• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERVENSI PSIKOLOGI POSITIF UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI PADA PENDERITA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INTERVENSI PSIKOLOGI POSITIF UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI PADA PENDERITA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

INTERVENSI PSIKOLOGI POSITIF UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI PADA PENDERITA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

SKRIPSI

Oleh :

Ratnawati

07810084

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

INTERVENSI PSIKOLOGI POSITIF UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI PADA PENDERITA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang

sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh

gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

RATNAWATI

07810084

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(3)
(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, karena dengan ijin dan kuasa-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Intervensi Psikologi Positif untuk menurunkan

Gejala Depresi pada Penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Serta tak lupa shalawat serta salam kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada

berbagai pihak yang telah banyak membimbing dan memberi petunjuk serta bantuan dalam

proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada :

1. Drs. Tulus Winarsunu, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Muhammadiyah Malang.

2. Dr. Latipun, M.Kes., selaku pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk

memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna, hingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

3. M. Salis Yuniardi, S.Psi., M.Psi., selaku pembimbing II dan dosen wali yang telah

memberi pengarahan, semangat serta nasehat sejak awal perkuliahan hingga skripsi ini

selesai.

4. Ibu EM dan bapak MN yang telah bersedia menjadi subyek dan bantuannya dalam

penelitian ini.

5. dr. C. Singgih Wahono, SpPD., Dr. dr. Kusworini Handono, M.Kes., SpPK., dan Prof. Dr.

dr. Handono Kalim, SpPD-KR yang telah memberikan banyak pengetahuan mengenai

SLE dan memberikan kesempatan serta pengalaman untuk terjun langsung bersama para

odapus di malang.

6. Ayahanda (Alm.) AIPTU Suwadi beserta ibunda tercinta ibu Suti, terimakasih atas semua

dukungannya dan doa-doa yang dipanjatkan selama ini. Skripsi ini dipersembahkan untuk

kalian berdua.

7. Keluarga besar SUFORDA (support for odapus) KALTIM, khususnya Bunda Inni

Indarpuri yang meluangkan waktu untuk membantu penulis melakukan penelitian dan

Bapak Lambertus Agus yang menjadi teman sharing penulis.

8. Keluarga besar PARAHITA & Lab. Klinik Kawi 31 Malang yang telah menjadi tempat

(7)

9. Keluarga besar Yayasan Lupus Indonesia, Syamsi Dhuha Foundation, Omah Kupu

Jogyakarta, teman-teman Pemerhati Lupus yang tersebar di penjuru nusantara dan BISA

Foundation.

10. Ayunita (FH-UGM), Ario Mukti (Bio-UNAIR), Isnani Ai (Fisika-UNAIR), Widya

Destryana Utami UPI YAI), Phangfarida (Manaj-UNMUL), Taufik Bersahaja

(Psi-UMM), dan Mas Satriyo (FK-UNS) atas bantuan semangat, doa, literatur, translate dan

teman sharing selama penggarapan skripsi ini.

11. Teman-teman part time BKMA, teman-teman ASSLAB, teman-teman Fapsi 2007

khususnya uty, tica, iyip, ophie, phino, ghea, pupu, amel, fajar dan kawan-kawan lainnya.

12. Akhi wa ukhti di Lingkar Psikologi Asy-Syifa’ (LISFA), yang selalu memberikan

dukungan dalam hal apapun.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak

memberikan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan

saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada

umumnya.

Malang, 21 Oktober 2011

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

ABSTRACT... iii

INTISARI... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Systemic Lupus Erythematosus(SLE)... 7

1. Pengertian SLE... 7

2. Penyebab SLE... 7

3. Penderita SLE... 8

4. Kriteria SLE ... 8

5. Pemicu kambuhnya SLE... 9

6. Dampak SLE bagi penderitanya... 10

B. Depresi... 13

1. Pengertian depresi... 13

2. Penyebab depresi... 14

3. Kriteria depresi... 14

4. Etiologi... 17

C. Intervensi dengan Pendekatan Psikologi Positif... 19

1. Pendekatan psikologi positif... 19

2. Intervensi psikologi positif... 20

3. Aspek-aspek dalam intervensi psikologi positif... 22

D. Systemic Lupus Erythematosus, Depresi, dan Intervensi Psikologi Positif... 25

E. Kerangka Pemikiran Penelitian... 28

(9)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian... 29

B. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Penelitian... 30

1. Variabel penelitian... 30

2. Definisi operasional... 30

C. Subyek Penelitian... 31

D. Metode Pengumpulan Data... 31

1. Beck Depression Inventory (BDI)... 31

2. Wawancara... 32

E. Rancangan dan Prosedur Penelitian... 32

F. Waktu dan Tempat Penelitian... 34

G. Analisis Data... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Identitas Subyek Penelitian... 36

B. Gambaran Kasus... 36

1. Subyek EM... 36

2. Subyek MN... 39

C. Pelaksanaan Intervensi... 41

D. Hasil Penelitian dan Analisis... 46

1. Tingkat depresi subyek... 46

2. Proses perubahan subyek selama intervensi berlangsung... 47

3. Hasil dan analisis keseluruhan subyek... 48

E. Pembahasan... 50

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 55

B. Saran... 55

DAFTAR PUSTAKA... 56

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Halaman

Lampiran 1 : Modul Eksperimen... 59

Lampiran 2 : Beck Depression Inventory (BDI)... 71

Lampiran 3 : Inform consent... 76

1. Inform consent EM... 77

2. Inform consent MN... 78

Lampiran 4 : Skor BDI para subyek... 79

1. Skor BDI EM... 80

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, C., & Shanley, E. (1997). Psikologi sosial untuk perawat. (Terj. Leoni S. Maitimu) Jakarta: ECG.

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic anda statistical manual of mental disorder (Ed. keempat). Washington, DC: Author.

Biswas-Diener, R. (2008). Invitation to positive psychology:Research and tools for the professional. United Kingdom.

Chaplin, J. P. (2006). Kamus lengkap psikologi. (Terj. K. Kartono) Jakarta: Rajawali pers.

Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2006). Psikologi abnormal (Ed. kesembilan). (Terj. N. Fajar) Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Latipun. (2010). Psikologi eksperimen. Malang: UMM Press.

Lubis, N. L. (2009). Depresi: Tinjauan psikologis. Jakarta: Kencana.

Moore, S. (2008). Lupus: Terapi-terapi alternatif yang berhasil. (Terj. H. Aksan) Yogyakarta: B-First.

Nazir, M. (2005). Metode penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Grenee, B. (2005). Psikologi abnormal jilid 1 (Ed. kelima). Jakarta: Erlangga.

Peter. (2010). Perlu perhatian pemerintah bagi penanganan lupus. Diperoleh dari http://bataviase.co.id/node/220932.

Pinel, John P.J. (2009). Biopsikologi. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Pratama, Y. (2010). Lupus dan harapan yang tak pernah pupus. Diperoleh dari http://www.antaranews.com/berita/1273745069/lupus-dan-harapan-yang-tak-pernah-pupus.

Rashid, T. (2009) Positive interventions in clinical practice. Journal of Clinical Psychology: In session, 65, 5, 461-466. DOI: 10.1002/jclp.20588.

Republika. (2010). 54 persen penderita lupus alami gangguan psikiatrik (republika). Diperoleh dari http://www.syamsidhuhafoundation.org/detailnews-54-persen-penderita-lupus-alami-gangguan-psikiatrik-republika.

Savitri, T. (2005). Aku dan lupus. Jakarta: Puspa swara.

Seligman, M. E. (2005). Aunthentic happiness: Menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. (Terj. E. Y. Nukman) Bandung: Mizan.

(14)

xi

Smet, B. (1994) Psikologi kesehatan. Jakarta: Grasindo.

Sugiyono. (2008). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sutriyanto, E. (2011). Pengobatan lupus butuhkan dana rp 80 juta. Diperoleh dari http://www.tribunnews.com/2011/01/08/pengobatan-lupus-butuhkan-dana-rp-80-juta.

Syarief, D. (2008). Bagaimana hidup dengan lupus. Bandung: FK UNPAD.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial. (Terj. Tri Wibowo B.S.) Jakarta: Kencana.

Tty. (2010). Lupus, misteri penyakit seribu wajah. Diperoleh dari

http://www.lifestyle.okezone.com/read/2010/05/11/27/331380/lupus-misteri-penyakit-seribu-wajah.

Wallace, D. J. (2007). The lupus book. (Terj. C. Wiratama) Yogyakarta: B-First.

Yosep, I. (2010). Keperawatan jiwa (Ed. revisi). Bandung: Refika aditama.

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit systemic lupus erythematosus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan

lupus merupakan penyakit kronis yang kurang populer di masyarakat Indonesia

dibandingkan penyakit AIDS, jantung ataupun kanker. Banyak masyarakat Indonesia

yang kurang memahami apa itu lupus bahkan banyak yang mengaku baru mendengar

istilah lupus. Sehingga banyak pula yang beranggapan bahwa lupus merupakan

penyakit langka dan jumlah penderitanya sedikit. Padahal menurut Kertia (dalam

Wallace, 2007) prevalensi lupus tergolong tinggi yang khususnya menyerang orang

pada usia produktif.

Faktanya, di dunia diperkirakan ada sekitar 5 juta penderita lupus atau yang

dikenal dengan sebutan odapus (orang dengan lupus). Di Amerika Serikat, terdapat

1,2 juta odapus. Data dari Yayasan Lupus Indonesia (YLI) menyebutkan

pertambahan jumlah odapus di Indonesia setiap tahun mencapai 1.000 orang. Jumlah

ini diyakini sebagai puncak gunung es, karena banyak odapus tidak terdiagnosa

(Peter, 2010). Sedangkan (dalam Sutriyanto, 2011) jumlah odapus di Indonesia pada

September 2010 berdasarkan data YLI ada sekitar 10.314 odapus dengan rentang

umur antara 15-45 tahun. 90 persen di antaranya adalah perempuan muda dan 10

persen sisanya di derita oleh laki-laki dan anak-anak. Oleh karena itu, berdasar data

statistik pengidap lupus, lupus juga disebut sebagai “penyakit perempuan”. Menurut

Tiara Savitri, ketua YLI (dalam Pratama, 2010), jumlah 10.314 odapus tersebut yang

telah terdaftar di YLI. Sedangkan di beberapa daerah, YLI masih belum memiliki

jaringan yang luas sehingga masih banyak odapus yang belum terdata dan tertangani.

Lupus merupakan penyakit autoimunne kronis dimana terdapat kelainan

sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh.

Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh

sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi

(16)

2

terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam

jaringan (SDF, t.t.). Wallace (2007) secara sederhana mengatakan lupus terjadi

ketika tubuh menjadi alergi terhadap dirinya sendiri. Penyakit ini merupakan

kebalikan dari apa yang terjadi pada penyakit kanker maupun AIDS. Pada lupus,

penderitanya memiliki sistem imun yang berlebihan sehingga melawan jaringan

tubuh atau yang disebut penyakit autoimmune (auto berarti dengan sendirinya).

Pada awal terkena lupus, odapus seringkali mengalami fase denial atau

penolakan terhadap sakitnya dimana odapus tidak menerima bahwa dirinya terkena

lupus dan berusaha menyangkalnya. Sebagian besar odapus pada awalnya takut akan

prognosis (kejadian-kejadian yang akan mereka alami dikemudian hari). Menghadapi

diagnosis lupus bisa menjadi masalah yang sulit. Secara umum, penderita penyakit

kronis yang tidak dapat menerima keadaan dirinya cenderung untuk mengalami

depresi (dalam Lubis, 2009).

Selain itu pula, dampak lupus terhadap tubuh odapus adalah sakit pada sendi,

sering merasa cepat lelah, sensitif terhadap sinar matahari sehingga mengurangi

aktivitas di siang hari, rambut rontok dan adanya ruam merah diwajah mereka

sehingga membuat odapus tidak percaya diri dan malu. Obat-obatan untuk penyakit

ini dari golongan kortikostreoid pun berefek samping mempengaruhi berat badan

mereka dan moonface sehingga muncul anggapan diri sendiri buruk karena

perubahan fisik ini. Karena lupus termasuk dalam kategori penyakit kronis dan

berdampak negatif secara fisik, menyebabkan odapus rentan pula terkena depresi.

Depresi itu sendiri merupakan keadaan kemurungan (kesedihan, kepatahan

semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan, dan

pesimisme menghadapi masa yang akan datang. Depresi adalah perasaan tak berdaya

dan putus asa. Dalam Beberapa penelitian (dalam Wallace, 2007) menunjukkan

bahwa lebih dari separuh penderita lupus mengalami stres, marah, depresi, takut,

bersalah, dan sedih. Depresi, rasa takut dan kegelisahan adalah reaksi paling lazim

pada pasien lupus. Hal ini sebaliknya memunculkan kegelisahan yang bisa

menghambat fungsi sosial dan menciptakan keterasingan. Depresi adalah masalah

(17)

3

depresi zat kimia. Selain itu, para penderita lupus bisa mengalami depresi reaktif

dimana mereka terganggu karena mengidap penyakit ini (Wallace, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Noelle dkk pada 1985, dikatakan

odapus banyak mengalami gangguan psikiatrik. Dari 35 pasien tersebut, sebanyak 54

persennya mengalami gangguan psikiatrik. Diantaranya psikotik, skizofrenia,

gangguan mental organik, cemas, depresi, dan kemarahan. Selain itu, penelitian yang

dilakukan Saphiro menyatakan insidensi gangguan psikiatrik pada penderita lupus

berkisar dari 12-17 persen, dan gangguan psikiatrik yang paling umum adalah

depresi (Republika, 2010). Dan dinyatakan pula bahwa sebanyak 40 persen odapus

biasanya terkena depresi atau gangguan psikologis. Gangguan psikologis itu

umumnya berupa rasa sedih yang berkepanjangan karena terjadinya perubahan dalam

diri odapus sehingga menyebabkan depresi (Tty, 2008). Di dalam artikel itu pula,

Zubairi seorang konsultan hematologi dan onkologi lupus menyampaikan,

"semua penyakit menahun pasti punya aspek kejiwaan, termasuk pada penyakit lupus, karena apabila penyakit sedang muncul, maka terkadang timbul ruam berwarna merah di wajah yang mengganggu mereka, yang bisa membuat odapus merasa malu.”

Rasa marah, kecewa, terkadang menutup diri, emosi, dan lebih sensitif lebih

sering dialami odapus. Juga rasa takut akan perlakuan yang berbeda dari orang

terdekat pasti timbul pada odapus atau rasa takut akan kehilangan orang terdekat.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian terbaru, dari 180 penderita lupus di Rumah

Sakit Hasan Sadikin Bandung yang diteliti sekitar 40 persen mengalami depresi.

Depresi itu terjadi karena cemas, ketakutan, bingung dan lain-lain.

Savitri (2005) menyebutkan bahwa depresi sering terjadi pada serangan lupus

dan penyebab depresi tersebut tidak dapat dipastikan apakah disebabkan karena stres atau perasaan yang timbul dalam diri penderita lupus bahwa mereka adalah “korban” dari penyakit lupus. Penderita Lupus biasanya menyadari bahwa kondisi depresi

mungkin disebabkan akibat munculnya penyakit lupus dalam tubuh mereka atau

depresi tersebut akibat penggunaan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati

lupus. Depresi bisa juga terjadi akibat faktor dan dorongan dalam hidup penderita

(18)

4

Depresi yang dialami oleh odapus ini harus segera ditangani karena salah satu

pemicu kambuhnya lupus (dalam Wallace, 2007) adalah tekanan emosional dimana

tekanan emosional dapat berupa stres maupun depresi. Karena secara fisiologis, stres

dan depresi mengganggu keseimbangan tubuh dalam hal hormonal serta imunitas

sehingga dapat memicu kambuhnya lupus. Oleh karena itu menurut Zubairi (dalam

Pratama, 2010) selain obat-obatan, odapus juga memerlukan penyesuaian gaya hidup

agar tidak sering kambuh. Odapus harus mampu mengelola diri, misalnya cukup

istirahat ketika sedang kambuh, bekerja normal ketika lupus sedang terkontrol baik,

menghindari (meminimalkan) paparan matahari, mengatur diet dan nutrisi. Tidak

kalah penting adalah mengelola stres.

Depresi yang dialami odapus akan mempengaruhi kondisi tubuh, suasana hati

(mood), hubungan sosial, dan aktivitas fisik. Depresi pada odapus merupakan

masalah yang harus ditangani segera karena selain menjadi salah satu pemicu

kambuhnya lupus, depresi juga menyebabkan odapus menjadi lebih sulit melakukan

pengobatan dan menjalani program rehabilitasi untuk mengobati lupus. Depresi pun

meningkatkan stres yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh sehingga

penyembuhan alami tubuh menjadi lambat dan bahkan mempercepat berkembangnya

penyakit. Oleh karena itu, perlu adanya intervensi terhadap depresi yang dialami oleh

odapus.

Terkait dengan intervensi yang akan diberikan, diperlukan suatu intervensi

yang dapat membantu para odapus membangun kualitas hidup yang tidak hanya

sekedar untuk bertahan hidup dengan penyakit lupus yang mereka derita, tetapi juga

mampu memunculkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri mereka. Pada saat ini

ada sebuah paradigma baru yang berkembang di psikologi yaitu psikologi positif.

Dimana pendekatan psikologi positif ini menekankan pada kebahagiaan dan fungsi

optimal yang dimiliki oleh setiap manusia. Pendekatan ini berfokus pada upaya

membentuk emosi positif, kekuatan karakter dan kebermaknaan dengan cara

mencapai kebahagiaan melalui membangun hidup yang menyenangkan (the pleasant

life), hidup yang terikat (engaged life) dan hidup yang bermakna (pursuit of

(19)

5

sistematis untuk mengatasi tantangan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan yang

dimiliki odapus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fredikson, menyatakan

ada bukti kuat bahwa pengalaman emosi positif mampu untuk lebih meningkatkan

hubungan, produktivitas kerja, dan kesehatan fisik, serta mengurangi depresi. Selain

itu, Sin & Lyubomirsky meta-analisa dari 51 intervensi psikologi positif

menunjukkan bahwa intervensi ini secara signifikan meningkatkan kesejahteraan dan

depresi berkurang (dalam Rashid, 2009). Dengan intervensi ini, odapus yang

mengalami depresi diarahkan untuk mencapai kebahagiaan dengan tiga cara yang

telah disebutkan diatas agar depresi yang dialami mengalami penurunan.

Intervensi psikologi positif memiliki beberapa kelebihan dibanding yang

intervensi lainnya. Setelah sesi intervensi selesai, diharapkan subyek mampu

melakukannya sendiri secara mandiri, mampu meningkatkan dan mengembangkan

kekuatan-kekuatan dalam dirinya, selain itu dalam intervensi ini subyek diajak

melakukan hal-hal yang menyenangkan tanpa perlu membangkitkan masa lalu dan

mampu memeliharanya sendiri. Tidak seperti hasil dari intervensi lainnya, sesi-sesi

ini mampu diterapkan dengan mudah dan diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari

secara mandiri tanpa perlu bantuan dari terapis.

Psikolog Tika Bisono (dalam Tty, 2008) mengatakan berdasarkan penelitian,

obat paling efektif dalam menyembuhkan suatu penyakit justru nonmedis. Dengan

memunculkan rasa semangat hidup dalam diri mereka dimana mereka harus bisa

merasa bahagia, bermakna dan justru bukan dikasihani. Hal ini sesuai dengan fokus

psikologi positif yang telah dijelaskan diatas. Merujuk pada uraian diatas, penelitian

ini mencoba mengkaji apakah intervensi psikologi positif efektif untuk menurunkan

gejala depresi penderita systemic lupus erythematosus (SLE).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan

diangkat oleh peneliti adalah apakah intervensi psikologi positif efektif untuk

(20)

6

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah intervensi

psikologi positif efektif untuk menurunkan gejala depresi penderita systemic lupus

erythematosus (SLE).

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu

pengetahuan dan pengembangan ilmu psikologi, khususnya mengenai intervensi

psikologi positif terhadap depresi penderita systemic lupus erythematosus (SLE).

2. Secara Praktis, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

bagaimana kondisi psikologis penderita systemic lupus erythematosus (SLE),

menambah pemahaman yang lebih mendalam tentang masalah yang terkait

dengan depresi yang dialami penderita SLE dan bagi penderita SLE maupun

pihak-pihak yang terkait seperti keluarga, dokter, konselor, terapis ataupun

lembaga support group lupus untuk dapat menerapkan intervensi psikologi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Jadi kalo dianalisa diiba na Rajo Sontang Rajo Dubalang on inda marpisah tutu dabo (jadi kira-kira hubanganya sekarang ialah sebagai orang sumando-menyumandoi .Buktinya ada

Dalam hal ini, skenario lebih mungkin adalah bahwa investor hanya akan menarik uang mereka dari bank dan menaruhnya ke dalam reksa dana yang aman diinvestasikan di Treasury

Dwilingga salin swara atau proses perulangan yang dibentuk dengan mengulangi seluruh kata dasar dengan mengalami perubahan pada salah satu atau seluruh vokal dari kata

Pening- katan konsentrasi oksigen terlarut di perairan dengan sistem aerasi dapat dilakukan menggunakan kincir yang dapat dipasang di setiap unit KJA atau pada

Selain koefisien determinasi juga didapat koefisien korelasi yang menunjukkan besarnya hubungan antara variabel bebas yaitu pemahaman peraturan pajak, tarif pajak, lingkungan,

Karena Ilustrasi dan elemen interaktif yang diberikan buku sudah cukup emphasis , maka font yang digunakan cukup simple, dan tidak begitu menonjol dibandingkan dengan ilustrasi,