• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN

2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang

Nagari Simpang Tonang merupakan salah satu nagari yang terdapat di dalam wilayah administratif Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman, Propinsi Sumatera Barat. Nagari ini mempunyai luas wilayah ± 252 Km2 (337.750 Ha) atau sekitar 44.67% dari luas Kecamatan Duo Koto. Lahan tersebut terdiri dari: perkampungan, lahan pertanian, perikanan, perladangan, hutan dan sungai.

Gambar 1. Peta Kecamatan Duo Koto

Sumber: Dua Koto dalam Angka Tahun 2011

Nagari Simpang Tonang berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara di sebelah Utara. Batas tersebut terletak di atas Puncak Gunung Kelabu. Di sebelah Selatan nagari ini berbatasan dengan Nagari Sinurut, Kabupaten Pasaman Barat atau di dalam tarombo11

11Tarombo

merupakan suatu suatu buku yang berisi mengenai uraian seharah asal-usul terbentuknya Nagari Simpang Tonang.

(2)

Panjinjauan Bateh Agom. Di sebelah Barat nagari ini berbatasan dengan Kecamatan Gunung Tuleh, Kabupaten Pasaman Barat atau istilahnya dalam

tarombo ialah Baudo Karyong. Di Sebelah Timur nagari ini berbatasan dengan Kecamatan Rao, Kabupaten Pasaman atau istilahnya dalam tarombo adalah Papahan Tonang. Batas-batas tersebut ada yang ditandai oleh alam berupa gunung dan ada juga yang ditandai oleh gapura-gapura.

Secara topografis, Nagari Simpang Tonang merupakan suatu daerah yang terdiri dari dataran dan perbukitan. Nagari ini terletak pada ketinggian 600 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 300C. Nagari ini dikelilingi oleh rangkaian Bukit Barisan yang memiliki hutan lebat dan sedikit belukar, diantaranya seperti: Bukit Gunung Tak Jadi di Simpang Dingin, Bukit Ledang dan Bukit Batu Besar di Tonang Raya. Bukit-bukit tersebut ada yang terlihar gundul karena dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan perladangan. Gunung Kelabu sebagai batas dengan Kabupaten Mandailing Natal Proinsi Sumatera Utara merupakan sebuah gunung non-berapi. Di samping itu juga terdapat beberapa sungai seperti: Aek Simpang Duku, Aek Simpang Tonang, Batang Barilas, Batang Andilan, dan lain sebagainya yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengairi areal persawahan dan sarana MCK. Bahkan beberapa sungai dijadikan sebagai lubuk larangan

dimana ikannya hanya boleh diambil pada waktu-waktu tertentu seperti Hari Raya Idul Fitri.

(3)

kedele, dan lain-lain), tanaman perkebunan (kelapa, karet, kopi, coklat, nilam, pinang, dan lain-lain), buah-buahan (jeruk, pisang, dan lain-lain), dan sayur-sayuran (cabe, ketimun, terung, kacang panjang, bawang, dan lain-lain). Di samping menunjang pertanian, kondisi geografis ini juga menunjang peternakan dimana masyarakat setempat memelihara hewan ternak seperti: kerbau, sapi, kambing/domba, ayam, itik, ikan, dan lain sebagainya.

Kanagarian Simpang Tonang terdiri dari 8 jorong, yaitu: Jorong Air Dingin, Jorong Kelabu, Jorong Tanjung Mas, Jorong Perdamaian, Jorong

Tonang Raya, Jorong Setia, Jorong Sepakat, dan Jorong Purnama. Setiap jorong

tersebut dipimpin oleh seorang kepala jorong demi mempermudah anggota masyarakat dalam mengurus segala sesuatu keperluan administrasi. Suatu jorong

terdiri beberapa kampung kecil yang memiliki seorang penghulu dan natobang nadipotabang di bagasan ampung (tetua dan orang yang dituakan di dalam kampung) atau dalam istilah lainnya dikenal juga dengan sebutan Ninik Mamak.

(4)

di Kanagarian Simpang Tonang. Jelaslah bahwasanya sarana jalan tersebut sangat vital fungsinya bagi masyarakat.

Jarak dari Nagari Simpang Tonang ke Ibukota Kecamatan yakni Andilan, sejauh ± 4 Km dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor, sedangkan jarak ke Ibukota Kabupaten yakni Lubuk Sikaping sejauh ± 63 Km dapat ditempuh selama 2 jam menggunakan kendaraan bermotor dan jarak ke Padang, Ibukota Propinsi Sumatera Barat sejauh ± 300 Km yang dapat ditempuh selama 5 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, Nagari Simpang Tonang mudah dijangkau dengan prasarana transportasi darat. Angkutan umum yang tersedia sangatlah beranekaragam; mobil minibus untuk angkutan pedesan dan bus berukuran sedang untuk angkutan antarkota/ antarkabupaten Selain itu masih ada trayek antar-provinsi, yaitu bus menuju Kota Medan dan Kota Pekanbaru. Namun, tidak semua pelosok daerah dapat dijangkau oleh sarana angkutan tersebut, untuk itu tersedia sarana transportasi ojek. Lancarnya sarana tranposrtasi ini juga menjadi faktor penunjang mobilitas penduduk di perbatasan Sumatera Barat dan Sumatera Utara ini.

(5)

angkutan umum yang tersedia. Setidaknya kita perlu merogoh kocek lebih kurang Rp.7.000 tergantung dari jarak yang akan ditempuh.

2.2. Menguak Kembali Sejarah Migrasi Etnis Mandailing ke Pasaman dan Tarombo Terbentuknya Nagari Simpang Tonang

2.2.1. Sejarah Singkat Migrasi Etnis Mandailing ke Daerah Pasaman

Pasaman merupakan daerah teritorial dari Kerajaan Minangkabau. Pasaman merupakan wilayah rantau bagi orang Minang yang berasal dari luhak

Agam. Dalam konsepsi tradisional mengenai alam Minangkabau yang bersumber pada tambo, dinyatakan bahwa daerah Minangkabau terdiri dari wilayah darek

dan rantau. Wilayah darek merupakan wilayah yang dianggap sebagai sumber dan pusat adat Minangkabau, dimana daerah ini juga dikenal dengan sebutan

luhak nan tigo, yang terdiri dari: Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak

Limo Puluah Koto. Sementara itu, wilayah rantau merupakan daerah perluasan Kerajaan Minangkabau sehingga budaya dan tradisi di daerah ini tidak persis sama dengan daerah pusat budaya Minangkabau karena telah terjadinya akulturasi dan asimilasi kebudayaan.

(6)

Namun, sebagian ahli sejarah meyakini bahwa hal ini tidak terlepas dari munculnya Gerakan Paderi12

Rumusan yang hampir sama juga dinyatakan oleh Navis (1985:128) bahwa untuk menjadi orang Minangkabau diperlukan tata cara yang dinamakan

di bawah pimpinan Tuanku Rao pada abad ke-19 di daerah Tapanuli Selatan. Etnis Mandailing yang telah diislamkan kemudian dibawa ke daerah Rao Pasaman untuk diserahkan tanah.

Migrasi etnis Mandailing tidaklah dilakukan secara serentak, mereka datang secara bergelombang atau bertahap. Puncaknya terjadi pada tahun 1953, dimana mereka datang secara menyelundup dan mengambil tanah penduduk setempat dengan sewenang-wenang. Penduduk asli mengalami rasa kekhawatiran karena lahan hutan dan tanah mereka dikuasai oleh pendatang. Hal ini menyulut terjadinya konflik karena bertentangan dengan adat-istiadat setempat.

Di daerah Pasaman terdapat suatu aturan mengenai masalah kepemilikan serta penguasaan tanah. Ketentuan adat tersebut harus dipatuhi oleh penduduk asli (urang asa) maupun bagi penduduk pendatang (urang datang). Bagi penduduk pendatang jika ingin mendapatkan tanah ulayat terlebih dahulu ia harus menjadi kemenakan dari seorang ninik mamak dalam nagari dan harus disahkan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN). Mereka harus bersedia mematuhi semua peraturan yang berlaku di nagari tersebut. Seperti ibarat pepatah, yakni: “adat diisi limbago dituang, dimano aia disauak di sinan rantiang dipatah, dimano bumi dipijak di sinan langik dijunjuang (adat diisi lembaga dituang, dimana air disauk di sana ranting dipatahkan, dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung)”.

12

(7)

mengisi adat: cupak diisi limbago dituang. Maksudnya, ialah apabila seseorang ingin menjadi orang Minangkabau, maka terlebih dahulu ia harus memenuhi aturan-aturan dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam adat. Mereka diterima dan ditampung dalam struktur persukuan Minangkabau dan menjadi kemenakan di Minangkabau setelah membayar upeti adat dalam bentuk: uang, barang, hewan, atau tanda lainnya sesuai dengan kesepakatam masyarakat setempat.

Kalau syarat-syarat diatas telah terpenuhi, maka sesuai dengan kewajiban terhadap kemenakan, si mamak akan memberikan tanah ulayat untuk digarap termasuk hutan dengan status hak pakai. Tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan, bila penduduk pendatang pindah dari nagari tersebut, tanah kembali menjadi hak nagari dan semua tanaman yang ada di atas tanah itu akan diganti oleh nagari.

Atas dasar tersebut akhirnya dibuatlah suatu kesepakatan antara etnis Mandailing dengan etnis Minangkabau sebagaimana yang diilustrasikan dalam pepatah berikut:

“Sasangka balam jo katitiran. Bacampua Melayu jo Mandailing. Angguak dibalam danguik dipuyuah. Balam maangguak didahan kayu. Puyuah mandanguik di alang laweh. Samo mangaluah di ateh bumi. Sando manyando kaduonyo. Bak aua jo tabiang

(Sesangkar burung balam dengan burung ketitiran. Bercampur Melayu dengan Mandailing. Angguk dibalam dengut dipuyuh. Balam mengangguk di dahan kayu. Puyuh mendengut di padang luas. Sama mengeluh di atas bumi. Sandar-menyandar keduanya. Seperti aur dengan tebing)”

(8)

yang ada di daerah Minangkabau ini, harus tunduk pada panji-panji adat alam Minangkabau. Sedangkan sasangka balam jo katitiran maksudnya etnis Mandailing dan etnis Minangkabau boleh tinggal di daerah yang sama, dengan adat-istiadat yang berbeda. Mereka pada dasarnya diperbolehkan untuk menggunakan adat-istiadatnya masing-masing. Namun seperti terjadi dualisme dalam etnis Mandailing yang sudah menjadi kemenakan suatu niniak mamak, ada yang tetap menggunakan istiadatnya dan ada juga yang mengikuti adat-istiadat Minangkabau. Mereka yang terakhir ini kemudian lebih suka disebut sebagai “urang Minang”.

(9)

2.2. Tarombo Terbentuknya Nagari Simpang Tonang

Tak ada yang mengetahui pasti kapan pertama kali etnis Mandailing13

13

Mandailing dalam kajian ini dikatakan sebagai suatu kelompok etnis atau suku bangsa. Bagi Barth (1988) kelompok etnis adalah suatu golongan sosial yang askriptif yang berkenaan dengan asal-usul kelahiran dan daerah asal.

bermigrasi membuka nagari ini. Namun, salah seorang natobang atau tetua kampung setempat meyakini bahwa nenek moyang mereka sudah mendiami

Nagari Simpang Tonang jauh sebelum masa penjajahan Belanda. Seperti yang dituturkan oleh Pak Velma, salah seorang natobang Ampung Parik kepada penulis, yakni:

anyo sejarahna pak inda be diboto kok taon sadia, generasina pe pak madung bahat. Ma udokon di ho marratus taon ma nari kiro-kiro mean ami di Pangtonang on, bahkan lobi mei arana jaman Bolando sajo pak 350 taon di son. Sadangkon sabalun i pak madung i son mei alak Mandailing i. Ima so inda dapot dihita taonna (kalau sejarahnya sudah tidak diketahui lagi entah tahun berapa, generasinya pun sudah banyak. Seperti yang sudah saya katakan pada anda, sudah beratus tahun kami mendiami nagari

Simpang Tonang ini bahkan lebih karena jaman penjajahan Belanda saja sudah 350 tahun. Jauh sebelum masa penjajahan itu orang Mandailing sudah mendiami wilayah ini. Itu lah kenapa kita tidak tahu pasti menganai tahunnya)”.

(10)

Menurut informasi yang penulis dapat dari media internet bahwasanya

Nagari Simpang Tonang dan Nagari Cubadak merupakan suatu wilayah ulayat di bawah kepimpinan Rajo Sontang. Berbekal informasi tersebut, penulis bertolak ke Duo Koto pada akhir tahun 2012 lalu. Pada saat itu belum dilakukan pengangkatan Rajo Sontang yang baru. Penulis hanya berhasil menemui salah seorang pahompu (cucu) Rajo Sontang sebelumnya. Beliau pun tidak begitu paham akan sejarah terbentuknya nagari ini. Beliau merekomendasi kami untuk menjumpai orang yang lebih paham akan sejarah tersebut. Orang tersebut dikenal sebagai ujung lidah Rajo Sontang sebelumnya. Penulis berhasil menjumpai beliau di kediamannya yang sederhana di jorong Sarasah. Beliau pun membenarkan bahwasanya Nagari Cubadak dan Nagari Simpang Tonang ialah benar dalam satu tanah ulayat di bawah kekuasaan Rajo Sontang, sebagaimana yang dituturkannya kepada penulis sebagai berikut:

nari do ntong ita na marnagori, najolo inda di bawah kekuasaan ni Rajo Sontang. Harana pada jaman i inda pe ita mardeka. Unjung de Rajo Dubalang Pangtonang mangamuk tu au. Ulang ko mangamuk ningku ho guru, oji, dung berpengalaman na bahat. Golarna ho berpendidikan inda dong dope raja dubalang, dubalang ni raja adong tai harana hamu mambantu bolanda on mangalo bolanda sahinggo diangkat bolanda hamu Raja Dubalang (sekarang kita yang ber-nagari, dulunya semua di bawah kekuasaan Rajo Sontang. Pada masa itu kita belum merdeka. Pernah Rajo Dubalang Simpang Tonang mengamuk pada saya. Jangan kau mengamuk kataku. Kau seorang guru, haji dan punya pengalaman yang banyak. Kau orang yang berpendidikan. Tidak pernah ada Raja Dubalang, dubalang raja yang ada tapi karena kalian memihak pada Belanda sementara kami di sini melawan Belanda, maka diangkat Belandalah kalian sebagai Raja Dubalang)”.

(11)

terbentuknya daerah tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nagari

Cubadak dan Nagari Simpang Tonang ialah tanah ulayat di bawah pimpinan pucuk adat Rajo Sontang. Pendapat kedua menyatakan bahwa Nagari Cubadak di bawah kekuasaan Rajo Sontang sementara Nagari Simpang Tonang di bawah kekuasaan Rajo Dubalang. Pun demikian penulis tidak akan mempertentangkan kedua perbedaan pendapat tersebut dengan membela kepada satu pihak. Penulis pun baru tahu bahwa kedua nagari ini sebenarnya memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini juga dituturkan oleh Pak Velma, natobang Ampung Parik, sebagai berikut:

“jadi kiro-kiro hubunganna nari udokkon diho sebagai alak sumondo-menyumondoi. Adong de bagas ni Rajo Sontang di Pangduku tapi kalo wilayatna wilayat Rajo Dubalang do. Kalo bagas godang ni Rajo Sontang di Sontang dei atau Sibodak. Bukan nasodong bah tong hubunganna, contohna bahaso dot adatna samo. Nari bolas idokon buriah tanah batas tanahna dot Cubadak inda jelas. Harana na sangkibul de mulai mon najolo. Jadi najolo halai namardalan manjalasi daerah i namalua tu Sibodak aaa ime wilayah Rajo Sontang, kalo namalua tu Pangtonang on ime Rajo Dubalang. Jadi kalo dianalisa diiba na Rajo Sontang Rajo Dubalang on inda marpisah tutu dabo (jadi kira-kira hubanganya sekarang ialah sebagai orang sumando-menyumandoi.Buktinya ada rumah Rajo Sontang di Simpang Duku meskipun berada di tanah ulayat Rajo Dubalang. Rumah besar Rajo Sontang terdapat di Sontang atau Cubadak. Bukan tidak ada hubungan antara Simpang Tonang dan Cubadak, misalnya saja persamaan adat dan bahasanya. Sekarang dapat dikatkan batas wilayah dengan Cubadak tidaklah jelas. Karena dari dahulu kala merupakan satu kesatuan. Jadi dahulu kala mereka mencari berjalan mencari daerah yang keluar ke Cubadak aaa itulah wilayah Rajo Sontang, kalau yang keluar ke Pangtonang ini itulah Rajo Dubalang. Jadi kalau kita analisa, Rajo Sontang dan Rajo Dubalang ini tidak terlalu berpisah sekali)”.

(12)

Simpang Tonang tidaklah lengkap jika belum membahas mengenai sejarah asal-usul terbentuknya nagari tersebut. Sepotong kisah mengenai Raja Gumanti Porang atau yang lebih dikenal dengan Rajo Dubalang merupakan suatu kisah asal-usul terbentuknya nagari Simpang Tonang yang masih melekat erat dalam ingatan beberapa orang natoras/ natobang di bagasan ampung atau tetua kampung. Salah satunya adalah Pak Melan (74).

Beliau kemudian membuat salinan ringkas mengenai asal-usul nagari

tersebut berdasarkan catatan tarombo yang beliau miliki. Menurut beliau, tidak semua orang paham akan sejarah asal-usul kampung halamannya meskipun dia seorang sarjana berpangkat.

“dilehen pe na asli nai jo nda malo ho manarjemahkonsa i arana inda sarupo bahasona dohot bahaso ita nari (diberikan pun yang aslinya kepadamu tidak akan pandai kau menjelaskanya karena tidak serupa bahasanya dengan bahasa kita sekarang)”.

Tarombo berjudul Sejarah Asal Usul Nagari Simpang Tonang tersebut dibuat dalam campuran bahasa Mandailing, Minangkabau, dan Bahasa Indonesia dengan gaya bahasa serta ejaan lama. Adapun ringkasan isi tarombo tersebut adalah sebagai berikut:

Pada zaman dahulu kala tersebutlah sejarah mengenai Raja Pidoli Mandailing Godang yang bergelar Rajo Gumanti Porang. Dari hasil perkawinannya dengan isterinya yang bernama Mancuom Godang, beliau mempunyai tiga orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Pada masa itu kerajaan Pidoli diserang oleh orang dari Padang Gelugur. Kemudian Rajo Gumanti Porang dan perangkat kerajaan meninggalkan daerah tersebut menuju tempat yang aman. Maka sampailah mereka ke Lubuk Aro Tarok (di daerah Rao sekarang). Mereka pun berkembangbiak di sana.

(13)

seorang yang gagah berani bernama Dubalang Sirah Dado untuk untuk mencari tanah yang luas dan belum pernah dihuni orang lain.

Dubalang Sirah Dado memulai perjalanannya ke arah Barat dari Sontang Panjang. Dari perjalanan naik bukit turun bukit tersebut ia mendapatkan suatu daerah yang berada di antara dua buah sungai (batang air). Di sana ia mendirikan rumah tempat beristirahat. Kemudian ia melanjutkan kembali perjalanannya tersebut. Perjalanan dimulainya dari Guo Balang Karau Pisang Hulu Air Papahan Tonang terus ke Bahudo Kariong lanjut ke Tinjawan Agam lalu ke Puncak Gunung Kulabu dan dari Bukit Tinjowan Koto Rajo hulu Air Tangharang lalu ke Bukit Ulai dan terus kembali ke rumahnya.

Setelah menemukan wilayah tersebut maka ia kembali ke Sontang Panjang untuk memberitahukan hal tersebut kepada Sutan Bandaharo. Sutan Bandaharo kemudian membawa perangkat kerajaan beserta anak cucu kemenakannya untuk melihat daerah tersebut. Mereka tinggal di rumah Dubalang Sirah Dado yang dibangunnya saat itu. Setelah dinilainya bahwa daerah tersebut layak dijadikan suatu hunian, maka Dubalang Sirah Dado membawa mereka dan menunjukkan bukit-bukit yang dilaluinya lebih dulu untuk dijadikan batas wilayah. Kemudian disaat mereka menjelajah daerah tersebut mereka menemukan sebuah sungai yang airnya tenang, dari situlah asal kata Simpang Tonang diambil.

Pada awal kedatangannya hanya ada dua marga saja yang terdapat di daerah tersebut. Marga Nasution dari pihak Sutan Bandaharo (sekarang dikenal dengan nama Raja Dubalang) dan marga Mais dari pihak Tompu Sereng (sekarang bergelar Saheto Gading). Tidak beberapa lama kemudian datang pula satu rombongan dari daerah Mandahiling bergelar sako Ajaran Tolang (sekarang bergelar Panghulu Mudo) bermarga Lubis. Mereka mendiami Kampung Tolang Dolok. Kemudian datang lagi rombongan lainnya dari daerah Mandahiling juga bernama Raja Mondang Tahi (marga Lubis) dengan temannya bernama Malin Mancayo (marga Batubara).

Adapun orang-orang tersebut di atas disebut “Induk nan Barampek”, turun temurun sampai sekarang adalah:

1. Tompu Sereng gelar Saheto Gading sebagai manti; ujung lidah kapalo sambah, anak kunci bilik dalam.

2. Hajaran Tolang gelar Panghulu Mudo; nan akan mengambangkan Payung Rajo.

3. Rajo Mondang Tahi bergelar Sutan Parang; diakui sanak oleh Rajo.

4. Malin Mancayo gelar Gading Raja; nan mahatak manghidang nan kamangagiohkan.

(14)

Selanjutnya datang pulalah kaum-kaum lain yang kemudian diberikan suatu kampung dan diangkat pulalah penghulunya. Adat yang dipakai di Nagari

Simpang Tonang sesuai dengan adat Minangkabau yakni adat salingka nagari.

Hak bamilik harto ba nan punyo, sako jawek bajawek, pusako turun-temurun.

Barajo bahakim, bapucuak bulek. Adat tersebut masih tetap dilestarikan sampai saat sekarang ini.

Dari uraian tarombo asal-usul terbentuknya Nagari Simpang Tonang tersebut, maka dapat dipahami bahwasanya nenek moyang alak Simpang Tonang ialah para imigran yang berasal dari Mandailing Natal. Imigran tersebut datang secara mengelompok dalam beberapa tahap. Para pendatang tersebut berusaha untuk menjadi “Minang” dengan mengganti adat-istiadat yang mereka bawa. Meskipun daerah ini termasuk wilayah rantau Minangkabau, pada saat itu belum ada penduduk yang menghuninya.

Jika ditelaah kembali sebenarnya tidak banyak perbedaan antara sejarah

Nagari Simpang Tonang dan Nagari Cubadak. Kedua Nagari ini merupakan daerah temuan baru dari Kerajaan Sontang Panjang. Batasan-batasan yang terdapat di dalam tarombo tersebut bahkan dapat menjelaskan bahwasanya kedua

nagari ini dahulunya merupakan satu kesatuan. Persamaan adat-istiadat dan adanya bagas godang Rajo Sontang di Simpang Tonang adalah bukti lain bukti bahwa dahulunya nagari ini memiliki hubungan yang sangat dekat.

(15)

untuk beragai kepentingan tertentu (Benda-Backmann dalam Ramsted, 2011:15-36).

2.3. Komposisi Penduduk

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasaman tahun 2012, jumlah penduduk Nagari Simpang Tonang adalah 12.587 jiwa, yang terdiri dari 5.700 jiwa penduduk laki-laki dan 6.887 jiwa penduduk perempuan. Jumlah rumah tangga adalah sebanyak 3.691 KK. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1

Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Berdasarkan Jorong Tahun 2013

NO Jorong Luas Ha Penduduk

1 Air Dingin 43.500 1.120

2 Kelabu 40.700 1.675

3 Tanjung Mas 41.850 1.574

4 Perdamaian 43.950 1.248

5 Tonang Raya 49.450 3.183

6 Setia 45.350 2.128

7 Sepakat 29.00 761

8 Purnama 34.950 803

Jumlah 337.750 12.587

Sumber: Kantor Wali Nagari Simpang Tonang

Dari tabel di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Jorong Tonang Raya merupakan jorong yang daerahnya paling luas dan paling banyak jumlah penduduknya. Hal ini disebabkan karena di jorong ini terdapat berbagai pusat keramaian seperti pasar, kantor wali nagari dan KAN.

(16)

usia, jenis kelamin, mata pencaharian, dan lain sebagainya. Dalam pembuatan deskripsi ini penulis memanfaatkan data statisik yang diperoleh dari Kantor Wali

Nagari Simpang Tonang.

2.3.1. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin

Pengelompokan penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin ini bermanfaat untuk mengetahui perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang terdiri dari kategori penduduk usia produktif (berusia antara 15-54 tahun) dan kategori penduduk usia non-produktif (berusia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas). Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan tabel berikut ini.

Tabel 2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

No Umur

Jenis Kelamin

Jumlah Laki-Laki Perempuan

1 15-19 Tahun 673 780 1.453

2 20-26 Tahun 678 807 1.485

3 27-40 Tahun 997 1.357 2.354

4 41-56 Tahun 1.174 1.564 2.738

5 57 Tahun ke atas 157 389 546

Jumlah 3.679 4.897 8.576

Sumber: Kantor Wali Nagari Simpang Tonang

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kanagarian

(17)

penduduk usia produktif yang masih bersekolah dan penduduk usia non-produktif yang masih tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

2.3.2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting bagi setiap manusia. Setiap orang atau keluarga selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya. Secara umum tingkat pendidikan di Nagari Simpang Tonang dapat dikatakan baik. Dari data yang didapat dari Kantor Wali Nagari Simpang Tonang bahwa tingkat pendidikan di daerah ini rata-rata mengenyam pendidikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan.

Tabel 3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Keterangan Jumlah (orang)

1 Lulusan Pendidikan Umum 1. Taman Kanak-Kanak 2 Lulusan Pendidikan Khusus

1. Pendidikan Pesantren

(18)

tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena faktor ekonomi yakni kurangnya dana untuk membiayai sekolah karena mata pencaharian yang minim dan pengaruh gender dimana bagi sebagian dari mereka berpikir bahwa seorang wanita tidak perlu sekolah tinggi karena setelah lulus mereka tetap akan menjadi seorang ibu rumah tangga. Hal ini tentu mempengaruhi pengetahuan mereka. 2.3.3. Jumlah Penduduk Mata Pencaharian Hidup

Pada umumnya masyarakat Simpang Tonang bekerja di sektor pertanian unutk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini didukung oleh keadaan alamya yang subur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 4

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Hidup

NO Keterangan Jumlah (Orang)

1 Karyawan

8 Pengangguran/ pekerja tidak tetap Sumber: Kantor Wali Nagari Simpang Tonang

(19)

Nila itu dipelihara mereka di dalam sebuah kolam atau masyarakat setempat menyebutnya dengan tobat.

2.3.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

Sebagai suatu sistem kepercayaan dan keyakinan, agama bagi masyarakat setempat memiliki peranan yang teramat penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sistem nilai dan norma yang terdapat dalam ajaran agama ditempatkan dalam posisi teratas dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh semua lapisan masyarakat. Masyarakat Simpang Tonang 100% beragama Islam, sehingga nilai-nilai Islami sangat besar pengaruhnya dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Termasuk mengenai masalah perkawinan, sehingga tidak pernah ditemukan kasus perkawinan campuran antara agama di daerah ini. Masyarakat Simpang Tonang mengistilahkannya dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, sebagaimana filsafat adat Minangkabau. Menurut Navis (1984), rumusan adat

(20)

Tabel 5

Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Per Jorong

Jorong Islam Protestan Katolik Hindu Budha

Kalabu 2 294 0 0 0 0

Tanjung Mas 667 0 0 0 0

Tonang Raya 1 764 0 0 0 0

Setia 616 0 0 0 0

Purnama 2 319 0 0 0 0

Sepakat 24 685 0 0 0 0

Sumber: Kantor Departemen Agama Kabupaten Pasaman

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh masyarakat Simpang Tonang adalah pemeluk agama Islam. Segala aktifitas masyarakat selalu berpedoman pada kitab suci Al’quran dan hadis (segala perbuatan dan tingkah laku nabi). Nilai-nilai Islami sudah terinternalisasi pada jiwa masyarakat Simpang Tonang. Sebagai wujud dari spirit keberagamaan mereka senantiasa meramaikan mesjid setempat untuk melaksanakan ibadah sholat lima waktu secara berjama’ah. Apabila hari Jum’at tiba maka kaum laki-laki di sini datang berbondong-bondong mengenakan baju koko atau batik lengkap dengan kain sarungnya dan pecinya untuk menunaikan ibadah sholat Jum’at. Suasana keagamaan sangat tersasa ketika bulan Ramadhan menjelang dan pada saat perayan hari-hari besar agama Islam seperti: Maulid Nabi, Isra’ Miraj dan hari-hari besar lainnya. Masyarakat akan mengadakan berbagai rangkaian acara di masjid setempat dengan memasak

(21)

langsung dapat menyumbangkan barang-barang yang bernilai ekonomis. Ada satu lagi tradisi unik yang dimiliki masyarakat Simpang Tonang yakni ziarah massal untuk membersihkan pandam perkuburan sebelum memasuki bulan Ramadhan.

2.4. Pola Pemukiman

Pola pemukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan melakukan kegiatan atau pun aktivitas sehari-harinya. Permukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat (ruang) atau suatu daerah dimana penduduk terkonsentrasi dan hidup bersama menggunakan lingkungan setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan hidupnya. Pola pemukiman merupakan persebaran tempat tinggal penduduk berdasarkan kondisi alam dan aktivitas penduduknya.

(22)

Gambar 2. Rumah-Rumah Penduduk di Nagari Simpang Tonang Sumber: Dokumentasi Pribadi

(23)

tempat memasak dengan kayu bakar. Tidak semua rumah warga yang dilengkapi sarana MCK, mereka biasanya memanfaatkan sungai, pancur masjid, jamban, atau menumpang di rumah tetangga lainnya. Pekarangan yang ditanami bunga-bungaan dan bumbu dapur itu menjadi penyatu antara satu rumah dengan rumah lainnya. Pada sore hari mereka sering memanfaatkannya sebagai tempat untuk bersendagurau atau apabila panas terik masyarakat memanfaatkannya sebagai tempat untuk menjemur padi.

(24)

2.5. Alak Simpang Tonang: Pengidentifikasian Diri dan Sistem Kekerabatan 2.5.1. Identitas Kultural dan Penegasan Diri

Berbahasa Mandailing tetapi dalam keseharinnya mengenakan adat-istiadat Minangkabau, agaknya membuat sebahagian masyarakat rancu dalam menetapkan identitas dirinya. Meskipun mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai “Urang Minang” tetapi masyarakat lain melihat mereka bukan orang Minangbau. Hal ini disebabkan karena mereka berkomunikasi dengan bahasa Mandailing dan mereka memiliki rmarga seperti orang Mandiling, yakni: Lubis dan Nasution. Hal ini menimbulkan keraguan sebagian orang untuk mengatakan kelompok masyarakat tersebut adalah orang Minangkabau. Begitu juga dengan saudara mereka di Utara, mereka mengakui bahwa masyarakat tersebut memang berasal dari tanah Batak. Namun, mereka sudah tidak paham dan tidak menerapkan lagi adat-istiadat Batak (habatakon). Mereka kemudian dijuluki dengan istilah “na leplap” atau “dalle” yaitu etnis Batak yang tak paham adat-istiadat Batak.

Keadaan demikianlah yang membuat mereka bangga menegaskan diri sebagai “Alak Pangtonang” atau orang Simpang Tonang. Mereka sadar bahwa kebudayaan mereka sebenarnya tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan Minangkabau dan kebudayaan Mandailing. Bagi mereka hidup bersama justru lebih penting daripada membahas perbedaan budaya yang ada. Bahkan demi bisa hidup survive, mereka menghilangkan marganya.

(25)

pemerintahan adat, bahasa dan juga seni masyarakat setempat. Dalam bidang kesenian misalnya, tidak ada lagi tortor dan gordang sambilan serta onang-onang yang menjadi masyarakat Mandailing. Di daerah ini lahir kesenian ronggeng14

dan dikiarapano15

Seiring dengan perkembangan zaman, tampaknya banyak dari generasi muda Simpang Tonang yang merasa aneh dengan keunikan identitas yang mereka miliki. Hal ini turut dipengaruhi oleh arus globalisasi yang membuat Nagari

Simpang Tonang seperti tidak berbatas lagi. Alak Simpang Tonang telah akrab dengan media internet, televisi, telephone seluler, dan lain sebagainya. Dengan memanfaatkan media ini tentu mereka dapat mengakses berbagai informasi yang ada, salah satunya mengenai kebudayaan. Di samping itu dengan memanfaatkan

.

Sebagai pendatang etnis Mandailing pada generasi pertama berusaha untuk menjadi identik dengan etnis Minangkabau. Banyak kebudayaan Minangkabau yang mereka adopsi mereka, mulai dari bahasa, kebiasaan hidup, tradisi-tradisi budaya dan sebagainya. Hubungan mereka dengan bona pasogit atau daerah asal pun dapat dikatakan sudah terputus. Hal ini menyebabkan kebudayaan daerah asal sudah hampir terlupakan dan sudah amat jarang dilaksanakan, mereka pun tidak menggunakan marga dalam dokumen formalnya, sekalipun mereka tahu dan sadar atas marga mereka.

14

Ronggeng Pasaman merupakan satu tradisi lisan Minangkabau, berupa seni pertunjukan yang terdiri atas pantun, tari atau joget, dan musik. Kesenian ini biasanya ditampilkan pada hari besar Islam. Kesenian ini sangat berkembang di Nagari Cubadak dan Simpang Tonang Kabupaten Pasaman.

15

Kesenian ini biasanya dimainkan pada saat upacara-upacara adat seperti mengantarkan

(26)

lancarnya sarana transportasi, tidak sedikit alak Simpang Tonang yang merantau ke daerah tetangga seperti Medan, Padang dan Pekanbaru. Di perantauan, alak

Simpang Tonang bertemu dengan berbagai etnis lain dan etnis Mandailing yang masih mempertahankan adat-istiadatnya. Dari bahasa yang mereka gunakan ketika berkomunikasi di antara sesama alak Simpang Tonang, tentu etnis lain menganggap mereka adalah etnis Batak. Namun alak Simpang Tonang tidak suka disebut sebagai orang Batak karena dalam identitas tersebut terdapat berbagai

stereotype16

16Stereotype

adalah pandangan atau penilaian mengenai sifat-sifat dan watak pribadi suatu individu atau golongan lain yang bersifat subjektif, tidak tepat, dan cenderung negatif karena tidak lengkapnya informasi yang didapatkan.

dan mereka adalah penganut agama Islam yang membuat mereka berbeda dari kebanyakan. Mereka merasa lebih dekat dengan saudara-saudaranya yang berasal dari Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan. Setelah menjalin interaksi dengan etnis lain ini maka ada rasa kegalauan identitas yang timbul dalam diri alak Simpang Tonang. Bahkan ada yang beranggapan bahwa kebudayaan saudaranya yang berasal dari Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan itulah yang lebih benar sebagaimana mestinya. Di rantau pun tidak sedikit mereka menemukan jodoh yang masih mempertahankan adat Mandailing. Mereka pun akan mengadopsi adat serta kebudayaannya. Keberadaan ikatan para perantau pun turut merubah pola fikir alak Simpang Tonang mengenai identitasnya. Bahkan ada yang berfikiran ekstream untuk mengembalikan adat sumondo kepada adat

(27)

2.5.2. Sistem Kekerabatan dan Pergeseran Konsep Dalihan Natolu di Simpang Tonang

Berbicara mengenai sistem kekerabatan maka tidak akan lepas dari perkawinan sebagai pondasinya. Di samping merupakan suatu proses melanjutkan keturunan secara genealogi, perkawinan juga akan memperlebar jarak persaudaraan atau yang lebih dikenal dengan istilah kekerabatan. Bagi masyarakat Simpang Tonang sistem kekerabatan yang mereka anut ialah sistem kekerabatan

matrilineal (silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu) sebagaimana etnis Minangkabau lainnya. Anak-anak akan lebih dekat dan akrab dengan keluarga ibunya dibangdingan dengan keluarga ayahnya. Dalam sistem kekerabatan matrilinial ini terdapat 3 unsur yang paling dominan, yakni: 1) Garis keturunan menurut ibu, 2) Perkawinan eksogami matrilineal (harus dengan kelompok lain di luar kelompok sendiri), dan 3) Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga.

Dengan mengadopsi sistem matrilineal, marga Mandailing yang mereka miliki pun diturunkan dari ibunya. Jika dia bermarga Nasution, maka ibunya pun pasti bermarga Nasution. Sebagian lagi yang masih mempertahankan sistem

(28)

Pada masyarakat Simpang Tonang dikenal adanya hubungan saboltok (seperut) atau dikenal juga dengan istilah sadaina. Hubungan saboltok ini merupakan tingkat sanak unyang yang paling jauh, yakni ibu dari nenek. Beberapa boltok ini kemudian membentuk satuan terkecil dalam masyarakat, yang disebut koum. Dalam suatu koum biasanya terdiri dari tiga boltok (induk) yang terdiri dari lima keturunan dari garis ibu (senenek). Kaum ini dikepalai oleh

mamak kaum yang disebut mamak tuo. Beberapa koum kemudian menghimpun dalam satu kepenghuluan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di halaman berikut.

saboltok

sakoum sapanghulu

(29)

Adanya kesatuan-kesatuan tersebut tidak terlepas dari konsep persekutuan yang bersifat genelogis dan teritorial. Menurut Kharlie (2013:117), dalam persekutuan genelogis anggota-anggotanya merasa diri terikat satu sama lain karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama, sehingga di antara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara dalam persekutuan teritorial anggotanya terikat karena bertempat tinggal di suatu daerah yang sama. Di Sumatera Barat dan Simpang Tonang persekutuan teritorial ini disebut dengan

nagari.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Simpang Tonang terdapat berbagai istilah partuturon. Menurut Nasution (2005), partuturon merupakan penentu etika, sikap dan tingkah laku yang menunjukkan sejauh mana hubungan seseorang dengan orang lain berdasarkan hubungan darah, hubungan kekerabatan, atau hubungan perkawinan. Panggilan kekerabatan ini lahir dari adanya hubungan perkawinan Berbagai istilah kekerabatan tersebut telah mengalami persentuhan antara kebudayaan Mandailing dan Minangkabau. Adapun panggilan kekerabatan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Apak, merupakan sebutan terhadap orang tua laki-laki dari ego

b. Indek/umak, merupakan sebutan terhadap orang tua perempuan dari ego

c. Angkang, merupakan sebutan terhadap kakak laki-laki atau perempuan dari ego

d. Nggik, merupakan sebutan terhadap adik laki-laki atau perempuan dari ego e. Nonok/nenek, merupakan panggilan kekerabatan terhadap orangtua dari ayah

atau ibu si ego.

(30)

g. Amei/namboru/bou, panggilan kepada kakak atau adik perempuan dari ayah ego

h. Pak tuo, merupakan panggilan kepada kakak laki-laki dari ayah ego i. Pak etek/uda, merupakan panggilan kepada adik laki-laki dari ayah

j. Mamak, merupakan panggilan kepada saudara laki-laki dari ibu dan ego akan dipanggil bere atau babere olehnya

k. Unyang/etek, merupakan panggilan kepada adik perempuan dari ibu ego l. Ndek tuo kakak perempuan ibu ego

m. Ipar/pariban, panggilan kepada saudara laki-laki dari isteri ego

n. Adaboru, merupakan isteri dari ego biasanya dipanggil dengan sebutan indek

anu atau namanya

o. Anak, merupakan anak laki-laki dari ego, biasanya dipanggil dengan sebutan

apak atau namanya atau namanya langsung

p. Boru, merupakan anak perempuan dari ego, biasanya,dipanggil dengan sebutan indek atau namanya langsung

q. Pahompu, merupakan sebutan nenek kepada cucunya sementara panggilannya

nggik

r. Parmaen adalah anak pisang atau menantu perempuan s. Lae, panggilan antara lelaki sesama besar

(31)

Gambar 4. Diagram Kekerabatan atau Partuturon di Simpang Tonang Dari panggilan-panggilan kekerabatan tersebut dapat kita lihat bahwa terdapat saling pinjam-meminjam istilah antara etnis Mandailing dan Minangkabau. Panggilan-panggilan kekerabatan di atas dikenal dengan istilah

martutur. Martutur merupakan suatu bentuk refleksi dari nilai kesopan-santunan seseorang ketika berkomunikasi. Sebelum melakukan komunikasi lebih lanjut biasanya alak Simpang Tonang selalu menarik garis kekerabatan terlebih dahulu agar mengetahui posisinya dalam kerabat dan tutur apa yang sepantasnya diucapkan olehnya dan kepadanya. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1967)

F F F F

E

E

H G A I G

F

F F

F

E E

L B K

J J

C D

C D

G

M N

(32)

membedakan dua istilah dalam sistem kekerabatan. Pada umumnya tiap bahasa memiliki dua macam sistem istilah yaitu: istilah menyebut dan istilah menyapa. Istilah menyebut digunakan untuk memanggil seseorang apabila berhadapan dengan orang lain atau berbicara tentang orang ketiga; sementara istilah menyapa digunakan untuk memanggil seseorang apabila berhadapan langsung.

Selain martutur di Simpang Tonang juga terdapat adanya pelapisan sosial, meskipun tidak begitu kentara. Pelapisan sosial tersebut berupa perbedaan antara penduduk yang mula-mula membuka perkampungan tersebut atau yang dikenal dengan natobang natoras dengan penduduk yang datang belakangan. Penduduk pendatang tersebut harus mengisi adat dan menuang limbago terlebih dahulu, maksudnya mengaku sebagai kemenakan dari niniak mamak yang ada dengan syarat harus beragama Islam dan berjanji untuk mengikuti adat istiadat Minang.

(33)

ketiga kelompok tersebut memiliki hak dan kewajibannya sendiri-sendiri. Misalnya saja kelompok anak boru yang bertugas sebagai parhobas atau pelayan. Pada prinsipnya di Kanagarian Simpang Tonang masih terdapat ciri-ciri khas suatu wadah kelembagaan Mandailing, yakni natobang natoras. Namun, wadah tersebut diisi juga dengan prinsip-prinsip Minangkabau seperti adanya

mamak yang mewakili keluarga dalam struktur masyarakat berdasarkan garis keturunan ibu. Di Simpang Tonang mamak tersebut dikenal dengan istilah Niniak Mamak Na Sapulu. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan adat Mandailing, dimana masyarakat tidak mengenal kedatukan hanya ada kerajaan yang masyarakatnya dibentuk berdasarkan marga-marga.

2.6. Bentuk-Bentuk Hubungan Sosial yang Dijalin dalam Kehidupan Sehari- hari antara Etnis Mandailing dan Minangkabau di Simpang Tonang

(34)

adanya hubungan kekeluargaan melalui perkawinan. Bahkan tidak jarang ditemukan perkawinan campuran antara kedua etnis tersebut. Mereka saling bertegur-sapa ketika bertemu di jalan, mengobrol di teras rumah dan ketika berbelanja di lopo atau kedai. Di samping itu juga ada juga perkumpulan ibu-ibu majelis pengajian dan organisasi muda-mudi masjid. Sarana-sarana tersebut dinilai cukup fungsional dalam menjalin hubungan antar etnis yang ada. Hubungan saling tolong-menolong pun dilakukan tanpa membeda-bedakan etnis, baik dalam kehidupan sehari-hari, acara yang bersifat sukacita seperti pesta perkawinan maupun peristiwa duka atau meninggal dunia. Dengan hubungan yang sangat intensif tersebut menyebabkan terjadinya pertukaran bahasa antar-etnis. Seseorang yang pergaulannya luas biasanya akan menguasai kedua bahasa yang ada. Terkadang dalam suatu percakapan terjadi pergantian antara satu bahasa dengan bahasa yang lain sangat cepat. Namun hal serupa sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan etnis Minangkabau yang tampak sedikit lebih sulit dalam memahami bahasa Mandailing.

2.6.1. Hubungan Sosial di Arena Lokal dan Pasar

(35)

supaya tidak dikucilkan. Sikap saling menghormati pun bukan hanya antar etnis saja melainkan karena adanya perbedaan usia dan status sosial seseorang. Walaupun adat-istiadat Minangkabau terlihat lebih mendominasi pada pranata dan nilai budaya, namun hal tersebut hanya dijadikan acuan agar bisa hidup berdampingan. Mereka tidak pernah mempersoalkan idendtitas etnis masing sehingga melahirkan karakter interaksi sosial yg unik.

Penduduk Simpang Tonang biasanya melaksanakan jual beli di pasar. Pasar merupakan urat nadi penggerak kegiatan perekonomian masyarakat. Pasar yang masih bersifat tradisional tersebut menjadi arus distribusi barang dan jasa serta sarana ajang pertemuan antar-kerabat tetangga dengan lalu lintas berbagai informasi yang ada. Ketika hari pasar tiba maka para pedagang dan pembeli dari beberapa pelosok nagari dan daerah lain akan berdatangan ke pasar-pasar yang ada. Hari pasar atau yang lebih dikenal dengan istilah poken diadakan sekali seminggu. Hari pasaran di beberapa jorong yang ada di Simpang Tonang berbeda-beda. Di Pasar Simpang Tonang, Simpang Andilan dan Air Dingin hari pasarnya adalah hari Selasa, sementara di Simpang Duku hari pasarnya adalah hari Jumat.

(36)

anggota dari etnisnya. Namun bila berinteraksi dengan etnis lainnya biasanya mereka akan menggunakan bahasa Minang atau bahasa Indonesia. Selama ini belum pernah terjadi perselisihan akibat perbedaan bahasa.

2.6.2. Hubungan Sosial di Lembaga Pendidikan dan Instansi Pemerintahan Di sekolah tidak ada perbedaan perlakuan antara etnis Mandailing dan etnis Minangkabau. Semua siswa dianggap sama-sama individu yang haus akan ilmu pengetahuan. Anak-anak dari berbagai etnis etnis ini berintekrasi hampir sepanjang waktu ketika belajar di sekolah atau bermain di area perkampungan. Guru-guru yang ditugaskan di sana pun selain etnis Mandailing juga terdapat etnis Minangkabau. Penggunaan bahasa Mandailing kerap terdengar di bangku pendidikan ini di samping bahasa Indonesia Raya.

(37)

rasa kekeluargaan Di samping itu juga instantsi pemerintahan ini menjalin kerjasama dengan tokoh agama dan tokoh adat karena mereka lah yang dijadikan panutan oleh masyarakat setempat.

2.6.3. Hubungan Sosial yang Dijalin untuk Kegiatan Upacara Adat

Kaba baiak baimbauan kaba buruak bahambauan. Falsafah tersebut dapat mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan tolong-menolong. Dalam peristiwa kemalangan seperti kematian tolong-menolong dilakukan secara spontan, sedangkan pada upacara peristiwa kegembiraan seperti perkawinan tolong-menolong dilakukan dengan pamrih. Pamrih yang dimaksudkan ialah adanya harapan dalam diri seseorang yang memberikan pertolangan bahwa suatu saat dia akan mendapat pertolongan pula jika mengadakan perhelatan.

Dalam perhelatan perkawinan di Simpang Tonang juga ada tradisi gotong-royong. Selain membantu dengan tenaga seperti menyiapkan hidangan dan perlengkapan lain, terdapat juga tradisi gotong –royong dengan mengumpulkan beras. Tradisi ini seperti julo-julo, dimana setiap rumah yang telah didaftar sebagai anggota mengumpulkan beras, setiap ada anggota yang melaksanakan perhelatan perkawinan atau meninggal dunia.

(38)

perbatasan Simpang Tonang. Kebersamaan ini terefleksi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

2.7. Pandangan dan Stereotype

Menurut Suparlan (1989:342), stereotype adalah suatu generalisasi atau prasangka mengenai gambaran karakter psikologis atau sifat kepribadian yang dimiliki oleh sesorang atau suatu etnis tertentu yang didasarkan pada pendapat-pendapat sebelumnya tanpa adanya observasi atau pengalaman.

Adanya stereotype yang diberikan pada alak Simpang Tonang, selalu menuntut apabila sudah dijanjikan. Stereotype ini menyebabkan hubungan antar pendatang dan penduduk cenderung kesenjangan. Umumnya orang dari Sumatera Utara dan daerah Sumatera Barat lainnya menganggap alak Simpang Tonang lebih rendah dari mereka. Sehingga tidak erat bersahabat. Terkait dengan

(39)

2.8. Upaya-upaya yang Dilakukan untuk Meredam dan Mengatasi Jika Terjadinya Konflik

Konflik adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuan dengan jalan mementang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan. Di Simpang Tonang konflik antar etnis setidaknya belum pernah terdengar. Bila terjadi konflik umumnya berasal dari personal. Biasanya apabila terjadi suatu konflik maka benih-benih pertentangan tersebut harus diselesaikan segera sehingga tidak menumpuk dan suatu waktu dapat meledak. Biasanya

mamak dan tetua adat akan menjadi penengah untuk menyelesaikan konflik tersebut melalui jalan musyawarah. Setelah jalur itu ditempuh namun tetap tidak menemukan penyelesaian maka akan ditempuh jalur hukum.

Sebenarnya salah satu yang dapat menjadi kunci penting dalam mencegah suatu konflik ialah sikap tolerasi yang sudah melembaga. Hal ini dapat terjalin apabila interaksi sosial berlangsung secara intensif dalam frekwensi yang tinggi. Dengan menjadi “Minang” setidaknya alak Simpang Tonang dapat hidup survive

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kendala umum dalam proses pembelajaran sejarah yang dirasakan para siswa/mahasiswa PKN/Sejarah adalah betapa tidak menariknya proses pembelajaran, sementara pelajaran

1) Menjadi agen pembangunan desa yang dapat memonitor, mengevaluasi dan mengaspirasikan kepada pihak pemerintah daerah serta wakil rakyat tentang permasalahan,

Hasil keluaran dari sistem pakar berupa identifikasi status gizi akan digunakan sebagai masukan algoritma genetika untuk mencari menu makanan yang sesuai kebutuhan

Melalui studi kepustakaan dengan menggunakan metode pendekatan hukum empiris diperoleh kesimpulan, bahwa dalam kenyataannya, kesepakatan kerjasama Sosek Malindo yang

Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap pada kromatografi lapis tipis, akan tetapi yang paling umum digunakan adalah silika gel (asam silikat),

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, SDN Dadaprejo 1 Batu merupakan Sekolah Inti dari Gugus Sekolah III Kecamatan Junrejo Kota Batu, yang mana

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-NYA sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “ RANCANG BANGUN

Berdasarkan penelitian IDKD (1982) kota Medan pada waktu masih dalam nuansa kampung dimana norma agama dan adat istiadat mewarnai kehidupan masyarakatnya. Setelah Tahun 90-an