BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah peyakit demam akut disertai
dengan manifestasi perdarahan berpotensi menimbulkan syok dan dapat
menyebabkan kematian umumnya menyerang pada anak <15 tahun, namun tidak
tertutup kemungkinan menyerang orang dewasa. Tanda-tanda penyakit ini adalah
demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah.
Lesu, gelisah, nyeri ulu hati. disertai tanda-tanda perdarahan di kulit (petechiae), lebam ( echymosis, ) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock) (Depkes RI. 2003).
Menurut WHO dikenal penyakit Demam Dengue (DD). yaitu penyakit
akut yang disebabkan oleh virus dengan gejala-gejala seperti sakit kepala, sakit
pada sendi, tulang dan otot. Sedangkan DBD ditunjukkan oleh 4 (empat)
manifestasi klinis yang utama, demam tinggi, fenomena perdarahan, sering
dengan hepatomegali dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah (WHO. 1997).
2.1.1. Etiologi
Penyakit demam berdarah dengue pada seseorang disebabkan oleh virus
dengue termasuk famili Flaviviridae dan harus dibedakan dengan demam yang disebutkan virus Japanese Encephalitis dan Yellow Fever (demam kuning) (Soegijamu, 2003).
Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue yang temasuk
kelompok B Arthropoda Borne Virus (Arboviroses). Dikenal sebagai genus
FIavivirus, famili Flaviviridae dan mempunyai 4 jeniss serotipe, yaitu : DEN-l. DEN-2,. DEN-3 dan DEN 4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan anti
bodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk
terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe
DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang
menunjukkan manifestasi klinis yang berat. Serotipe DEN-3 berasal dari Asia
ditemukan pada populasi dengan tingkat imun rendah dengan tingkat penyebaran
yang tinggi, meski sudah diketahui sejak 300 tahun yang lalu penanggulangannya
belum juga tuntas (Depkes RI 2004).
2.1.2 Patogenesis dan Patofisiologi
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia 1ewat gigitan nyamuk
Ae.aegypti atau Aedes albopictus. Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus
bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan
penjamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi berlawanan dan tintbul antibody,
namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes RI. 2001). Organ sasaran dari virus
adalah organ hepar nodus limfaticus, sumsum tulang, serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian mnenunjukan bahwa sel-sel monosit dan makrofag
mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah virus tesebut
akan difagosit oleh se1 monosit perifer (Soegijanto, 2003).
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam
sel tersebut. Infeksi virus Dengue dimulai dengan menempelnya virus genom
yang masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus
membentuk komponen-komponennya antara komponen struktural virus. Setelah
komponen struktural dirakit virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan
virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Infeksi oleh satu serotipe virus DEN
menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada
“cros protective” terhadap serotipe virus yang lain (Soegijanto. 2003).
Patogenesis DBD terdapat dua perubahan patofisiologi yang menyolok
yaitu : meningkatnya permeabelitas yang mengakibatkan bocornya plasma ke
hipovolemia dan terjadi syok. Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh
vaskulopati, trombositopenia dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi
perdarahaan (Depkes RI. 2003).
2.1.3. Nyamuk Aedes Aegypti
Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri khas yaitu adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri
khas utamanya adalah dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di
kedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari
punggungnya yang berwarna dasar hitam (Soegeng, 2006).
Spesies nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di dunia di daerah yang terletak antara 40° Lintang Utara dan 40° Lintang Selatan, dan hanya hidup pada suhu
antara 8°-37° Celcius. Aedes aegypti hidup dan berkembang biak di tempat yang berair bersih. Masa pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa, sehingga termasuk metamorfosis
sempurna (Wulandari, 2001).
A. Telur
Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5–0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki
alat pelampung, dan diletakkan satu per satu pada benda–benda yang
terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA)
yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Telur yang dilepas,
sebanyak 85% melekat di TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke
permukaan air. Telur nyamuk ini dalam keadaan kering mampu tetap
hidup selama bertahun-tahun di berbagai tempat berair bersih. Nyamuk
dewasa memerlukan waktu 7 hari untuk mengeluarkan telur (Soegeng,
2006).
B. Larva
Telur berkembang menjadi larva setelah 1-2 hari, larva nyamuk
sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan
dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan
larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, IV. Larva
instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm,
duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong
pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II dan III bertambah
besar, ukuran 2,5 – 3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernapasan
sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya
dan tubuhnya dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax),
dan perut (abdomen) (Soegeng, 2006).
C. Pupa
Larva berkembang menjadi pupa selama 4–9 hari, pupa nyamuk
Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala–dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya,
sehingga tampak seperti tanda baca ”koma”. Pada bagian punggung
(dorsal) dada terdapat alat pernapasan seperti terompet. Pada ruas perut
ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat
pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut
ke–8 tidak bercabang (Soegeng, 2006).
D. Dewasa
Pupa berkembang menjadi dewasa setelah 2–3 hari, tubuh nyamuk
dewasa Aedes aegypti tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena
yang berbulu. Bagian mulut nyamuk betina tipe penusuk–penghisap
(piercing–sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia
(anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulutnya lebih lemah
sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong
2.1.4. Tanda dan Gejala Klinik
Menurut Soeaijanto (2003) gejala klinik utama pada DBD adalah deman
dan manifestasi perdarahan baik yang timbul secara spontan maupun setelah uji
torniquet.
Gejala klinik :
1. Demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2-7 hari
2. Manifestasi perdarahan
a. Uji torniquet positif
b. Perdarahan spontan berbentuk purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis, melena.
3. Hepatomegali
4. Ranjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau
nadi tak teraba, kulit dingin dan anak gelisah.
Menurut Depkes RI (2003), secara klinis ditemukan demam, suhu tubuh
pada umumnya antara 39OC – 40 OC menetap 5 – 7 hari, pada fase awal demam
terdapat ruam yang tampak di muka, leher dan dada. Selanjutnya pada fase
penyembuhan suhu turun dan timbul patekia yang menyeluruh pada tangan dan
kaki. Perdarahan pada kulit pada DBD terbanyak dilakukan uji tourniquet positif. Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO tahun
1997 terdiri dari kriteria dan laboratorium. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan
untuk mengurangi diagnosis yang tidak berhubungan dengan penyakit DBD (over diagnosis).
1. Kriteria klinis tersebut seperti demam tinggi tanpa sebab yang jelas yang
berlangsung 2 - 7 hari. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai
dengan uji tourniquet positif, petechiae, echymosis, pupura, perdarahan mukosa, epitaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena,
pembesaran hati. Adanya syok yang ditandai dengan nadi cepat dan
lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin,
kulit lembab dan penderita tampak gelisah.
2. Kriteria laboratorium seperti trombositopenia 100.000 sel/ml atau
hemotokrit 20% atau lebih. Dua kriteria klinis ditambah peningkatan
hemotokrit cukup teknik menegakkan diagnosa klinss DBD.
WHO (1997) membagi derajat DBD dalam 4 (empat) tingkat, yaitu sebagai
berikut:
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan ialah uji tourniquet positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
pendarahan lain.
Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lembut, tekanan nadi menurun (< 20 mm Hg) atau hipotensi disertai kulit
yang dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.
Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan
tekanan darah yang tidak dapat diukur.
2.1.5. Mekanisme Penularan
Faktor-faktor yang memegang peranan dalam penularan infeksi virus
dengue yaitu manusia, vektor perantara dan lingkungan. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Nyamuk Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam
waktu 8 - 10 hari (Extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat
ditularkan kepada telurnya (transavaria transmition) namun perananya tidak penting (Suroso, 2000). Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak dalam
tubuh nyamuk maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama
hidupnya (infiktif). Dalam tubuh manusia virus memerlukan waktu tunas 4- 6 hari
(intrinsik incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.
Seseorang di dalam darahnya mengandung virus dengue menimpakan
sumber penularan penyakit DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4 - 7
hari setelah 1 sampai 2 hari baru mulai demam. Bila penderita tersebut digigit
lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar
diberbagai jaringan tubuh nyamuk temasuk di dalam kelenjar liurnya.
Penularan ini dapat terjadi setiap nyamuk menusuk (menggigit), sebelum
rnenghisap darah, nyamuk akan mengeluarkan air liur rnelalui saluran alat
hisapnya (proboscis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan kepada orang lain (Depkes RI, 2004c).
2.1.6. Tempat Potensial bagi Penularan Nyamuk DBD
Penularan nyamuk DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat
nyamuk penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD
adalah : Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang
yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran
beberapa tipe virus dengue cukup besar yaitu :
1. Sekolah
Anak sekolah merupakan kelompok umur yang paling rentan untuk
terserang penyakit DBD.
2. Puskesmas/Rumah sakit dan Unit pelayanan kesehatan lainnya
Orang datang dari berbagai wilayah dan kemingkinan diantaranya adalah
penderita DBD, demam dengue (DD) atau carrier virus dengue. 3. Tempat-tetnpat umum lainnya :
a. Tempat-tempat perbelanjaan, pasar, restoran, hotel, bioskop dan
tempat-tempat ibadah.
b. Wilayah rawan DBD (endemis)
c. Pemukiman baru di pinggir kota.
Pada daerah ini penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah yang
2.1.7. Pengobatan Penyakit DBD
Haus dan dehidrasi terjadi akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah.
Sehingga masukan cairan per oral harus diberikan. Penggantian larutan elektrolit
atau jus buah lebih dipilih dari pada air. Selama fase demam akut terdapat resiko
mereka yang memiliki riwayat kejang demam. Parasetamol lebih dipilih untuk
menurunkan demam tetapi harus digunakan selama suhu tubuh lebih tinggi 39° C,
tetapi tidak lebih dari 6 dosis dalam 24 jam (WHO, 1999).
Pasien harus diobservasi dengan ketat terhadap tanda–tanda syok. Periode
kritis adalah transisi dari demam ke fase tidak demam, dimana biasanya terjadi
setelah hari ketiga. Penentuan hematokrit adalah pedoman penting untuk terapi
pada tahap ini, karena pemeriksaan ini secara tidak langsung menunjukkan derajat
rembesan plasma dan menunjukkan kebutuhan terhadap cairan intravena.
Peningkatan hematokrit harus didahului dengan perubahan tekanan darah dan
nadi. Hematokrit harus ditentukan setiap hari dari hari ketiga penyakit sampai
demam pasien berkurang selama 1 atau 2 hari (Hadinegoro, 1999).
Terapi cairan parenteral dapat diberikan di unit rehidrasi pasien rawat jalan
untuk pasien yang demam, muntah, atau anoreksianya menimbulkan dehidrasi.
Cairan yang digunakan untuk mengatasi dehidrasi dipilih sesuai dengan sifat
kehilangan cairan, berupa cairan Kristaloid (Ringer Laktat, Ringer Asetat, dan
NaCl) dan Koloid (Dekstran 40 dan Plasma). Antibiotik dapat diberikan apabila
terjadi infeksi sekunder, untuk pemberian oksigen diberikan pada saat pasien syok
atau pingsan (Soegeng, 2006).
2.1.8. Pencegahan Penyakit DBD
Sebagaimana telah diketahui Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit DBD. Untuk mengatasi penyakit DBD sampai saat ini belum ada cara
yang efektif, karena sampai saat ini masih belum ditemukan obat anti virus
dengue. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara penanggulangan penyakit DBD
dengan melalui pengendalian terhadap nyamuk Aedes aegypti. (Dinkes Medan, 2010).
A. Pengendalian Secara Lingkungan menurut WHO (2004), adalah:
1. Tempat penyimpanan air
Sumber utama perkembangbiakan Aedes aegypti disebagian besar daerah perkotaan di Asia Tenggara adalah wadah penyimpanan air untuk
tempat–tempat penampungan air lainnya yang dapat menampung 200 liter
air.
Jika persediaan air pipa tidak ada dan hanya keluar pada jam–jam
tertentu atau tekanan airnya rendah, ada anjuran untuk menyimpan air
dalam berbagai jenis wadah. Hal ini akhirnya akan memperbanyak tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Sebagian besar wadah yang digunakan memliki ukuran yang besar dan berat dan tidak mudah untuk
dibuang dan dibersihkan.
2. Pot / vas bunga dan jebakan semut
Pot bunga, vas bunga, dan jebakan semut merupakan tempat utama
perkembangbiakan Aedes aegypti. Benda–benda tersebut harus dilubangi untuk saluran air keluar. Tindakan lainnya, bunga hidup dapat ditempatkan
di atas wadah yang berisi pasir atau air. Bunga tersebut harus diganti dan
dibuang setiap minggu dan vas digosok serta dibersihkan sebelum dipakai
kembali.
3. Bagian luar bangunan
Desain bangunan penting untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti. Pipa aliran air talang atap sering tersumbat dan menjadi lokasi perkembangbiakan nyamuk. Dengan demikian perlu dilakukan
pemeriksaan berkala terhadap bangunan selama musim hujan untuk
menemukan lokasi potensial perkembangbiakan.
4. Pembuangan sampah padat
Sampah padat, seperti kaleng, botol, ember, atau benda tak terpakai
lainnya yang berserakan di sekeliling rumah harus dibuang dan dikubur di
tempat penimbunan sampah. Barang–barang pabrik dan gudang yang tak
terpakai harus disimpan dengan benar sampai saatnya dibuang. Peralatan
rumah tangga dan kebun (ember, mangkuk, dan alat penyiram tanaman)
harus disimpan dalam kondisi terbalik untuk mencegah tergenangnya air.
Botol kaca, kaleng, dan wadah lainnya harus ditimbun di tempat
5. Ban bekas
Ban bekas kendaraan merupakan lokasi utama perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegytpi di daerah pertokoan sehingga menimbulkan suatu masalah kesehatan masyarakat yang penting. Depot ban bekas harus
tertutup untuk mencegah tergenangnya air hujan dalam ban.
6. Pengisian rongga pada pagar
Pagar yang terbuat dari kayu berongga seperti bambu harus dipotong
di bagian ruasnya, dan rongga yang tampak harus diisi dengan pasir,
pecahan kaca, atau beton agar tidak menjadi habitat Aedes aegypti. B. Pengendalian Secara Kimiawi menurut WHO (2004), adalah:
1. Pemberian larvasida kimiwawi
Pemberian larvasida pada nyamuk Aedes aegypti biasanya terbatas pada wadah air yang digunakan di rumah tangga yang tidak dapat
dihancurkan, dimusnahkan, ataupun dikelola. Larvasida kimiawi paling
baik digunakan dalam situasi saat hasil surveilans penyakit dan vektor
menunjukan adanya periode tertentu yang memiliki rasio tinggi.
2. Butiran pasir temefos 1%
Butiran pasir temefos 1% diberikan pada wadah dengan
menggunakan sendok plastik penakar untuk memberikan dosis 1 ppm.
Dosis ini terbukti ampuh untuk 8–12 minggu, terutama dalam gentong
tanah liat yang memiliki lubang aliran, dalam pola penggunaan air yang
normal.
3. Pengaturan pertumbuhan serangga
Pengatur pertumbuhan serangga (insect growth regulator, IGRs) akan
mengganggu perkembangan tahap imatur nyamuk dengan memutus
sintensis kitin selama proses pergantian kulit atau pada saat pembentukan
pupa atau dalam proses pengalihan ke nyamuk dewasa.
4. Pengasapan wilayah
Metode ini melibatkan pengasapan droplet–droplet kecil insektisida ke
dalam udara untuk membunuh nyamuk dewasa, teknik ini sudah dijadikan
Sayangnya, hasilnya tidak begitu memuaskan, ditunjukkan dengan adanya
peningkatan dramatis insidensi DBD dalam waktu yang bersamaan.
5. Pengasapan dengan uap panas
Pengasapan dengan uap panas mengandung insektisida yang biasanya
diproduksi saat formulasi yang sesuai berkondensasi setelah diuapkan
dalam suhu yang tinggi. Umumnya, mesin pengasapan dengan uap panas
menerapkan prinsip denyut resonansi untuk menghasilkan gas panas (di
atas 200°C) dengan kecepatan tinggi. Gas ini akan mengatominasi formula
insektisida dengan cepat sehingga langsung menguap dan berkondensasi
dengan cepat. Formulasi pengasapan dengan uap panas dapat didasarkan
pada minyak atapun air. Formulasi yang di dasarkan pada minyak (diesel)
akan menghasilkan kabut asap putih yang tebal, sedangkan yang
didasarkan pada air akan menghasilkan kabut tipis berwarna.
6. Penerapan dari rumah ke rumah dengan menggunakan peralatan yang
portabel
Unit pengasapan yang portabel dapat digunakan jika wilayah yang
akan ditangani tidak terlalu besar atau wilayah yang tidak dapat digunakan
mesin diatas kendaraan secara efektif. Peralatan ini ditujukan untuk
penggunaan luar ruangan yang terbatas dan untuk ruangan yang tertutup
(bangunan) dengan ukuran tidak kurang dari 14 m³.
7. Pengasapan dari kendaraan
Kendaraan bergenarator aerosol dapat digunakan untuk daerah
perkotaan atau pinggiran kota dengan kondisi jalan yang baik. Satu mesin
dapat mencakup 1.500–2.000 rumah (kurang dari 80 ha) sehari. Waktu
terbaik untuk menerapkannya adalah pada pagi hari atau sore hari.
C. Pengendalian Secara Biologis menurut WHO (2004), adalah:
1. Ikan
Tenggara. Kegunaan dan efisiensi alat pengendali ini bergantung pada
jenis pelampung yang dipakai.
2. Bakteri
Ada dua spesies bakteri penghasil endotoksin, Bacillus thuringiensis
streotipe H-14 (Bt.H-14) dan Bacillus sphaerius (Bs) adalah agens yang efektif untuk mengendalikan nyamuk. Bt.H-14 terbukti paling efektif terhadap nyamuk Aedes stephensi dan Aedes aegypti, sedang kan Bs paling efektif terhadap nyamuk Cullex quinquefasciatus. Bt.H-14 memiliki kadar toksisitas yang sangat rendah terhadap mamalia dan telah diterima sebagai
preparat pengendali populasi nyamuk dalam penampung air untuk
kebutuhan rumah tangga.
3. Perangkap telur autosidal
Metode perangkap telur autosidal (perangkap telur pembunuh)
menunjukkan hasil yang memuaskan sebagai alat pengendali dalam
pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Hasil lebih baik diharapkan jika jumlah larva yang potensial berkurang, atau semakin banyak perangkap
autosidal yang ditempatkan di wilayah pengawasan. Akan tetapi,
keberhasilan penerapan metode perangkap nyamuk autosidal ini
bergantung pada jumlah alat yang dipasang, lokasi pemasangan, dan daya
tarik bagi nyamuk Aedes aegypti betina sebagai tempat bertelur. D. Perlindungan Diri menurut WHO (2004), adalah:
1. Pakaian pelindung
Pakaian mengurangi resiko tergigit nyamuk, jika pakaian cukup
tebal atau longgar. Baju lengan panjang dan celana panjang dengan kaus
kaki dapat melindungi tangan dan kaki, yang merupakan tempat paling
sering terkena gigitan nyamuk. Menambahkan zat kimia pada pakaian,
misalanya dengan permentrin, merupakan tindakan yang sangat efektif
untuk mencegah gigitan nyamuk
2. Tikar, obat nyamuk bakar, dan aerosol
Produk insektida untuk konsumsi rumah tangga, seperti obat nyamuk
perlindungan diri terhadap nyamuk. Raket beraliran listrik dan obat
nyamuk beraroma merupakan temuan baru yang praktis dipasarkan
disemua daerah perkotaan.
3. Insektisida untuk kelambu dan gorden
Kelambu yang diberi insektisida (insecticide-treated mosquito nets, ITMN) kegunaannya sangat terbatas dalam program pengendalian
penyakit DBD karena nyamuk Aedes aegypti mengigit di siang hari. Akan tetapi, kelambu ini dapat memberikan pelindungan yang efektif bagi bayi