INTERVENSI PSIKOLOGI POSITIF UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI PADA PENDERITA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
SKRIPSI
Oleh :
Ratnawati
07810084
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
INTERVENSI PSIKOLOGI POSITIF UNTUK MENURUNKAN GEJALA DEPRESI PADA PENDERITA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh
gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
RATNAWATI
07810084
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, karena dengan ijin dan kuasa-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Intervensi Psikologi Positif untuk menurunkan
Gejala Depresi pada Penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.
Serta tak lupa shalawat serta salam kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah banyak membimbing dan memberi petunjuk serta bantuan dalam
proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada :
1. Drs. Tulus Winarsunu, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
2. Dr. Latipun, M.Kes., selaku pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna, hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. M. Salis Yuniardi, S.Psi., M.Psi., selaku pembimbing II dan dosen wali yang telah
memberi pengarahan, semangat serta nasehat sejak awal perkuliahan hingga skripsi ini
selesai.
4. Ibu EM dan bapak MN yang telah bersedia menjadi subyek dan bantuannya dalam
penelitian ini.
5. dr. C. Singgih Wahono, SpPD., Dr. dr. Kusworini Handono, M.Kes., SpPK., dan Prof. Dr.
dr. Handono Kalim, SpPD-KR yang telah memberikan banyak pengetahuan mengenai
SLE dan memberikan kesempatan serta pengalaman untuk terjun langsung bersama para
odapus di malang.
6. Ayahanda (Alm.) AIPTU Suwadi beserta ibunda tercinta ibu Suti, terimakasih atas semua
dukungannya dan doa-doa yang dipanjatkan selama ini. Skripsi ini dipersembahkan untuk
kalian berdua.
7. Keluarga besar SUFORDA (support for odapus) KALTIM, khususnya Bunda Inni
Indarpuri yang meluangkan waktu untuk membantu penulis melakukan penelitian dan
Bapak Lambertus Agus yang menjadi teman sharing penulis.
8. Keluarga besar PARAHITA & Lab. Klinik Kawi 31 Malang yang telah menjadi tempat
9. Keluarga besar Yayasan Lupus Indonesia, Syamsi Dhuha Foundation, Omah Kupu
Jogyakarta, teman-teman Pemerhati Lupus yang tersebar di penjuru nusantara dan BISA
Foundation.
10. Ayunita (FH-UGM), Ario Mukti (Bio-UNAIR), Isnani Ai (Fisika-UNAIR), Widya
Destryana Utami UPI YAI), Phangfarida (Manaj-UNMUL), Taufik Bersahaja
(Psi-UMM), dan Mas Satriyo (FK-UNS) atas bantuan semangat, doa, literatur, translate dan
teman sharing selama penggarapan skripsi ini.
11. Teman-teman part time BKMA, teman-teman ASSLAB, teman-teman Fapsi 2007
khususnya uty, tica, iyip, ophie, phino, ghea, pupu, amel, fajar dan kawan-kawan lainnya.
12. Akhi wa ukhti di Lingkar Psikologi Asy-Syifa’ (LISFA), yang selalu memberikan
dukungan dalam hal apapun.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak
memberikan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan
saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Malang, 21 Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
ABSTRACT... iii
INTISARI... iv
DAFTAR ISI... v
DAFTAR TABEL... vii
DAFTAR GAMBAR... viii
DAFTAR LAMPIRAN... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 5
C. Tujuan Penelitian... 6
D. Manfaat Penelitian... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Systemic Lupus Erythematosus(SLE)... 7
1. Pengertian SLE... 7
2. Penyebab SLE... 7
3. Penderita SLE... 8
4. Kriteria SLE ... 8
5. Pemicu kambuhnya SLE... 9
6. Dampak SLE bagi penderitanya... 10
B. Depresi... 13
1. Pengertian depresi... 13
2. Penyebab depresi... 14
3. Kriteria depresi... 14
4. Etiologi... 17
C. Intervensi dengan Pendekatan Psikologi Positif... 19
1. Pendekatan psikologi positif... 19
2. Intervensi psikologi positif... 20
3. Aspek-aspek dalam intervensi psikologi positif... 22
D. Systemic Lupus Erythematosus, Depresi, dan Intervensi Psikologi Positif... 25
E. Kerangka Pemikiran Penelitian... 28
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian... 29
B. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Penelitian... 30
1. Variabel penelitian... 30
2. Definisi operasional... 30
C. Subyek Penelitian... 31
D. Metode Pengumpulan Data... 31
1. Beck Depression Inventory (BDI)... 31
2. Wawancara... 32
E. Rancangan dan Prosedur Penelitian... 32
F. Waktu dan Tempat Penelitian... 34
G. Analisis Data... 34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Identitas Subyek Penelitian... 36
B. Gambaran Kasus... 36
1. Subyek EM... 36
2. Subyek MN... 39
C. Pelaksanaan Intervensi... 41
D. Hasil Penelitian dan Analisis... 46
1. Tingkat depresi subyek... 46
2. Proses perubahan subyek selama intervensi berlangsung... 47
3. Hasil dan analisis keseluruhan subyek... 48
E. Pembahasan... 50
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 55
B. Saran... 55
DAFTAR PUSTAKA... 56
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran Halaman
Lampiran 1 : Modul Eksperimen... 59
Lampiran 2 : Beck Depression Inventory (BDI)... 71
Lampiran 3 : Inform consent... 76
1. Inform consent EM... 77
2. Inform consent MN... 78
Lampiran 4 : Skor BDI para subyek... 79
1. Skor BDI EM... 80
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, C., & Shanley, E. (1997). Psikologi sosial untuk perawat. (Terj. Leoni S. Maitimu) Jakarta: ECG.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic anda statistical manual of mental disorder (Ed. keempat). Washington, DC: Author.
Biswas-Diener, R. (2008). Invitation to positive psychology:Research and tools for the professional. United Kingdom.
Chaplin, J. P. (2006). Kamus lengkap psikologi. (Terj. K. Kartono) Jakarta: Rajawali pers.
Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2006). Psikologi abnormal (Ed. kesembilan). (Terj. N. Fajar) Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Latipun. (2010). Psikologi eksperimen. Malang: UMM Press.
Lubis, N. L. (2009). Depresi: Tinjauan psikologis. Jakarta: Kencana.
Moore, S. (2008). Lupus: Terapi-terapi alternatif yang berhasil. (Terj. H. Aksan) Yogyakarta: B-First.
Nazir, M. (2005). Metode penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Grenee, B. (2005). Psikologi abnormal jilid 1 (Ed. kelima). Jakarta: Erlangga.
Peter. (2010). Perlu perhatian pemerintah bagi penanganan lupus. Diperoleh dari http://bataviase.co.id/node/220932.
Pinel, John P.J. (2009). Biopsikologi. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Pratama, Y. (2010). Lupus dan harapan yang tak pernah pupus. Diperoleh dari http://www.antaranews.com/berita/1273745069/lupus-dan-harapan-yang-tak-pernah-pupus.
Rashid, T. (2009) Positive interventions in clinical practice. Journal of Clinical Psychology: In session, 65, 5, 461-466. DOI: 10.1002/jclp.20588.
Republika. (2010). 54 persen penderita lupus alami gangguan psikiatrik (republika). Diperoleh dari http://www.syamsidhuhafoundation.org/detailnews-54-persen-penderita-lupus-alami-gangguan-psikiatrik-republika.
Savitri, T. (2005). Aku dan lupus. Jakarta: Puspa swara.
Seligman, M. E. (2005). Aunthentic happiness: Menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. (Terj. E. Y. Nukman) Bandung: Mizan.
xi
Smet, B. (1994) Psikologi kesehatan. Jakarta: Grasindo.
Sugiyono. (2008). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sutriyanto, E. (2011). Pengobatan lupus butuhkan dana rp 80 juta. Diperoleh dari http://www.tribunnews.com/2011/01/08/pengobatan-lupus-butuhkan-dana-rp-80-juta.
Syarief, D. (2008). Bagaimana hidup dengan lupus. Bandung: FK UNPAD.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial. (Terj. Tri Wibowo B.S.) Jakarta: Kencana.
Tty. (2010). Lupus, misteri penyakit seribu wajah. Diperoleh dari
http://www.lifestyle.okezone.com/read/2010/05/11/27/331380/lupus-misteri-penyakit-seribu-wajah.
Wallace, D. J. (2007). The lupus book. (Terj. C. Wiratama) Yogyakarta: B-First.
Yosep, I. (2010). Keperawatan jiwa (Ed. revisi). Bandung: Refika aditama.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit systemic lupus erythematosus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan
lupus merupakan penyakit kronis yang kurang populer di masyarakat Indonesia
dibandingkan penyakit AIDS, jantung ataupun kanker. Banyak masyarakat Indonesia
yang kurang memahami apa itu lupus bahkan banyak yang mengaku baru mendengar
istilah lupus. Sehingga banyak pula yang beranggapan bahwa lupus merupakan
penyakit langka dan jumlah penderitanya sedikit. Padahal menurut Kertia (dalam
Wallace, 2007) prevalensi lupus tergolong tinggi yang khususnya menyerang orang
pada usia produktif.
Faktanya, di dunia diperkirakan ada sekitar 5 juta penderita lupus atau yang
dikenal dengan sebutan odapus (orang dengan lupus). Di Amerika Serikat, terdapat
1,2 juta odapus. Data dari Yayasan Lupus Indonesia (YLI) menyebutkan
pertambahan jumlah odapus di Indonesia setiap tahun mencapai 1.000 orang. Jumlah
ini diyakini sebagai puncak gunung es, karena banyak odapus tidak terdiagnosa
(Peter, 2010). Sedangkan (dalam Sutriyanto, 2011) jumlah odapus di Indonesia pada
September 2010 berdasarkan data YLI ada sekitar 10.314 odapus dengan rentang
umur antara 15-45 tahun. 90 persen di antaranya adalah perempuan muda dan 10
persen sisanya di derita oleh laki-laki dan anak-anak. Oleh karena itu, berdasar data
statistik pengidap lupus, lupus juga disebut sebagai “penyakit perempuan”. Menurut
Tiara Savitri, ketua YLI (dalam Pratama, 2010), jumlah 10.314 odapus tersebut yang
telah terdaftar di YLI. Sedangkan di beberapa daerah, YLI masih belum memiliki
jaringan yang luas sehingga masih banyak odapus yang belum terdata dan tertangani.
Lupus merupakan penyakit autoimunne kronis dimana terdapat kelainan
sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh.
Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh
sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi
2
terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam
jaringan (SDF, t.t.). Wallace (2007) secara sederhana mengatakan lupus terjadi
ketika tubuh menjadi alergi terhadap dirinya sendiri. Penyakit ini merupakan
kebalikan dari apa yang terjadi pada penyakit kanker maupun AIDS. Pada lupus,
penderitanya memiliki sistem imun yang berlebihan sehingga melawan jaringan
tubuh atau yang disebut penyakit autoimmune (auto berarti dengan sendirinya).
Pada awal terkena lupus, odapus seringkali mengalami fase denial atau
penolakan terhadap sakitnya dimana odapus tidak menerima bahwa dirinya terkena
lupus dan berusaha menyangkalnya. Sebagian besar odapus pada awalnya takut akan
prognosis (kejadian-kejadian yang akan mereka alami dikemudian hari). Menghadapi
diagnosis lupus bisa menjadi masalah yang sulit. Secara umum, penderita penyakit
kronis yang tidak dapat menerima keadaan dirinya cenderung untuk mengalami
depresi (dalam Lubis, 2009).
Selain itu pula, dampak lupus terhadap tubuh odapus adalah sakit pada sendi,
sering merasa cepat lelah, sensitif terhadap sinar matahari sehingga mengurangi
aktivitas di siang hari, rambut rontok dan adanya ruam merah diwajah mereka
sehingga membuat odapus tidak percaya diri dan malu. Obat-obatan untuk penyakit
ini dari golongan kortikostreoid pun berefek samping mempengaruhi berat badan
mereka dan moonface sehingga muncul anggapan diri sendiri buruk karena
perubahan fisik ini. Karena lupus termasuk dalam kategori penyakit kronis dan
berdampak negatif secara fisik, menyebabkan odapus rentan pula terkena depresi.
Depresi itu sendiri merupakan keadaan kemurungan (kesedihan, kepatahan
semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan, dan
pesimisme menghadapi masa yang akan datang. Depresi adalah perasaan tak berdaya
dan putus asa. Dalam Beberapa penelitian (dalam Wallace, 2007) menunjukkan
bahwa lebih dari separuh penderita lupus mengalami stres, marah, depresi, takut,
bersalah, dan sedih. Depresi, rasa takut dan kegelisahan adalah reaksi paling lazim
pada pasien lupus. Hal ini sebaliknya memunculkan kegelisahan yang bisa
menghambat fungsi sosial dan menciptakan keterasingan. Depresi adalah masalah
3
depresi zat kimia. Selain itu, para penderita lupus bisa mengalami depresi reaktif
dimana mereka terganggu karena mengidap penyakit ini (Wallace, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Noelle dkk pada 1985, dikatakan
odapus banyak mengalami gangguan psikiatrik. Dari 35 pasien tersebut, sebanyak 54
persennya mengalami gangguan psikiatrik. Diantaranya psikotik, skizofrenia,
gangguan mental organik, cemas, depresi, dan kemarahan. Selain itu, penelitian yang
dilakukan Saphiro menyatakan insidensi gangguan psikiatrik pada penderita lupus
berkisar dari 12-17 persen, dan gangguan psikiatrik yang paling umum adalah
depresi (Republika, 2010). Dan dinyatakan pula bahwa sebanyak 40 persen odapus
biasanya terkena depresi atau gangguan psikologis. Gangguan psikologis itu
umumnya berupa rasa sedih yang berkepanjangan karena terjadinya perubahan dalam
diri odapus sehingga menyebabkan depresi (Tty, 2008). Di dalam artikel itu pula,
Zubairi seorang konsultan hematologi dan onkologi lupus menyampaikan,
"semua penyakit menahun pasti punya aspek kejiwaan, termasuk pada penyakit lupus, karena apabila penyakit sedang muncul, maka terkadang timbul ruam berwarna merah di wajah yang mengganggu mereka, yang bisa membuat odapus merasa malu.”
Rasa marah, kecewa, terkadang menutup diri, emosi, dan lebih sensitif lebih
sering dialami odapus. Juga rasa takut akan perlakuan yang berbeda dari orang
terdekat pasti timbul pada odapus atau rasa takut akan kehilangan orang terdekat.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian terbaru, dari 180 penderita lupus di Rumah
Sakit Hasan Sadikin Bandung yang diteliti sekitar 40 persen mengalami depresi.
Depresi itu terjadi karena cemas, ketakutan, bingung dan lain-lain.
Savitri (2005) menyebutkan bahwa depresi sering terjadi pada serangan lupus
dan penyebab depresi tersebut tidak dapat dipastikan apakah disebabkan karena stres atau perasaan yang timbul dalam diri penderita lupus bahwa mereka adalah “korban” dari penyakit lupus. Penderita Lupus biasanya menyadari bahwa kondisi depresi
mungkin disebabkan akibat munculnya penyakit lupus dalam tubuh mereka atau
depresi tersebut akibat penggunaan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati
lupus. Depresi bisa juga terjadi akibat faktor dan dorongan dalam hidup penderita
4
Depresi yang dialami oleh odapus ini harus segera ditangani karena salah satu
pemicu kambuhnya lupus (dalam Wallace, 2007) adalah tekanan emosional dimana
tekanan emosional dapat berupa stres maupun depresi. Karena secara fisiologis, stres
dan depresi mengganggu keseimbangan tubuh dalam hal hormonal serta imunitas
sehingga dapat memicu kambuhnya lupus. Oleh karena itu menurut Zubairi (dalam
Pratama, 2010) selain obat-obatan, odapus juga memerlukan penyesuaian gaya hidup
agar tidak sering kambuh. Odapus harus mampu mengelola diri, misalnya cukup
istirahat ketika sedang kambuh, bekerja normal ketika lupus sedang terkontrol baik,
menghindari (meminimalkan) paparan matahari, mengatur diet dan nutrisi. Tidak
kalah penting adalah mengelola stres.
Depresi yang dialami odapus akan mempengaruhi kondisi tubuh, suasana hati
(mood), hubungan sosial, dan aktivitas fisik. Depresi pada odapus merupakan
masalah yang harus ditangani segera karena selain menjadi salah satu pemicu
kambuhnya lupus, depresi juga menyebabkan odapus menjadi lebih sulit melakukan
pengobatan dan menjalani program rehabilitasi untuk mengobati lupus. Depresi pun
meningkatkan stres yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh sehingga
penyembuhan alami tubuh menjadi lambat dan bahkan mempercepat berkembangnya
penyakit. Oleh karena itu, perlu adanya intervensi terhadap depresi yang dialami oleh
odapus.
Terkait dengan intervensi yang akan diberikan, diperlukan suatu intervensi
yang dapat membantu para odapus membangun kualitas hidup yang tidak hanya
sekedar untuk bertahan hidup dengan penyakit lupus yang mereka derita, tetapi juga
mampu memunculkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri mereka. Pada saat ini
ada sebuah paradigma baru yang berkembang di psikologi yaitu psikologi positif.
Dimana pendekatan psikologi positif ini menekankan pada kebahagiaan dan fungsi
optimal yang dimiliki oleh setiap manusia. Pendekatan ini berfokus pada upaya
membentuk emosi positif, kekuatan karakter dan kebermaknaan dengan cara
mencapai kebahagiaan melalui membangun hidup yang menyenangkan (the pleasant
life), hidup yang terikat (engaged life) dan hidup yang bermakna (pursuit of
5
sistematis untuk mengatasi tantangan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan yang
dimiliki odapus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fredikson, menyatakan
ada bukti kuat bahwa pengalaman emosi positif mampu untuk lebih meningkatkan
hubungan, produktivitas kerja, dan kesehatan fisik, serta mengurangi depresi. Selain
itu, Sin & Lyubomirsky meta-analisa dari 51 intervensi psikologi positif
menunjukkan bahwa intervensi ini secara signifikan meningkatkan kesejahteraan dan
depresi berkurang (dalam Rashid, 2009). Dengan intervensi ini, odapus yang
mengalami depresi diarahkan untuk mencapai kebahagiaan dengan tiga cara yang
telah disebutkan diatas agar depresi yang dialami mengalami penurunan.
Intervensi psikologi positif memiliki beberapa kelebihan dibanding yang
intervensi lainnya. Setelah sesi intervensi selesai, diharapkan subyek mampu
melakukannya sendiri secara mandiri, mampu meningkatkan dan mengembangkan
kekuatan-kekuatan dalam dirinya, selain itu dalam intervensi ini subyek diajak
melakukan hal-hal yang menyenangkan tanpa perlu membangkitkan masa lalu dan
mampu memeliharanya sendiri. Tidak seperti hasil dari intervensi lainnya, sesi-sesi
ini mampu diterapkan dengan mudah dan diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari
secara mandiri tanpa perlu bantuan dari terapis.
Psikolog Tika Bisono (dalam Tty, 2008) mengatakan berdasarkan penelitian,
obat paling efektif dalam menyembuhkan suatu penyakit justru nonmedis. Dengan
memunculkan rasa semangat hidup dalam diri mereka dimana mereka harus bisa
merasa bahagia, bermakna dan justru bukan dikasihani. Hal ini sesuai dengan fokus
psikologi positif yang telah dijelaskan diatas. Merujuk pada uraian diatas, penelitian
ini mencoba mengkaji apakah intervensi psikologi positif efektif untuk menurunkan
gejala depresi penderita systemic lupus erythematosus (SLE).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
diangkat oleh peneliti adalah apakah intervensi psikologi positif efektif untuk
6
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah intervensi
psikologi positif efektif untuk menurunkan gejala depresi penderita systemic lupus
erythematosus (SLE).
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan pengembangan ilmu psikologi, khususnya mengenai intervensi
psikologi positif terhadap depresi penderita systemic lupus erythematosus (SLE).
2. Secara Praktis, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
bagaimana kondisi psikologis penderita systemic lupus erythematosus (SLE),
menambah pemahaman yang lebih mendalam tentang masalah yang terkait
dengan depresi yang dialami penderita SLE dan bagi penderita SLE maupun
pihak-pihak yang terkait seperti keluarga, dokter, konselor, terapis ataupun
lembaga support group lupus untuk dapat menerapkan intervensi psikologi