• Tidak ada hasil yang ditemukan

Normal (level I) menjadi WASPADA (Level

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Normal (level I) menjadi WASPADA (Level"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009 : 19-26 Hal :19

KORELASI PARAMETER SUHU AIR PANAS, KEGEMPAAN, DAN DEFORMASI

LETUSAN G. SLAMET APRIL - MEI 2009

Estu KRISWATI dan Oktory PRAMBADA

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Jalan Diponegoro 57 Bandung

Sari

Letusan G. Slamet terjadi sejak 23 April 2009 dan masih berlangsung hingga akhir Mei 2009. Berdasarkan data deformasi, hasil pengukuran suhu mata air panas, energi gempa dari data RSAM, dan jumlah gempa letusan, terlihat bahwa secara umum pemendekan jarak (inflasi) terutama POS – DSL7 (Cilik) yang dibarengi oleh peningkatan suhu air panas diikuti oleh peningkatan jumlah gempa letusan. Dan bersamaan dengan tingginya jumlah gempa letusan, suhu air panas menurun dan jarak miring POS – DSL7 mengalami penambahan. Hal ini berkaitan dengan akumulasi energi di tubuh G. Slamet. Saat aktivitasnya menurun, dimana energi telah dilepaskan berupa peningkatan kejadian letusan, maka suhu mata air kembali turun dan terjadi deflasi. Tingginya nilai RSAM tidak selalu berasosiasi dengan tingginya jumlah gempa letusan yang terjadi. Data RSAM memperlihatkan laju energi yang relatif konstan meskipun jumlah gempa letusan berfluktuasi.

Dari data yang diperoleh selama letusan, terdapat hubungan yang baik antara parameter suhu air panas, kegempaan, jumlah dan tinggi letusan, dan deformasi.

Kata kunci:suhu air panas, energi gempa, RSAM, gempa letusan, deformasi, inflasi, deflasi

PENDAHULUAN

G. Slamet secara administratif terletak di Kabupaten Purbalingga, Tegal, Brebes, Pemalang, dan Banyumas. Puncaknya terletak

di koordinat 07o14’30”LS dan 109o12’30”BT pada ketinggian 3432m di atas muka laut (Gambar 1). Sifat letusannya bervariasi antara eksplosif dan efusif (Kusumadinata, 1979).

Gambar 1. Peta lokasi G. Slamet

Letusan G. Slamet terjadi pada beberapa lubang letusan di dalam kawah IV dengan interval letusan 1 – 53 tahun (Grafik 1). Letusan tahun 1973 menghasilkan leleran lava di dalam Kawah IV.

Tanggal 21 April 2009, pukul 12:00 WIB, aktivitas vulkanik G. Slamet mengalami peningkatan dan statusnya dinaikkan dari

Normal (level I) menjadi WASPADA (Level II). Sejak itu aktivitas G. Slamet terus mengalami peningkatan, Jumlah gempa letusan

(2)

Hal :20 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009 : 20-26 terus meningkat,dan kolom asap letusan yang

berwana putih tebal kecoklatan mencapai tinggi ± 800m di atas bibir kawah. Peningkatan tersebut didukung oleh kenaikan suhu air panas di beberapa lokasi di lereng G. Slamet. Aktivitas vulkanik G. Slamet dinaikkan dari

Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III) pada 23 April 2009 pukul 18:00 WIB.

Grafik 1. Interval letusan G. Slamet. Interval letusan tertinggi adalah 53 tahun sedangkan letusan tahun

2009 terjadi setelah 21 tahun istirahat.

DATA PENGAMATAN

Perkembangan aktivitas G. Slamet dipantau secara menerus dengan metoda visual, kegempaan dan deformasi, serta secara periodik dengan metoda geokimia (kimia air) di sumber air panas dan pengukuran gas SO2 dengan DOAS (Differential Optical Absorption Spectroscopy).

Visual dan Suhu Air Panas

Hasil pemantauan visual periode 12–26 Mei 2009 dari Pos PGA Slamet di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang

menunjukkan gunungapi ini sering tertutup kabut terutama pada siang hingga sore hari. Pada saat cuaca cerah aktivitas di puncak yang teramati adalah sebagai berikut :

1. Semburan lava pijar (lava fountain) terlihat jelas di malam dan dini hari dengan ketinggian semburan material pijar maksimum 100m di atas bibir kawah. Material lava jatuh di sekitar titik letusan di Kawah IV bagian dalam. Tanggal 22 Mei 2009, semburan material pijar terjadi hampir menerus sejak pukul 22:00 hingga 23 Mei 2009 pk 04:00 dengan ketinggian lontaran mencapai 100m di atas bibir kawah. Pukul 22:00 tanggal 23 Mei 2009 semburan lava pijar mencapai ketinggian 400m. Teramati pada beberapa letusan, lontaran material pijar melampaui dinding kawah bagian luar dan jatuh di lereng barat G. Slamet.

(3)

Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009 : 21-26 Hal :21 Grafik 2. Tinggi maksimum asap letusan per 6 jam (24 April - 25 Mei 2009)

Foto 1. Letusan abu dengan kolom asap mencapai ketinggian lk. 1000m di atas bibir kawah

Hasil pengukuran suhu di mata air panas Pandansari dan Pasepuhan yang terletak di lereng barat G. Slamet sejak tahun 2008, masing-masing berkisar 41–47oC dan 56– 65,8oC. Pada 21 April 2009, saat G. Slamet mulai mengalami peningkatan aktivitas, suhu air panas di Pasepuhan terukur 63oC dan di Pandansari 45.7oC. Suhu tertinggi pada mata air Pasepuhan terukur 65,8oC pada 29 April 2009 dan di Pandansari terukur 46,5oC pada 2 Mei 2009.

Pengukuran suhu air panas di Pasepuhan dan Pandansari tanggal 12-25 Mei 2009 menunjukkan nilai yang berfluktuasi dengan kisaran masing-masing 57.4-63,3oC dan 43,7– 44,4oC (Grafik 3) dengan kecenderungan menurun.

Grafik 3. Suhu mata air panas Pasepuhan dan Pandansari 1 April – 25 Mei 2009

Kegempaan

Aktivitas kegempaan G. Slamet diamati secara menerus menggunakan seismometer L4-C (1Hz) yang dipasang secara permanen di Bukit Cikunang/Buncis (Sta. BCS) dan Bukit Cilik (Sta. CLK). Sinyal dari kedua stasiun tersebut dikirimkan dengan gelombang radio (RTS) ke Pos PGA G. Slamet dan direkam menggunakan seismograf analog Kinemetrics PS-2 dan secara digital menggunakan Datamark LS-7000 yang dihubungkan ke komputer.

(4)

Hal :22 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009 : 22-26 diikuti munculnya gempabumi Tremor

Vulkanik tidak menerus dengan amplituda maksimum 0.5–1mm. Pada 21 April 2009 mulai pukul 06:15–09:25 WIB gempabumi Tremor Vulkanik menerus kembali terekam dengan amplituda maksimum berkisar antara 0.5–10mm.

Sejak berstatus Waspada aktivitas kegempaan G. Slamet terus mengalami peningkatan hingga mencapai puncaknya pada 17 Mei 2009 dengan terekamnya Gempa letusan secara menerus. Setelah itu dalam beberapa hari aktivitasnya menurun sebelum kembali melonjak tajam pada 22 Mei 2009 saat terjadi letusan abu yang diikuti oleh semburan lava pijar. Puncaknya terjadi pada 23 Mei 2009 pagi hari dengan terjadinya letusan abu yang mencapai ketinggian maksimum 1000m di atas bibir kawah. Gempa letusan yang terekam mempunyai kisaran amplituda 32mm.

Data Real Time Seismic Amplitude

Measurement (RSAM) memperlihatkan laju energi yang relatif konstan meskipun jumlah Gempa letusan berfluktuasi (Grafik 4) dengan kisaran amplituda gempa antara 3–45 mm dan lama gempa antara 10 detik - menerus. Kisaran amplituda yang besar terekam pada tanggal 12 - 13 Mei 2009. Sedangkan lama gempa yang menerus terekam pada tanggal 17 - 18 Mei 2009 dengan amplituda berkisar antara 20 – 32mm.

Grafik 4. Grafik RSAM G. Slamet 1 April – 25 Mei 2009 (grafik garis) dan Jumlah Gempa letusan

(grafik batang)

Deformasi

Sejak 30 April 2009 dilakukan pemantauan deformasi dengan metoda Electronic Distance Measurement (EDM) dari Benchmark (BM) POS ke BM DSL8 (Bukit Ciroh, 1064m dpl) dan sejak 4 Mei 2009 terhadap POS - DSL7 (G. Cilik, 1516m dpl) (Gambar 2).

Dari hasil pengukuran jarak terhadap 2 titik ukur periode 11–18 Mei 2009 terlihat adanya perubahan jarak yang cukup jelas. Pemendekan jarak di kedua baseline terjadi pada 10 – 15 Mei 2009. Setelah itu baseline POS-DSL7 mengalami penambahan jarak, sebaliknya POS-DSL8 berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami pemendekan. Melihat lokasi titik ukur terhadap pusat letusan di puncak G. Slamet, pemendekan jarak dapat diartikan sebagai inflasi dan sebaliknya adalah deflasi.

(5)

Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009 : 23-26 Hal :23 Grafik 5. Pengukuran jarak miring pada titik ukur

DSL8 (Bukit Ciroh)

Grafik 6. Pengukuran jarak miring pada titik ukur DSL7 (G. Cilik)

Lokasi sumber tekanan dihitung menggunakan data pemendekan jarak yang terjadi baik di baseline DSL7 dan POS-DSL8 periode 10 – 15 Mei 2009.

Mogi (1958) mengaplikasikan model Yamakawa (1955) yang menghitung deformasi di permukaan disebabkan oleh sumber berbentuk bola pada media elastis di daerah gunungapi. Dengan nilai Poisson diasumsikan (λ = μ, λ, μ: konstanta Lame) perubahan horisontal

Δ

d dan vertikal

Δ

h di permukaan dengan jarak horizontal dari d dan disebabkan oleh sumber berbentuk bola pada kedalaman f digambarkan menggunakan persamaan sebagai berikut: rigiditas, jari-jari bola, dan perubahan hidrostatik sumber

Dengan menggunakan model Mogi (Point Source Model) untuk penentuan sumber tekanan dan dari besarnya perubahan jarak yang terjadi, diperoleh kedalaman sumber tekanan terletak di kedalaman 3km. Sumber tekanan diasumsikan berada di bawah puncak G. Slamet. Intensitas terhitung sebesar 3,50E+05 dan perubahan volume diperoleh sebesar 1,46E+06m3 (densitas material 2,5gr/cm3).

Kimia

Monitoring fluks SO2 dari plume G. Slamet dilakukan dengan menggunakan alat DOAS, hasilnya diperlihatkan di Tabel 1. Dibandingkan dengan pengukuran yang dilakukan pada 2 Mei 2009, kandungan SO2 mengalami penurunan yang cukup besar.

Tabel 1. Hasil pengukuran SO2 tanggal 1, 2, 19 dan

(6)

Hal :24 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009 : 24-26 maka suhu mata air kembali turun dan jarak

hasil pengukuran jarak kembali memanjang (deflasi).

Data deformasi dari perubahan jarak POS-DSL8 (Ciroh) menunjukkan masih terus berlangsungnya suplai magma dari kedalaman yang lebih besar dari 3km. Jarak stasiun Ciroh dari puncak lebih besar daripada stasiun Cilik, sehingga lebih responsif terhadap penambahan suplai dari dalam, sementara Cilik yang lebih dekat ke puncak lebih responsif terhadap laju penambahan volume dan pengeluaran yang terjadi.

Berdasarkan data RSAM yang berasosiasi dengan energi gempa letusan mengindikasikan bahwa tingginya nilai RSAM tidak selalu berasosiasi dengan tingginya jumlah gempa letusan yang terjadi. Data RSAM memperlihatkan laju energi yang relatif konstan meskipun jumlah gempa letusan berfluktuasi (Grafik 7) dengan kisaran ampltuda gempa antara 3–45 mm dan lama gempa antara 10 detik hingga menerus. Kisaran amplituda yang besar terekam pada tanggal 12 - 13 Mei 2009.

Sedangkan lama gempa yang menerus terekam pada tanggal 17 - 18 Mei 2009 dengan amplitude berkisar antara 20 – 32mm. Hal ini menunjukkan bahwa saat jumlah letusan kecil tetapi amplitudanya besar dan sebaliknya pada saat jumlahnya besar, letusan dikeluarkan memiliki amplituda yang kecil.

(7)
(8)

Hal :26 Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2009 : 26-26 Grafik 8. Grafik perubahan fluks SO2 tahun 1991, 1996 dan tahun 2009

KESIMPULAN

• Berdasarkan data deformasi, hasil pengukuran suhu mata air panas, energi gempa dari data RSAM, dan jumlah gempa letusan, terlihat bahwa secara umum pemendekan jarak (inflasi) terutama POS – DSL7 (Cilik) yang dibarengi oleh peningkatan suhu air panas diikuti oleh peningkatan jumlah gempa letusan.

• Bersamaan dengan tingginya jumlah gempa letusan, suhu air panas menurun dan jarak miring POS – DSL7 mengalami penambahan. Hal ini berkaitan dengan akumulasi energi di tubuh G. Slamet. Saat aktivitasnya menurun, dimana energi telah dilepaskan berupa peningkatan kejadian letusan, maka suhu mata air kembali turun dan terjadi deflasi.

• Tingginya nilai RSAM tidak selalu berasosiasi dengan tingginya jumlah gempa letusan yang terjadi. Data RSAM

memperlihatkan laju energi yang relatif konstan meskipun jumlah gempa letusan berfluktuasi.

Dari data yang diperoleh selama letusan, terdapat hubungan yang baik antara parameter suhu air panas, kegempaan, jumlah dan tinggi letusan, dan deformasi.

Daftar Pustaka

Kusumadinata K. dan Hamidi S., 1979, Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi G. Slamet
Grafik 1. Interval letusan G. Slamet. Interval letusan tertinggi adalah 53 tahun sedangkan letusan tahun 2009 terjadi setelah 21 tahun istirahat
Grafik 2. Tinggi maksimum asap letusan per 6 jam (24 April - 25 Mei 2009)
Gambar 2. Peta lokasi pengukuran EDM
+4

Referensi

Dokumen terkait

Modal sosial yang dimiliki oleh remaja putri kota Surabaya untuk menonton film dilihat dari status sekolah dan tempat remaja putri biasa berkumpul dan bermain bersama

Berdasarkan hasil penelitian, semakin banyak penambahan serat ampas tebu maka tekstur kertas akan semakin kasar dikarenakan serat yang terdapat pada ampas tebu lebih

Bahan uji diberikan secara oral setiap hari pada tikus hamil selama masa organogenesis (hari ke 6 sampai 15), dalam 3 kelompok perlakuan: Kelompok I, diberi zat manis stevia 360

Interpretasi model regresi di atas adalah: a) nilai konstanta 2,828, menyatakan bahwa jika variabel independen dianggap konstan, maka rata-rata keputusan perpindahan merek

berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengandalkan analisis data, secara induktif

Berdasarkan penjelasan latarbelakang permasalahan diatas, dalam penelitian ini mengamati diameter pertumbuhan Ganoderma boninense pada medium khusus yaitu Ganoderma Selective

Seperti menurut Rakhmat Supriyono (2010: 50- 51), adanya ilustrasi dimaksudkan untuk memperjelas informasi atau pesan dan sekaligus sebagai alat untuk menarik perhatian

Dalam hal ini dibutuhkan suatu analisa tegangan pada perpipaan untuk menentukan ada atau tidaknya tegangan yang berlebih ( overstress ) dan analisa gaya dan momen