• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DESKRIPSI TEMA - Penerapan Hasil Interpretasi Bentuk Rumah Tradisional Karo terhadap Perancangan Rumah Tinggal Kontemporer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II DESKRIPSI TEMA - Penerapan Hasil Interpretasi Bentuk Rumah Tradisional Karo terhadap Perancangan Rumah Tinggal Kontemporer"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DESKRIPSI TEMA

2.1 Pengertian Tema

Kata Hermeneutika memiliki makna sebagai interpretasi, yang menurut

penafsiran adalah “proses

lebih pembicara yang tak dapat menggunaka

Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika

dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas maknanya, objek

tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat

merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya.

yang sama, baik secara

simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai

interpretasi berurutan)”.

40

Didalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat karya Dr. Kaelan

M.S. dikatakan bahwa Hermeneutika dapat dijadikan sebuah metode dari sebuah

penelitian, yang merupakan metode yang sangat mendasar dalam ilmu-ilmu

humaniora, terutama dalam ilmu filsafat. Data yang dikumpulkan dari sumber data

dalam penelitian kemudian dianalisa, selain untuk diklasifikasi juga dikelompokkan

serta dilakukan display data sehingga kandungan nilai yang ada dapat ditangkap.

Analisis dilakukan oleh peneliti sendiri, dan relevan untuk digunakan dalam

40

(2)

penafsiran berbagai gejala, peristiwa, simbol dan nilai yang terkandung dalam unsur

kebudayaan yang muncul pada fenomena kehidupan manusia.41

2.1.1 Hermeneutika, filosofis terhadap arti interpretasi

Hermeneutika sebagai sebuah kata kerja Yunani, harmeneuin (menafsirkan) dan

kata bendanya adalah hermeneia (interpretasi)42

Martin Heidegger, yang melihat filsafat itu sendiri sebagai “interpretasi”, secara

eksplisit menghubungkan filsafat-sebagai-hermeneutika dengan legenda Yunani

tentang Dewa Hermes. Hermes diceritakan merupakan pembawa pesan takdir.

Herme>neuein berarti mengungkap sesuatu yang membawa pesan, sedangkan

herme>neeisin ton theon merupakan kata yang terdapat pada pernyataan-pernyataan

pujangga sebperti Sokrates dalam dialog Ion-nya, yang berarti utusan Tuhan. Maka,

dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari

Hermeneutika dan Hermeneutis mengasumsikan “proses membawa sesuatu untuk

dipahami”.

.

Mediasi dan proses membawa pesan agar dipahami yang dilakukan oleh

Hermes ini terkandung didalam semua tiga bentuk makna dasar dari herme>neuein

dan herme>neia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk

kata kerja sebagai berikut:

1. Mengungkapkan kata (to say).

41

Dr. Kaelan, M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, h.80

42

(3)

2. Menjelaskan (to explain).

3. Menterjemahkan (to translate).

Ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi

interpretasi. Dengan demikian interpretasi mengacu kepada tiga persoalan yang

berbeda, yaitu: (1) pengucapan lisan; (2) penjelasan yang masuk akal; (3) transliterasi

dari bahasa lain, yang kesemuanya mengarah pada pemahaman43

Seiring dengan perkembangan waktu, pada masa modern, Hermeneutika juga

mengalami pengembangan definisi, yaitu dalam enam bentuk yang berbeda. Sejak

kemunculannya, Hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya

prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan secara

kronologisnya sebagai berikut:

.

1. Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.

Pemahaman paling awal dari Hermeneutika muncul pada Bibel yang

merujuk kepada justifikasi historis karena penggunaannya yang muncul

pada buku-buku yang menginformasikan kaidah eksegesis kitab suci

(skriptur) di era modern. Peristiwa kemunculan kata tersebut ada di sebuah

judul buku karya J.C. Dannhauer, Hermeneutica sacra sive methodus

exponendarum sacrarum litterarum, yang diterbitkan pada 1654.44

43

Richard E.Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, h.15-16

44

(4)

2. Hermeneutika sebagai metodologi filologi secara umum.

Perkembangan rasionalisme, dan bersamaan dengannya, lahirnya filologi

klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh besar terhadap Hermeneutika

Bibel. Disana muncul metode kritik historis dalam teologi;45 baik pada

interpretasi Bibel “gramatis’ maupun “historis”, keduanya menegaskan bahwa

metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat

diaplikasikan pada buku yang lain. Misalnya, dalam buku pedoman

Hermeneutis dari Ernesti tahun 1761, yang menyatakan bahwa: “pengertian

verbal kitab suci harus didetermenasikan dengan cara yang sama ketika kita

mengetahui hal itu pada buku-buku lain.”46 Lessing juga pernah berkata

bahwa: “Kebenaran aksidental historis tak pernah bisa menjadi bukti dari

kebenaran pikiran.”47 Melalui pernyataan-pernyataan tersebut, dapat ditarik

kesimpulan bahwa, tantangan interpretasi selanjutnya adalah untuk membuat

Bibel relevan dengan pikiran rasional manusia.

3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.

Schleiermacher mempunyai distingsi tentang pemahaman kembali arti kata

Hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Konsepsi

Hermeneutika yang ia lakukan melebihi konsep Hermeneutika sebagai

45

Hans-Joachim Kraus, Geshichte der Historisch-kritishen Erfoschung der Alten Testaments von der Reformation bis zur Gegenwart, chapter 3 h.70-102

46

F.W.Farrar, History of Interpretation, h.402, Johann August Ernesti h.245

47“On the Proof of the Spirit and of Power,”

(5)

sejumlah kaidah dan berupaya membuat Hermeneutika sistematis-koheren,

sebuah ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam sebuah

dialog. Hasilnya adalah hermeneutika umum (allgemeine hermeneutik) yang

prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai pondasi bagi semua ragam

interpretasi teks.

4. Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi gesteswessenhshaften.

Wilhelm Dilthey, penulis biografi Scheliermacher dan salah satu pemikir

filsafat besar pada akhir abad ke-19, melihat hermeneutika sebagai inti

disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften, yaitu

semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi dan tulisan

manusia. Untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berkaitan

dengan hukum, karya sastra maupun kitab suci, membutuhkan tindakan

pemahaman historis.

5. Hermeneutika sebagai Fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial.

Hermeneutika dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu dan kaidah

interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenchaften, tetapi lebih

kepada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri.

Analisis Heidegger, seorang filosofis Jerman mengindikasikan bahwa

(6)

manusia. Dengan demikian, Hermeneutika Dasein Heidegger melengkapi,

khususnya sejauh ia mempresentasikan ontologi pemahaman, ia meneliti

bahwa Hermeneutika bukan hanya isi dari suatu buku atau teks, melainkan

sebuah metode yang memberikan pembuktian keberadaan manusia.

Hermeneutika dibawa selangkah lebih jauh, ke dalam kata linguistik, dengan

pernyataan kontroversial Gadamer, bahwa “Ada (Being)yang dapat dipahami,

adalah bahasa.” Hermeneutika adalah pertemuan dengan “Ada” melalui

bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik realitas manusia

dan Hermeneutika larut kedalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis

dari relasi bahasa dengan “Ada”, pemahaman, sejarah, eksistensi dan realitas.

6. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi, baik recollective maupun

iconoclastic.

Paul Ricoeur, dalam De’lintretation (1965), mendefinisikan hermeneutika

yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif

dan sentral dalam Hermeneutika. Berdasarkan dari pernyataannya, “yang kita

maksudkan dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang

menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, adalah sebuah interpretasi teks

partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang

sebagai sebuah teks.”48

48

Ricouer, De l’interpretation h.18

(7)

merupakan bentuk yang nyata akan hermeneutika yang dimaksud oleh

Ricoeur. Unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya terdapat disana:

a. Mimpi adalah teks, yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik.

b. Psikoanalisa, merupakan alat menginterpretasi untuk menterjemahkan

penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna tersembunyi.

Maka, yang dimaksud oleh Ricoeur bahwa objek interpretasi tidak sebatas

dalam teks di buku, tetapi dapat berupa teks dalam pengertian yang luas, bisa

berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos dan simbol yang terdapat

dalam masyarakat dan kebudayaan. Hermeneutika yang dimaksud oleh

Ricoeur adalah interpretasi yang digunakan manusia untuk meraih makna di

balik mitos dan simbol. 49 Studi Ricoeur membedakan antara simbol univocal

dan equivocal. Simbol univocal adalah tanda dengan satu makna yang

ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol. Sementara simbol

equivocal adalah tanda yang memiliki multi-makna (multiple meaning) yang

dapat membentuk kesatuan semantik antara makna yang nampak dan

memiliki signifikasi mendalam terhadap kandungan yang ada dibalik makna

tersebut.

2.1.2 Metode Hermeneutika dalam proses desain

Kaidah dan metode dari Hermeneutika tidak dapat terlepas dari teori

hermeneutic circle, yang pertama kali dikemukakan oleh Martin Heidegger dan

49

(8)

Hans-Georg Gadamer, yang menjelaskan bahwa ”hermeneutical circle has to do with

the circular relation of the whole and its parts in any event of interpretation. We

cannot understand the meaning of a part of a language event until we grasp the

meaning of the whole; we cannot understand the meaning of the whole until we grasp

the meaning of the part; understanding is circular”50

Dari teori diatas dapat dilihat bahwa kita tidak akan dapat mengerti maksud dari

kata-kata yang membuat suatu kalimat, hingga kita meletakkannya dalam konteks

kalimat tersebut secara keseluruhan; dan kita tidak dapat mengerti arti dari

keseluruhan kalimat hingga kita mengerti arti dari kata-kata yang terdiri didalamnya.

Pernyataan ini dikaitkan dalam berarsitektur oleh Profesor University of Sydney,

Adrian Snodgrass dan Richard Coyne dalam salah satu jurnal penelitian mereka, ”the

meaning of a concept depends on the context (or the horizon) within which it occurs,

but this context is made up of the concepts to which it gives meaning”51

Perbedaan antara pengaplikasian dari hermeneutic cycle dan metode proyeksi

dalam arsitektur telah diperdebatkan oleh arsitek-arsitek Adrian Snodgrass dan

Richard Coyne, bahwa “when designing, designers are continually being questioned.

They can facilitate that process by laying themselves open to the questions, leaving

themselves vulnerable, at risk, by taking the questions as a probing of their

50

Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson, London, Basil Blackwell, 1962; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, London, Sheed and Ward, 1975

51

(9)

prejudgments; or they can proceed in a on-sided manner, asking questions of the

situation, but protecting their pre-established biases by not allowing themselves to be

questioned in return.”(Snodgrass, Coyne, 2006:47)52. Hal ini berarti jika metode

proyeksi memiliki tujuan pada hasil produk, maka hermeneutic cyle memiliki tujuan

pada prosesnya seperti tergambar pada Gambar 2.1.

\\

Schön mengatakan bahwa desain adalah ”reflection-in-action”, yang mana

merupakan percakapan reflektif dengan sebuah situasi. ”The principle is that you

work simultaneously from the unit and from the total and then go in cycles- back and

forth, back and forth...”53

52

Snodgrass, A., Coyne, R. (2006). Interpretation in Architecture: Design as a Way of Thinking, Routledge, London.

53

Donald A. Schön, The Reflective Practitioner—How Professionals Think in Action, New York, Basic Books, 1983.

Gambar 2.1 Perbedaan Tujuan dari Metode Proyeksi dan Hermeneutic Cycle Sumber: Jurnal The Interpretation as a Method of Design or the Designer as the

(10)

Kita memulai dengan sebuah disiplin, yang mana di dalam hermeneutika,

adalah proyeksi dari masa pra-pemahaman. Disiplin proyeksi ini, menurut Schon,

adalah sebuah ”apabila”, yang diadopsikan untuk menemukan konsekuensi dan akan

selalu bisa berubah nantinya. Seorang desainer akan memulai mendesain dengan

membentuk sebuah situasi dalam imajinasinya. Situasi ini nantinya akan ”berbicara

kembali” dan desainer akan merespon feedback dari situasi tersebut dengan

reflection-in-action” baik dari segi problem konstruksi, strategi aksi ataupun model

sebagai fenomena. Proses ini akan berkembang dalam sebuah lingkaran, ”back and

forth, back and forth”. Pada proses ini pula, seorang desainer bergerak secara sirkular

bagaikan membentuk jaring yang terdiri dari konsekuensi, implikasi, apresiasi dan

langkah kedepan. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.

(11)

2.2 Elaborasi Tema

Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau

makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek.

Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti.

Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara

sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan

yang benar.

Hukum Betti tentang interpretasi ”Sensus non est inferendus sed efferendus

makna bukan diambil dari kesimpulan tetapi harus diturunkan. Penafsir tidak boleh

bersifat pasif tetapi merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual

penafsir. Pengalaman masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan

sejarah yang dimiliki.

2.2.1 Relevansi Hermeneutika dan arsitektur

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Moh.Ali Topan, seorang peneliti dari

Universitas Trisakti, dalam judul jurnalnya, Memahami Metode Hermeneutika dalam

Studi Arsitektur, Relevansi Hermeneutika dan Arsitektur terdiri dari 6 poin, sebagai

berikut:

1. Mengakui adanya pengaruh faktor-faktor non-fisik, selain faktor-faktor fisik

(12)

2. Memberi peluang pemahaman terhadap karya-karya arsitektur kota,

khususnya terhadap karya-karya tradisional, dengan demikian memperkaya

pemahaman atas makna arsitektur atau kota dalam hubungan dengan

masyarakat penghuninya.

3. Menciptakan dan mendorong terbentuknya arsitektur dan kota yang

bermakna yang terkait dengan warisan budaya masyarakat.

4. Memberi peluang arsitektur/kota tidak bermakna tunggal, sehingga

keunikan lokal tetap dapat tergali.

5. Meningkatkan kesadaran atau sensitifitas akan perbedaan-perbedaan dalam

karya arsitektur dan kota.

6. Mengakui keberadaan arsitektur atau kota tradisional dengan unsur-unsur

metaforis, simbolik maupun unsur mistiknya.

Arsitektur bukan hanya tentang proporsi, komposisi, teknis konstruksi tetapi

juga tentang menemukan diri. Budaya membantu manusia menemukan dan memiliki

integritas. Dalam dunia saat ini, manusia dituntut berjalan makin cepat, bertindak

cepat, berpikir cepat. Tidak ada cukup ruang dan waktu bagi perenungan. Mungkin

juga bagi budaya. Perlahan-lahan tapi pasti, kita sedang menyaksikan evolusi

pemusnahan budaya yang beragam. Keseragaman (arsitektur) terjadi dari Aceh

sampai Papua. Arsitektur tradisional hanya masa lalu yang layak dilestarikan saja

(13)

2.3 Studi Banding

Studi banding terdiri dari arsitek dunia Barat dan dunia Timur untuk

membandingkan bagaimana cara pikir dari dua arsitek dengan aliran yang berbeda.

2.3.1 Interpretasi arsitek Barat

Metode dalam mendesain telah diperdebatkan sejak tahun 1950-an, dan teori

akan metode desain terus berkembang hingga saat itu. Carlo Scarpa menemukan

pertanyaan-pertanyaan dari pernyataan Frank Lloyd Wright yang mengatakan bahwa

architecture may be poetry”. Frank mengemukakan bahwa arsitektur adalah ibarat

sebuah puisi. Bagi Scarpa, arsitektur hanya sesekali menjadi puisi. Kehidupan sosial

tidak selamanya meminta dan membutuhkan puisi. Tidak perlu berpikiran untuk

membuat arsitektur yang puitis. Puisi lahir dari sebuah objek dan muncul dari objek

itu sendiri. Pertanyaannya adalah, kapan ia harus dibuat dengan puisi dan kapan

tidak? (Scarpa cit in Dal Co-Mazzariol 1987:283).54

Berpikir lebih lanjut, Carlo Scarpa mengevaluasi semua variabel projeknya

sebelum mengoperasikannya, namun tidak dimulai dari ruang, melainkan dari sebuah

detail, yaitu bagian dari keseluruhan desain. Dalam kasus dari salah satu proyeknya,

Castelvecchio Museum di Verona, Scarpa melakukan berbagai percobaan terhadap

pintu masuk dari sebuah museum, dan memutuskan untuk menggunakan satu pintu

masuk dan keluar. Bertindak sebagai seorang interpretor, Carlo Scarpa memahami

museum tersebut sebagai sebuah organisme, proses proyeksi untuk membuatnya

54

(14)

menjadi projek berdasarkan ketidakleluasaan yang memberikan karakter dari proses

Scarpian” sebagai sebuah interpretasi. Dalam pekerjaan Scarpa tersebut,

bagian-bagian kecil dari sebuah desain diidentifikasikan sebagai dialog terhadap projek

tersebut yang menghasilkan ruang, makna, fungsi, arsitektur dan pemakai.

Scarpa melakukan sebuah modus operandi, yaitu menginterpretasikan

penyesuaian diatas dan mengintegrasikan mereka kedalam sebuah bentuk tanggung

jawab dan pengalaman yang dapat dilihat dalam bentuk komposisi bersatunya masa

lampau dan masa sekarang. Tidak selalu tertarik dengan proyek yang puitis, namun

sebuah proyek yang sempurna untuk digunakan oleh semua. Interior dari museum

Castevecchio dapat dilihat pada Gambar 2.3, sedangkan lokasi pintu masuk dari

bangunan ini dapat dilihat pada denah Gambar 2.4.

Gambar 2.3 Interior museum Castelvecchio, Vienna, Italia Sumber: Dal Co, F., Mazzariol, G. (1987). Carlo Scarpa,

(15)

2.3.2 Interpretasi arsitek Timur

Arsitek Jepang memiliki filosofi kesederhanaan yang juga tidak terlepas dari

ajaran kepercayaan yang mereka anut. Untuk mencapai kesederhanaan dalam desain,

kreativitas dan imaginasi untuk menghubungkannya dengan konsep arsitektur

dilakukan dengan cara proyeksi dari elemen desain seperti kolom, balok dan taman.

Arsitek Charles Jenks dalam bukunya Modern mouvment en Architecture

(1973) mengatakan bahwa paradoks modernitas arsitektur Jepang memberikan

sebuah bentuk-bentuk yang baru, ekspresi dari masa kini yang mengedepankan

elemen dari desain dan teknologi serta perhatian terhadap detail dan terintegrasi

dengan alam.

Setelah perang dunia kedua, Jepang bereksperimen dengan transformasi,

termasuk dalam bidang arsitektur untuk menerima budaya tradisional Jepang (Shinto)

dan budaya baru Buddha, yang mana memiliki konsep baru dan modern dan memiliki Gambar 2.4 Denah Museum Castelvecchio dengan satu

Pintu Keluar dan Masuk

(16)

kesamaan basis, yaitu kesederhanaan. Sebagai bukti dari modernitas yang terjadi di

Jepang adalah tidak dipakainya kayu sebagai material pokok, namun menggunakan

baja dan beton.

Hasil interpretasi kesederhanaan dari arsitektur modern Jepang terhadap

arsitektur tradisionalnya diterjemahkan dalam tiga bentuk utama, yaitu:

1. Konsep transparan untuk menguatkan konsep kesederhanaan dengan

material modern.

2. Kejujuran struktur, dimana struktur diekspos dan ditonjolkan sebagai

elemen.

3. Integrasi dengan alam, dimana bangunan tidak berusaha didesain untuk

lebih menonjol dibandingkan alam sekitarnya dan memiliki koneksi.

Salah satu contoh arsitek Jepang yang melakukan proses modernitas arsitektur

Jepang dengan metode interpretasi adalah Kenzo Tange. Melalui partisipasinya dalam

kompetisi-kompetisi arsitektur, Tange melakukan upaya interpretasi dari arsitektur

monumental Jepang dan hubungannya dengan tradisi, kreasi seni, lingkungan dan

skala. Prinsip Tange dalam kemonumental-an menunjukkan pengaplikasian filosofi

modern. Tange merupakan satu dari arsitek-arsitek pertama yang mengacu kepada

teori hermeneutik Heidegger (1936), dengan esai filosofis yang berjudul “Eulogy to

Michelangelo: introduction to a study of Le Corbusier” (1939), dimana dia bertujuan

(17)

bangunan The Greater East Asian Co-Prosperity Sphere Memorial, dikenal dengan

Hiroshima Peace Memorial Park yang ia menangkan dalam kompetisi Daitoa

Competition, 1942.55

Skema arsitektural Tange untuk Daitoa Memorial mengacu pada arsitektur asli

Jepang, dan lebih tepatnya mengacu pada satu bangunan, Kuil Ise, yang hancur dan

dibangun kembali setiap 20 tahun, dan merupakan simbol dari keindahan abadi dari

Jepang. Dalam catatan keterangan dari kompetisi tersebut, Tange mengkritik

monumentalitas barat yang memiliki karakter kuantitatif dengan bentuk-bentuk

abstrak yang kehilangan kontak dengan alam.Dalam arsitektur Jepang, penyembahan

terhadap alam telah menjadikan sebuah tempat menjadi monumental, dan

menjadikannya ruang dengan pengalaman. Hal inilah yang ia terapkan dalam

perancangan Daitoa Memorial yang mengambil koneksi bangunannya dengan alam:

ia terbuka dengan lanskap disekelilingnya dan terhubung dengan perancangan kota

dan jaringan teritorial. Fasade baru dari bangunan ini dapat dilihat pada Gambar 2.5.

55

Benoît Jacquet, A reinterpretation of the Origins of Japanese Architecture in Tange Kenzô’s Monumental Architecture (1942-1956)Benoît Jacquet

(18)

Proses desain dari bangunan ini terintegrasi dalam sebuah tempat dimana

manusia bersatu dengan keseluruhan dimensi lingkungannya, sesuai dengan teori dari

Heidegger dalam bukunya Quadriparti, 1945, dan arsitektur bukanlah sebuah objek

yang terisolir, melainkan sesuatu yang terkoneksi dengan kota dan perencanaan

Gambar

Gambar 2.1 Perbedaan Tujuan dari Metode Proyeksi dan Sumber: Jurnal \  Hermeneutic Cycle The Interpretation as a Method of Design or the Designer as the Interpreter
Gambar 2.2 Diagram Proses Desain dengan Interpretasi Sumber: Jurnal TIMDDI
Gambar 2.3 Interior museum Castelvecchio, Vienna, Italia
Gambar 2.4 Denah Museum Castelvecchio dengan satu
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa minimum oksigen konsentrasi tertinggi untuk menjaga api premiks biogas tetap stabil terjadi pada prosentase CO2 dalam biogas

(1) Sharing Topik TA : Di setiap awal semester, dosen Fakultas Informatika sekaligus sebagai calon dosen pembimbing akan mengumumkan tema riset yang dapat dijadikan topik

Kompresibilitas sampah perkotaan (waste settlement) dapat diartikan sebagai penurunan yang terjadi pada lahan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) akibat beban yang

tengah bentang spesimen BCW-1/2b Retak awal terjadi pada beban 2 ton ditandai dengan munculnya retak rambut pada bagian tarik balok. Tulangan tarik mulai leleh pada beban 2,8

(dalam Ghufron, 2003:158) mengatakan bahwa sebagai suatu perilaku penundaan, prokrastinasi akademik dapat termanifestasikan dalam indikator tertentu yang dapat

Tes tersebut dilakukan pada saat sebelum pemberian perlakuan atau pretest dengan tujuan untuk mengetahui pemahaman awal siswa mengenai konsep perbandingan, dan posttest

Untuk membuat dokumen HTML, pilih tab General pada category Basic Page dan opt ion HTML, kemudian klik tombol create. Maka pada Document Window Dreamweaver akan tampil seperti

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil analisis regresi linier berganda adalah Manfaat Persepsian (X 1 ), Kemudahan Persepsian (X 2 ) dan Kondisi Yang Memfasilitasi (X 3