• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Prevalensi Manifestasi Oral pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Prevalensi Manifestasi Oral pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 2.1.1 Definisi

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,

sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah

lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. 12

Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.13 Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terlibat.14

2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi

(2)

paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.15 Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul

produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.15,1

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang

memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II

khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan

timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.15,1

2. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting

(3)

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan

teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit

mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan

autoantibodi menjadi tidak normal.16,2 c. Kelainan antibodi

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.16,2

3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa

studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.16,17

4. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya

SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri

Streptococcus dan Clebsiella.17

b. Paparan sinar ultra violet

(4)

c. Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.17,18

d. Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat

menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat

menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.17,19

2.1.3 Gambaran Klinis

SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf, kardiovaskular, serta rongga mulut.15,20

Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada ginjalnya. Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif disertai dengan gagal ginjal.15

Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada muskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan nekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada pasien SLE.15

Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus dermatitis

dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan subacute cutaneous

lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa

lesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada

(5)

seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher, punggung atas, dan

bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu dengan DLE memiliki SLE

namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE.15,21

Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan penyakit

sistemik. SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis

atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif;

kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE pada kulit

lainnya dapat ditemukan berupa urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bulla,

dan panikulitis.15

Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar 20% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis dan dapat memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.15,22

SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis. Selain itu, kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner, dan hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting. Berdasarkan sebuah studi, dinyatakan bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan stroke adalah 8,5, 13,2 dan 10,1 kali lebih sering terjadi pada perempuan dengan SLE dibandingkan dengan populasi umum. Kecenderungan

(6)

peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya kelainan pada fibrinolisis, protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi antifosfolipid. SSP dan trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab utama morbiditas pada pasien SLE. Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.15,22

2.1.4 Diagnosa

Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain.14,23

Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98% dan pada tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE yang telah direvisi.14

Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997.14

Kriteria Definisi

1. Butterfly Rash Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderung tidak mengenai lipatan nasolabial.

2. Discoid Rash Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dan sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang sudah lama timbul.

(7)

Kriteria Definisi

4. Ulser Mulut Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya tidak

nyeri jika sudah kronis.

5. Arthtritis Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih

persendian perifer dengan rasa sakit disertai pembengkakan

6. Serositis Radang pada garis paru-paru, disebut juga pleura atau pada

jantung disebut juga pericardium

7. Kelainan Ginjal Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan tidak normal dalam urin terlihat dengan bantuan mikroskop

8. Kelainan Saraf Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan

metabolik yang diketahui.

9. Kelainan Darah Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - <4,0 x 10 pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua atau lebih pemeriksaan.

10.Kelainan Imunitas Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer

abnormal ; atau antibody antifosfolipid positif berdasarkan pada kadar antibodi antikardiolipin IgG atau IgM serum yang abnormal dan uji positif antikoagulan lupus menggunakan uji standar.

11.Tes ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya

obat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang diinduksi obat.

(8)

tidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini memerlukan observasi jangka panjang.14,1

2.1.5 Terapi

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai.14,15 Berikut pilar terapi SLE :

a. Edukasi dan Konseling

Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.14

b. Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.14

c. Terapi Medikasi

Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.14,24

1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)

(9)

2. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.14,24 Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.14,24

3. Antimalaria

Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari

hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk

mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada

mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.14,24

4. Immunosupresan

Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.14,24

2.2 Manifestasi SLEpada Rongga Mulut

Sekitar 20-45% pasien SLE dilaporkan memiliki lesi oral.25 Beberapa

(10)

a. Xerostomia

Xerostomia merupakan salah satu manifestasi SLE pada rongga mulut. Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Adanya infiltrasi limfosit pada kelenjar saliva mayor telah ditemukan pada 50-75% pasien SLE, baik pada pasien yang mengeluhkan adanya rasa kering di mulut ataupun tidak. Laju aliran saliva yang tidak distimulasi terlihat menurun pada beberapa penderita SLE. Hal ini dapat

dikaitkan pada penyakit autoimun lain yaitu Sjogren’s Syndrome yang menyerang

kelenjar saliva mayor. SLE juga menjadi komponen diagnosis dari Sjogren’s

Syndrom.26,27

Kelainan pada kuantitas saliva pasien SLE dapat ditemukan pada saat pemeriksaan kadar imunoglobulin (Ig) dalam saliva. Pada pasien SLE dapat terlihat adanya peningkatan konsentrasi Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi Ig G biasanya dalam batas normal. Hal ini dapat terjadi karena Ig A dan Ig M disintetis secara lokal dan disekresikan ke dalam saliva, sedangkan Ig G diinfiltrasi oleh plasma. Kejadian ini ditemukan pada 30% pasien lupus. Peningkatan Ig A dan Ig M pada saliva dapat disebabkan oleh penurunan kuantitas saliva.28

b. Lesi Ulserasi

Berdasarkan kriteria ACR 1997, ulser rongga mulut merupakan salah satu

(11)

Selain ulser, juga sering terlihat lesi berwarna merah dan putih, berbentuk garis-garis yang sejajar dan multipel pada beberapa permukaan mukosa. Lesi ini dapat dikatakan mirip dengan lichen planus (Gambar 3). Hal ini disebabkan karena keduanya merupakan kelainan inflamasi mukokutaneus imunologik kronik yang

memiliki gambaran keratotik, berwarna kemerahan, dan disertai ulser.25 Pada

pemeriksaan histopatologi, juga terlihat kesamaan antara SLE dan lichen planus,

yaitu terdapat kerusakan pada sel basal, sel limfosit, perivaskular, hiperkeratotis, dan atrofi perifer. Pada dasarnya, butterfly rash yang terdapat di pipi dan hidung dapat

membantu dalam menyingkirkan diagnosa lichen planus. Selain itu, pada

pemeriksaan histopatologi juga dapat terlihat perbedaan antara SLE dan lichen

planus, yaitu pada SLE terlihat edema submukosa dan vasodilatasi pembuluh darah, sementara pada lichen planus, sama sekali tidak terlihat hal tersebut.25,28

(12)

Gambar 3. Lesi ulserasi mirip lichen planus pada pasien SLE. 15

Lesi ulserasi lainnya juga sering dijumpai di daerah vermilion bibir, seperti lesi ulser yang biasanya disebabkan oleh virus herpes. Lesi awal terlihat berupa vesikel berukuran kecil dan berkelompok, kemudian dalam hitungan jam vesikel akan pecah dan menjadi ulserasi yang pada permukaannya terlihat lapisan berwarna kekuningan (Gambar 4).25,33

(13)

c. Lesi Diskoid

Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah bagian tepi vermillion yang sering terpajan dengan sinar matahari (Gambar 5), sementara itu bibir bagian atas juga dapat terkena akibat perluasan langsung dari lesi diskoid yang terdapat pada kulit. Lesi biasanya diawali dengan lesi kemerahan, namun lama-kelamaan berubah menjadi lesi keratotik dan bersisik (Gambar 6). Bila sisik diangkat, maka bibir akan perih dan menimbulkan perdarahan.25

Gambar 5. Lesi diskoid pada bibir pasien SLE.15,25

(14)
(15)
(16)
(17)

2.3 Kerangka Teori

Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal Faktor Lingkungan

 Xerostomia

 Lesi Ulserasi

 Lesi Diskoid

 Lesi mirip

lichen planus

 Kandidiasis

SLE

(Systemic Lupus Erythematosus)

Gejala & gambaran menurut ACR

(American Collage Of Rheumatology 1997)

sistemik Kulit Oral Laboratorium

 Arthritis  Serositis

 Gangguan ginjal

 Gangguan saraf

Butterfly rash

Discoid rash

 Fotosensitivitas

 Gangguan darah

 Gangguan imun

 Antibodiantinuklir

(18)

2.4 Kerangka Konsep

ODAPUS (Orang Penderita Lupus)

Manifestasi Oral

 Xerostomia

 Lesi Ulserasi

 Lesi Merah dan Merah /Putih

 Lesi Diskoid

Gambar

Gambar 1 . Butterfly rash.20
Tabel 1.  Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997.14
Gambar 2. Ulser oral pada pasien SLE  31
Gambar 4. Lesi Herpes Simplek.32
+5

Referensi

Dokumen terkait