• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Study Putusan Nomor 600/PID.B/2009/PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi (Study Putusan Nomor 600/PID.B/2009/PN.Mdn)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Pada saat ini kejahatan semakin beragam dan terus berkembang di dalam

kehidupan masyarakat. Bukan saja pada masyarakat yang sudah maju, namun juga

terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang. Kejahatan timbul sejak

manusia ada dan akan selalu ada selama manusia hidup dan mendiami bumi ini.

Masalah kejahatan bukan hanya menyangkut masalah pelanggaran norma hukum

saja, tetapi juga melanggar norma-norma yang lain, misalnya norma agama,

norma susila, dan lain-lain. Di dalam realita kehidupan manusia kejahatan

merupakan suatu permasalahan yang tidak akan pernah ada habisnya. Dengan

demikian bahwa diperlukannya suatu eksistensi hukum ditengah-tengah

masyarakat yang artinya hukum mempunyai keterkaitan yang erat dengan

kehidupan masyarakat. Hukum sering disebut sebagai gejala sosial, dimana ada

masyarakat disitu ada hukum. keberadaan hukum merupakan suatu kebutuhan

masyarakat, baik kebutuhan masyarakat secara individual maupun dalam

berinteraksi dengan orang lain dalam pergaulannya. Hukum bahkan dibutuhkan

dalam pergaulan yang sederhana sampai pergaulan yang luas antar bangsa, karena

hukumlah yang menjadi landasan aturan permainan dalam tata kehidupan.1

Adanya perkembangan budaya dan iptek yang sangat pesat berpengaruh

terhadap perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara yang

1

(2)

menjadikannya semakin kompleks. Perilaku yang demikian apabila dipandang

dari segi hukum tentunya ada perilaku yang sesuai dengan norma dan adapula

yang tidak sesuai dengan norma. Perilaku yang sesuai dengan norma tentunya

tidak ada masalah, akan tetapi terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma

yang biasanya menimbulkan permasalahan dibidang hukum atau penyelewengan

terhadap norma yang telah disepakati. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma

yang berlaku, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan

bahkan suatu kejahatan. Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala

sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat bahkan negara.

Kenyataan telah membuktikan bahwa kejahatan dan pelanggaran hanya dapat

dicegah dan dikurangi, tetapi sulit untuk diberantas secara tuntas. Antisipasi atas

kejahatan dan pelanggaran tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen

hukum pidana secara efektif dan tepat melalui penegakan hukum (law

enforcement).2

Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi pada lingkungan

masyarakat adalah pemalsuan. Kejahatan pemalsuan tidak terbatas pada kalangan

masyarakat tertentu saja, melainkan setiap ada kesempatan dan tersedia objeknya

Kejahatan konvensional seperti mencuri, menipu dan memalsu kualitasnya

terus meningkat, karena modus operandinya terselubung cangih dan kerap kali

memanfaatkan atau menyalahgunakan alat teknologi canggih seperti dalam

perbuatan korupsi, pemalsuan dokumen kendaraan bermotor, pembobolan bank

melalui situs komputer, kejahatan media, dan lain-lain yang terselubung.

2

(3)

maka kejahatan pemalsuan itu dapat terjadi. Delik pemalsuan merupakan bagian

dari kejahatan terhadap harta benda. Kejahatan pemalsuan yang paling sering

terjadi di dalam masyarakat adalah pemalsuan surat. Kejahatan mengenai

pemalsuan atau disingkat dengan kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan

yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas

sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya

padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.3 Juga dalam

pemalsuan surat ini sangat mengemukakan terancamnya kepentingan masyarakat

(terutama yang sudah melek huruf) berupa kepercayaan terhadap surat-surat yang

mempunyai akibat hukum.4 Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenaran

adalah perbuatan yang patut di pidana, yang oleh undang-undang ditentukan

sebagai suatu kejahatan. Memberikan atau menempatkan sifat terlarangnya bagi

perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap kepercayaan itu dalam

undang-undang adalah berupa suatu perlindungan hukum terhadap kepercayaan

atas kebenarannya dari objek-objek itu. Penggolongan kejahatan pemalsuan

didasarkan atas objek dari pemalsuaan, yang jika dirincikan lebih lanjut ada 6

(enam) objek kejahatan, yaitu (1) keterangan di atas sumpah; (2) mata uang; (3)

uang kertas; (4) materai; (5) merek; dan (6) surat.5

Kejahatan pemalsuan dengan objek pemalsuan surat yang tidak kalah

banyak ditemukan di lingkungan masyarakat adalah kejahatan pemalsuan surat

kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor merupakan sarana transportasi yang

3

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hlm. 3.

4

S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Cetakan Pertama, Jakarta, 1983. hlm. 5.

5Ibid

(4)

sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mendukung kegiatan sehari-hari dalam

memenuhi kebutuhannya. Transportasi adalah pergerakan manusia, barang dan

informasi dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman, nyaman, cepat, murah

dan sesuai dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.6

Transportasi yang pada intinya berupa pergerakan manusia dan barang

sebenarnya hanyalah merupakan kebutuhan turunan, sedangkan kebutuhan dasar

manusia adalah pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia berupa barang

dan jasa.7 Dalam usaha mewujudkan pemenuhan tersebut, seringkali terjadi

perbuatan-perbuatan yang bersifat “melawan hukum” sehingga menimbulkan

perselisihan di antara anggota masyarakat yang akhirnya akan menimbulkan

keresahan atau ketidaktentraman dalam kehidupan masyarakat. Surat yang

biasanya dipalsukan adalah seperti Surat Izin Mengemudi (yang selanjutnya

disingkat dengan SIM). Yang dimana menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka setiap orang yang

mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan

jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.8

6

Budiarto dan Mahmudah, Rekayasa Lalu Lintas, UNS Press, Malang, 2007, hlm. 1.

7Ibid

.

8

Pasal 77 ayat (1) Undang-undang No. 22 Thn. 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Dalam hal ini juga nantinya akan

adanya sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling

(5)

yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat

menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah.9

B. Rumusan Masalah

Maka dalam hal ini yang akan dibahas tentang pemalsuan SIM. Dalam

skripsi ini juga nantinya akan dibahas putusan perkara Nomor

600/Pid.B/2009/PN.Mdn tentang tindak pidana pemalsuan SIM.

Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah tertarik untuk mengkaji

masalah tersebut dengan judul, “Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Izin Mengemudi (Studi Putusan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn)”.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya

memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang

menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM.

9

(6)

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di

dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun praktis sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan

kajian maupun masukan terhadap pemahaman mengenai tindak pidana

pemalsuan SIM serta pemahamannya di dalam menganalisis Putusan

Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

2. Secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan

referensi demi perkembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai informasi

mengenai tindak pidana pemalsuan SIM serta pemahamannya di dalam

menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor

600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Utara, maka skripsi

yang berjudul ”Kajian Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat Izin Mengemudi

(Studi Putusan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn)” belum pernah diajukan. Oleh

karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat

dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Kepustakaan

(7)

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di

Indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda

strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada

istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan

merupakan “subjek” tindak pidana.10

Sedangkan dalam buku pelajaran hukum pidana karya Adami Chazawi,

menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal

dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit“, tetapi tidak ada penjelasan

tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum

berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum

ada keragaman pendapat.11

a. Rumusan Simon

Strafbaar feit memiliki pengertian yang berbeda di kalangan para sarjana,

antara lain :

Strafbaar feit adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

10

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 58.

11

(8)

atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai

suatu tindakan yang dapat dihukum.12

b. Rumusan Van Hamel

Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan

dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut di pidana

(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.13

c. Rumusan V.O.S.

Memberikan definisi yang singkat, bahwa “strafbaar feit” kelakuan atau

tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan

pidana.14

d. Rumusan Pompe

Pompe memberikan pengertian straafbaarfeit dengan membedakan antara

definisi menurut teori dengan menurut hukum positif, sebagai berikut:15

1) definisi menurut teori yaitu suatu pelanggaran terhadap norma atau

kaedah hukum yang dilakukan karena kesalahan si pelaku dan diancam

dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan

kesejahteraan hukum.

2) definisi menurut hukum positif yaitu suatu feit (kejadian) yang oleh

undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum.

12

C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan I, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 37.

13

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 56.

14

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 225.

15Ibid

(9)

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan

yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah

strafbaar feit adalah: 16

a. Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita

dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita menggunakan istilah

ini.

b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, R. Tresna

dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”. Dan para ahli hukum lainnya.

c. Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk menggambarkan

apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di

beberapa literatur, misalnya Utrect.

d. Pelanggaran pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana

yang ditulis oleh M.H. Tirtaamidjaja.

e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam

bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.

f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan

undang-undang dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak

(Pasal 3).

g. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moelyatno dalam beberapa tulisan beliau.

16

(10)

Menurut Moelyatno, memakai istilah perbuatan pidana yang memberi

pengertian yakni perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang

mana disertai ancaman yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar

larangan tersebut.17

Usman Simanjuntak, dalam bukunya “Teknik Penuntutan dan Upaya

Hukum” mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan phisik yang

termasuk kedalam perbuatan pidana.

Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah

perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja

dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuatan, yaitu suatu

keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman

pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara

larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara

kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.

Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan

perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan

konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang

berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

18

17

Moelyatno, Op. Cit., 2008, hlm. 54.

18

Usman Simanjutak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 95.

Pendapat Usman Simanjuntak ini

cenderung menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” dalam mengartikan “Straff

baar Feit”, karena istilah perbuatan pidana itu lebih kongkrit yang mengarah ke

(11)

perbuatan pidana, dan begitu juga sebaliknya dengan suatu perbuatan phisik dapat

menimbulkan beberapa perbuatan pidana.

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:19

a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat

dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil

(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten).

c. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja

(doleus delicten) dan tindak pidana dengan tidak disengaja (culpose delicten).

d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana

aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis)

dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta

omissionis).

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara

tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama

atau berlangsung lama/berlangsung terus.

f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan

tindak pidana khusus.

19Ibid

(12)

g. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana

communia (yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria

(dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu).

h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka dibedakan

antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht

delicten).

i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan

antara tindak pidana bentuk pokok (eencoudige delicten), tindak pidana yang

diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan

(gequalifeceerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan

(gepriviligieerde delicten).

j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak

terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi,

seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak

pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan

lain sebagainya.

k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan

antara tindak pidana tunggal (ekelovoudige delicten) dan tindak pidana

berangkai (samengestelde delicten).

Setiap tindak pidana (perbuatan pidana) harus terdiri dari unsur-unsur

(13)

ditimbulkan karenanya.20

Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbuatan pidana.

Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti

P.A.F Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana sejumlah

tiga sifat. Wederrechtjek (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah

dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat

dihukum).

Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan

perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari

perbuatan pidana itu sendiri.

21

Adapun Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat

melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan

manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar

(dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld

(terjadi karena kesalahan).22

Sementara itu, Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal

pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri.

Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup

rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.23

20

Moelyatno, Op. Cit., hlm. 64.

21

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1992, hlm. 173.

22

C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Op. Cit., 2007, hlm. 38.

23

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum Pidana, LIBERTY, Yokyakarta, 1995, hlm.27.

(14)

pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam

rumusan delik, Wederrechtjek (melanggar hukum), dan dapat dicela.

Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan di atas, Moelyatno

menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan

dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,

keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang

subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif.24

a. Handeling (perbuatan manusia)

Dari kesemua rumusan di atas dapat kita lihat bahwa ada beberapa kriteria

yang satu atau dua bahkan semua sarjana menyebutkannya. Pertama, unsur

melanggar hukum yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua, unsur

“perbuatan” yang disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali P.A.F Lamintang.

Selebihnya para sarjana berbeda dalam penyebutannya.

Meskipun P.A.F Lamintang tidak menyebutkan perbuatan manusia sebagai

salah satu unsur perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga

mengakui perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. Jika kita

berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya,

maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan

manusia.25

24

Moelyatno, Op. Cit., hlm. 69.

25

P.A.F Lamintang, Op. Cit., hlm. 183.

Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan

(15)

berbuat).26 Juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan

hukum.27 Penjelasan terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak

melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan

antara kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri

dapat di pidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Dalam hal ini seperti yang

dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yaitu ”Barang siapa mengambil barang

sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud

untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak

sembilan ratus rupiah.” Terlihat dari pasal tersebut, seorang dapat diancam

karena pencurian disebabkan oleh perbuatan mengambil barang. Inilah yang

disebut sebagai een doen (melakukan sesuatu). Sedangkan, seorang ibu yang

tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi sehingga anak itu

meninggal dunia. Kini, ibu itu dapat dipersalahkan melakukan pembunuhan

dari Pasal 338 KUHP.28

26

C. S. T. Kansil & Christine S. T. Kansil, Log. Cit.

27

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Log. Cit.

28

Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm. 61.

Ibu tersebut tidak diancam karena pembunuhan yang

diakibatkan oleh ketidak berbuatannya. Inilah yang dikenal sebagai een

nalaten atau niet doen. Perlu diingat, bahwasannya ibu tersebut dapat di

pidana dikarenakan ia memiliki kewajiban untuk merawat anaknya. Hal

tersebut berdasar pada Pasal 298 KUH Perdata. Masalah ini haruslah di

jelaskan demi membatasi cakupan subjek perbuatan pidana. Kalau seorang

anak mati karena tidak diberi makan, maka dapat dikatakan bahwa semua

(16)

demikian lingkuangan pembuat tidak dibatasi. Yang dapat di pidana hanya

tidak adanya perbuatan yang diwajibkan oleh undang-undang.29

b. Wederrechtjek (melanggar hukum)

Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang berbeda-beda

yang masing-masing dinamakan sama.30

1) Sifat melawan hukum formal

Maka haruslah dijelaskan

keempatnya.

Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam undang-undang

telah terpenuhi. Seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Maka

rumusannya adalah:

• Mengambil barang orang lain

• Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum

2) Sifat melawan hukum materil

Artinya perbuatan tersebut telah merusak atau melanggar kepentingan

hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tersebut. Kepentingan yang

hendak dilindungi pembentuk undang-undang itu dinamakan “kepentingan

hukum”.31

3) Sifat melawan hukum umum

Seperti di pidananya pembunuhan itu demi melindungi

kepentingan hukum berupa nyawa manusia. Pencurian diancam pidana

karena melindungi kepentingan hukum yaitu kepemilikan.

29

Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Op. Cit., hlm. 33.

30Ibid

, hlm. 39.

31Ibid

(17)

Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih

menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan

hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan.

4) Sifat melawan hukum khusus

Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis

terkait melawan hukum. Seperti pada rumusan delik pencurian “...dengan

maksud untuk dimiliki secara melawan hukum..”. Meskipun pada rumusan

perbuatan pidana lainnya tidak ditemukan adanya pernytaan tersebut.

Dicontohkan dengan Pasal 338 KUHP “Barang siapa dengan sengaja

merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana

penjara paling lama lima belas tahun.” Seperti yang terlihat dari rumusan

pencurian, sifat perbuatan pengambilan saja tidaklah cukup untuk

menyifati sebuah pencurian. Ia baru disebut mencuri bila memiliki maksud

untuk memiliki secara melawan hukum. Sehingga, bila seorang mahasiswa

mengambil buku mahal dari kamar temannya. Tidaklah berarti bahwa dia

berbuat melawan hukum. Ini tergantung dari apakah ia telah mendapat izin

dari si pemilik atau tidak.

Selain itu, sifat melawan hukum dilihat dari sumber perlawanannya terbagi

menjadi dua. Pertama, unsur melawan hukum yang objektif yaitu menunjuk

kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.32

32

Moelyatno, Op. Cit., hlm. 68.

Hal ini

(18)

(1) Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan

tertutup yang dipakai orang lain dengan me- lawan hukum atau berada di

situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau

suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara

paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah.

Hal yang menjadi tuntutan atau larangan disitu ialah keadaan ekstern dari

si pelaku. Yaitu tidak dizinkan atau dalam istilah di atas “dan atas permintaan

yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”. Maka ia melanggar

atau melawan hukum yang objektif.

Kedua, unsur melawan hukum yang subjektif yaitu yang kesalahan atau

peanggarannya terletak dihati terdakwa sendiri. Seperti rumusan pencurian yang

mencantumkan maksud pengambilan untuk memiliki barang secara melawan

hukum.

Selain kedua rumusan yang disepakati oleh banyak sarjana di atas. Masih

ada begitu banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana. pada

pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menjabarkan beberapa unsur-unsur

atau rumusan-rumusan tersebut.

2. Pengertian pemalsuan surat

Pemalsuan berasal dari kata dasar palsu yang dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia artinya adalah tiruan.33

33

(19)

atau Bedrog yang artinya proses, cara atau perbuatan memalsu.34 Pemalsuan yang

artinya tidak tulen, tidak sah, tiruan, gadungan, tidak jujur, sumbang. Pemalsuan

berarti proses, cara, perbuatan memalsukan. Dengan kata lain perbuatan

pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan

kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi

orang lain. Sedangkan, surat (geschrift) adalah suatu lembar kertas yang di

atasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termaksud angka yang

mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan

tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan

alat dan cara apapun.35

Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yanng di dalamnya mengandung

sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu

nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan

dengan yang sebenarnya.36 Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis

pelanggaran terhadap dua norma dasar:37

a. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggaranya dapat tergolong dalam

kelompok kejahatan penipuan.

b. Ketertiban masyarakat, yang pelanggaranya tergolong dalam kelompok

kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.

34

Kamus Hukum, Pramadya Puspa, Semarang, 1997, hlm. 618.

35

Adam Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Op. Cit., hlm. 97.

36Ibid.

, hlm. 2-3.

37

(20)

Ketidakbenaran dari sesuatu tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat yang

tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu hal ini dikarenakan

sipelaku menggunakan banyak cara yang menyebabkan masyarakat terjebak

dalam kondisi tersebut. Ketidakbenaran terhadap kebenaran tersebut dapat

dilakukan dengan cara:38

a. Pemalsuan intelektuil dapat terdiri atas pernyataan atau pemberitahuan yang

diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, pernyataan atau pemberitahuan

mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang

memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami,

bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaraan, hingga tulisan

atau surat itu mempunyai isi tidak benar.

b. Pemalsuan materiil

1) Perbuatan mengubah sesuatu benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/huruf

yang semula asli dan benar sedemikian rupa hingga benda, tanda, merk,

mata uang, tulisan/surat itu menunjukkan atau menyatakan sesuatu hal

yang lain daripada yang aslinya. Benda, tanda, merk, mata uang,

tulisan/surat itu telah secara materiil dipalsukan, tetapi karenanya isinya

juga menjadi palsu atau tidak benar;

2) Perbuatan membuat benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan/surat sejak

semula sedemikian rupa, hingga mirip dengan yang aslinya atau yang

benarnya, tetapi bukan yang asli.

38

(21)

Dari pengertian tindak pidana pemalsuan ini dapat ditarik 6 (enam) objek dari

tindak pidana pemalsuan seperti yang terdapat dalam KUHP yang antra lain

adalah :

a. Keterangan di atas sumpah.

b. Mata uang.

c. Uang kertas.

d. Materai.

e. Merk.

f. Surat.

Dengan perbuatan tersebut di atas, meskipun dapat digolongkan di dalam

pemalsuan secara materiil, tetapi berhubung karenanya juga isinya menjadi palsu

atau tidak benar, maka sekaligus terjadi pemalsuan materiil dan pemalsuan

intelektuil. Pemalsuan intelektuil yang murni hanya dapat terjadi apabila suatu

data/tulisan/surat merupakan data/tulisan/surat sendiri yang keseluruhannya asli,

tidak diubah, tetapi pernyataan yang termuat di dalamnya adalah tidak asli atau

tidak benar.

3. Pengertian kendaraan bermotor dan SIM

Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan

teknik untuk pergerakkannya, dan digunakan untuk transportasi darat. Umumnya

kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam, namun motor listrik

dan mesin jenis lain (misalnya kendaraan listrik hibrida) juga dapat digunakan.

(22)

Jenis-jenis kendaraan bermotor dapat bermacam-macam, mulai dari mobil, bus, sepeda

motor, kendaraan off-road, truk ringan, sampai truk berat.39

Adapun esensi dari tujuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan antara lain untuk menciptakan kondisi lalu lintas

dan angkutan jalan yang selamat, aman, lancar, tertib dan teratur. Kondisi yang

demikian sangat diharapkan oleh masyarakat khususnya pemakai atau pengguna

jalan. Bahwa untuk menciptakan situasi dan kondisi lalu lintas yang selamat,

aman, lancar, tertib dan teratur perlu ditunjang dengan sistem penindakan

pelanggaran lalu lintas ya ng efektif dan berdampak positif terhadap sistem lalu

lintas. Undang-undang tersebut sebagai sarana kontrol dalam perkembangan

transportasi yang sangat cepat dan memiliki mobilitas yang tinggi disegala bidang

yang sebagian besar dari kegiatannya menggunakan angkutan jalan sebagaimana

dikatakan H.S Djajoesman “Angkutan jalan sebagaimana halnya dengan angkutan

lainnya sangat penting bagi perkembangan tata kehidupan dalam bidang ideologi,

politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Indonesia.”40

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan menyebutkan bahwa:

41

a. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan

Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.

b. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan

mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.

39

ISO 3833:1977, International Organization for Standardization, Diakses tanggal 6 Oktober 2012, pukul 17.26 WIB.

40

H.S. Djajoesman, Polisi dan Lalu Lintas, Dinas Hukum Polri, Jakarta, 1976, hlm. 14.

41

(23)

c. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh

tenaga manusia dan/atau hewan.

d. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk

angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.

SIM adalah tanda bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol, dan data

forensik kepolisian bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan,

dan keterampilan untuk mengemudikan Ranmor di jalan sesuai dengan

persyaratan yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.42

Adapun penggunaan golongan pada SIM yakni:43

a. Golongan SIM A

berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan

dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 kg.

b. Golongan SIM B I

berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan

dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kg.

c. Golongan SIM B II

berlaku untuk mengemudikan kendaraan alat berat, kendaraan penarik, atau

kendaraan bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan

perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau

gandengan lebih dari 1.000 kg.

42

Pasal 1 ayat 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Thn. 2012 tentang Surat Izin Mengemudi.

43

(24)

d. Golongan SIM C

berlaku untuk mengemudikan sepeda motor.

e. Golongan SIM D

berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Pendekatan penelitian ini dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif

yaitu penelitian dilakukan dengan cara lebih dahulu meneliti bahan-bahan

perpustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya

melihat secara obyektif melalui ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang

berlaku. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan dan menganalisis

permasalahan yang dikemukakan yang bertujuan untuk mendeskriptifkan secara

konkret tentang kajian yuridis tindak pidana pemalsuan SIM.

2. Sumber data

Penelitian ini data yang dikumpulkan untuk selanjutnya dijadikan sebagai

bahan dalam pengolahan data yang bersumber dari:

Data sekunder, yakni data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan

yang berlaku, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, undang-undang,

(25)

3. Metode pengumpulan data

Metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data adalah memakai

data sekunder yakni studi pustaka dengan cara mempelajari literatur-literatur buku

tentang pemalsuan surat.

4. Analisa data

Data akan dianalisa secara kualitatif dengan mempelajari berbagai literatur

buku. Karena sifat penelitian adalah deskriptif maka semua data yang

dikumpulkan dan diseleksi serta dianalisis sedang data yang diperoleh di putusan

pengadilan akan di analisis sesuai dengan data yang diperlukan sehingga akan

diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap permasalahan yang ingin di

jawab.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam

melakukan penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam

melakukan penulisan skripsi ini. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah

dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi

dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis

(26)

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan

manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM

Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan tindak

pidana pemalsuan SIM dalam hukum pidana di Indonesia.

BAB III : KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SIM

DITINJAU DARI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN

NOMOR 600/PID.B/2009/PN.MDN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan tindak

pidana pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan

Nomor 600/Pid.B/2009/PN.Mdn.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan

Referensi

Dokumen terkait

Cloud /awan merupakan metafora dari internet, sebagaimana awan yang sering digambarkan di diagram jaringan computer,awan (cloud) dalam Cloud Computing juga merupakan

Peranan motivasi sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, hal ini sejalan dengan pendapat Sardiman (2011) yang menyatakan bahwa hasil belajar akan menjadi

[r]

Tujuan penelitian ini adalah un- tuk menaksir besarnya kemauan membayar pasien rawat jalan terhadap pelayanan kesehatan gigi di MMC UMS dan menguji hipotesis tentang hubungan

[r]

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan referensi yang berguna bagi seluruh lapisan masyarakat yang haus akan pengetahuan mengenai tradisi yang ada di

[r]

Penulis memilih membuat e-learning Teori Bahasa dan Automata karena merupakan salah satu mata kuliah yang sulit dipelajari dan mata kuliah ini adalah mata kuliah yang diutamakan