• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada penelitian ini, dari 45 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus Cinta Kupu Sumatera Utara, diperoleh bahwa ODAPUS yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan ODAPUS yang berjenis kelamin laki-laki (tabel 2). Dari data tersebut diperoleh rasio antara laki-laki dan perempuan yaitu 1 : 19. Hasil penelitian ini diperkuat dengan penelitian Khatibi dkk (2012) yang melaporkan bahwa jumlah pasien SLE berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio antara laki-laki dan perempuan 1 : 6.36 Hasil penelitian ini juga serupa dengan penelitian Lourenco SV (2007) yang melaporkan bahwa pasien SLE lebih banyak perempuan dibandingkan dengan laki- laki dengan rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki 3 : 1.28 Perbedaan rasio yang signifikan antara laki-laki dan perempuan disebabkan karena adanya epigenetik. Epigenetik merupakan perubahan turunan pada ekspresi gen yang terjadi tanpa perubahan sekuens DNA dimana mekanisme yang terjadi berkaitan dengan metilasi DNA. Inhibisi metilasi DNA selama proses mitosis akan mengganggu ekspresi gen yang mengakibatkan terjadinya perubahan imunogenik yang dapat mengganggu respon terhadap self-antigen, termasuk ekspresi berlebihan dari molekul-molekul, salah satunya adalah molekul ko-stimulasi sel B yaitu CD70 dan CD40L yang menyebabkan stimulasi berlebih pada produksi immunoglobulin. Molekul CD40L inilah yang berperan penting terhadap kejadian lupus pada perempuan. Ekspresi berlebihan molekul ini hanya terjadi pada perempuan karena enkodisasinya terjadi pada kromosom x. Perempuan memiliki dua kromosom x, sementara laki-laki hanya memilki satu kromosom x saja, maka kemungkinan terjadinya ekspresi berlebihan CD40L pada perempuan dua kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. 1,22 Selain epigenetic, hormone estrogen yang jumlahnya lebih banyak pada perempuan, juga dinyatakan dapat membuat perempuan lebih beresiko menderita SLE disbanding laki-laki.12 Hormon estrogen dapat memicu terjadinya

autoimunitas, yang secara tidak langsung akan meningkatkan inflamasi. Estrogen juga dapat meningkatkan produksi autoantibodi, menghambat fungsi sel NK, serta memicu atrofi kelenjar timus. Pada penderita SLE, estrogen dimetabolisme secara berbeda, diakibatkan abnormalitas dari jalur kimia (16-alfa-hidroksilasi) dimana konsentrasi metabolit 16-alfa-hidroksiestron dan estriol akan terlihat tinggi.1

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara yang berdomisili di Medan terjadi hampir pada semua rentang usia, namun persentase paling tinggi dapat ditemukan pada perempuan dengan rentang usia 20–40 tahun sebanyak 51%, sementara pasien dengan usia <20 tahun sebanyak 27 % dan persentase paling rendah pada usia >40 tahun yaitu sebanyak 22 %. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Khatibi dkk (2012), pasien dengan usia <25 tahun ditemukan sebanyak 6%, usia 25-45 tahun ditemukan sebanyak 47% dan pasien dengan usia >45 tahun ditemukan 47%.36 Penelitian ini memiliki sedikit persamaan dengan hasil penelitian Zakeri Z (2012) dkk, yang menyatakan pasien yang menderita SLE paling banyak berusia 20- 40 tahun yaitu sebanyak 54%, sementara usia >40 tahun ditemukan 11% yang menderita SLE dan 5% ditemukan pada usia <20 tahun. Hal ini dapat disebabkan karena usia produktif pada perempuan merupakan usia peningkatan hormon estrogen.1 Pada usia produktif juga kerentanan terpaparnya sinar matahari serta kerentanan terhadap stres, sangat tinggi.1,14

Menurut literatur, manifestasi oral pada pasien SLE juga dijumpai pada pasien SLE sekitar 20-40%.1,15 Dari tabel 4 terlihat distribusi pasien SLE di komunitas lupus Sumatera Utara dan berdomisili di Medan yang memiliki manifestasi pada oral ditemukan sebanyak 64%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Uthman dkk (1999) yang melaporkan bahwa ditemukan dari 40 pasien SLE ditemukan 40% pasien mengalami lesi oral.37 Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Lourenco SV dkk (2007) menemukan dari 46 pasien SLE, 9-45% mengalami lesi oral yang berhubungan langsung dengan penyakit SLE, dibuktikan dari pemeriksaan histolgi dan imunoflouresens.28 Pemeriksaan histologi dan imunoflouresens merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membedakan

antara lesi oral yang timbul karena penyakit SLE secara langsung dengan lesi oral yang timbul karena efek samping obat atau penyakit lain yang diderita oleh pasien pasien SLE.25

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 45 rongga mulut ODAPUS, dari tabel 5 dapat terlihat bahwa pada 16 ODAPUS tidak ditemukan lesi oral, sedangkan pada 29 dapat ditemukan orang dapat ditemukan lesi oral. Dari 29 ODAPUS, sebanyak 15 ODAPUS yang memiliki 3 lesi oral pada rongga mulutnya. Menurut beberapa literatur, keadaan flare up dari para ODAPUS dapat mempengaruhi timbulnya manifestasi pada organ-organ tubuh pasien termasuk rongga mulut.16,30 Pada penelitian ini kebanyakan pasien yang diperiksa merupakan pasien yang sedang mengalami flare up yang ditentukan oleh beberapa kriteria, terdiri dari timbulnya ruam malar pada kulit, lesi diskoid, ulser rongga mulut serta timbulnya gejala penyakit SLE pada organ tubuh yang diserang. Para ODAPUS tersebut sedang dalam masa perawatan yang intensif. Lupus terdiri dari dua periode yaitu periode remisi dan periode flare up.14 Periode remisi pada pasien lupus merupakan periode tidak aktifnya lupus, ditandai dengan tidak munculnya gejala-gejala di beberapa organ tubuh, dan dapat dikatakan bahwa pada periode ini pasien dalam keadaan sehat karena periode ini merupakan tujuan dari pengobatan pada pasien SLE.1,14 Periode flare up pada pasien SLE merupakan periode yang ditandai dengan munculnya kembali gejala- gejala dari penyakit lupus yang dipicu oleh beberapa faktor seperti paparan langsung sinar ultra violet, stress, infeksi virus, kehamilan dan lain-lain, artinya pada keadaan ini penyakit lupus aktif kembali menyerang pasien.1,14

Manifestasi oral yang dapat ditemukan pada pasien SLE terdiri dari xerostomia, lesi ulserasi, lesi merah dan merah putih serta lesi diskoid.25 Pada tabel 6 dapat terlihat bahwa dari 29 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus Sumatera Utara yang berdomisili di Medan dan mempunyai manifestasi oral ditemukan 29% mengalami xerostomia. Beberapa literatur menyebutkan bahwa 50-70% pasien SLE ditemukan dapat mengalami xerostomia, bahkan penelitian yang dilakukan oleh Rhodus dan Johnson terhadap 16 pasien SLE yang mempunyai manifestasi oral ditemukan 100% mengalami xerostomia. Xerostomia pada ODAPUS dapat dikaitkan

dengan sindrom sjogren yang berhubungan dengan pasien SLE. Sindrom sjogren merupakan sebuah kelainan autoimun dimana sel imun menyerang dan menyebabkan kerusakan pada kelenjar air mata serta kelenjar saliva.15 Diperkirakan 10% pasien SLE dapat mengalami sindrom sjogren (SS).1Selain itu pada penelitian ini beberapa ODAPUS yang dianamnesis telah menjalani pengobatan xerostomia dengan mengunyah permen karet.

Lesi diskoid pada penelitian ini terlihat sebagai bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis seperti bersisik di sekitar rongga mulut dan dapat terjadi karena perluasan dari lesi pada kulit.1 Dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi pada rongga mulut dapat ditemukan lesi diskoid sebanyak 15%. Lesi ini banyak ditemukan di daerah vermilion bibir para ODAPUS. Hasil penelitian yang berbeda dijumpai pada penelitian SchiOdt dan Anderson yang melaporkan bahwa 9,52% pasien lupus hanya mempunyai lesi diskoid didaerah rongga mulut saja dan 90,47% pasien mempunyai lesi diskoid di kulit yang meluas ke daerah rongga mulut.38 Hal ini dapat disebabkan karena pada penelitian ini tidak dibedakan antara lesi diskoid yang timbul hanya pada daerah rongga mulut dengan lesi diskoid yang timbul di rongga mulut karena perluasan dari lesi di kulit.

Pada penelitian ini ditemukan 26% lesi ulserasi pada 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi oral. Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa lesi ulserasi yang paling banyak ditemukan pada ODAPUS adalah ulser, yaitu sebanyak 80% dan paling banyak di jumpai di lidah, mukosa bukal dan palatum durum. Hasil penelitian De Rossi pada tahun 1988 juga menyatakan bahwa sebanyak 81,3% pasien SLE ditemukan ulser pada rongga mulutnya, paling banyak ditemukan di daerah mukosa bukal dan bibir.39 Ulser sangat sering ditemukan pada rongga mulut para ODAPUS karena keadaan para ODAPUS pada saat pemeriksaan, lupus sedang teraktifasi (flare up).1 Keadaan ini dapat menyebabkan timbulnya ulser pada rongga mulut.25 Pada penelitian ini menemukan ulser herpetika sebanyak 20% dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi pada rongga mulut. Menurut literatur, penggunaan obat imunosupresan pada pasien SLE dapat memudahkan infeksi virus berkembang di dalam tubuh pasien SLE.15,21

Pada tabel 8 terlihat prevalensi yang berhubungan dengan lesi merah dan merah putih pada penelitian ini ditemukan sebanyak 30%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Zakeri dkk (2012) yang hanya mendapatkan 3,52% lesi merah dan merah putih pada pasien SLE. Hal ini dapat disebabkan karena pengelompokkan lesi merah dan merah putih pada penelitian ini lebih banyak, yaitu terdiri dari lichen planus tipe retikuler, lichen planus tipe atrofi, oral trush, kandidiasis atrofik akut dan kandidiasis hiperplastik kronis. Sementara pada penelitian Zakeri dkk mengelompokkan satu persatu lesi-lesi tersebut yang terdiri dari lesi putih, lesi merah dan lesi merah dan putih.11

Dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi pada rongga mulutnya ditemukan lesi mirip lichen planus sebanyak 14%. Penelitian Uthman pada 40% pasien SLE yang mempunyai lesi oral, ditemukan 45% lesi merupakan lesi mirip

lichen planus dan paling banyak di temukan di daerah palatum durum serta mukosa bukal.37 Pada penelitian ini lesi mirip lichen planus yang ditemukan hanya lesi dengan tipe retikuler dan terlihat di bagian bukal serta dasar mulut ODAPUS. Sementara itu lesi mirip lichen planus tipe erosif dan atrofi tidak ditemukan. Beberapa literatur menyatakan bahwa lesi mirip lichen planus yang timbul pada rongga mulut pasien SLE paling banyak berbentuk seperti jala-jala dan dapat disebabkan karena adanya reaksi hipersensitif yang dapat dilihat melalui mikroskopis.13 Perbedaan ini dapat disebabkan karena lesi mirip lichen planus ini terjadi karena proses imunologis yang secara mikroskopis menyerupai reaksi hipersensitif.13 Reaksi hipersensitif seseorang terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali antigen dan melakukan reaksi yang tepat terhadap antigen tersebut.2,13 Hal ini berarti, semua pasien SLE dapat mengalami lesi mirip lichen planus tergantung pada kemampuan sistem imun dari tiap-tiap pasien.2

Selain lesi mirip lichen planus, pada penelitian ini juga ditemukan salah satu lesi merah dan merah putih yaitu kandidiasis oral dapat dilihat pada tabel 8. Pada penelitian ini hanya tipe oral trush yang ditemukan yaitu sebanyak 86% dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi oral dan paling banyak ditemukan di daerah

lidah. Ditemukannya trush pada penelitian ini dapat disebabkan karena penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid, antibiotic dan imunosupresan pada pasien SLE dapat meningkatkan pertumbuhan jamur Candida sp. pada rongga mulut.30 Selain itu, kebersihan rongga mulut juga memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan rongga mulut dan mengontrol pertumbuhan flora normal pada rongga mulut.29,30

Dokumen terkait