• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Manifestasi Oral pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prevalensi Manifestasi Oral pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI MANIFESTASI ORAL PADA PASIEN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

DI KOMUNITAS LUPUS (CINTA KUPU)

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh gelar sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

ATIKA PUTRI

NIM : 100600005

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2014

Atika Putri

Prevalensi Manifestasi Oral Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di

Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.

x + 45 halaman

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronis

yang etiologi utamanya belum diketahui dan paling sering ditemukan pada

perempuan usia produktif yaitu usia 15–44 tahun. SLE dapat menimbulkan

manifestasi ke organ sistemik lain seperti ginjal, muskuloskeletal, saraf, kulit,

kardiovaskular termasuk rongga mulut. Pada rongga mulut, manifestasi SLE dapat

berupa xerostomia, lesi ulserasi, lesi diskoid serta lesi merah dan merah/putih yang

dapat terjadi secara rekuren dan dapat mengganggu kualitas hidup para ODAPUS

(Orang Penderita Lupus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manifestasi oral

SLE yang timbul pada rongga mulut ODAPUS dan mengetahui prevalensi

masing-masing manifestasi oral tersebut. Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei

deskriptif dan dilakukan pada 45 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus Cinta

Kupu Sumatera Utara. Data manifestasi oral dikumpulkan menggunakan kuesioner

dan pemeriksaan langsung pada rongga mulut ODAPUS. Hasil penelitian

menunjukkan dari 45 ODAPUS ditemukan 29 orang mempunyai manifestasi oral.

(3)

merah dan merah/putih, kemudian xerostomia ditemukan berjumlah 29%, lesi

ulserasi berjumlah 26%, dan lesi diskoid sebanyak 15%. Dari hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa manifestasi penyakit SLE pada rongga mulut merupakan kasus

yang cukup sering dialami oleh para ODAPUS sehingga upaya pencegahan dan

penatalaksanaan oral yang tepat sangat diperlukan bagi para ODAPUS agar tetap

memperoleh kualitas hidup yang lebih baik.

Daftar Rujukan: 39 (1978-2013)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan

judul “Prevalensi Manifestasi Oral pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara” yang merupakan salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan,

bantuan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu dengan kerendahan hati serta

penghargaan yang tulus penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. H. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara.

2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM, Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing

I atas waktu yang telah diberikan, kesabaran, saran, dukungan, bantuan, motivasi dan

bimbingan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Indri Lubis, drg, selaku dosen pembimbing II atas waktu yang telah

diberikan, tenaga, saran, motivasi dan kesabaran dalam membimbing penulis selama

penyelesaian skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Dr. Wilda Hafni Lubis, drg., M.Si dan Nurdiana, drg., Sp.PM selaku tim

penguji skripsi atas waktu yang telah diberikan, saran, dukungan, dan bantuan kepada

penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Dwi Tjahyaning Putranti, drg., MS, penasehat akademik yang telah

banyak membimbing selama masa pendidikan.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran,

(5)

7. Dr. Gino Tann, Sp.PK., MD., Ph.D (LOND).,FISH selaku penasehat

komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara yang telah memberikan nasehat, saran,

arahan dan dukungan dalam pelaksanaan penelitian ini.

8. Hj. Irawati Nasution, SH., MH selaku Ketua komunitas lupus (Cinta

Kupu) Sumatera Utara beserta staff pengurus komunitas lupus (Cinta Kupu)

Sumatera Utara yang telah memberikan izin, bantuan, arahan dan saran dalam

pelaksanaan penelitian ini.

9. Sahabatku tersayang Athien Fadillah, Zeri Winda Ayu, Poppy Yoanda,

Puput Roza Dewi, Gustrigiani Putri, Alfina Subiantoro, Intan Aisyah, Dara Puspita,

Nurul Yunita, Wulandari Thawafany, dan teman-teman angkatan 2010 lainnya yang

tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan, semangat dan hal-hal yang telah

diberikan selama menjalani perkuliahan.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua

orang tua penulis, ayahanda dan ibunda tercinta Alm. Tugiman, SH dan Siti Azir,

orang tua angkat tercinta Nursana Nasution, adik-adik tersayang M. Zulfahmi Putra,

Indana Raihatul Jannah dan Indani Raihatul Jannah, yang telah memberi doa,

semangat, kasih sayang serta pengorbanan tak terhingga kepada penulis.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki

menjadikan skripsi ini masih perlu perbaikan, saran dan kritik membangun. Akhirnya

penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan

pikiran yang berguna bagi pengembangan disiplin ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi

khususnya Departemen Ilmu Penyakit Mulut.

Medan, April 2014

Penulis,

Atika Putri

(6)

DAFTAR ISI

2.1 Systemic Lupus Erythematosus... 5

2.1.1 Definisi ... 5

2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi ... 5

2.1.3 Gambaran Klinis ... 7

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.3 Populasi dan Sampel ... 23

(7)

3.3.2 Kriteria Eksklusi ………... 24

3.4 Variabel dan Definisi Operasional ... 24

3.4.1 Variabel Bebas ... 24

3.4.2 Variabel Tergatung ... 24

3.4.3 Variabel Tak Terkedali ... 24

3.4.4 Definisi Operasional ... 24

3.5 Sarana Penelitian ... 26

3.6 Cara Pengumpulan Data ... 26

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 27

3.7 Etika Penelitian ... 28

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 29

BAB 5 PEMBAHASAN ... 34

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi

tahun 1997 ... 10

2 Distribusi dan frekuensi sampel berdasarkan jenis

kelamin pada pasien SLE yang bergabung di

komunitas lupus (Cinta Kupu)

Sumatera Utara ... 29

3 Distribusi dan frekuensi sampel berdasarkan umur pada

pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus

(Cinta Kupu) Sumatera Utara ... 29

4 Distribusi dan Frekuensi Pasien SLE di Komunitas

Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara yang Memiliki

Manifestasi Oral ... 30

5 Distribusi dan frekuensi pasien SLE yang bergabung di

komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara berdasarkan

jumlah lesi ... 31

6 Distribusi dan Frekuensi Manifestasi Oral pada Pasien

SLE yang Bergabung di Komunitas Lupus Cinta Kupu

Sumatera Utara ... 31

7 Distribusi dan frekuensi lesi ulserasi pada pasien

SLE yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu

Sumatera Utara ... 32

8 Distribusi dan frekuensi lesi merah dan merah/putih

pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Butterfly rash ...... 9

2 Ulser oral pada pasien SLE ... 15

3 Lesi ulserasi mirip lichen planus pada pasien SLE ... 16

4 Lesi Herpes Simplek ... 16

5 Lesi diskoid pada bibir pasien SLE ... 17

6 Lesi bibir bersisik dan merah pada pasien SLE ... 17

7 Lesi mirip lichen planus retikuler ... 18

8 Lesi mirip lichen planus atrofik ... 18

9 Trush ... 19

10 Trush pada pasien imunosupresi (SLE) ... 19

11 Kandidiasis hiperplastik kronis disudut mulut yang menyebar ke mukosa pipi ... 20

12 Kandidiasis atrofik akut ... 20

 

       

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian

2. Lembar persetujuan setelah penjelasan (Informed Consent)

3. Kuesioner

4. Lembar pemeriksaan

5. Gambar lichen planus retikuler, ulser, lesi diskoid dan trush

6. Surat persetujuan komisi etik

7. Surat keterangan izin penelitian dari komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera

Utara

8. Surat keterangan telah melakukan penelitian di komunitas lupus (Cinta Kupu)

Sumatera Utara

(11)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2014

Atika Putri

Prevalensi Manifestasi Oral Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di

Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.

x + 45 halaman

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronis

yang etiologi utamanya belum diketahui dan paling sering ditemukan pada

perempuan usia produktif yaitu usia 15–44 tahun. SLE dapat menimbulkan

manifestasi ke organ sistemik lain seperti ginjal, muskuloskeletal, saraf, kulit,

kardiovaskular termasuk rongga mulut. Pada rongga mulut, manifestasi SLE dapat

berupa xerostomia, lesi ulserasi, lesi diskoid serta lesi merah dan merah/putih yang

dapat terjadi secara rekuren dan dapat mengganggu kualitas hidup para ODAPUS

(Orang Penderita Lupus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manifestasi oral

SLE yang timbul pada rongga mulut ODAPUS dan mengetahui prevalensi

masing-masing manifestasi oral tersebut. Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei

deskriptif dan dilakukan pada 45 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus Cinta

Kupu Sumatera Utara. Data manifestasi oral dikumpulkan menggunakan kuesioner

dan pemeriksaan langsung pada rongga mulut ODAPUS. Hasil penelitian

menunjukkan dari 45 ODAPUS ditemukan 29 orang mempunyai manifestasi oral.

(12)

merah dan merah/putih, kemudian xerostomia ditemukan berjumlah 29%, lesi

ulserasi berjumlah 26%, dan lesi diskoid sebanyak 15%. Dari hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa manifestasi penyakit SLE pada rongga mulut merupakan kasus

yang cukup sering dialami oleh para ODAPUS sehingga upaya pencegahan dan

penatalaksanaan oral yang tepat sangat diperlukan bagi para ODAPUS agar tetap

memperoleh kualitas hidup yang lebih baik.

Daftar Rujukan: 39 (1978-2013)

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronis

yang paling sering ditemukan pada perempuan usia produktif yaitu usia 15 – 44

tahun.1 Menurut The Lupus Foundation of America, diperkirakan sekitar 1,5 juta penduduk Amerika menderita lupus dengan rasio perbandingan 9 : 1 antara

perempuan dan laki-laki pada setiap 100.000 penduduk.2

Kepala Badan Litbang Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, dr. Dr. Trihono,

MSc menyatakan bahwa di Indonesia, orang penderita lupus (ODAPUS) diperkirakan

berjumlah 1,5 juta orang dengan 100.000 ODAPUS baru ditemukan setiap tahunnya.3 Berdasarkan data Yayasan Lupus Indonesia, jumlah ODAPUS di Indonesia

meningkat dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 yaitu tercatat 8018 orang,

sementara di RS. Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien lupus dari total pasien

yang berobat ke Poliklinik Reumatologi selama tahun 2010.Dari data Yayasan Lupus

Indonesia, ternyata di Sumatera Utara juga terdapat sebuah komunitas lupus yang

bernama Cinta Kupu yang didirikan oleh para penderita lupus yang ada di Sumatera

Utara.4

Bukti ilmiah menyatakan bahwa etiologi utama penyakit SLE belum

diketahui. Meskipun demikian, beberapa faktor seperti genetik, imunologi, hormonal

serta lingkungan diketahui dapat berperan dalam patofisiologi SLE.5 Pada respons kekebalan tubuh normal, semua unsur sistem imun bekerja sama untuk memberikan

respons terhadap peradangan yang terjadi di dalam tubuh. Sistem imun berfungsi

untuk menjaga tubuh dari bakteri, virus dan benda asing lain, namun pada ODAPUS,

sistem imun berbalik menyerang jaringan tubuh yang sehat sehingga terjadi inflamasi

pada jaringan dan mengakibatkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Kondisi

(14)

gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit lain, sehingga diagnosa SLE sangat

sulit untuk ditegakkan.6,7

SLE dapat berdampak pada beberapa organ, seperti ginjal, muskuloskeletal,

saraf, kulit, kardiovaskular, termasuk rongga mulut. Manifestasi yang timbul pada

beberapa organ tersebut dapat terjadi secara rekuren dan dapat mengganggu kualitas

hidup para ODAPUS.2 Biesecker dkk (1982) melakukan penelitian untuk melihat

manifestasi SLE pada beberapa organ tubuh dan menemukan bahwa kelainan pada

sendi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai pada pasien SLE. Selain itu

depresi, anorexia dan kelainan pada kulit juga dilaporkan dijumpai pada pasien SLE.8 Albilia dkk (2007) melaporkan bahwa 30% dari pasien SLE mengalami komplikasi

pada ginjal dan 40% dapat mengalami lesi pada rongga mulut.9

Penelitian yang dilakukan oleh Rhodus dan Jhonson (1990) yang dilakukan

pada 16 pasien SLE dengan usia di atas 60 tahun, ditemukan 100% dari pasien SLE

tersebut mengalami xerostomia, 87,5% mengalami angular kelitis, 87,5% mengalami

gangguan pengecapan, dan 81,3 % mengalami mukositis dan glositis.10 Zakeri dkk (2012) dalam penelitiannya mengenai manifestasi oral pada pasien SLE di Iran

menemukan dari 70 pasien SLE pada rentang usia 10-70 tahun ditemukan 43 orang

(61,4%) memiliki lesi oral dan 27 orang (38,6%) tidak memiliki lesi oral. Lesi oral

yang paling banyak ditemukan adalah lesi merah 20 orang (35,08%), lesi putih 12

orang (21,05%), pigmentasi 11 orang (19,29%), ulser 10,52%, angular kelitis

10,52%, lesi putih dan merah 3,52%, serta 36 orang (51,4%) mengalami

xerostomia.11

Hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai prevalensi manifestasi oral SLE

masih terlihat bervariasi. Disamping itu menurut survei pendahuluan peneliti,

komunitas lupus yang terdapat di Sumatera Utara (Cinta Kupu) belum pernah

dilakukan penelitian di bidang kedokteran gigi. Mengacu pada hal-hal yang telah

dikemukakan di atas penulis merasa perlu melakukan penelitian dari bidang

kedokteran gigi, khususnya mengenai manifestasi oral SLE yang timbul pada

(15)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apa saja manifestasi oral SLE yang timbul pada ODAPUS yang

bergabung di Cinta Kupu ?

2. Berapakah prevalensi masing-masing manifestasi oral SLE yang timbul

pada ODAPUS yang bergabung di Cinta Kupu ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui manifestasi oral SLE yang timbul pada ODAPUS

yang bergabung di Cinta Kupu.

2. Untuk mengetahui prevalensi masing-masing manifestasi oral SLE yang

timbul pada ODAPUS yang bergabung di Cinta Kupu.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis :

1. Memberikan informasi untuk ODAPUS dan komunitas lupus Cinta Kupu

tentang manifestasi oral yang dapat timbul akibat penyakit lupus.

2. Sebagai bahan informasi untuk perkembangan ilmu kedokteran dan

kedokteran gigi mengenai manifestasi oral yang dapat timbul pada pasien lupus.

1.4.2 Manfaat Praktis :

1. Dokter gigi secara profesional dapat mengedukasi para ODAPUS tentang

pentingnya menjaga kebersihan rongga mulut sebagai bagian dari pencegahan dan

(16)

2. Sebagai bahan masukan untuk aparat pemerintahan serta komunitas lupus

agar melibatkan baik dokter gigi umum maupun dokter gigi spesialis penyakit mulut

untuk menangani para ODAPUS, sehingga kualitas hidup para ODAPUS dapat

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 2.1.1 Definisi

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,

sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah

lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan

suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing

hutan. 12

Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan

menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat

menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.13 Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan

adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan

disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.

Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada

setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.

Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai

penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi

yang muncul dan organ yang terlibat.14

2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor

predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara

(18)

paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.15 Berikut ini beberapa faktor

predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul

produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE

telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak

kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko

terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki

saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi

umum.15,1

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen

merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak

90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di

Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen

reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.15,1

2. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting

Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa

reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun

fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini

menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali

(19)

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan

teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk

autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit

mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan

autoantibodi menjadi tidak normal.16,2

c. Kelainan antibodi

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat

antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T

untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan

produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.16,2

3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa

studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang

tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal

dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.16,17

4. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi

dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri

dari:

a. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya

SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri

Streptococcus dan Clebsiella.17

b. Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi

menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini

menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi

(20)

c. Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki

kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan

terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan

mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan

sejak awal.17,18

d. Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat

menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,

dan isoniazid.17,19

2.1.3 Gambaran Klinis

SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi

dan remisi. Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal,

muskuloskeletal, saraf, kardiovaskular, serta rongga mulut.15,20

Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada ginjalnya.

Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas

pada populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria

asimtomatik yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis

progresif disertai dengan gagal ginjal.15

Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada

muskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan

nekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada pasien SLE.15

Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan subacute cutaneous

lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa

(21)

seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu dengan DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE.15,21

Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bulla, dan panikulitis.15

Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar

20% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan

saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis dan

dapat memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.15,22

SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis.

Selain itu, kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga

terjadi. Selama kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat

dengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner, dan hal ini telah menjadi masalah

klinis yang penting. Berdasarkan sebuah studi, dinyatakan bahwa infark miokardium,

gagal jantung, dan stroke adalah 8,5, 13,2 dan 10,1 kali lebih sering terjadi pada

(22)

peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya kelainan pada fibrinolisis,

protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi antifosfolipid. SSP dan

trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab utama morbiditas pada pasien

SLE. Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.15,22

2.1.4 Diagnosa

Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat

menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat

sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul

berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar

limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital

lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain

misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya.

Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk

diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain.14,23

Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98% dan pada

tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE yang telah direvisi.14

Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997.14

Kriteria Definisi

1. Butterfly Rash Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderung

tidak mengenai lipatan nasolabial.

2. Discoid Rash Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dan

sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang

sudah lama timbul.

(23)

Kriteria Definisi

4. Ulser Mulut Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya tidak

nyeri jika sudah kronis.

5. Arthtritis Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih

persendian perifer dengan rasa sakit disertai pembengkakan

6. Serositis Radang pada garis paru-paru, disebut juga pleura atau pada jantung disebut juga pericardium

7. Kelainan Ginjal Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan tidak

normal dalam urin terlihat dengan bantuan mikroskop

8. Kelainan Saraf Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan

metabolik yang diketahui.

9. Kelainan Darah Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - <4,0 x

10 pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua atau

lebih pemeriksaan.

10.Kelainan Imunitas Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer

abnormal ; atau antibody antifosfolipid positif berdasarkan

pada kadar antibodi antikardiolipin IgG atau IgM serum

yang abnormal dan uji positif antikoagulan lupus

menggunakan uji standar.

11.Tes ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya

obat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang diinduksi

obat.

Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis SLE

mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya

ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat ditegakkan dan

diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes ANA, jika hasil tes

(24)

tidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini

memerlukan observasi jangka panjang.14,1

2.1.5 Terapi

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan

agar tujuan terapi dapat tercapai.14,15 Berikut pilar terapi SLE : a. Edukasi dan Konseling

Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh

pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu

diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan

penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari

paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan

perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau

terjadinya osteoporosis.14 b. Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh

pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi

dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.14 c. Terapi Medikasi

Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.14,24

1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)

NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan

yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan

jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan

tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti

(25)

2. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam

pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai

tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid

dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh :

Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi,

namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.14,24 Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan

kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan

gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.14,24

3. Antimalaria

Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari

hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat

antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada

mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak

melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan

ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama

pengobatan.14,24 4. Immunosupresan

Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem

imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien

SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.14,24

2.2 Manifestasi SLEpada Rongga Mulut

(26)

a. Xerostomia

Xerostomia merupakan salah satu manifestasi SLE pada rongga mulut. Sekitar

75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering

terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Adanya infiltrasi limfosit pada

kelenjar saliva mayor telah ditemukan pada 50-75% pasien SLE, baik pada pasien

yang mengeluhkan adanya rasa kering di mulut ataupun tidak. Laju aliran saliva yang

tidak distimulasi terlihat menurun pada beberapa penderita SLE. Hal ini dapat

dikaitkan pada penyakit autoimun lain yaitu Sjogren’s Syndrome yang menyerang kelenjar saliva mayor. SLE juga menjadi komponen diagnosis dari Sjogren’s Syndrom.26,27

Kelainan pada kuantitas saliva pasien SLE dapat ditemukan pada saat

pemeriksaan kadar imunoglobulin (Ig) dalam saliva. Pada pasien SLE dapat terlihat

adanya peningkatan konsentrasi Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi Ig G biasanya

dalam batas normal. Hal ini dapat terjadi karena Ig A dan Ig M disintetis secara lokal

dan disekresikan ke dalam saliva, sedangkan Ig G diinfiltrasi oleh plasma. Kejadian

ini ditemukan pada 30% pasien lupus. Peningkatan Ig A dan Ig M pada saliva dapat

disebabkan oleh penurunan kuantitas saliva.28 b. Lesi Ulserasi

Berdasarkan kriteria ACR 1997, ulser rongga mulut merupakan salah satu

kriteria untuk penegakan diagnosis SLE.29 Dalam suatu studi, prevalensi ulserasi orofaringeal berjumlah 15% pada pasien lupus. Lesi ulser pada SLE berukuran lebih

dari 1 cm, dengan tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi dengan eritema halo.

Ulser ini dapat timbul sebelum, saat ataupun setelah lesi kulit timbul. Ulser pada

pasien lupus sering ditemukan pada mukosa bukal, gingiva, palatum, serta meluas ke

daerah faring. Lesi juga dapat tidak spesifik, asimtomatik, dan bila semakin parah

akan menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman, namun pada pasien lupus, ulser

biasanya timbul pada saat lupus teraktifasi (flare up) (Gambar 2). Biasanya, ulser pada pasien lupus lebih lama mengalami masa penyembuhan. Penyembuhan lesi ini

(27)

Selain ulser, juga sering terlihat lesi berwarna merah dan putih, berbentuk

garis-garis yang sejajar dan multipel pada beberapa permukaan mukosa. Lesi ini

dapat dikatakan mirip dengan lichen planus (Gambar 3). Hal ini disebabkan karena keduanya merupakan kelainan inflamasi mukokutaneus imunologik kronik yang

memiliki gambaran keratotik, berwarna kemerahan, dan disertai ulser.25 Pada pemeriksaan histopatologi, juga terlihat kesamaan antara SLE dan lichen planus,

yaitu terdapat kerusakan pada sel basal, sel limfosit, perivaskular, hiperkeratotis, dan

atrofi perifer. Pada dasarnya, butterfly rash yang terdapat di pipi dan hidung dapat membantu dalam menyingkirkan diagnosa lichen planus. Selain itu, pada pemeriksaan histopatologi juga dapat terlihat perbedaan antara SLE dan lichen planus, yaitu pada SLE terlihat edema submukosa dan vasodilatasi pembuluh darah, sementara pada lichen planus, sama sekali tidak terlihat hal tersebut.25,28

(28)

Gambar 3. Lesi ulserasi mirip lichen planus pada pasien SLE. 15

Lesi ulserasi lainnya juga sering dijumpai di daerah vermilion bibir, seperti

lesi ulser yang biasanya disebabkan oleh virus herpes. Lesi awal terlihat berupa

vesikel berukuran kecil dan berkelompok, kemudian dalam hitungan jam vesikel akan

pecah dan menjadi ulserasi yang pada permukaannya terlihat lapisan berwarna

kekuningan (Gambar 4).25,33

(29)

c. Lesi Diskoid

Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah bagian tepi

vermillion yang sering terpajan dengan sinar matahari (Gambar 5), sementara itu

bibir bagian atas juga dapat terkena akibat perluasan langsung dari lesi diskoid yang

terdapat pada kulit. Lesi biasanya diawali dengan lesi kemerahan, namun

lama-kelamaan berubah menjadi lesi keratotik dan bersisik (Gambar 6). Bila sisik diangkat,

maka bibir akan perih dan menimbulkan perdarahan.25

Gambar 5. Lesi diskoid pada bibir pasien SLE.15,25

Gambar 6. Lesi bibir bersisik dan merah pada

(30)
(31)
(32)
(33)

2.3 Kerangka Teori

Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal Faktor Lingkungan

 Xerostomia  Lesi Ulserasi  Lesi Diskoid  Lesi mirip

lichen planus

 Kandidiasis SLE

(Systemic Lupus Erythematosus)

Gejala & gambaran menurut ACR

(American Collage Of Rheumatology 1997)

sistemik Kulit Oral Laboratorium

 Arthritis  Serositis

 Gangguan ginjal  Gangguan saraf

Butterfly rash

Discoid rash

 Fotosensitivitas

 Gangguan darah  Gangguan imun  Antibodiantinuklir

(34)

2.4 Kerangka Konsep

ODAPUS

(Orang Penderita Lupus)

Manifestasi Oral

 Xerostomia  Lesi Ulserasi

 Lesi Merah dan Merah /Putih  Lesi Diskoid

(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Survei deskriptif dengan pendekatan cross sectional adalah jenis penelitian dimana data yang menyangkut variabel bebas, yaitu pasien Systemic Lupus Erythematosus dan variabel terikat, yaitu manifestasi oral (xerostomia, lesi ulserasi, lesi diskoid, lesi merah dan merah/putih) akan dikumpulkan dalam waktu yang

bersamaan.34

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekretariat komunitas lupus Cinta Kupu Sumatera

Utara di Jl. Medan Binjai Km 10,8 Perumahan Villa Mulia. Cinta Kupu didirikan

pada tanggal 16 Oktober 2011 yang bertujuan untuk membantu sesama ODAPUS

dengan cara berbagi informasi seputar penyakit lupus baik bersumber dari

pengalaman maupun bersumber dari dokter ahli. Pada komunitas ini belum ada peran

serta dokter gigi dalam membagi informasi mengenai penyakit SLE yang

berhubungan dengan ruang lingkup kedokteran gigi.35 Waktu penelitian dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu dimulai dari bulan Desember sampai Februari 2014.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah orang penderita lupus (ODAPUS) yang

bergabung di komunitas lupus Cinta Kupu Sumatera Utara yang berdomisili di

(36)

Sampel pada penelitian ini diambil secara total sampling, yaitu pada Orang

Penderita Lupus (ODAPUS) yang bergabung di komunitas lupus Cinta Kupu

Sumatera Utara yang berdomisili di Medan.

3.3.1 Kriteria Inklusi

a. ODAPUS yang bergabung di komunitas Cinta Kupu SUMUT

b. ODAPUS yang menyetujui menjadi sampel penelitian

c. ODAPUS yang sanggup untuk dilakukan pemeriksaan

3.3.2 Kriteria Eksklusi

ODAPUS yang tiba-tiba berhenti mengikuti seluruh tahapan prosedur

pemeriksaan sehingga tidak dapat menyelesaikan seluruh tahapan pemeriksaan.

3.4 Variabel dan Definisi Operasional

3.4.1 Variabel Bebas

Orang Penderita Lupus (ODAPUS).

3.4.2 Variabel Tergantung

Manifestasi oral pasien Systemic lupus erythematosus, terdiri dari xerostomia, lesi ulserasi, lesi diskoid, lesi merah dan merah/putih.

(37)

3.4.4 Definisi Operasional

1. ODAPUS adalah orang yang menderita penyakit Systemic Lupus

Erythematosus dan diagnosis penyakit SLE tersebut ditegakkan berdasarkan rekam

medis dokter komunitas lupus Cinta Kupu SUMUT

2. Xerostomia adalah jika ODAPUS merasakan sensasi mulut kering atau

keadaan mukosa kering atau merasakan keduanya.23 Pemeriksaan sensasi mulut

kering secara subjektif akan diperiksa menggunakan kuesioner dengan ketentuan

skor lebih besar lima atau sama dengan lima, sementara pemeriksaan kondisi rongga

mulut yang terlihat kering akan dilakukan pemeriksaan menggunakan kaca mulut,

dengan ketentuan kaca mulut akan lengket atau susah terlepas dari mukosa bukal dan

lidah.

3. Lesi ulserasi

a. Ulser: jika terlihat ulser yang tidak beraturan, dangkal, berwarna

kuning-keputihan, berbatas jelas, dikelilingi eritema halo dan berukuran >1 cm.25

b. Lichen planus erosif: jika terlihat tepi-tepi mukosa yang tidak teratur, pseudomembran sentral berwarna kuning-kuningan dan dikelilingi oleh striae.25

c. Ulser herpetika: jika terlihat ulser berukuran kecil, berbentuk oval,

berkelompok, menyatu, pseudomembran berwarna kuning.25

4. Lesi diskoid adalah jika terlihat lesi eritema dengan titik putih yang

dikelilingi striae putih dan terihat bersisik.25

5. Lesi merah dan merah/putih

a. Lichen planus retikuler: jika terlihat banyak garis-garis putih halus

berkilauan yang tersusun dalam satu jaringan mirip jala.25 b. Lichen planus atrofik: jika terlihat bercak-bercak pada mukosa, berwarna

merah, tanpa ulserasi. Striae sering terlihat di tepi lesi.25

c. Trush: jika terlihat plak-plak putih, berkelompok, mempunyai tepi

eritematosus dan jika dikerok akan meninggalkan permukaan yang merah, kasar atau

(38)

d. Kandidiasis atrofik akut: jika terlihat permukaan mukosa eritema dengan

daerah kemerahan simetris, tepi berbatas tidak teratur.25

e. Kandidiasis keratotik kronis (hiperplastik): jika terlihat mukosa yang

tepinya menimbul, tegas, dan permukaan putih dengan beberapa daerah merah dan

tidak dapat dikerok.25

3.5 Sarana Penelitian

Alat Pemeriksaan

a. Kidney tray

b. Kaca mulut

c. Spatula kayu

d. Lampu

e. Kantong sampah

f. Lembar pemeriksaan

g. Kuesioner

Bahan

a. Larutan sterilisasi

b. Masker dan sarung tangan

c. Rekam medik

3.6 Metode Pengumpulan Data

Sebelum dilakukan pengumpulan data, peneliti beserta anggota peneliti

melakukan pelatihan dengan dokter spesialis penyakit mulut guna melatih

kemampuan peneliti dan anggota peneliti untuk melihat lesi-lesi oral pada para

(39)

Utara, subjek yang dipilih disesuaikan dengan kriteria inklusi. Selanjutnya subjek

diberikan lembar penjelasan mengenai penelitian. Bila subjek bersedia berpartisipasi

dalam penelitian, maka subjek penelitian menandatangani lembar informed concent.

Data demografi diperoleh dari rekam medik pasien yang berobat ke klinik

dokter komunitas lupus. Kelainan mulut diketahui dengan cara anamnesis dan

pemeriksaan klinis terhadap pasien SLE. Anamnesis dilakukan untuk pemeriksaan

xerostomia. Sedangkan pemeriksaan klinis untuk melihat kelainan mulut berupa lesi

ulser, lesi diskoid dan lesi merah dan merah/putih. Pemeriksaan rongga mulut

dilakukan dengan meminta subjek untuk duduk dalam keadaan rileks, posisi

pemeriksaan berdiri di depan subjek. Satu orang asisten berada di samping pemeriksa

yang bertugas mengisi kartu rekam medik yang dijumpai pada subjek penderita.

Kriteria diagnosis menifestasi oral sesuai dengan kriteria definisi operasional.

Selanjutnya alat disterilkan, lalu dilakukan hal yang sama pada subjek lain.

3.7Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara manual, ditabulasi, lalu dikonversikan

ke tabel. Analisis data menggunakan analisis univariat. Data univariat disajikan

dalam bentuk tabel yang meliputi:

1. Distribusi dan frekuensi sampel berdasarkan jenis kelamin pada pasien

SLE yang bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.

2. Distribusi dan frekuensi sampel berdasarkan umur pada pasien SLE yang

bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.

3. Distribusi dan frekuensi pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus

(Cinta Kupu) Sumatera Utara berdasarkan jumlah lesi.

4. Distribusi dan frekuensi manifestasi oral pada pasien SLE yang

bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.

5. Distribusi dan frekuensi lesi ulserasi pada pasien SLE yang bergabung di

(40)

6. Distribusi dan frekuensi lesi merah dan merah/putih pada pasien SLE

yang bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.

3.8Etika Penelitian

Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup :

1. Lembar persetujuan (Informed Consent)

Peneliti melakukan pendekatan dan memberikan lembar persetujuan kepada

responden kemudian menjelaskan terlebih dulu tujuan penelitian, tindakan yang akan

dilakukan serta menjelaskan manfaat yang akan diperoleh dan hal-hal lain yang

berkaitan dengan penelitian. Bagi responden yang setuju, maka dimohonkan untuk

menandatangani lembar persetujuan agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan

penelitian.

2. Ethical Clearance

Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada

komisi etik penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat

(41)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Responden

Responden penelitian ini terdiri dari 45 ODAPUS yang bergabung di

komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara yang berdomisili di Medan. Dari data

primer yang diperoleh, dapat dilihat pada tabel 2 ODAPUS yang berjenis kelamin

laki-laki berjumlah 2 orang (5%) dan perempuan sebanyak 43 orang (95%).

Tabel 2. Distribusi dan frekuensi pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus

cinta kupu Sumatera Utara berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (F) Persentase (%)

Laki- Laki 2 5

Perempuan 43 95

Total 45 100

Pada penelitian ini, usia responden dibagi menjadi tiga kelompok usia yaitu

kelompok usia < 20 tahun dijumpai 1 orang (2%) laki-laki dan 11 orang (25%)

perempuan, kelompok usia 20-40 tahun dijumpai 1 orang (2%) laki-laki dan

perempuan 22 orang (49%), serta kelompok usia > 40 tahun dijumpai 10 orang (22%)

perempuan (Tabel 3).

Tabel 3. Distribusi dan frekuensi pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus

cinta kupu Sumatera Utara berdasarkan usia

Usia (Tahun) Frekuensi (F) Persentase (%)

< 20 12 27

20 – 40 23 51

>40 10 22

(42)

4.2 Distribusi dan Frekuensi Pasien SLE di Komunitas Lupus Cinta

Kupu Sumatera Utara yang Memiliki Manifestasi Oral

Pada 45 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera

Utara, ditemukan 29 orang (64%) memiliki manifestasi oral dan 16 orang (36%)

lainnya tidak ditemukan adanya manifestasi pada rongga mulut (Tabel 4).

Tabel 4. Distribusi dan frekuensi pasien SLE di komunitas lupus cinta kupu Sumatera

Utara yang memiliki manifestasi oral

Manifestasi Oral Frekuensi (F) Persentase (%)

Ada 29 64

Tidak Ada 16 36

Total 45 100

4.3 Distribusi dan Frekuensi Pasien SLE yang Bergabung di Komunitas

Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara Berdasarkan Jumlah Lesi

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan kepada 45 ODAPUS,

sebanyak 16 orang (36%) tidak ditemukan adanya lesi di rongga mulut, kemudian

ditemukan sebanyak 3 orang (7%) hanya mengalami 1 lesi saja, sebanyak 5 orang

(11%) ditemukan 2 lesi pada rongga mulutnya, ditemukan sebanyak 6 orang (13%)

mengalami 3 lesi oral dan sebanyak 15 orang (33%) ditemukan lebih dari 3 lesi pada

(43)

Tabel 5. Distribusi dan frekuensi pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus

cinta kupu Sumatera Utara berdasarkan jumlah lesi

Jumlah Lesi Frekuensi (F) Persentase (%)

Tidak ada lesi 16 36

4.4 Distribusi dan Frekuensi Manifestasi Oral pada Pasien SLE yang

Bergabung di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara

Dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi di rongga mulut, ditemukan

94 manifestasi oral. Persentase paling tinggi adalah lesi merah dan merah/putih

ditemukan sebanyak 28 lesi (30%), kemudian xerostomia ditemukan berjumlah 27

lesi (29%), lesi ulserasi dengan jumlah 25 lesi (26%), dan lesi diskoid dengan jumlah

14 lesi (15%) (Tabel 6).

Tabel 6. Distribusi dan frekuensi manifestasi oral pada pasien SLE yang bergabung

di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara

Manifestasi Oral Frekuensi (F) Persentase (%)

Xerostomia 27 29

Lesi ulserasi 25 26

Lesi merah dan merah/putih 28 30

Lesi diskoid 14 15

(44)

4.5 Distribusi dan Frekuensi Lesi Ulserasi pada Pasien SLE yang

Bergabung di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara

Pada penelitian ini, dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi oral

ditemukan 25 (26%) lesi ulserasi. Lesi ulserasi yang ditemukan terdiri dari ulser dan

ulser herpetika, dengan persentase paling besar terlihat pada ulser dengan jumlah 20

(80%), kemudian ulser herpetika ditemukan sebesar 5 (20%) dan tidak ditemukan

lichen planus erosif pada ODAPUS yang bergabung di komunitas cinta kupu

Sumatera Utara (Tabel 7).

Tabel 7. Distribusi dan frekuensi lesi ulserasi pada pasien SLE yang bergabung di

komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara

Lesi Ulserasi Frekuensi (F) Persentase (%)

Ulser 20 80

Lichen Planus Erosif 0 0

Ulser Herpetika 5 20

Total 25 100

4.6 Distribusi dan Frekuensi Lesi Merah dan Merah/Putih pada Pasien

SLE yang Bergabung di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera

Utara

Dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi di rongga mulut, di temukan

sebanyak 28 (30%) lesi merah dan merah putih yang terdiri dari trush ditemukan paling banyak yaitu 24 (86%), kemudian ditemukan lichen planus retikuler sebesar 4 (14%). Tidak ditemukan manifestasi oral berupa lichen planus atrofik, kandidiasis hiperplastik dan kandidiasis atrofik akut pada ODAPUS yang bergabung di

(45)

Tabel 8. Distribusi dan frekuensi lesi merah dan merah/putih pada pasien SLE yang

bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara

Lesi Merah dan Merah/Putih Frekuensi (F) Persentase (%)

Lichen Planus Retikuler 4 14

Lichen Planus Atrofik 0 0

Trush 24 86

Kandidiasis Hiperplastik 0 0

Kandidiasi Atrofi Akut 0 0

(46)

BAB 5

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, dari 45 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus

Cinta Kupu Sumatera Utara, diperoleh bahwa ODAPUS yang berjenis kelamin

perempuan lebih banyak dibandingkan ODAPUS yang berjenis kelamin laki-laki

(tabel 2). Dari data tersebut diperoleh rasio antara laki-laki dan perempuan yaitu 1 :

19. Hasil penelitian ini diperkuat dengan penelitian Khatibi dkk (2012) yang

melaporkan bahwa jumlah pasien SLE berjenis kelamin perempuan lebih banyak

dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio antara laki-laki dan perempuan 1 : 6.36

Hasil penelitian ini juga serupa dengan penelitian Lourenco SV (2007) yang

melaporkan bahwa pasien SLE lebih banyak perempuan dibandingkan dengan

laki-laki dengan rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki-laki-laki 3 : 1.28 Perbedaan rasio yang signifikan antara laki-laki dan perempuan disebabkan karena adanya

epigenetik. Epigenetik merupakan perubahan turunan pada ekspresi gen yang terjadi

tanpa perubahan sekuens DNA dimana mekanisme yang terjadi berkaitan dengan

metilasi DNA. Inhibisi metilasi DNA selama proses mitosis akan mengganggu

ekspresi gen yang mengakibatkan terjadinya perubahan imunogenik yang dapat

mengganggu respon terhadap self-antigen, termasuk ekspresi berlebihan dari molekul-molekul, salah satunya adalah molekul ko-stimulasi sel B yaitu CD70 dan

CD40L yang menyebabkan stimulasi berlebih pada produksi immunoglobulin.

Molekul CD40L inilah yang berperan penting terhadap kejadian lupus pada

perempuan. Ekspresi berlebihan molekul ini hanya terjadi pada perempuan karena

enkodisasinya terjadi pada kromosom x. Perempuan memiliki dua kromosom x,

sementara laki-laki hanya memilki satu kromosom x saja, maka kemungkinan

terjadinya ekspresi berlebihan CD40L pada perempuan dua kali lebih tinggi

dibandingkan laki-laki. 1,22 Selain epigenetic, hormone estrogen yang jumlahnya lebih banyak pada perempuan, juga dinyatakan dapat membuat perempuan lebih beresiko

(47)

autoimunitas, yang secara tidak langsung akan meningkatkan inflamasi. Estrogen

juga dapat meningkatkan produksi autoantibodi, menghambat fungsi sel NK, serta

memicu atrofi kelenjar timus. Pada penderita SLE, estrogen dimetabolisme secara

berbeda, diakibatkan abnormalitas dari jalur kimia (16-alfa-hidroksilasi) dimana

konsentrasi metabolit 16-alfa-hidroksiestron dan estriol akan terlihat tinggi.1

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa pasien SLE yang bergabung di komunitas

lupus cinta kupu Sumatera Utara yang berdomisili di Medan terjadi hampir pada

semua rentang usia, namun persentase paling tinggi dapat ditemukan pada perempuan

dengan rentang usia 20–40 tahun sebanyak 51%, sementara pasien dengan usia <20

tahun sebanyak 27 % dan persentase paling rendah pada usia >40 tahun yaitu

sebanyak 22 %. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan

oleh Khatibi dkk (2012), pasien dengan usia <25 tahun ditemukan sebanyak 6%, usia

25-45 tahun ditemukan sebanyak 47% dan pasien dengan usia >45 tahun ditemukan

47%.36 Penelitian ini memiliki sedikit persamaan dengan hasil penelitian Zakeri Z (2012) dkk, yang menyatakan pasien yang menderita SLE paling banyak berusia

20-40 tahun yaitu sebanyak 54%, sementara usia >20-40 tahun ditemukan 11% yang

menderita SLE dan 5% ditemukan pada usia <20 tahun. Hal ini dapat disebabkan

karena usia produktif pada perempuan merupakan usia peningkatan hormon

estrogen.1 Pada usia produktif juga kerentanan terpaparnya sinar matahari serta kerentanan terhadap stres, sangat tinggi.1,14

Menurut literatur, manifestasi oral pada pasien SLE juga dijumpai pada pasien

SLE sekitar 20-40%.1,15 Dari tabel 4 terlihat distribusi pasien SLE di komunitas lupus

Sumatera Utara dan berdomisili di Medan yang memiliki manifestasi pada oral

ditemukan sebanyak 64%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Uthman dkk (1999) yang melaporkan bahwa ditemukan dari 40 pasien

SLE ditemukan 40% pasien mengalami lesi oral.37 Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Lourenco SV dkk (2007) menemukan dari 46 pasien SLE, 9-45%

mengalami lesi oral yang berhubungan langsung dengan penyakit SLE, dibuktikan

(48)

antara lesi oral yang timbul karena penyakit SLE secara langsung dengan lesi oral

yang timbul karena efek samping obat atau penyakit lain yang diderita oleh pasien

pasien SLE.25

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 45 rongga mulut ODAPUS, dari

tabel 5 dapat terlihat bahwa pada 16 ODAPUS tidak ditemukan lesi oral, sedangkan

pada 29 dapat ditemukan orang dapat ditemukan lesi oral. Dari 29 ODAPUS,

sebanyak 15 ODAPUS yang memiliki 3 lesi oral pada rongga mulutnya. Menurut

beberapa literatur, keadaan flare up dari para ODAPUS dapat mempengaruhi timbulnya manifestasi pada organ-organ tubuh pasien termasuk rongga mulut.16,30 Pada penelitian ini kebanyakan pasien yang diperiksa merupakan pasien yang sedang

mengalami flare up yang ditentukan oleh beberapa kriteria, terdiri dari timbulnya ruam malar pada kulit, lesi diskoid, ulser rongga mulut serta timbulnya gejala

penyakit SLE pada organ tubuh yang diserang. Para ODAPUS tersebut sedang dalam

masa perawatan yang intensif. Lupus terdiri dari dua periode yaitu periode remisi dan

periode flare up.14 Periode remisi pada pasien lupus merupakan periode tidak aktifnya lupus, ditandai dengan tidak munculnya gejala-gejala di beberapa organ tubuh, dan

dapat dikatakan bahwa pada periode ini pasien dalam keadaan sehat karena periode

ini merupakan tujuan dari pengobatan pada pasien SLE.1,14 Periode flare up pada pasien SLE merupakan periode yang ditandai dengan munculnya kembali

gejala-gejala dari penyakit lupus yang dipicu oleh beberapa faktor seperti paparan langsung

sinar ultra violet, stress, infeksi virus, kehamilan dan lain-lain, artinya pada keadaan

ini penyakit lupus aktif kembali menyerang pasien.1,14

Manifestasi oral yang dapat ditemukan pada pasien SLE terdiri dari

xerostomia, lesi ulserasi, lesi merah dan merah putih serta lesi diskoid.25 Pada tabel 6 dapat terlihat bahwa dari 29 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus Sumatera

Utara yang berdomisili di Medan dan mempunyai manifestasi oral ditemukan 29%

mengalami xerostomia. Beberapa literatur menyebutkan bahwa 50-70% pasien SLE

ditemukan dapat mengalami xerostomia, bahkan penelitian yang dilakukan oleh

Rhodus dan Johnson terhadap 16 pasien SLE yang mempunyai manifestasi oral

(49)

dengan sindrom sjogren yang berhubungan dengan pasien SLE. Sindrom sjogren

merupakan sebuah kelainan autoimun dimana sel imun menyerang dan menyebabkan

kerusakan pada kelenjar air mata serta kelenjar saliva.15 Diperkirakan 10% pasien SLE dapat mengalami sindrom sjogren (SS).1Selain itu pada penelitian ini beberapa ODAPUS yang dianamnesis telah menjalani pengobatan xerostomia dengan

mengunyah permen karet.

Lesi diskoid pada penelitian ini terlihat sebagai bercak eritema menonjol

dengan skuama keratosis seperti bersisik di sekitar rongga mulut dan dapat terjadi

karena perluasan dari lesi pada kulit.1 Dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi pada rongga mulut dapat ditemukan lesi diskoid sebanyak 15%. Lesi ini banyak

ditemukan di daerah vermilion bibir para ODAPUS. Hasil penelitian yang berbeda

dijumpai pada penelitian SchiOdt dan Anderson yang melaporkan bahwa 9,52%

pasien lupus hanya mempunyai lesi diskoid didaerah rongga mulut saja dan 90,47%

pasien mempunyai lesi diskoid di kulit yang meluas ke daerah rongga mulut.38 Hal ini dapat disebabkan karena pada penelitian ini tidak dibedakan antara lesi diskoid yang

timbul hanya pada daerah rongga mulut dengan lesi diskoid yang timbul di rongga

mulut karena perluasan dari lesi di kulit.

Pada penelitian ini ditemukan 26% lesi ulserasi pada 29 ODAPUS yang

mempunyai manifestasi oral. Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa lesi ulserasi yang

paling banyak ditemukan pada ODAPUS adalah ulser, yaitu sebanyak 80% dan

paling banyak di jumpai di lidah, mukosa bukal dan palatum durum. Hasil penelitian

De Rossi pada tahun 1988 juga menyatakan bahwa sebanyak 81,3% pasien SLE

ditemukan ulser pada rongga mulutnya, paling banyak ditemukan di daerah mukosa

bukal dan bibir.39 Ulser sangat sering ditemukan pada rongga mulut para ODAPUS karena keadaan para ODAPUS pada saat pemeriksaan, lupus sedang teraktifasi (flare up).1 Keadaan ini dapat menyebabkan timbulnya ulser pada rongga mulut.25 Pada penelitian ini menemukan ulser herpetika sebanyak 20% dari 29 ODAPUS yang

mempunyai manifestasi pada rongga mulut. Menurut literatur, penggunaan obat

imunosupresan pada pasien SLE dapat memudahkan infeksi virus berkembang di

(50)

Pada tabel 8 terlihat prevalensi yang berhubungan dengan lesi merah dan

merah putih pada penelitian ini ditemukan sebanyak 30%. Hasil penelitian ini

berbeda dengan penelitian Zakeri dkk (2012) yang hanya mendapatkan 3,52% lesi

merah dan merah putih pada pasien SLE. Hal ini dapat disebabkan karena

pengelompokkan lesi merah dan merah putih pada penelitian ini lebih banyak, yaitu

terdiri dari lichen planus tipe retikuler, lichen planus tipe atrofi, oral trush, kandidiasis atrofik akut dan kandidiasis hiperplastik kronis. Sementara pada

penelitian Zakeri dkk mengelompokkan satu persatu lesi-lesi tersebut yang terdiri dari

lesi putih, lesi merah dan lesi merah dan putih.11

Dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi pada rongga mulutnya

ditemukan lesi mirip lichen planus sebanyak 14%. Penelitian Uthman pada 40% pasien SLE yang mempunyai lesi oral, ditemukan 45% lesi merupakan lesi mirip

lichen planus dan paling banyak di temukan di daerah palatum durum serta mukosa bukal.37 Pada penelitian ini lesi mirip lichen planus yang ditemukan hanya lesi dengan tipe retikuler dan terlihat di bagian bukal serta dasar mulut ODAPUS.

Sementara itu lesi mirip lichen planus tipe erosif dan atrofi tidak ditemukan. Beberapa literatur menyatakan bahwa lesi mirip lichen planus yang timbul pada rongga mulut pasien SLE paling banyak berbentuk seperti jala-jala dan dapat

disebabkan karena adanya reaksi hipersensitif yang dapat dilihat melalui

mikroskopis.13 Perbedaan ini dapat disebabkan karena lesi mirip lichen planus ini terjadi karena proses imunologis yang secara mikroskopis menyerupai reaksi

hipersensitif.13 Reaksi hipersensitif seseorang terhadap unsur-unsur patogen sangat

bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali antigen dan melakukan

reaksi yang tepat terhadap antigen tersebut.2,13 Hal ini berarti, semua pasien SLE dapat mengalami lesi mirip lichen planus tergantung pada kemampuan sistem imun dari tiap-tiap pasien.2

Selain lesi mirip lichen planus, pada penelitian ini juga ditemukan salah satu lesi merah dan merah putih yaitu kandidiasis oral dapat dilihat pada tabel 8. Pada

(51)

lidah. Ditemukannya trush pada penelitian ini dapat disebabkan karena penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid, antibiotic dan imunosupresan pada pasien SLE

dapat meningkatkan pertumbuhan jamur Candida sp. pada rongga mulut.30 Selain itu, kebersihan rongga mulut juga memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan

(52)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini pada ODAPUS yang bergabung di komunitas

lupus cinta kupu Sumatera Utara yang berdomisili di Medan dijumpai manifestasi

oral yaitu 30% lesi merah dan merah/putih, 29% xerostomia, 26% lesi ulser, dan 15%

ditemukan lesi diskoid. Dari hasil tersebut prevalensi kasus terjadinya manifestasi

pada rongga mulut cukup tinggi, sehingga menunjukkan bahwa manifestasi penyakit

SLE pada rongga mulut merupakan kasus yang cukup sering dialami oleh para

ODAPUS. Pengetahuan mengenai manifestasi oral yang terjadi pada ODAPUS dapat

dijadikan sebagai sebuah pertimbangan dan rujukan dalam upaya melakukan

pencegahan dan penatalaksanaan oral yang tepat agar para ODAPUS tetap dapat

memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

Kesehatan rongga mulut ODAPUS juga mempunyai pengaruh terhadap

timbulnya manifestasi oral. Peningkatan upaya kesehatan rongga mulut dapat

mencegah timbulnya manifestasi pada rongga mulut serta mencegah timbulnya

komplikasi penyakit lebih lanjut pada ODAPUS. Program memelihara kebersihan

rongga mulut yang adekuat dapat dilakukan untuk membantu menjaga kesehatan

rongga mulut ODAPUS serta mencegah timbul dan berkembangnya penyakit rongga

mulut seperti kandidiasis oral dan ulser herpetika.

Peran serta dokter gigi spesialis penyakit mulut dan dokter gigi umum sangat

dibutuhkan oleh para ODAPUS, melihat cukup tingginya prevalensi manifestasi oral

yang timbul pada ODAPUS. Oleh karena itu diharapkan kepada pihak komunitas

lupus serta pemerintah agar dapat bekerja sama dengan dokter gigi baik dokter gigi

umum maupun spesialis dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan rongga mulut

para ODAPUS. Dokter gigi juga dapat melakukan kerja sama yang baik dengan para

dokter spesialis yang merawat para ODAPUS dalam menjaga kesehatan rongga mulut

ODAPUS. Para dokter spesialis yang merawat ODAPUS dapat memberikan nasehat

(53)

kepada ODAPUS untuk menjaga kesehatan rongga mulutnya. Para dokter spesialis

yang merawat para ODAPUS juga dapat memberikan profilaksis agar infeksi

opurtunistikyang disebabkan oleh jamurdalam rongga mulut dapat terkontrol.

Penelitian ini hanya mencoba menjelaskan secara umum manifestasi oral yang

timbul pada ODAPUS dan prevalensi dari masing-masing manifestasi oral. Penelitian

ini tidak dapat menemukan hubungan langsung dari lamanya penyakit dengan

timbulnya manifestasi oral serta hubungan antara masing-masing manifestasi oral

dengan penyakit SLE. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu dilakukan jenis

penelitian lain yang sesuai untuk melanjutkan penelitian ini, berupa penelitian

analitik, sehingga dapat diperoleh hubungan yang signifikan dari penyakit SLE

terhadap manifestasi oral yang timbul. Penelitian ini mengelompokkan beberapa lesi

merah dan merah/putih sehingga tidak dapat membedakan jenis lesi merah dan jenis

lesi merah/putih secara satu persatu. Penelitian ini juga tidak menggunakan

pemeriksaan histologi dan imunofloresens sehingga tidak dapat membedakan secara

langsung lesi yang disebabkan oleh penyakit lupus. Oleh karena itu, diharapkan

penelitian lanjutan mengenai manifestasi oral pada ODAPUS yang menggunakan

(54)

DAFTAR PUSTAKA

1. Wallace DJ. The lupus book, panduan lengkap bagi penderita lupus dan

keluarganya. Alih bahasa. Wiratama C. Yogyakarta: B – First, 2007: 1-170

2. Lupus Foundation of America. How lupus affects the body.

http://www.lupus.org/webmodules/webarticlesnet/templates/new_learnaffects.

aspx?articleid=2268. (Agustus 12. 2013)

3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peringatan hari lupus sedunia.

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1500-peringatan-hari-lupus-sedunia.html. (Juli 29. 2013).

4. Yayasan Lupus Indonesia. Lupus di Indonesia.

http://yayasanlupusindonesia.org/. (Juli 29. 2013).

5. Wallace DJ, Hahn BH. Dubois’ lupus erythematosus. 7th Edition. Philadhelphia: Lippincott, Williams & Willikins, 2002: 22-8

6. Lenher T. Imunologi pada penyakit mulut ed.3. Alih Bahasa: Farida R,

Suryadana N.G. Jakarta: EGC, 1995: 148-9

7. Bartels MC. Systemic lupus erythematosus (sle) practice essentials.

medscape reference: drugs, diseases, & procedurs. 19 Juli 2013: 1-19

8. Biesecker G, Lavin L, Zaskid W, et al. Cutaneous localization of membrane

attack complex in discoid and systemic lupus erythematosus. New Engl J Med

1982 ; 306: 264-70

9. Albilia JB, Clokie C, Sandor G. Systemic lupus erythematosus: A review for

dentist. JCDA 2007; 73 (9): 823-8

10.Rhodus NL, Jhonson KD. The prevalence of oral manifestation of systemic

lupus erythematosus. Oral Pathology 1990; 21: 461-65

11.Zakeri Z, Naroui B, Bakhshipour A, Sarabadani J, et.al. Prevalence of oral

manifestation in patient with systemic lupus erythematosus. Life Science

Journal 2012; 9 (3): 1307-11

12.Waluyo S, Putra MB. 100 question & answers lupus. Jakarta: Gramedia,

(55)

13.Regezi JA, Sciubba JJ. Oral pathology clinical-patologic correlation. 5th ed.

China: WB Saunders Co, 2008: 94-9

14.Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupus

eritematosus sistemik: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011: 1-9

15.Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment 11th ed. Hamilton: BC Decker Inc., 2008: 442-7

16. Alexis FA, Barbosa HV. Skin of Color : A practical guide to dermatologic

diagnosis and treatment. New York: Springer Science, 2013: 52-5

17.Tahitian N. Tahukah anda penyebab penyakit lupus .

http://penyebablupus.com/. (Juli 21. 2013)

18.Morgan G, Hamilton C. Obstetri & ginekologi: Panduan praktik. Alih Bahasa.

Syamsi M Rusi, Kapoh. P Ramona. Jakarta: EGC, 2003: 235-7

19.Eastham W, Brooke A. Discoid lupus erythematosus.

http://emedicine.medscape.com/article/1065529-overview#showall. (Agustus

21. 2013).

20.Web Md. Lupus Health Center. http://lupus.webmd.com/ . (Agustus 21. 2013)

21.Fidanoski B. Systemic lupus erythematosus (sle) oral manifestation and

adverse effect of lupus in oral cavity. http://www.fidanoski.ca/sle/. (Agustus

21. 2013).

22.Wood NK, Goaz PW. Differential diagnosis of oral and maxillofacial lesions.

5th ed. Taronto, Princeton: The CV. Mosby CO. St. Louis 1997: 87

23.Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL. Dental management of the

medically compromised patient. 7th ed, St. Louis, Elsevier Inc 2008: 327-9

24.Syamsi Dhuha Foundation. Pengobatan lupus.

http://eviandrianimosy.blogspot.com/2012/10/syamsi-dhuha-peduli-pada-odapus.html. (Juli 28. 2013)

25.Langlais PR, Miller SC. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim.

Gambar

Gambar
Gambar 1 . Butterfly rash.20
Tabel 1.  Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997.14
Gambar 2. Ulser oral pada pasien SLE  31
+7

Referensi

Dokumen terkait

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang prevalensinya tiap tahun meningkat di dunia maupun di Indonesia. Kelelahan yang parah dapat

3. NIH Osteoporosis and Related Bone Diseases ~ National Resource Center. What People With Lupus Need to Know About Osteoporosis. Panopalis P., Yazdany J., Bone health in

4.2 Hubungan antara Lama (Waktu) Penggunaan Obat Kortikosteroid dan Kerusakan Tulang Kortikal Mandibula ..... Kriteria S ystemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas dan belum adanya data tentang keadaan tulang kortikal mandibula pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik, maka peneliti

Dengan demikian, pasien PJK diharapkan dapat menyesuaikan diri terhadap manifestasi oral yang terjadi akibat penggunaan obat-obatan yang dikonsumsinya dan lebih

Apa saja manifestasi oral pada pasien PJK terkait penggunaan obat-obatan. di

yang diperoleh dalam penelitian ini adalah persentase manifestasi oral pada penderita. Universitas

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem kronik dengan spektrum manifestasi yang luas mulai dari keterlibatan kutaneus minor sampai dengan