suatu lembar kertas yang di
atasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termaksud angka yang
mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan
tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan
alat dan cara apapun.35
Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yanng di dalamnya mengandung
sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu
nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan
dengan yang sebenarnya.36 Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis
pelanggaran terhadap dua norma dasar:37
a. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggaranya dapat tergolong dalam
kelompok kejahatan penipuan.
b. Ketertiban masyarakat, yang pelanggaranya tergolong dalam kelompok
kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.
34
Kamus Hukum, Pramadya Puspa, Semarang, 1997, hlm. 618.
35
Adam Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Op. Cit., hlm. 97.
36Ibid.
, hlm. 2-3.
37
Ketidakbenaran dari sesuatu tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat yang
tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu hal ini dikarenakan
sipelaku menggunakan banyak cara yang menyebabkan masyarakat terjebak
dalam kondisi tersebut. Ketidakbenaran terhadap kebenaran tersebut dapat
dilakukan dengan cara:38
a. Pemalsuan intelektuil dapat terdiri atas pernyataan atau pemberitahuan yang
diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, pernyataan atau pemberitahuan
mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang
memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami,
bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaraan, hingga tulisan
atau surat itu mempunyai isi tidak benar.
b. Pemalsuan materiil
1) Perbuatan mengubah sesuatu benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/huruf
yang semula asli dan benar sedemikian rupa hingga benda, tanda, merk,
mata uang, tulisan/surat itu menunjukkan atau menyatakan sesuatu hal
yang lain daripada yang aslinya. Benda, tanda, merk, mata uang,
tulisan/surat itu telah secara materiil dipalsukan, tetapi karenanya isinya
juga menjadi palsu atau tidak benar;
2) Perbuatan membuat benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan/surat sejak
semula sedemikian rupa, hingga mirip dengan yang aslinya atau yang
benarnya, tetapi bukan yang asli.
38
Dari pengertian tindak pidana pemalsuan ini dapat ditarik 6 (enam) objek dari
tindak pidana pemalsuan seperti yang terdapat dalam KUHP yang antra lain
adalah :
a. Keterangan di atas sumpah.
b. Mata uang.
c. Uang kertas.
d. Materai.
e. Merk.
f. Surat.
Dengan perbuatan tersebut di atas, meskipun dapat digolongkan di dalam
pemalsuan secara materiil, tetapi berhubung karenanya juga isinya menjadi palsu
atau tidak benar, maka sekaligus terjadi pemalsuan materiil dan pemalsuan
intelektuil. Pemalsuan intelektuil yang murni hanya dapat terjadi apabila suatu
data/tulisan/surat merupakan data/tulisan/surat sendiri yang keseluruhannya asli,
tidak diubah, tetapi pernyataan yang termuat di dalamnya adalah tidak asli atau
tidak benar.
3. Pengertian kendaraan bermotor dan SIM
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan
teknik untuk pergerakkannya, dan digunakan untuk transportasi darat. Umumnya
kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam, namun motor listrik
dan mesin jenis lain (misalnya kendaraan listrik hibrida) juga dapat digunakan.
Jenis-jenis kendaraan bermotor dapat bermacam-macam, mulai dari mobil, bus, sepeda
motor, kendaraan off-road, truk ringan, sampai truk berat.39
Adapun esensi dari tujuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan antara lain untuk menciptakan kondisi lalu lintas
dan angkutan jalan yang selamat, aman, lancar, tertib dan teratur. Kondisi yang
demikian sangat diharapkan oleh masyarakat khususnya pemakai atau pengguna
jalan. Bahwa untuk menciptakan situasi dan kondisi lalu lintas yang selamat,
aman, lancar, tertib dan teratur perlu ditunjang dengan sistem penindakan
pelanggaran lalu lintas ya ng efektif dan berdampak positif terhadap sistem lalu
lintas. Undang-undang tersebut sebagai sarana kontrol dalam perkembangan
transportasi yang sangat cepat dan memiliki mobilitas yang tinggi disegala bidang
yang sebagian besar dari kegiatannya menggunakan angkutan jalan sebagaimana
dikatakan H.S Djajoesman “Angkutan jalan sebagaimana halnya dengan angkutan
lainnya sangat penting bagi perkembangan tata kehidupan dalam bidang ideologi,
politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Indonesia.”40
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan menyebutkan bahwa:
41
a. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
b. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan
mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.
39
ISO 3833:1977, International Organization for Standardization, Diakses tanggal 6 Oktober 2012, pukul 17.26 WIB.
40
H.S. Djajoesman, Polisi dan Lalu Lintas, Dinas Hukum Polri, Jakarta, 1976, hlm. 14.
41
c. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh
tenaga manusia dan/atau hewan.
d. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk
angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.
SIM adalah tanda bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol, dan data
forensik kepolisian bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan,
dan keterampilan untuk mengemudikan Ranmor di jalan sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.42
Adapun penggunaan golongan pada SIM yakni:43
a. Golongan SIM A
berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan
dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 kg.
b. Golongan SIM B I
berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan
dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kg.
c. Golongan SIM B II
berlaku untuk mengemudikan kendaraan alat berat, kendaraan penarik, atau
kendaraan bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan
perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau
gandengan lebih dari 1.000 kg.
42
Pasal 1 ayat 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Thn. 2012 tentang Surat Izin Mengemudi.
43
d. Golongan SIM C
berlaku untuk mengemudikan sepeda motor.
e. Golongan SIM D
berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Pendekatan penelitian ini dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif
yaitu penelitian dilakukan dengan cara lebih dahulu meneliti bahan-bahan
perpustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya
melihat secara obyektif melalui ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan dan menganalisis
permasalahan yang dikemukakan yang bertujuan untuk mendeskriptifkan secara
konkret tentang kajian yuridis tindak pidana pemalsuan SIM.
2. Sumber data
Penelitian ini data yang dikumpulkan untuk selanjutnya dijadikan sebagai
bahan dalam pengolahan data yang bersumber dari:
Data sekunder, yakni data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, undang-undang,
3. Metode pengumpulan data
Metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data adalah memakai
data sekunder yakni studi pustaka dengan cara mempelajari literatur-literatur buku
tentang pemalsuan surat.
4. Analisa data
Data akan dianalisa secara kualitatif dengan mempelajari berbagai literatur
buku. Karena sifat penelitian adalah deskriptif maka semua data yang
dikumpulkan dan diseleksi serta dianalisis sedang data yang diperoleh di putusan
pengadilan akan di analisis sesuai dengan data yang diperlukan sehingga akan
diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap permasalahan yang ingin di
jawab.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam
melakukan penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam
melakukan penulisan skripsi ini. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah
dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi
dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan
manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM
Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan tindak
pidana pemalsuan SIM dalam hukum pidana di Indonesia.
BAB III : KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM
DITINJAU DARI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN
NOMOR 600/PID.B/2009/PN.MDN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan tindak
pidana pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan
Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan