• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH PERENCANAAN PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS MAKALAH MATA KULIAH PERENCANAAN PE"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH PERENCANAAN

PENGGUNAAN LAHAN (TSL60B)

Disusun Oleh:

GILANG SUKMA PUTRA

A151140041

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(2)

2

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia. Tercatat antara sensus tahun 2000 ke 2010 jumlah penduduk Indonesia bertambah dari 205.1 juta jiwa menjadi 259.9 juta jiwa dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 1.48% (BPS 2010). Dari jumlah tersebut, sekitar 85% penduduk Indonesia bergantung pada beras sebagai makanan pokok. Kondisi ini menuntut ketersediaan beras yang berkesinambungan. Di sisi lain, lahan sawah yang banyak diusahakan di Jawa dan Bali semakin terbatas dan bahkan berkurang dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran berdasarkan BPS (1998) luas lahan di jawa pada 1987 adalah 3.43 juta ha dan pada 1997 adalah 3.32 juta ha yang berarti selama 10 tahun terjadi penyusutan luas lahan sebesar 0.11 juta ha dengan kisaran penyusutan tiap tahun lebih kurang 11 ribu ha. Maka perlu adanya upaya melalui perluasan lahan (ekstensifikasi) di luar Jawa agar dapat mempertahankan produksi pangan secara nasional.

Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk lahan pertanian dapat menjadi alternatif ekstensifikasi yang prospektif karena ketersediannya yang cukup luas. Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia diperkirakan 20.11 juta hektar terdiri dari 2.07 juta hektar lahan pasang surut potensial, 6.71 juta hektar lahan sulfat masam, 10.89 hektar lahan gambut, dan 0.44 juta hektar lahan salin (Alihamsyah, 2002).

Dalam implementasinya, usaha pemanfaatan lahan harus menerapkan konsep keberlanjutan dalam arti pengelolaan lahan yang dilakukan mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional saat ini tanpa mengorbankan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan sistem budidaya pertanian yang menyeluruh, tidak hanya menitikberatkan pada aspek produksi saja, tetapi juga bersifat partisipatif, mampu diterima dan dijangkau oleh masyarakat, dan tidak merusak atau menurunkan kualitas lingkungan lahan tersebut, salah satunya melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). PTT bukan merupakan paket teknologi, melainkan merupakan pendekatan dalam peningkatan produksi melalui pengelolaan tanaman, tanah, air, hara, dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dalam penerapannya, PTT bersifat (1) partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik lokasi, (4) terpadu, dan (5) sinergis antar komponen teknologi yang diterapkan (Balittra, 2012).

(3)

3 meningkatkan hasil panen padi sudah dirasa perlu untuk diterapkan sehingga produksi padi dan kesejahteraan petani semakin membaik.

Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mempelajari, mengkaji, dan memahami sistem budidaya lahan sawah pasang surut menggunakan pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahapan Pelaksanaan PTT Padi di Lahan Pasang Surut

Pengembangan PTT di lahan pasang surut didasarkan kepada masalah dan kendala yang ada di lokasi setempat yang diketahui melalui penelaahan pemahaman pedesaaan dalam waktu singkat (Partisipatory Rural Appraisal, PRA) sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.

Langkah pertama pengembangan PTT ialah dengan pelaksanaan PRA di daerah pengembangan guna menggali permasalahan utama yang dihadapi petani. Melalui PRA, keinginan dan harapan petani dapat diidentifikasi, seperti lingkungan biofisik, kondisi sosial-ekonomi, budaya petani setempat dan masyarakat sekitarnya.

Langkah kedua adalah penyusunan komponen teknologi yang sesuai dengan karakteristik dan masalah di daerah pengembangan. Komponen teknologi tersebut bersifat dinamis karena akan mengalami perbaikan dan perubahan menyesuaikan dengan perkembangan inovasi dan masukan-masuka dari petani dan masyarakat setempat.

Langkah ketiga adalah penerapan teknologi utama PTT dalam bentuk

pembuatan “demonstrasi plot” (demplot) seluas 4.0 ha sebagai percontohan bagi

hamparan sawah yang luasnya ±100 ha. Sejalan dengan itu diperagakan Gambar 1. Strategi pengembangan model PTT padi lahan pasang surut

(4)

4

komponen teknologi alternatif pada luasan ± 1 ha dalam bentuk superimpose trial, sebagai sarana untuk mencari teknologi alternatif yang nanti berguna untuk mensubstitusi komponen teknologi yang kurang sesuai (Balitbang Pertanian, 2007).

Identifikasi Karakteristik dan Kendala dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut untuk lahan sawah

Berdasarkan pengaruh luapan pasang, khususnya pada musim hujan, wilayah rawa pasang surut dibagi dalam 4 (empat) wilayah tipe luapan, yaitu tipe luapan A, B, C dan D (Gambar 2). Dalam satuan kawasan rawa pasang surut terdapat sekitar 10-20% wilayah tipe luapan A, 20-30% wilayah tipe luapan B dan D, dan 60-70% wilayah tipe luapan C. Berdasarkan sifat tanah dan kendalanya dalam pengembangan pertanian, lahan rawa pasang surut dibagi dalam 4 (empat) tipologi lahan, yaitu (1) lahan potensial, (2) lahan sulfat masam, (3) lahan gambut, dan (4) lahan salin.

Disebut lahan potensial karena mempunyai kendala lebih ringan dibandingkan dengan lahan sulfat masam atau lahan gambut, antara lain kemasaman tanah sedang (pH tanah > 4,0-4,5), lapisan pirit ada pada kedalaman > 100 cm, kadar aluminium, dan besi rendah. Disebut lahan sulfat masam karena mempunyai kendala lebih berat karena pirit berada pada kedalaman antara 50-100 cm dan sebagian pada kedalaman > 50-100 cm, pH tanah 4.0-4.5 yang apabila teroksidasi menurunkan pH menjadi < 3.5. Selain itu, tipologi lahan sulfat masam ini juga mempunyai kadar Al dan Fe yang cukup tinggi. Berdasarkan kedalaman pirit dan tingkat intensitas oksidasi yang terjadi, lahan sulfat masam dibagi dalam 2 (dua) tipologi yaitu (1) lahan sulfat masam potensial dan (2) lahan sulfat masam aktual.

Disebut lahan gambut karena adanya lapisan gambut pada lapisan atas setebal > 50 cm dengan kadar bahan organik > 20%. Berdasarkan ketebalannya, lahan gambut dibagi dalam 4 (empat) tipologi lahan, yaitu gambut dangkal

(5)

5 (apabila tebal gambut > 50 - 100 cm), gambut sedang (tebal gambut 101 - 200 cm), gambut dalam (tebal gambut 201 - 300 cm), dan gambut sangat dalam (tebal gambut > 300 cm). Lahan gambut mempunyai sifat tersendiri berbeda dengan tipologi lainnya antara lain adanya lapisan gambut dengan kerapatan lindak (bulk density) < 0.1 g/cm3 sehingga daya dukung lahan terhadap beban sangat rendah. Selain itu, sifat khas lainnya yaitu kahat (defisiensi) hara mikro, terutama Cu dan Zn. Adapun disebut lahan salin karena mempunyai kendala berupa salinitas akibat pengaruh intrusi air laut dan umumnya tekstur kasar (berpasir) karena berada pada dataran pantai (coastal plain).

Berdasarkan jenis tanahnya menurut USDA Soil Taxonomy, tanah-tanah di lahan rawa dapat dimasukan ke dalam kelompok besar (Great group) (1) tanah alluvial marin (Sulfaquent, Sulfaquept Hydraquent, Fluvaquent), (2) tanah alluvial sungai (Endoaquent, Endoaquept), (3) tanah gambut (Haplofibrist/Haplohemist, Sulfohemist/Sulfosaprist, Sulfohemist/Sulfosaprist). Dari ketiga kelompok besar tanah tersebut, kelompok tanah alluvial marin banyak ditemukan pada tipologi rawa pasang surut dan rawa pantai, kelompok tanah alluvial sungai banyak ditemukan di rawa lebak, sedang kelompok tanah gambut banyak ditemukan baik di rawa pasang surut maupun rawa lebak, dan sedikit di tipologi rawa pantai (Nursyamsi dan Noor, 2012).

Berdasarkan sifat dan karakteristik tipe lahan yang ada pada lahan rawa pasang surut, Maka dapat diketahui kendala dan masalah yang umum dihadapi petani di dalam usahatani padi lahan rawa pasang surut adalah sebagai berikut; a. Lahan potensial

Masalah kesuburan tanah yang rendah b. Lahan sulfat masam

 pH tanah sangat rendah (sangat masam)

 Jumlah ion Fe (besi) dan Al (alumunium) yang cukup tinggi pada tanah menyebabkan keracunan Fe dan Al pada tanaman

 Kahat hara P dan K

Konsentrasi garam (NaCl) pada tanah tinggi, terutama pada musim kemarau

Pemecahan Masalah

Pemecahan masalah spesifik lokasi untuk pertanaman padi di lahan rawa pasang surut merupakan kunci keberhasilan pertama dalam tahapan penerapan PTT selanjutnya. Sebagai petunjuk awal dalam pemecahan permasalahan tanah, air, dan hara di lahan rawa pasang surut menurut tipe lahan, usaha-usaha perbaikan (secara teknis) yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Lahan Potensial

(6)

6

b. Lahan sulfat masam

 Pengaturan tata air mikro, dengan memasang pintu air (flapgate) searah, yaitu membiarkan air dari sungai (pH netral) masuk ke lahan (mendorong pintu air), menggenangi lahan, lalu tidak keluar sewaktu air surut. Dengan demikian, lambat laun pH tanah naik mendekati netral  Pintu air perlu diatur untuk dapat ditutup pada saat kemarau sehingga

terhindar dari drainase berlebihan

 Parit-parit drainase dibuat untuk menampung dan membuang besi di dalam petakan

 Ameliorasi lahan dengan mengaplikasi kapur pertanian (kaptan) sebanyak 1-2 ton/ha, disebar ke seluruh permukaan tanah, lalu dibenamkan dengan alat bajak sedalam 10 cm untuk menetralkan Al tanah.

 Pemberian pupuk P (sebaiknya batuan fosfat) dan K (KCl) diberikan berlebih (1.25 kali dosis normal) untuk mengimbangi pirit.

c. Lahan gambut

 Kapur pertanian sebanyak 0.5 – 1.0 ton/ha disebarkan di permukaan lahan lalu dibenamkan 10 cm untuk menetralkan asam-asam organik dan memperbaiki ketersediaan hara

 Pemberian pupuk N (Urea), P (SP36), dan K (KCl)

 Perlu juga diberikan hara mikro CuSO4 (terusi besi ) dan ZnSO4 dengan cara disemprot lewat daun

 Parit drainase dan pintu air harus dangkal, untuk mencegah gambut tidak mengering dan menjadi pseuodosand

 Pintu air perlu diatur dan ditutup pada saat musim kemarau sehingga terhindar dari drainase berlebih (over drain).

d. Lahan salin

 Penanaman padi dilakukan pada musim penghujan dengan varietas toleran salinitas

 Perlu dibuat tanggul-tanggul yang mengelilingi petakan sawah untuk menahan intrusi air laut masuk langsung ke lahan

 Pembasuhan (flushing) perlu dilakukan dengan memasukan air ke lahan pada saat musim hujan.

Penyiapan Lahan Tanam

Berbeda dengan lahan sawah irigasi, kendala usahatani padi pada lahan pasang surut lebih beragam, sehingga penyiapan lahan untuk budidaya memerlukan teknologi yang relatif berbeda. Menurut Simatupang dan Nurita (2013) sistem pengelolaan tanah konservasi dapat diaplikasikan pada lahan

pasang surut dengan tiga cara yaitu, (1) penyiapan lahan dengan “tajak” (cara

tradisional), (2) tanpa pengolahan (zero tillage), dan (3) full tillage with regulations (FTR). Cara pertama dan kedua merupakan inovasi teknologi yang dapat dikembangkan di lahan rawa pasang surut dimana mampu meningkatkan produksi tanaman.

(7)

7 terpapar. Biasanya dilakukan pada saat tanah digenangi air sedalam 5 – 10 cm. Namun demikian, cara ini menjadi kurang efisien karena untuk mempersiapkan lahan sampai siap tanam membutuhkan kira-kira 45 – 50 orang/hari/ha. Ditambah lagi, biaya ongkos tenaga kerja dan alat menjadi sangat mahal dan tidak cocok untuk petani daerah pasang surut yang rata-rata memiliki pendapatan rendah dan terbatas (Ramli et al. 1992).

Penyiapan lahan dengan teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) atau zero tillage dapat diaplikasikan untuk penyiapan lahan sawah pada lahan pasang surut. Penyiapan lahan dapat dilakukan dengan cara tebas atau penyemprotan herbisida;

Tebas

 Gulma atau rumput ditebas dengan tajak besar di saat lahan berair

 Rumput dibiarkan terhampar membusuk selama dua minggu, setelah itu digumpal dan dibiarkan dua minggu kemudian gumpalan dibalik lagi. Setelah gumpalan rumput membusuk sepenuhnya, lalu gumpalan tersebut dihamparkan secara merata pada seluruh permukaan petakan sebagai sumber bahan organik bagi tanaman.

Herbisida

 Sewaktu penyemprotan herbisida, petakan diusahakan tidak digenangi/tergenang oleh air untuk mencegah kontaminasi bahan beracun dari herbisida ke dalam air dan dapat menyebabkan polusi

 Gulma dapat disemprot dengan herbisida nonselektif seperti Glyphosate atau Paraquat

 Penyemprotan dilakukan lebih awal agar waktu tanam padi tidak tertunda karena menunggu gulma membusuk.

Menurut Simatupang (2007) dengan pengaplikasian teknologi zero tillage menggunakan herbisida dapat menekan penggunaan jumlah tenaga kerja sebesar 25% dibandingkan sistem tebas, dan juga mampu mencegah terjadinya keracunan Fe pada tanaman.

Inovasi teknologi penyiapan lahan lainnya pada lahan pasang surut yaitu teknologi olah tanah sempurna bersyarat (FTR). Cara ini merupakan sistem pengolahan tanah secara penuh dengan beberapa syarat antara lain; (1) kedalaman lapisan pengolahan tidak lebih dari 20 cm atau dilakukan pada kedalaman 12 – 15 cm, (2) ketika menyiapkan lahan, lahan harus dalam keadaan tergenang, dan (3) menjaga kondisi drainase lahan agar tetap tergenang oleh air. Sistem tata air baik makro maupun mikro menjadi sangat penting dan merupakan kunci keberhasilan pengelolaan lahan rawa pasang surut.

(8)

8

 Pemanfaatan berganda (multiple use) lahan, vegetasi, dan hewan. Di lahan rawa, masyarakat tidak hanya menanam dan memanen padi, sayuran, dan kelapa, tetapi juga menangkap ikan, memungut hasil hutan, dan berburu hewan liar

 Penerapan teknik budidaya dan varietas tanaman yang secara khusus disesuaikan dengan kondisi lingkungan lahan rawa tersebut.

Sistem orang Banjar merupakan sistem pertanian tradisional lahan rawa yang akrab dan selaras dengan alam, yang disesuaikan dengan situasi ekologis lokal seperti tipologi lahan dan keadaan musim yang erat kaitannya dengan keadaan topografi, kedalaman genangan, dan ketersediaan air. MacKinnon et al. (1996) menilai sistem ini sebagai sistem multicropping berkelanjutan yang berhasil pada suatu lahan marjinal, sistem pertanian yang produktif dan self sustaining dalam jangka waktu lama. Hal ini terlihat dari penerapan sistem surjan Banjar dan pola suksesi dari pertanaman padi menjadi kelapa–pohon, buah-buahan–ikan yang diterapkan petani Banjar (Haris, 2001).

Komponen Teknologi PTT

Komponen teknologi yang dapat diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT pada lahan pasang surut adalah sebagai berikut;

1. Penggunaan varietas unggul yang toleran terhadap karakteristik lahan, lingkungan, bentuk gabah maupun rasa nasi yang diinginkan masyarakat setempat

2. Benih yang berkualitas (kemurnian dan daya kecambah tinggi)

3. Jumlah bibit 2 - 3 batang per lubang dan ditanam dengan sistem jajar legowo 2:1, 4:1, dan lainnya dengan pupulasi minimum 250 ribu rumpun /ha, atau ditanam dengan sistem tanam benih langsung (tabela)

4. Pengelolaan tata air mikro dengan sistem tata air satu arah dengan saluran keliling dan kemalir, pntu-pintu air (flapgate) masuk dan keluar serta sloplog. Saluran kemalir dibuat dengan interval 6 - 8 m yang disertai caren-caren

5. Mengaplikasikan pupuk urea tablet/granul dengan dosis ± 200 kg/ha. Perlu diperhatikan bahwa pemberian pupuk N berdasarkan pembacaan Bagan Gambar 3. Sistem Surjan yang merupakan produk kearifan lokal masyarakat Banjar sampai saat ini masih terus diterapkan dalam usaha budidaya tanaman terpadu di lahan

pasang surut

(9)

9 Warna Daun (BWD) bisa rancu karena gejala keracunan besi dan defisiensi hara N sukar dibedakan

6. Pemberian pupuk P dan K didasarkan pada status hara tanah. Pemakaian Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) atau menggunakan petak omisi di lahan pasang surut masih perlu penelitian yang lebih mendalam.

7. Ameliorasi lahan dengan mengaplikasi 1 - 2 ton/ha kapur pertanian 8. Pengendalian gulma secara terpadu

9. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu (PHT)

10. Panen beregu dan pemrosesan pascapanen menggunakan alat perontok. Berdasarkan sifatnya, komponen-komponen teknologi ini dapat dipilah menjadi dua bagian. Pertama, teknologi untuk pemecahan masalah setempat atau spesifik lokasi. Kedua, teknologi untuk perbaikan cara budidaya yang lebih efisien dan efektif. Dalam pelaksanaanya, tidak semua komponen teknologi diterapkan sekaligus, terutama di lokasi yang memiliki masalah spesifik. Namun ada enam komponen teknologi yang dapat diterapkan bersamaan (compulsory technology) sebagai penciri pendekatan melalui PTT, yaitu:

1. Varietas unggul baru yang sesuai di lokasi setempat

Varietas unggul merupakan teknologi yang lebih nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktifitas tanaman dan dapat dengan mudah diadopsi petani karena murah dan penggunaanya lebih praktis. Dengan dilepaskannya berbagai varietas padi lahan rawa pasang surut (Tabel 1), petani pada agroekosistem ini dapat memilih varietas yang sesuai dengan kondisi setempat.

Tabel 1. Varietas unggul padi lahan pasang surut

Varietas Umur

Banyuasin 120 105 pulen Wereng coklat 3, blas, hawar daun, bakteri III, keracunan Fe, Keracunan Al

Batanghari 125 110 Pera Wereng coklat 1&2, blas, hawar daun, bakteri III, keracunann Fe

Dendang 125 100 Pulen Wereng coklat 1 & 2, blas, bercak coklat, keracunan Fe, Keracunan Al

Indragiri 117 105 Sedang Wereng coklat 1 & 2, blas, hawar daun, bakteri III, keracunan Fe, Keracuna Al

Wereng coklat 2, blas, hawar daun bakteri III & IV, bercak coklat, keracunan Fe, Keracunan Al

Lambur 115 100 Pulen Blas, keracunan Fe, Keracunan Al,

salinitas

Mendawak 115 100 pulen Blas, bercak coklat, keracunan Fe, salinitas

Sei Lahan 125 100 Pera Wereng coklat 2 & 3, blas, bercak coklat, salinitas

IR42 140 110 Pera Wereng coklat 1 & 2, hawar daun

bakteri, blas, kemasaman tanah

(10)

10

Sebagai contoh pada lahan rawa pasang surut tipe A dan B yang didominasi sebagian besar oleh tanah salin dan sulfat masam, maka petani dapat menggunakan varietas padi toleran terhadapat salinitas tinggi seperti Mendawak dan sei Lahan pada petakan yang lebih dekat dari sumber air pasang surut, sedangkan pada lahan sulfat masam petani dapat menanam padi dengan varietas yang toleran terhadap keracunan Fe dan Al seperti Banyuasin, Indragiri, atau Siak Raya. Pada daerah peralihan dimana lahan sawah sulfat masam yang dipengaruhi oleh pasang surut intensif sehingga memiliki salinitas tinggi, maka dipilih padi varietas Lambur yang tahan/toleran terhadap kondisi cekaman keracunan Fe dan Al serta salinitas tinggi.

2. Benih bermutu (bersertifkat dan vigor tinggi)

Penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan vigor tinggi sangat dianjurkan, karena (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan perakaran yang baik dan padat, (2) akan menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, (3) pada saat ditanam pindah dari persemaian, bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan tegar, dan (4) benih yang baik akan memperoleh hasil yang tinggi.

Benih yang baik adalah benih yang memiliki kerapatan isi/densitas gabah yang tinggi, memiliki densitas spesifik gravitasi minimal 1.20. pada benih dengan gabah densitas tinggi, lebar dan berat daun serta jumlah penggunaan karbohidrat oleh bibit akan lebih baik dari bibit yang berasal dari gabah dengan densitas rendah. Gabah dengan densitas tinggi memiliki abnormalitas bibit yang rendah.

3. Bibit, Persemaiaan Bibit, dan Sistem Tanam

Hasil penelitian sebenarnya menunjukkan bahwa bibit muda akan menghasilkan anakan yang lebih baik dibandingkan dengan bibit tua. Namun pada sawah pasang surut yang sukar dikendalikan airnya dan endemik hama keong mas yang dapat merusak pertumbuhan bibit muda oleh sebab itu dianjurkan menggunakan bibit yang lebih tua. Jumlah bibit yang ditanam 1-3 per

Gambar 4. Berbagai jenis varietas padi sawah pasang surut Sumber: http://cybex.deptan.go.id/

Batanghari

Dendang Siak Raya

Banyuasin

Air Tenggulang

(11)

11 lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan dengan sistem tanam tegel 20 cm x 20 cm (25 rumpun/m2), 25 cm x 25 cm (16 rumpun/m2) atau dengan sistem legowo 2:1, 4:1, atau tanam dengan sistem tabela (untuk efisiensi tenaga kerja). Rumpun yang hilang karena tanaman mati, terlewati ditanam, atau rusak karena hama segera ditanami ulang tidak lebih dari 14 hari setelah tanam. Bibit yang ditanam berasal dari persemaian yang sama.

Keuntungan Cara Tanam Jajar Legowo (Bobihoe, 2011)

 Pada cara tanam Jajar Legowo 2:1, semua tanaman seolah-olah berada pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar Legowo 4:1, separuh tanaman berada pada bagian pinggir (mendapat manfaat border effect).

 Jumlah rumpun padi meningkat sampai 33%/ha  Meningkatkan produktivitas padi 12-22%  Memudahkan pemeliharaan tanaman

 Masa pemeliharaan ikan dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari dibanding cara tandur jajar biasa yang hanya 45 hari. Hasil ikan yang diperoleh dapat menutupi sebagian biaya usaha tani (Sistem Pertanian Terpadu Minapadi)  Dapat meningkatkan pendapatan usahatani antara 30-50%.

Sistem tanam Tabela

Pada lahan sawah pasang surut yang sudah memilki pintu air, berarti jumlah debit air yang keluar masuk lahan dapat dikendalikan, maka cara tanam dengan sistem tabela dapat diterapkan oleh petani. Dalam sistem tabela petani membutuhkan jenis benih yang bermutu agar pertumbuhan tanaman merata. Sebelum disebar ke lahan benih terlebih dahulu direndam selama 24 jam untuk menginisiasi tumbuhnya kecambah, lalu diangin-anginkan atau diperam selama 24 jam, kemudian baru siap ditanam. Waktu penaburan benih padi tabela biasanya dilakukan petani pada saat air surut atau pasang kecil agar benih tidak hanyut terbawa air pasang.

Pada sistem tabela, masalah pengelolaan tanah dan sistem drainase lahan merupakan kunci pokok untuk mendapatkan pertumbuhan benih yang merata. Tanah harus diolah sempurna sampai melumpur, dan permukaan tanah pada petakan harus rata. Kemudian masalah tata air mikro perlu diperhatikan agar benih tidak mati akibat genangan air berlebih. Kondisi petakan yang didrainase perlu dikontrol sampai umur 7 – 10 hari setelah tanam. Setelah masa ini, maka petakan dapat digenangi air kembali.

(12)

12

Menurut Ananto et al (1997) Sistem tabela yang diterapkan pada usahatani padi dapat mengurangi tenaga kerja. Namun, sistem ini pun menghadapi kendala, antara lain:

 Benih tidak tumbuh bila jatuh di permukaan tanah yang tergenang air

 Tanam sebar langsung membutuhkan kondisi tanah yang rata dan sempurna, sehingga membutuhkan biaya pengolahan tanah lebih banyak

 Kebutuhan benih lebih banyak

 Benih mudah terserang burung atau tikus  Tanaman mudah rebah

 Pada kondisi tergenang benih akan hanyut terbawa air, sehingga memerlukan tenaga kerja untuk penyulaman

 Tenaga untuk penyiangan lebih banyak dibanding tanam pindah

Untuk itu, pada sistem tabela ini dapat digunakan alat tanam larik tipe drum (drum seeder) yang dirancang untuk mengatasi kelemahan cara tanam tabela konvensional dengan prinsip kerja yang sangat sederhana (Gambar 6). Benih dimasukkan ke tabung-tabung (tempat benih berbentuk drum) yang dapat memuat 2 kg benih. Pada saat alat ditarik, benih akan keluar melalui lubang yang ada dibagian kanan dan kiri drum. Tiap drum mempunyai dua macam ukuran lubang, yaitu rapat dan renggang. Kapasitas kerja alat 8 jam/ha dengan seorang operator dan satu pembantu dengan kebutuhan benih 35-40 kg/ha.

Dengan menggunakan alat tanam ini, benih dikecambahkan terlebih dulu sebelum disebarkan di lahan yang telah diolah dan diratakan secara baik. Sistem tabela sangat cocok di daerah yang tenaga kerjanya kurang dan mahal, selain itu juga dapat menghemat penggunaan air. Kelebihan alat tanam ini bukan hanya dari segi waktu untuk mempercepat kegiatan tanam dan mengurangi kebutuhan benih, tetapi juga menguntungkan secara ekonomi. Bila bekerja efektif selama 30 hari per musim dengan kapasitas kerja 8 jam/ha/hari, biaya operasi alat ini hanya sekitar Rp.150.000,- sampai 200.000/ha. Biaya ini sangat murah bila dibandingkan dengan biaya tanam pindah yang berkisar Rp.500.000 - Rp.700.000 (BPTP Sumsel/ Badan Litbang Pertanian, 2013)

Namun Secara umum, produktifitas padi tabela masih lebih rendah dibanding padi yang ditanam dengan cara konvensional (tanam pindah). Menurut Jumakir dan Endrizal (2009) dilihat dari R/C ratio menunjukkan baik sistem tanam pindah maupun tabela layak secara ekonomi, walaupun dengan

Gambar 6. Aplikasi sistem tabela dengan alat drum seeder

(13)

13 input yang lebih rendah dari sistem tanam pindah namun sistem tabela masih lebih kurang menguntungkan dibanding sistem tanam pindah. Hal Ini dikarenakan menurut Pane (2003) hingga kini Indonesia belum mempunyai varietas padi yang sesuai khusus untuk tabela. Karakterisiik benih yang cocok untuk tabela adalah mampu berkecambah dalam kondisi aerobik, perakaran dalam dan tidak terlalu tinggi sehingga tidak mudah rebah, jumlah anakan sedikit tetapi mempunyai malai yang panjang dengan jumlah gabah bernas tinggi, kemampuan bertunas kurang, umur lebih panjang, daun bendera lebih luas, malai besar dengan kapasitas sink lebih tinggi, gabah tidak mudah rontok sehingga kehilangan hasil rendah.

4. Pemberian urea granul/tablet dan Pemupukkan P dan K berdasarkan status hara tanah

Lahan rawa pasang surut tipe A yang selalu tergenang, pemupukkan harus dilakukan dengan hati-hati. Bila mungkin diusahakan mengaplikasikan penyemprotan pupuk cair langsung melalui daun. Pada prinsipnya, penggunaan pupuk perlu mengutamakan efektifitas dan efisiensi. Karena itu pemberian pupuk N berdasarkan BWD kurang efektif karena tidak menggambarkan kondisi status N tanah aktual. Selain itu, aplikasi pupuk urea prill pada lahan pasang surut menjadi tidak efisien karena dapat larut dan hanyut terbawa oleh genangan dan pasang surut air. Di lahan rawa pasang surut, pemberian pupuk N sebaiknya dalam bentuk urea tablet/granul yang lebih berat dan lambat dalam melepas N, sehingga N tidak cepat larut ke dalam air dan butiran pupuk tidak mudah hanyut oleh arus air. Dosis pupuk N yang diberikan harus berdasarkan status hara tanah, namun rata-rata pemberian pupuk N tablet/granul ± 200 kg/ha urea atau 20 g/m2 disesuaikan dengan kerapatan jarak tanam. Pemberian pupuk P dan K dosisnya disesuaikan berdasarkan status hara tanah yang besaranya tersaji pada Tabel 2.

Pemberian pupuk hara mikro seperti CuSO4 dan ZnSO4 sangat diperlukan terutama pada lahan rawa pasang surut yang memiliki tipe lahan gambut maupun bergambut. Defisiensi unsur Cu dan Zn ini berhubungan dengan kadar bahan organik yang tinggi yang mampu mengkelat sebagian besar hara-hara mikro dan kation-kation polivalen lainnya menjadi kompleks yang stabil dan tidak tersedia bagi tanaman. aplikasinya bisa disemprotkan ke daun langsung atau dilarutkan terlebih dahulu dengan dosis yang berbeda-beda berdasarkan nilai pH tanah seperti tertera pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 2. Acuan umum pemupukan “Fosfor” dan “Kalium” pada tanaman padi lahan rawa pasang surut

Kelas status hara P dan K tanah

Kadar hara terekstrak HCL 25% Dosis acuan pemupukam (mg P2O5/100g) (mg K2O/100g) P(kg SP-36/ha) K (kg KCl/ha)

Rendah < 20 20 100 100

Sedang 20 – 40 10 - 20 75 50

Tinggi > 40 > 20 50 0

(14)

14

Bahan Organik

Lahan rawa pasang surut tipologi potensial dan sulfat masam mempunyai prospek yang baik untuk diaplikasikan dengan bahan organik. Lapisan pirit cukup dalam, sehingga pengolahan tanah dapat dilakukan dengan mesin seperti traktor, sehingga dapat menghemat tenaga dan waktu. Apabila ditanami secara intensif, maka pemberian pupuk organik sangat dianjurkan.

Tabel 4. Kebutuhan pupuk Zn tanaman padi pada lahan gambut/bergambut, dan salin

pH Tanah Nilai uji Zn Tanah (ekstraksi 1 N HCl)

< 1 ppm > 1 ppm

> 6.5

5.0 kg ZnSO4 diberikan sebagai pupuk dasar, dilarutkan dalam 250 liter air/ha lalu disemprotkan ke tanah sewaktu perataan tanah atau dicampur rata dengan pupuk SP 36 yang juga diberikan sebagai pupuk dasar

Pemberian Zn melalui daun (foliar

application), yaitu 2.5 kg ZnSO4

dilarutkan dalam 250 liter air/ha lalu disemprotkan ke tanaman padi pada fase vegetatif akhir

6.0 – 6.5

2.5 kg ZnSO4 diberikan sebagai pupuk dasar, dilarutkan dalam 250 liter air/ha lalu disemprotkan ke tanah sewaktu perataan tanah atau dicampur rata dengan pupuk SP 36 yang juga diberikan sebagai pupuk dasar

Bibit padi dicelupkan sebelum ditanam pada larutan 1% ZnSO4 selama 2 menit

< 6.0 Bibit padi dicelupkan sebelum ditanam pada larutan 1% ZnSO4 selama 2 menit

Tidak perlu diberikan Zn

Sumber: Pedoman Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007

Tabel 3. Kebutuhan pupuk Cu tanaman padi pada lahan gambut/bergambut, dan salin

pH Tanah Nilai uji Cu Tanah (ekstraksi 1 N HCl)

< 1 ppm > 1 ppm

> 6.5

2.0 kg CuSO4 diberikan sebagai pupuk dasar, dilarutkan dalam 250 liter air/ha lalu disemprotkan ke tanah sewaktu perataan tanah atau dicampur rata dengan pupuk SP 36 yang juga diberikan sebagai pupuk dasar

Pemberian Zn melalui daun (foliar

application), yaitu 2.0 kg ZnSO4

dilarutkan dalam 250 liter air/ha lalu disemprotkan ke tanaman padi pada fase vegetatif akhir

6.0 – 6.5

1.0 kg CuSO4 diberikan sebagai pupuk dasar, dilarutkan dalam 250 liter air/ha lalu disemprotkan ke tanah sewaktu perataan tanah atau dicampur rata dengan pupuk SP 36 yang juga diberikan sebagai pupuk dasar

(15)

15 Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan ataupun segar berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, juga sebagai sumber nutrisi tanaman walaupun jumlahnya sedikit dan lambat tersedia. Sumber bahan organik dapat berasal dari sisa-sisa tanaman seperti jerami padi, bagian batang dan daun tanaman yang tidak dipanen, limbah rumah tangga, kotoran ternak, dan sekam padi.

5. Tata air mikro yang intensif

Di lahan rawa pasang surut, pengelolaan air secara makro maupun mikro sangat penting. Terutama untuk mencuci senyawa beracun seperti pirit/besi atau untuk mengurangi kemasaman tanah. Penataan dan pengelolaan air secara makro telah dilakukan pemerintah di bawah Departemen Pekerjaan Umum dengan membangun saluran-saluran navigasi, primer, dan sekunder dengan sarana pintu-pintu air di muara saluran tersier. Jaringan tata air di tingkat makro ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan di tingkat mikro. Berikut beberapa jenis sistem tata air (irigasi dan drainase) yang dapat diterapkan di lahan rawa pasang surut (Lindung, 2014);

Sistem parit/handil a. Ketentuan umum

 Parit dibuat dari pinggir sungai yang mengarah tegak lurus ke arah daratan (Gambar 7)

 Di kiri dan kanan parit dibuat pematang-pematang, yang biasanya digunakan juga sebagai jalan sekaligus sebagai tanda batas kepemilikan lahan

 Parit dapat dipandang sebagai saluran sekunder, bila sungai dipandang sebagai saluran primer

 Parit dibuat secara bertahap dan diselaraskan dengan kondisi perubahan lahan, pengaruh pasang surut (kedalaman permukaan air) dan, ketebalan gambut

 Penerapan sistem parit, diawali dengan pembukaan lahan dengan merintis dan menebang pohon-pohon besar

 Pekerjaan ini dimulai dari tepi sungai tegak lurus ke arah pedalaman. b. Ciri sistem parit

 Lahan usahatani umumnya berjarak 0.5 – 5 km dari tepi sungai ke arah pedalaman, atau sampai ke ketebalan gambut maksimum 1 meter.

 Di bagian tepi sungai dibuat pematang, karena sudah ada tanggul sungai yang terbentuk secara alami, sehingga bila sungai pasang atau banjir, luapan air akan tertahan dan genangan pada lahan usaha yang ditimbulkan terbatas.

 Parit dibuat dengan fungsi ganda, yaitu sebagai saluran drainase (pembuangan) apabila air surut, dan sebagai saluran irigasi (memasukkan; mengairi) apabila air pasang. Aliran air dalam parit adalah bolak balik atau dua arah.

 Untuk mempertahankan keberadaan air di petakan lahan, maka pada parit dipasang tabat untuk mencegah keluarnya air sewaktu surut, tetapi sewaktu pasang, air dapat leluasa masuk dalam petakan.

(16)

16

 Lebar parit berukuran 5 meter dan semakin menyempit ke arah hulu parit.  Pada kanan dan kiri parit dibuat pematang/tanggul untuk ditanami tanaman

penguat (pohon buah-buahan) agar tanggul tidak longsor. Di atas pematang ini juga dapat dibuat ponsok.

 Pada setiap 500 meter dibuat parit cacing yang berfungsi untuk memasukkan dan mengeluarkan air pada petakan pertanaman. Parit ini berukuran lebar dan dalam 1 meter.

Sistem saluran garpu (Fork System)

 Pengatuan tata air dengan sistem garpu (Gambar 8) dikembangkan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) pada lahan pasang surut, yaitu lahan-lahan yang terletak di dataran pantai atau dataran dekat sungai; baik terpengaruh langsung maupun tidak langsung oleh pasang surut

 Untuk mengatur air pasang surut, maka dibuat pintu-pintu air yang dikenal dengan flapgate yaitu pintu otomatis yang ketika air pasang, air akan mendorong pintu sehingga air dapat masuk ke dalam parit-parit petakan lahan. Sewaktu air surut, air akan tertahan di dalam parit-parit petakan lahan

 Struktur tinggi/operasional pintu-pintu air tersebut disesuaikan dengan penggunaan lahannya, apakah untuk sawah, surjan, atau lahan kering Kelemahan sistem garpu:

Biaya pembuatannya mahal karena dirancang untuk areal pertanian yang luas dan menggunakan alat-alat berat. Lumpur yang mengendap dalam ruas-ruas saluran harus sering-sering diangkat agar tidak terjadi pendangkalan, ini akan mempersulit proses pergantian air segar. Jika pada saluran terdapat pirit yang telah teroksidasi dan tidak tercuci keluar, maka senyawa kuat yang terbentuk akan membahayakan tanaman di atasnya.

(17)

17

Mengatasi kelemahan sistem garpu adalah dengan adanya pembuatan saluran yang terpisah antara saluran irigasi (pemasukan air/inlet) dan saluran drainase (pengeluaran air/outlet), atau dikenal sebagai Sistem Aliran Satu Arah. Pada sistem ini (Gambar 9), setidaknya memerlukan 2 buah saluran tersier, yang satu berfungsi sebagai saluran irigasi (inlet) dan yang satu lagi sebagai saluran

Gambar 8. Pengelolaan air sistem garpu Sumber: Balai Pelatihan Pertanian Jambi

(18)

18

drainase (outlet). Kedua saluran tersier ini harus dilengkapi dengan pintu air otomatis (flapgate) yang dapat membuka dan menutup dengan tenaga arus air. Saluran irigasi akan membuka ketika air pasang, dan akan menutup ketika air surut. Kondisi demikian diciptakan dengan meletakkan posisi pintu yang berlawanan arah (Gambar 10). Tinggi rendahnya permukaan air dalam saluran diatur dengan mengatur pintu outlet (drainase). Keuntungan sistem ini adalah terjadinya pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar, potensi endapan lumpur di dalam saluran kuarter lebih kecil karena tercuci lebih mudah, serta penumpukan senyawa beracun dan air masam akan dapat dihindari.

6. Pengendalian Gulma dan Hama Terpadu Pengendalian gulma

Penumpukkan gulma dapat dikendalikan dengan cara pengolahan tanah sempurna. Mengatur air di petakan sawah, menggunakan benih padi bersertifikat, penggunaan kompos sisa tanaman dan kompos pupuk kandang, dan menggunakan herbisida, apabila tenaga kerja langka dan mahal. Pengendalian gulma secara mekanis seperti dengan gasrok sangat dianjurkan, dikarenakan cara ini sinergis dengan pengelolaan lainnya. Namun cara ini hanya efektif dilakukan apabila kondisi air di petakan sawah macak-macak atau tanah jenuh air, serta tenaga kerja murah.

Gambar 10. Sistem pintu air otomatis (flapgate)

Sumber: Balai Pelatihan Pertanian Jambi

Gambar 11. Aplikasi Pengendalian gulma secara mekanis dengan teknologi ekonomis “Gasrok”

(19)

19 Keuntungan penyiangan dengan alat gasrok atau landak (Badan Litbang Pertanian, 2007);

 Ramah lingkungan (tidak menngunakan bahan kimia)

 Lebih ekonomis, hemat tenaga kerja dibandingkan dengan penyiangan biasa dengan tangan

 Meningkatkan porositas dan memperbaiki aerasi tanah

 Jika dilakukan bersamaan atau sesaat setelah pemupukkan akan membenamkan pupuk ke dalam tanah sehingga efisiensi pemberian pupuk lebih besar.

Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT)

Konsep PHT adalah suatu pendekatan pengelolaan secara ekologik yang multidisiplin dan memanfaatkan berbagai taktik pengendalian secara kompatibel dalam satu kesatuan koordinasi sistem pengelolaan, sehingga tidak mengganggu keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. PHT merupakan paduan dari beberapa cara pengendalian, diantaranya monitoring populasi dan kerusakan tanaman.

Menurut Badan Litbang Pertanian (2012) strategi pengendalian hama penyakit terpadu adalah sebagai berikut;

 Menggunakan varietas tahan hama dan penyakit  Memilih tanaman yang sehat untuk ditanam

 Melakukan pengendalian secara kultur teknis, Seperti: Pola tanam tepat, Pergiliran tanaman, Waktu tanam yang tepat, Pemupukan yang tepat, Pengelolaan tanah dan irigasi, Penggunaan tanaman perangkap, dan Kebersihan lapangan

 Pengamatan berkala di lapangan  Pemanfaatan musuh alami (predator)  Pengendalian secara mekanik

 Pengendalian secara fisik  Penggunaan pestisida.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(20)

20

Saran

Penerapan konsep PTT pada lahan sawah pasang surut perlu dukungan penuh dari berbagai pihak terutama pemerintah. Input teknologi PTT menjadi lebih kompleks jika diterapkan pada lahan sawah pasang surut. Perlu sosialisasi, praktek, dan tenaga kerja yang membutuhkan investasi. Oleh karena itu pemerintah sebagai pemilik kewenangan harus berperan aktif dalam memberikan dukungan modal baik dana maupun penyediaan lahan. Selain itu, perlu adanya sosialisasi yang intensif kepada masyarakat petani akan keutamaan dan keuntungan sistem PTT padi pasang surut. Terakhir adalah dalam keseluruhan proses implementasi sistem PTT perlu adanya pemantauan bersama dari berbagai pihak dan evaluasi berkala agar sistem ini dapat terus berlanjut, meningkatkan hasil produksi, meningkatkan kesejahteraan petani, dan tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah, T. 2002. Optimalisasi Pendayagunaan Lahan Rawa Pasang Surut. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan di Cisarua, tanggal 6 - 7 Agustus 2002. Puslitbang Tanah dan Agroklimat.

Ananto EE, Handaka dan A Setyono. 2004. Mekanisasi dalam perspektif modernisasi pertanian: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Balittra. 2012. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Pasang Surut: PTT Genjot Produksi Padi Rawa. Diakses tanggal 23 November 2014, jam 20:55.

http://balittra.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_content&view=a

rticle&id=186:pengelolaan-tanaman-terpadu-ptt-padi-pasang-surut&catid=70:penelitian-2011&Itemid=67

Bobihoe, Juliastia. 2011. Leaflet Agroinovasi: Keuntungan Sistem Jajar Legowo. Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.

BPTP Sumsel. 2013. Atabela DRUM SEEDER : Biaya tanam padi jadi murah.

http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/atabela-drum-seeder. Diakses tanggal 23 November 2014 jam 22:44 WIB.

Haris, Abdul. 2001. Manajemen Lahan Orang Banjar. Banjarbaru: Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat

Jumakir dan Endrizal. 2009. Produktivitas padi sistem tapin dan tabela dengan pendekatan PTT di lahan sawah semiintensif provinsi Jambi. Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Lindung. 2014. Teknologi Tata Air di Lahan Gambut untuk Budidaya Pertanian. Balai Pelatihan Pertanian Jambi. http://www.bppjambi.info/?v=news&id=604

Diakses Tanggal 24 November 2014 jam 1:29 WIB.

(21)

21 Pane H. 2003. Kendala dan peluang pengembangan teknologi padi tanam benih langsung dalam Jurnal penelitian dan Pengembangan pertanian Vol 22 No 44. Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman Padi. Hlm. 172 – 178.

Ramli, R., I. Ar-Riza., dan R. S. Simatupang. 1992.Teknologi sistem usahatani lahan sulfat masam di Kalimantan Selatan. Dalam Pengembangan Terpadu pertanian Lahan Pasang surut dan Lebak. Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak, Puslitbangtan, Badan Litbang, Deptan, Cisarua. Hlm. 185-194.

Simatupang, R. S. 2007. Teknologi olah tanah konservasi mengendalikan keracunan besi pada padi sawah pasang surut di lahan sulfat masam. Dalam prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm.53-64.

Simatupang, R. Smith dan Nurita. 2013. Conservation soil tillage at rice culture in acid sulphat soil in Proceedings of International Workshop on Sustainable Management of Lowland for Rice Production. 2012. Husen et al (ed). Jakarta: Indonesia Agency for Agriculture Research and Development, Ministry of Agriculture. Page 287 – 298.

Tim Penyusun Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Lapang: Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Lahan Rawa Pasang Surut. Jakarta: Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 37 pp.

Gambar

Gambar 1. Strategi pengembangan model PTT padi lahan pasang surut
Gambar 3. Sistem Surjan yang merupakan produk kearifan lokal masyarakat Banjar
Tabel 1. Varietas unggul padi lahan pasang surut
Gambar 4. Berbagai jenis varietas padi sawah pasang surut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa Penggunaan metode Discovery Learning Berbasis Schoology (1) dapat meningkatkan pemahaman konsep matematis siswa MA; (2) dapat

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik (logistic regression), yaitu dengan melihat pengaruh pergantian manajemen, opini audit,

Memang penerapan sistem REMUNERASI sampai saat ini sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur untuk itu adalah sebuah keharusan.. Tetapi, tentunya masih banyak cara yang lebih

Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif yang terdiri atas tiga tahap, yaitu: (1) mengidentifikasi tata cara pengambilan contoh pangan

Model terdiri dari 3 buah langkah yaitu Notasi CNF dan string input, yang berupa grammar (context free grammar) yang sudah dalam bentuk CNF serta string input yang

Metode yang digunakan dalam penentuan kadar klorida adalah argenometri (Mohr) dengan prinsip pengujiannya senyawa klorida dalam contoh uji air dapat dititrasi

Pada pengolahan bentuk landmark , secara khusus terdapat empat tahap utama yaitu pengolahan tata masa umum, pemilihan aspek formal bangunan yang akan diterapkan, pengolahan

Jam masuk kerja pada PDAM Tirta Musi Palembang Unit Pelayanan Kalidoni adalah pukul 07.25 WIB sedangkan untuk jam istirahat dilakukan selama satu jam pada hari senin