BAB II
DESKRIPSI TEMA
2.1 Pengertian Tema
Kata Hermeneutika memiliki makna sebagai interpretasi, yang menurut
penafsiran adalah “proses
lebih pembicara yang tak dapat menggunaka
Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika
dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas maknanya, objek
tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat
merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya.
yang sama, baik secara
simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai
interpretasi berurutan)”.
40
Didalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat karya Dr. Kaelan
M.S. dikatakan bahwa Hermeneutika dapat dijadikan sebuah metode dari sebuah
penelitian, yang merupakan metode yang sangat mendasar dalam ilmu-ilmu
humaniora, terutama dalam ilmu filsafat. Data yang dikumpulkan dari sumber data
dalam penelitian kemudian dianalisa, selain untuk diklasifikasi juga dikelompokkan
serta dilakukan display data sehingga kandungan nilai yang ada dapat ditangkap.
Analisis dilakukan oleh peneliti sendiri, dan relevan untuk digunakan dalam
40
penafsiran berbagai gejala, peristiwa, simbol dan nilai yang terkandung dalam unsur
kebudayaan yang muncul pada fenomena kehidupan manusia.41
2.1.1 Hermeneutika, filosofis terhadap arti interpretasi
Hermeneutika sebagai sebuah kata kerja Yunani, harmeneuin (menafsirkan) dan
kata bendanya adalah hermeneia (interpretasi)42
Martin Heidegger, yang melihat filsafat itu sendiri sebagai “interpretasi”, secara
eksplisit menghubungkan filsafat-sebagai-hermeneutika dengan legenda Yunani
tentang Dewa Hermes. Hermes diceritakan merupakan pembawa pesan takdir.
Herme>neuein berarti mengungkap sesuatu yang membawa pesan, sedangkan
herme>neeisin ton theon merupakan kata yang terdapat pada pernyataan-pernyataan
pujangga sebperti Sokrates dalam dialog Ion-nya, yang berarti utusan Tuhan. Maka,
dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari
Hermeneutika dan Hermeneutis mengasumsikan “proses membawa sesuatu untuk
dipahami”.
.
Mediasi dan proses membawa pesan agar dipahami yang dilakukan oleh
Hermes ini terkandung didalam semua tiga bentuk makna dasar dari herme>neuein
dan herme>neia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk
kata kerja sebagai berikut:
1. Mengungkapkan kata (to say).
41
Dr. Kaelan, M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, h.80
42
2. Menjelaskan (to explain).
3. Menterjemahkan (to translate).
Ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi
interpretasi. Dengan demikian interpretasi mengacu kepada tiga persoalan yang
berbeda, yaitu: (1) pengucapan lisan; (2) penjelasan yang masuk akal; (3) transliterasi
dari bahasa lain, yang kesemuanya mengarah pada pemahaman43
Seiring dengan perkembangan waktu, pada masa modern, Hermeneutika juga
mengalami pengembangan definisi, yaitu dalam enam bentuk yang berbeda. Sejak
kemunculannya, Hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya
prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan secara
kronologisnya sebagai berikut:
.
1. Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.
Pemahaman paling awal dari Hermeneutika muncul pada Bibel yang
merujuk kepada justifikasi historis karena penggunaannya yang muncul
pada buku-buku yang menginformasikan kaidah eksegesis kitab suci
(skriptur) di era modern. Peristiwa kemunculan kata tersebut ada di sebuah
judul buku karya J.C. Dannhauer, Hermeneutica sacra sive methodus
exponendarum sacrarum litterarum, yang diterbitkan pada 1654.44
43
Richard E.Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, h.15-16
44
2. Hermeneutika sebagai metodologi filologi secara umum.
Perkembangan rasionalisme, dan bersamaan dengannya, lahirnya filologi
klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh besar terhadap Hermeneutika
Bibel. Disana muncul metode kritik historis dalam teologi;45 baik pada
interpretasi Bibel “gramatis’ maupun “historis”, keduanya menegaskan bahwa
metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat
diaplikasikan pada buku yang lain. Misalnya, dalam buku pedoman
Hermeneutis dari Ernesti tahun 1761, yang menyatakan bahwa: “pengertian
verbal kitab suci harus didetermenasikan dengan cara yang sama ketika kita
mengetahui hal itu pada buku-buku lain.”46 Lessing juga pernah berkata
bahwa: “Kebenaran aksidental historis tak pernah bisa menjadi bukti dari
kebenaran pikiran.”47 Melalui pernyataan-pernyataan tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa, tantangan interpretasi selanjutnya adalah untuk membuat
Bibel relevan dengan pikiran rasional manusia.
3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.
Schleiermacher mempunyai distingsi tentang pemahaman kembali arti kata
Hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Konsepsi
Hermeneutika yang ia lakukan melebihi konsep Hermeneutika sebagai
45
Hans-Joachim Kraus, Geshichte der Historisch-kritishen Erfoschung der Alten Testaments von der Reformation bis zur Gegenwart, chapter 3 h.70-102
46
F.W.Farrar, History of Interpretation, h.402, Johann August Ernesti h.245
47“On the Proof of the Spirit and of Power,”
sejumlah kaidah dan berupaya membuat Hermeneutika sistematis-koheren,
sebuah ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam sebuah
dialog. Hasilnya adalah hermeneutika umum (allgemeine hermeneutik) yang
prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai pondasi bagi semua ragam
interpretasi teks.
4. Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi gesteswessenhshaften.
Wilhelm Dilthey, penulis biografi Scheliermacher dan salah satu pemikir
filsafat besar pada akhir abad ke-19, melihat hermeneutika sebagai inti
disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften, yaitu
semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi dan tulisan
manusia. Untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berkaitan
dengan hukum, karya sastra maupun kitab suci, membutuhkan tindakan
pemahaman historis.
5. Hermeneutika sebagai Fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial.
Hermeneutika dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu dan kaidah
interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenchaften, tetapi lebih
kepada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri.
Analisis Heidegger, seorang filosofis Jerman mengindikasikan bahwa
manusia. Dengan demikian, Hermeneutika Dasein Heidegger melengkapi,
khususnya sejauh ia mempresentasikan ontologi pemahaman, ia meneliti
bahwa Hermeneutika bukan hanya isi dari suatu buku atau teks, melainkan
sebuah metode yang memberikan pembuktian keberadaan manusia.
Hermeneutika dibawa selangkah lebih jauh, ke dalam kata linguistik, dengan
pernyataan kontroversial Gadamer, bahwa “Ada (Being)yang dapat dipahami,
adalah bahasa.” Hermeneutika adalah pertemuan dengan “Ada” melalui
bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik realitas manusia
dan Hermeneutika larut kedalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis
dari relasi bahasa dengan “Ada”, pemahaman, sejarah, eksistensi dan realitas.
6. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi, baik recollective maupun
iconoclastic.
Paul Ricoeur, dalam De’lintretation (1965), mendefinisikan hermeneutika
yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif
dan sentral dalam Hermeneutika. Berdasarkan dari pernyataannya, “yang kita
maksudkan dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang
menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, adalah sebuah interpretasi teks
partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang
sebagai sebuah teks.”48
48
Ricouer, De l’interpretation h.18
merupakan bentuk yang nyata akan hermeneutika yang dimaksud oleh
Ricoeur. Unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya terdapat disana:
a. Mimpi adalah teks, yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik.
b. Psikoanalisa, merupakan alat menginterpretasi untuk menterjemahkan
penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna tersembunyi.
Maka, yang dimaksud oleh Ricoeur bahwa objek interpretasi tidak sebatas
dalam teks di buku, tetapi dapat berupa teks dalam pengertian yang luas, bisa
berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos dan simbol yang terdapat
dalam masyarakat dan kebudayaan. Hermeneutika yang dimaksud oleh
Ricoeur adalah interpretasi yang digunakan manusia untuk meraih makna di
balik mitos dan simbol. 49 Studi Ricoeur membedakan antara simbol univocal
dan equivocal. Simbol univocal adalah tanda dengan satu makna yang
ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol. Sementara simbol
equivocal adalah tanda yang memiliki multi-makna (multiple meaning) yang
dapat membentuk kesatuan semantik antara makna yang nampak dan
memiliki signifikasi mendalam terhadap kandungan yang ada dibalik makna
tersebut.
2.1.2 Metode Hermeneutika dalam proses desain
Kaidah dan metode dari Hermeneutika tidak dapat terlepas dari teori
hermeneutic circle, yang pertama kali dikemukakan oleh Martin Heidegger dan
49
Hans-Georg Gadamer, yang menjelaskan bahwa ”hermeneutical circle has to do with
the circular relation of the whole and its parts in any event of interpretation. We
cannot understand the meaning of a part of a language event until we grasp the
meaning of the whole; we cannot understand the meaning of the whole until we grasp
the meaning of the part; understanding is circular”50
Dari teori diatas dapat dilihat bahwa kita tidak akan dapat mengerti maksud dari
kata-kata yang membuat suatu kalimat, hingga kita meletakkannya dalam konteks
kalimat tersebut secara keseluruhan; dan kita tidak dapat mengerti arti dari
keseluruhan kalimat hingga kita mengerti arti dari kata-kata yang terdiri didalamnya.
Pernyataan ini dikaitkan dalam berarsitektur oleh Profesor University of Sydney,
Adrian Snodgrass dan Richard Coyne dalam salah satu jurnal penelitian mereka, ”the
meaning of a concept depends on the context (or the horizon) within which it occurs,
but this context is made up of the concepts to which it gives meaning”51
Perbedaan antara pengaplikasian dari hermeneutic cycle dan metode proyeksi
dalam arsitektur telah diperdebatkan oleh arsitek-arsitek Adrian Snodgrass dan
Richard Coyne, bahwa “when designing, designers are continually being questioned.
They can facilitate that process by laying themselves open to the questions, leaving
themselves vulnerable, at risk, by taking the questions as a probing of their
50
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson, London, Basil Blackwell, 1962; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, London, Sheed and Ward, 1975
51
prejudgments; or they can proceed in a on-sided manner, asking questions of the
situation, but protecting their pre-established biases by not allowing themselves to be
questioned in return.”(Snodgrass, Coyne, 2006:47)52. Hal ini berarti jika metode
proyeksi memiliki tujuan pada hasil produk, maka hermeneutic cyle memiliki tujuan
pada prosesnya seperti tergambar pada Gambar 2.1.
\\
Schön mengatakan bahwa desain adalah ”reflection-in-action”, yang mana
merupakan percakapan reflektif dengan sebuah situasi. ”The principle is that you
work simultaneously from the unit and from the total and then go in cycles- back and
forth, back and forth...”53
52
Snodgrass, A., Coyne, R. (2006). Interpretation in Architecture: Design as a Way of Thinking, Routledge, London.
53
Donald A. Schön, The Reflective Practitioner—How Professionals Think in Action, New York, Basic Books, 1983.
Gambar 2.1 Perbedaan Tujuan dari Metode Proyeksi dan Hermeneutic Cycle Sumber: Jurnal The Interpretation as a Method of Design or the Designer as the
Kita memulai dengan sebuah disiplin, yang mana di dalam hermeneutika,
adalah proyeksi dari masa pra-pemahaman. Disiplin proyeksi ini, menurut Schon,
adalah sebuah ”apabila”, yang diadopsikan untuk menemukan konsekuensi dan akan
selalu bisa berubah nantinya. Seorang desainer akan memulai mendesain dengan
membentuk sebuah situasi dalam imajinasinya. Situasi ini nantinya akan ”berbicara
kembali” dan desainer akan merespon feedback dari situasi tersebut dengan
”reflection-in-action” baik dari segi problem konstruksi, strategi aksi ataupun model
sebagai fenomena. Proses ini akan berkembang dalam sebuah lingkaran, ”back and
forth, back and forth”. Pada proses ini pula, seorang desainer bergerak secara sirkular
bagaikan membentuk jaring yang terdiri dari konsekuensi, implikasi, apresiasi dan
langkah kedepan. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.
2.2 Elaborasi Tema
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau
makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek.
Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti.
Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara
sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan
yang benar.
Hukum Betti tentang interpretasi ”Sensus non est inferendus sed efferendus”
makna bukan diambil dari kesimpulan tetapi harus diturunkan. Penafsir tidak boleh
bersifat pasif tetapi merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual
penafsir. Pengalaman masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan
sejarah yang dimiliki.
2.2.1 Relevansi Hermeneutika dan arsitektur
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Moh.Ali Topan, seorang peneliti dari
Universitas Trisakti, dalam judul jurnalnya, Memahami Metode Hermeneutika dalam
Studi Arsitektur, Relevansi Hermeneutika dan Arsitektur terdiri dari 6 poin, sebagai
berikut:
1. Mengakui adanya pengaruh faktor-faktor non-fisik, selain faktor-faktor fisik
2. Memberi peluang pemahaman terhadap karya-karya arsitektur kota,
khususnya terhadap karya-karya tradisional, dengan demikian memperkaya
pemahaman atas makna arsitektur atau kota dalam hubungan dengan
masyarakat penghuninya.
3. Menciptakan dan mendorong terbentuknya arsitektur dan kota yang
bermakna yang terkait dengan warisan budaya masyarakat.
4. Memberi peluang arsitektur/kota tidak bermakna tunggal, sehingga
keunikan lokal tetap dapat tergali.
5. Meningkatkan kesadaran atau sensitifitas akan perbedaan-perbedaan dalam
karya arsitektur dan kota.
6. Mengakui keberadaan arsitektur atau kota tradisional dengan unsur-unsur
metaforis, simbolik maupun unsur mistiknya.
Arsitektur bukan hanya tentang proporsi, komposisi, teknis konstruksi tetapi
juga tentang menemukan diri. Budaya membantu manusia menemukan dan memiliki
integritas. Dalam dunia saat ini, manusia dituntut berjalan makin cepat, bertindak
cepat, berpikir cepat. Tidak ada cukup ruang dan waktu bagi perenungan. Mungkin
juga bagi budaya. Perlahan-lahan tapi pasti, kita sedang menyaksikan evolusi
pemusnahan budaya yang beragam. Keseragaman (arsitektur) terjadi dari Aceh
sampai Papua. Arsitektur tradisional hanya masa lalu yang layak dilestarikan saja
2.3 Studi Banding
Studi banding terdiri dari arsitek dunia Barat dan dunia Timur untuk
membandingkan bagaimana cara pikir dari dua arsitek dengan aliran yang berbeda.
2.3.1 Interpretasi arsitek Barat
Metode dalam mendesain telah diperdebatkan sejak tahun 1950-an, dan teori
akan metode desain terus berkembang hingga saat itu. Carlo Scarpa menemukan
pertanyaan-pertanyaan dari pernyataan Frank Lloyd Wright yang mengatakan bahwa
“architecture may be poetry”. Frank mengemukakan bahwa arsitektur adalah ibarat
sebuah puisi. Bagi Scarpa, arsitektur hanya sesekali menjadi puisi. Kehidupan sosial
tidak selamanya meminta dan membutuhkan puisi. Tidak perlu berpikiran untuk
membuat arsitektur yang puitis. Puisi lahir dari sebuah objek dan muncul dari objek
itu sendiri. Pertanyaannya adalah, kapan ia harus dibuat dengan puisi dan kapan
tidak? (Scarpa cit in Dal Co-Mazzariol 1987:283).54
Berpikir lebih lanjut, Carlo Scarpa mengevaluasi semua variabel projeknya
sebelum mengoperasikannya, namun tidak dimulai dari ruang, melainkan dari sebuah
detail, yaitu bagian dari keseluruhan desain. Dalam kasus dari salah satu proyeknya,
Castelvecchio Museum di Verona, Scarpa melakukan berbagai percobaan terhadap
pintu masuk dari sebuah museum, dan memutuskan untuk menggunakan satu pintu
masuk dan keluar. Bertindak sebagai seorang interpretor, Carlo Scarpa memahami
museum tersebut sebagai sebuah organisme, proses proyeksi untuk membuatnya
54
menjadi projek berdasarkan ketidakleluasaan yang memberikan karakter dari proses
“Scarpian” sebagai sebuah interpretasi. Dalam pekerjaan Scarpa tersebut,
bagian-bagian kecil dari sebuah desain diidentifikasikan sebagai dialog terhadap projek
tersebut yang menghasilkan ruang, makna, fungsi, arsitektur dan pemakai.
Scarpa melakukan sebuah modus operandi, yaitu menginterpretasikan
penyesuaian diatas dan mengintegrasikan mereka kedalam sebuah bentuk tanggung
jawab dan pengalaman yang dapat dilihat dalam bentuk komposisi bersatunya masa
lampau dan masa sekarang. Tidak selalu tertarik dengan proyek yang puitis, namun
sebuah proyek yang sempurna untuk digunakan oleh semua. Interior dari museum
Castevecchio dapat dilihat pada Gambar 2.3, sedangkan lokasi pintu masuk dari
bangunan ini dapat dilihat pada denah Gambar 2.4.
Gambar 2.3 Interior museum Castelvecchio, Vienna, Italia Sumber: Dal Co, F., Mazzariol, G. (1987). Carlo Scarpa,
2.3.2 Interpretasi arsitek Timur
Arsitek Jepang memiliki filosofi kesederhanaan yang juga tidak terlepas dari
ajaran kepercayaan yang mereka anut. Untuk mencapai kesederhanaan dalam desain,
kreativitas dan imaginasi untuk menghubungkannya dengan konsep arsitektur
dilakukan dengan cara proyeksi dari elemen desain seperti kolom, balok dan taman.
Arsitek Charles Jenks dalam bukunya Modern mouvment en Architecture
(1973) mengatakan bahwa paradoks modernitas arsitektur Jepang memberikan
sebuah bentuk-bentuk yang baru, ekspresi dari masa kini yang mengedepankan
elemen dari desain dan teknologi serta perhatian terhadap detail dan terintegrasi
dengan alam.
Setelah perang dunia kedua, Jepang bereksperimen dengan transformasi,
termasuk dalam bidang arsitektur untuk menerima budaya tradisional Jepang (Shinto)
dan budaya baru Buddha, yang mana memiliki konsep baru dan modern dan memiliki Gambar 2.4 Denah Museum Castelvecchio dengan satu
Pintu Keluar dan Masuk
kesamaan basis, yaitu kesederhanaan. Sebagai bukti dari modernitas yang terjadi di
Jepang adalah tidak dipakainya kayu sebagai material pokok, namun menggunakan
baja dan beton.
Hasil interpretasi kesederhanaan dari arsitektur modern Jepang terhadap
arsitektur tradisionalnya diterjemahkan dalam tiga bentuk utama, yaitu:
1. Konsep transparan untuk menguatkan konsep kesederhanaan dengan
material modern.
2. Kejujuran struktur, dimana struktur diekspos dan ditonjolkan sebagai
elemen.
3. Integrasi dengan alam, dimana bangunan tidak berusaha didesain untuk
lebih menonjol dibandingkan alam sekitarnya dan memiliki koneksi.
Salah satu contoh arsitek Jepang yang melakukan proses modernitas arsitektur
Jepang dengan metode interpretasi adalah Kenzo Tange. Melalui partisipasinya dalam
kompetisi-kompetisi arsitektur, Tange melakukan upaya interpretasi dari arsitektur
monumental Jepang dan hubungannya dengan tradisi, kreasi seni, lingkungan dan
skala. Prinsip Tange dalam kemonumental-an menunjukkan pengaplikasian filosofi
modern. Tange merupakan satu dari arsitek-arsitek pertama yang mengacu kepada
teori hermeneutik Heidegger (1936), dengan esai filosofis yang berjudul “Eulogy to
Michelangelo: introduction to a study of Le Corbusier” (1939), dimana dia bertujuan
bangunan The Greater East Asian Co-Prosperity Sphere Memorial, dikenal dengan
Hiroshima Peace Memorial Park yang ia menangkan dalam kompetisi Daitoa
Competition, 1942.55
Skema arsitektural Tange untuk Daitoa Memorial mengacu pada arsitektur asli
Jepang, dan lebih tepatnya mengacu pada satu bangunan, Kuil Ise, yang hancur dan
dibangun kembali setiap 20 tahun, dan merupakan simbol dari keindahan abadi dari
Jepang. Dalam catatan keterangan dari kompetisi tersebut, Tange mengkritik
monumentalitas barat yang memiliki karakter kuantitatif dengan bentuk-bentuk
abstrak yang kehilangan kontak dengan alam.Dalam arsitektur Jepang, penyembahan
terhadap alam telah menjadikan sebuah tempat menjadi monumental, dan
menjadikannya ruang dengan pengalaman. Hal inilah yang ia terapkan dalam
perancangan Daitoa Memorial yang mengambil koneksi bangunannya dengan alam:
ia terbuka dengan lanskap disekelilingnya dan terhubung dengan perancangan kota
dan jaringan teritorial. Fasade baru dari bangunan ini dapat dilihat pada Gambar 2.5.
55
Benoît Jacquet, A reinterpretation of the Origins of Japanese Architecture in Tange Kenzô’s Monumental Architecture (1942-1956)Benoît Jacquet
Proses desain dari bangunan ini terintegrasi dalam sebuah tempat dimana
manusia bersatu dengan keseluruhan dimensi lingkungannya, sesuai dengan teori dari
Heidegger dalam bukunya Quadriparti, 1945, dan arsitektur bukanlah sebuah objek
yang terisolir, melainkan sesuatu yang terkoneksi dengan kota dan perencanaan