• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gunung Api dan Mitigasi Bencana Erupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gunung Api dan Mitigasi Bencana Erupsi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

IV.3. Gunung-Api dan Mitigasi Bencana Erupsi

Hendra Grandis, Hasanuddin Z. Abidin, Prihadi Soemintadiredja, Niniek R. Herdianita dan Djoko Santoso

1. Pendahuluan

Gunung-api adalah rekahan pada kerak bumi tempat keluarnya lelehan batuan cair (yang disebut magma) dan gas atau material lainnya ke permukaan bumi. Letusan atau erupsi gunung-api terjadi ketika material panas muncul ke permukaan bumi yang dapat mengancam keselamatan harta-benda dan jiwa manusia, kerusakan lingkungan serta kerugian lainnya. Secara geologi Indonesia terletak pada daerah tektonik aktif dimana terjadi pertemuan atau tumbukan beberapa lempeng tektonik. Tumbukan lempeng-lempeng tersebut dapat menyebabkan bencana alam terutama gempa bumi dan aktivitas gunung-api.

Di dunia terdapat sekitar 500 gunung-api aktif dengan rata-rata dalam satu tahun 50 gunung-api mengalami erupsi. Berdasarkan catatan sejarah sejak tahun 1600-an bencana gunung-api telah menelan korban sebanyak kurang-lebih 260.000 jiwa. Dari jumlah tersebut kira-kira 160.000 jiwa atau 67% diantaranya adalah korban akibat bencana gunung-api di Indonesia. Dua letusan gunung-api terbesar dalam masa sejarah pernah terjadi di Indonesia, yakni Gunung Tambora pada tahun 1815 dan Gunung Krakatau pada tahun 1883, masing-masing menimbulkan korban jiwa sebanyak 92.000 dan 36.000 orang.

Sebagai peristiwa atau fenomena alam, erupsi gunung-api merupakan salah satu bahaya alam (natural hazard) yang tidak dapat dihindarkan keberadaan maupun kejadiannya. Kondisi tektonik Indonesia memposisikan kehidupan manusia dan lingkungan di Indonesia menjadi rentan terhadap bencana alam (natural disaster) akibat erupsi gunung-api. Oleh karena itu diperlukan kajian dan tindakan yang dapat meminimumkan dampak erupsi gunung-api (mitigasi). Di samping itu, fenomena-fenomena yang mendahului terjadinya erupsi gunung-api dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi bencana akibat erupsi gunung-api tersebut.

(2)

Di Indonesia, mengingat jumlah gunung-api nya yang relatif cukup banyak, bahaya letusan gunung-api harus mendapatkan perhatian yang serius baik dari pemerintah maupun masyarakat. Indonesia mempunyai 129 gunung-api aktif (lihat Tabel 4.3.1) serta 271 titik erupsi yang merupakan konsekuensi dari interaksi dan tumbukan antara beberapa lempeng benua.

Tabel 4.3.1. Distribusi dan tipe gunung-api di Indonesia (Katili & Siswowidjojo, 1994).

Pulau Jumlah Gunung-api

Total

/Kawasan Tipe-A Tipe-B Tipe-C

Sumatera 12 12 6 30

Jawa 21 8 5 34

Bali 2 - - 2

Nusa Tenggara 20 3 5 28

Laut Banda 9 1 - 10

Sulawesi Utara 6 2 5 13

Sangihe 5 - - 5

Halmahera dan sekitarnya 5 2 - 7

Total 80 28 21 129

Tipe-A : Gunung-api yang tercatat mempunyai letusan freatik ataupun magmatik sejak 1600. Tipe-B : Gunung-api yang tercatat tidak mempunyai letusan freatik ataupun magmatik sejak 1600, tapi menunjukkan kegiatan solfatara dan fumarol.

Tipe-C : Gunung-api yang tercatat tidak mempunyai aktivitas vulkanik, tapi hanya menunjukkan kegiatan solfatara dan fumarol.

Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta, dan juga kenyataan bahwa P. Jawa yang penduduknya paling padat juga mempunyai gunung-api yang paling banyak, maka tidak dapat dipungkiri bahwa bahaya letusan gunung-api adalah sesuatu yang nyata bagi rakyat Indonesia. Oleh sebab itu pemantauan aktivitas gunung-api di Indonesia haruslah selalu dilaksanakan secara maksimal dan terus menerus.

2. Gunung-Api dan Potensi Bahayanya

Pembentukan Gunung-Api

(3)

Gunung-api kaldera merupakan gunung-api yang paling eksplosif di bumi. Kaldera adalah cekungan atau depresi yang terdapat pada puncak gunung-api yang sangat besar, jauh lebih besar dari lubang kawah. Kaldera terbentuk akibat letusan atau keluarnya magma dari kantung magma dangkal. Keluarnya magma dalam jumlah besar menyebabkan keruntuhan puncak gunung-api dan membentuk depresi atau cekungan yang cukup besar. Contoh gunung-api kaldera diantaranya: Yellowstone, Long Valley dan Crater Lake di Amerika Serikat, Aso di Jepang, Taupo di Selandia Baru, Krakatau, Toba dan Bromo (Kaldera Tengger) di Indonesia dan sebagainya.

Sebaran gunung-api di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian gunung-api Sirkum Pasifik dan Mediteranea. Gunung-api tersebut membentuk jalur melengkung seperti busur, yang dapat dibagi menjadi empat busur, yaitu:

a. Busur gunung-api Sunda, yakni deretan gunung-api yang terletak di Pulau Sumatra, Jawa, dan Kepulauan Nusa Tenggara Barat serta Timur.

b. Busur gunung-api Banda, adalah deretan gunung-api yang terletak di Kepulauan Banda.

c. Busur gunung-api Maluku, yaitu deretan gunung-api yang tersebar di Kepulauan Maluku – Halmahera.

d. Busur gunung-api Sulawesi Utara – Sangihe, adalah deretan gunung-api yang tersebar di Sulawesi Utara dan Kepulauan Sangihe atau Sangir-Talaud.

Bahaya Gunung-api

Gunung-api aktif berpotensi menimbulkan berbagai jenis fenomena yang disebut sebagai bahaya (hazard). Bencana (disaster) terjadi jika terdapat persinggungan antara bahaya tersebut dengan kepentingan manusia dan kondisi lingkungan. Letusan gunung- api selain menimbulkan kerugian dan korban juga dapat mengubah tanah, air dan lingkungan pada umumnya secara drastis bahkan pada jarak yang jauh dari pusat erupsi.

Bahaya gunung-api dapat dikelompokkan menjadi bahaya primer atau langsung dan bahaya sekunder atau tak-langsung. Bahaya primer terjadi hanya selama letusan gunung-api sedang berlangsung. Bahaya sekunder tidak terbatas hanya pada saat berlangsungnya aktivitas erupsi. Erupsi volkanik yang dahsyat dapat menimbulkan pencemaran udara, gangguan kesehatan penduduk sekitar, gangguan lalu-lintas udara, mempengaruhi cuaca dan iklim meskipun sementara. Bahaya longsor dan aliran lumpur dapat terjadi meskipun tidak terjadi erupsi volkanik.

a. Aliran Lava

(4)

b. Aliran Piroklastik

Aliran piroklastik (pyroclastic flow) adalah campuran fragmen batuan, abu, gas volkanik dan udara bersuhu tinggi (200-700°C) yang mengalir menuruni lereng dengan kecepatan tinggi (lebih dari 70 km/jam). Aliran piroklastik yang juga sering disebut sebagai awan panas terjadi pada saat erupsi eksplosif yang meruntuhkan dinding kawah atau kubah lava hasil aktivitas sebelumnya. Endapan aliran piroklastik pada lembah di lereng gunung-api dapat menyebabkan terjadinya bahaya gunung-api yang lain yaitu lahar.

c. Tephra

Tephra adalah jatuhan yang berasal dari lontaran material volkanik padat dengan berbagai ukuran mulai dari bom/batu volkanik sampai abu volkanik yang menyertai letusan dalam kawah dengan kekuatan sangat besar. Material padat tersebut didorong oleh gas bertekanan tinggi dan sebagian mengikuti lintasan peluru atau proyektil. Kecepatan proyektil dapat mencapai lebih dari 300 meter/detik dan jarak horisontal maksimum dapat melebihi 5 km dari titik asal, bergantung ukuran proyektil dan kekuatan letusan. Fragmen yang paling kecil berupa abu volkanik terbang ke udara membentuk kolom erupsi dan kemudian jatuh mengikuti arah angin.

d. Lahar

Lahar adalah istilah yang diadopsi dari bahasa Indonesia untuk aliran lumpur volkanik (volcanic mudflow). Lahar merupakan aliran material volkanik yang telah bercampur dengan air (danau kawah atau air permukaan) dan mengalir menuruni lereng atau mengikuti lembah dan sungai dengan kecepatan tinggi. Campuran ini terdiri dari berbagai ukuran fragmen batuan mulai dari debu volkanik sampai bongkahan dengan ukuran besar. Lahar terutama disebabkan oleh curah hujan yang tinggi selama dan setelah erupsi volkanik. Lahar dapat menyebabkan bahaya tak langsung karena dapat merusak lingkungan. Aliran lahar dapat menyebabkan kerusakan lahan subur yang kemudian menyebabkan bahaya kelaparan.

e. Longsor

Longsor (landslide) adalah gerakan massa batuan dan tanah yang terjadi ketika lereng gunung-api runtuh dan meluncur ke bawah. Kecepatan tinggi dan momentum yang besar menyebabkan longsoran mencapai jarak yang jauh dan bahkan menerjang penghalang alamiah berupa punggungan atau bukit. Longsoran yang mencapai sungai di lereng gunung-api dapat mengalir lebih jauh dalam bentuk lahar. Longsoran yang membawa apa saja yang diterjangnya sering pula disebut sebagai longsoran puing (debris avalanche).

f. Gas Volkanik

Gas volkanik yang terlarut dalam magma terlepas ke udara saat terjadi erupsi. Gas volkanik mengikuti pergerakan angin sehingga dapat menyebar jauh dari lubang kawah. Gas volkanik terutama berupa uap air, karbon dioksida (CO2) dan sulfur dioksida (SO2)

(5)

pertanian adalah SO2, CO2 dan HF. Gas karbon dioksida lebih berat dari udara sehingga

cenderung menuju tempat yang lebih rendah dan terkumpul di dekat permukaan tanah. Konsentrasi gas CO2 yang berlebihan di suatu tempat sangat mematikan bagi manusia

dan binatang. Sulfur dioksida dapat menyebabkan hujan asam lokal dan polusi udara.

g. Gempa Bumi

Proses naiknya magma dari dapur magma ke lubang kawah selama aktivitas erupsi sering disertai dengan terjadinya gempa bumi volkanik. Umumnya pengaruh gempa bumi volkanik hanya bersifat lokal dengan tingkat kekuatan jauh lebih rendah dari pada gempa bumi tektonik. Meskipun demikian getaran gempa bumi volkanik dapat memicu longsornya lereng gunung-api yang tidak stabil.

h. Tsunami

Tsunami volkanik dapat timbul jika tanah longsor, aliran piroklastik dan lahar masuk ke laut atau danau besar. Tsunami volkanik dapat juga disebabkan oleh dislokasi dasar laut oleh gunung-api lepas pantai. Runtuhnya struktur bangunan gunung-api (volcanic edifice) yang dipicu oleh letusan gunung-api atau gempa dapat mengarah ke pergeseran lereng yang selanjutnya menimbulkan tsunami. Meletusnya G. Krakatau tahun 1883 menimbulkan tsunami yang menyebabkan korban dalam jumlah besar.

3. Mitigasi Bencana Gunung-Api

Mitigasi adalah usaha untuk meminimumkan dampak suatu bencana. Mitigasi bencana gunung-api merupakan usaha yang melibatkan beberapa bidang keilmuan atau keahlian sehingga bersifat multi-disiplin. Usaha mitigasi bencana gunung-api diantaranya dengan menghindarkan penduduk dari daerah bahaya, misalnya dengan melakukan evakuasi menjelang terjadinya letusan. Untuk itu salah satu hal yang mutlak perlu dilakukan adalah pemantauan gunung-api yang menerus sehingga tingkat kegiatan gunung-api tersebut dapat diduga atau diketahui.

Ada beberapa metode pemantauan aktivitas gunung-api yang telah diaplikasikan sekarang ini (Banks et al., 1989; McGuire et al., 1995; Scarpa and Tilling, 1996), yaitu antara lain metode seismik, metode visual, metode deformasi, metode kimia gas, metode termal, metode gaya-berat, metode geomagnetik, dan metode penginderaan jauh (dengan menggunakan sistem video, citra satelit dan sebagainya) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.3.1. Metode-metode ini dapat diimplementasikan secara episodik dengan selang waktu tertentu, maupun secara kontinyu. Patut dicatat di sini bahwa metode yang paling banyak digunakan untuk pemantauan gunung-api di Indonesia saat ini adalah metode seismik yang pada dasarnya digunakan untuk mengevaluasi aktivitas yang terjadi di dalam gunung-api.

(6)

Geofisika

a. Gempa Volkanik

Aktivitas gunung-api yang mengarah pada letusan hampir selalu didahului oleh peningkatan jumlah gempa volkanik. Gempa volkanik terjadi karena adanya gerakan atau dorongan magma yang kuat dari dalam bumi mendekati permukaan bumi melalui lubang kepundan. Pada umumnya intensitas gempa volkanik lebih lemah jika dibandingkan dengan gempa tektonik. Pemantauan aktivitas kegempaan (seismisitas) menggunakan jaringan pengamatan gempa bumi (seismograf) secara terus menerus perlu dilakukan pada suatu gunung-api aktif.

• Met ode Visual • Met ode Seismik • Met ode Def ormasi • Met ode Kimia Gas • Met ode Termal • Met ode Gaya Berat • Met ode Geomagnet ik • Met ode Inderaj a

METODE PEMANTAUAN

AKTIVITAS GUNUNGAPI • Episodi kKont inyu

Implement asi

• Met ode Visual • Met ode Seismik • Met ode Def ormasi • Met ode Kimia Gas • Met ode Termal • Met ode Gaya Berat • Met ode Geomagnet ik • Met ode Inderaj a

METODE PEMANTAUAN

AKTIVITAS GUNUNGAPI • Episodi kKont inyu

Implement asi

Gambar 4.3.1. Metode-metode pemantauan aktivitas gunung-api, diacu dari USGS-Volcano (2006).

Terdapat beberapa tipe gempa yang terjadi pada gunung-api yang dapat digunakan sebagai petunjuk adanya peningkatan aktivitas yang mengarah pada erupsi gunung-api tersebut, yaitu:

(7)

Gempa volkanik frekuensi rendah dengan frekuensi dominan sekitar 1-5 Hz, dicirikan sebagai sinyal pada seismograf dengan fasa gelombang P dan gelombang S yang tidak dapat dibedakan. Fokus gempa umumnya dangkal (kurang dari 1 km) dan berasosiasi dengan fenomena getaran atau vibrasi magma pada kantung magma. Gempa frekuensi tinggi sering disebut pula sebagai gempa tipe B dan jumlahnya meningkat tajam sebelum terjadi letusan.

Tremor volkanik tercatat di seismograf sebagai getaran yang hampir terus menerus (kontinyu) baik bersifat harmonik maupun tidak teratur. Getaran ini menunjukkan keberadaan magma yang sudah sangat dekat dengan permukaan.

Pola seismisitas gunung-api umumnya sangat kompleks dan sulit diinterpretasi. Meskipun demikian pengamatan terhadap aktivitas kegempaan tersebut telah berhasil memperkirakan letusan beberapa gunung-api aktif sehingga dapat mengurangi jumlah korban jiwa. Sebagai contoh tremor volkanik telah berhasil digunakan untuk memprediksi letusan Mount Saint Helens di Amerika Serikat tahun 1980 dan Gunung Pinatubo di Filipina tahun 1991. Contoh kasus serupa di Indonesia diantaranya adalah letusan Gunung Merapi tahun 2006 dan Gunung Kelud 2007. Pemantauan gunung-api menggunakan jaringan seismograf telah dilakukan secara sistematik oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi untuk gunung-api yang dianggap berbahaya dengan tingkat aktivitas cukup tinggi.

b. Magnetik

Pengukuran medan magnet yang menghasilkan peta anomali magnetik di daerah volkanik bermanfaat untuk memperkirakan struktur bawah-permukaan mengingat batuan volkanik memiliki sifat kemagnetan yang sangat kontras. Struktur internal gunung-api kemungkinan besar sangat berpengaruh pada pola evolusi atau aktivitas gunung-api tersebut di masa yang akan datang.

Untuk keperluan mitigasi bencana gunung-api, pengukuran data magnetik dengan resolusi spasial yang cukup tinggi perlu dilakukan secara sistematik pada semua gunung-api aktif. Kemajuan dalam bidang instrumentasi magnetik dan navigasi memungkinkan pengukuran data magnetik secara airborne yang disebut sebagai survey aeromagnetik. Namun demikian pemetaan anomali magnetik secara konvensional melalui survey ground magnetic dapat saja dilakukan sebagai alternatif.

Selain pemetaan anomali magnetik yang bersifat “statik” dapat pula dilakukan pengukuran medan magnetik secara kontinyu sebagai bagian dari pemantauan aktivitas gunung-api aktif. Penelitian yang telah dilakukan di Gunung Merapi menunjukkan adanya perubahan anomali magnetik periode sangat panjang (lebih dari 10 tahun), periode menengah (1-2 tahun) dan periode pendek (dalam orde bulan). Perubahan anomali magnetik periode menengah diduga berkorelasi kuat dengan periode aktivitas Gunung Merapi (Zlotnicki dkk, 2000).

(8)

anomali magnetik yang bervariasi sesuai dengan perubahan posisi magma selama proses aktivitas volkanik. Grandis dkk (2004) melakukan simulasi yang menggambarkan perubahan anomali magnetik pada beberapa titik di sekitar puncak sebagai respons perubahan posisi benda anomali non-magnetik yang bergerak secara bertahap naik dari kedalaman 5000 meter mendekati permukaan bumi. Hasil simulasi tersebut diperlihatkan pada Gambar 4.3.2.

Secara umum data hasil pemantauan anomali magnetik Gunung Merapi memiliki pola yang identik dengan hasil simulasi, namun dengan amplitudo yang lebih kecil dan interval waktu perubahan yang relatif lama. Hal tersebut menunjukkan bahwa simulasi numerik yang telah dilakukan tidak dapat merepresentasikan mekanisme yang sebenarnya. Pada kasus Gunung Merapi, perubahan anomali magnetik yang timbul diasumsikan lebih didominasi oleh mekanisme piezo-magnetik (Zlotnicki, 2000), yaitu perubahan medan magnet akibat perubahan tekanan magma. Sementara itu asumsi yang digunakan pada simulasi adalah adanya fenomena termo-magnetik.

Mogi dkk (2003) juga melakukan simulasi proses erupsi Usu Volcano (Hokkaido, Jepang) pada tahun 2000 dan berhasil memperoleh pola perubahan anomali magnetik yang sesuai dengan data pengamatan (Gambar 4.3.3). Simulasi dan data tersebut mengindikasikan adanya letusan menyamping (lateral blast). Keberhasilan pemantauan gunung-api aktif dengan pengukuran anomali medan magnet secara kontinyu cukup menjanjikan, terutama untuk prediksi aktivitas volkanik jangka menengah. Hal tersebut dimaksudkan sebagai komplemen pemantauan seismisitas dengan jangka yang lebih pendek. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut dan implementasi di lapangan perlu segera dilakukan secara lebih intensif.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

(9)

Gambar 4.3.3. Simulasi perubahan anomali magnetik sebagai respons perubahan posisi atau trayektori bola dipol (atas) dan data hasil pemantauan anomali magnetik di Usu Volcano, Hokkaido, Jepang (bawah) (Mogi dkk, 2003).

c. Gravitasi

Sebagaimana pengukuran medan magnet, pengukuran anomali gravitasi yang bersifat “statik” dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan struktur bawah-permukaan mengingat batuan volkanik memiliki kontras rapat massa dengan batuan di sekitarnya. Di samping itu pengukuran anomali gravitasi yang bersifat “dinamik” bersama pengukuran deformasi menggunakan teknik geodetik (dibahas pada bagian berikutnya) dapat dimanfaatkan untuk prediksi erupsi gunung-api. Namun mengingat perubahan rapat-massa yang terlibat sangat kecil maka diperlukan pengukuran gravitasi yang lebih teliti yaitu pada skala mikro-Gal.

(10)

Harga FAG sebaiknya didasarkan pada hasil pengukuran di titik pengamatan dengan cara mengukur gravitasi-mikro pada dua ketinggian yang berbeda (misal 1 meter). Setelah diketahui FAG dan BCFAG maka hasil pemantauan gravitasi-mikro (g) dan deformasi (h) antar waktu dapat di-plot sebagaimana Gambar 4.3.3 untuk memperkirakan kondisi gunung-api yang sedang dipantau.

Zona 1 pada Gambar 4.3.4 berasosiasi dengan intrusi magma berkecepatan rendah dengan viskositas magma tinggi sehingga interaksi dengan kantung magma rendah. Terjadi peningkatan massa total (net) pada sistem yang menghasilkan g/h yang berada pada Zona 1 atau sepanjang garis BCFAG. Peningkatan rapat massa atau tidak ada perubahan rapat massa (sepanjang garis BCFAG) merupakan indikasi bahwa magma tidak dapat naik ke permukaan dan gunung-api dapat dianggap dalam kondisi stabil.

Zona 2 pada Gambar 4.3.4 berasosiasi dengan intrusi magma berkecepatan tinggi dengan viskositas magma rendah sehingga terjadi interaksi magma baru dengan kantung magma. Pemanasan dan percampuran magma menghasilkan peningkatan massa total (net) namun terjadi penurunan rapat massa yang menghasilkan g/h yang berada pada Zona 2 atau antara garis FAG dan BCFAG. Pada kondisi ini peningkatan tekanan gas dalam kantung magma dapat digunakan sebagai indikasi atau prekursor aktivitas erupsi.

Gambar 4.3.4. Plot harga gradien gravitasi terhadap ketinggian (FAG) dan FAG yang telah dikoreksi Bouguer (BCFAG) yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat aktivitas gunung-api (Williams-Jones dan Rymer, 2002).

d. Resistivitas

(11)

Metode magnetotelurik (MT) merupakan salah satu metode geofisika yang dapat memperkirakan struktur internal gunung-api berdasarkan distribusi resistivitas bawah-permukaan. Survey MT di Usu Volcano berhasil memetakan adanya intrusi resistif pada lingkungan batuan tersier konduktif. Intrusi tersebut adalah produk letusan tahun 1977-1978 yang mengalami proses pendinginan sehingga bersifat resistif. Di samping itu metode MT juga berhasil mengidentifikasi adanya lapisan lava resistif kuarter. Meskipun demikian model resistivitas berdasarkan data MT tersebut kurang tegas mengindikasikan keberadaan kantong magma konduktif (Matsushima dkk, 2001).

Gambar 4.3.4 menunjukkan perubahan data MT (TM-mode) sebagai respons perubahan model 2-D magma konduktif yang mensimulasikan aktivitas atau erupsi volkanik (Grandis dkk, 2005). Pemodelan 3-D yang dapat memperhitungkan struktur bawah-permukaan dan kondisi topografi daerah volkanik secara lebih realistis masih menjadi bahan kajian penelitian yang sangat intensif (Grandis, 2008; Spichak dkk, 2004).

Gambar 4.3.5. Perubahan profil resistivitas semu (TM-mode) akibat perubahan struktur 2-D yang menggambarkan kenaikan magma konduktif mendekati permukaan.

Geodesi

(12)

Selama ini sudah banyak diketahui bahwa letusan-letusan gunung-api yang eksplosif sering diawali oleh deformasi berupa kenaikan permukaan tanah yang relatif cukup besar (Scarpa and Gasparini, 1996). Bahkan untuk gunung-api yang sudah lama tidak menunjukkan aktivitasnya, adanya fenomena deformasi tubuh gunung-api yang bersangkutan, merupakan salah satu indikator yang dapat dipercaya dari kebangkitan kembali aktivitas gunung-api tersebut. Disamping itu menurut Van der Laat (1997) serta Dvorak and Dzurisin (1997), deformasi permukaan gunung-api, yang berupa vektor pergeseran titik dan vektor kecepatan perubahannya, dapat memberikan informasi tentang karakteristik dan dinamika dari kantong (reservoar) magma. Informasi gejala deformasi tersebut dapat dimodelkan untuk menentukan lokasi, kedalaman, bentuk, ukuran dan perubahan-perubahan tekanan sumber penyebab deformasi. Kemungkinan besar fakta tersebut adalah pembentukan kantong magma dan kantong hidrotermalnya. Dalam hal ini laju pemasukan magma ke tubuh gunung-api dan volume muntahan magmanya, seandainya terjadi letusan, akan dapat diduga dengan menggunakan data dan informasi deformasi (Dvorak and Dzurisin, 1997).

Pada prinsipnya deformasi dari tubuh gunung-api dapat berupa penaikan permukaan tanah (inflasi) ataupun penurunan permukaan tanah (deflasi), seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4.3.6. Deformasi yang berupa inflasi umumnya terjadi karena proses gerakan magma ke permukaan yang menekan permukaan tanah di atasnya. Dalam hal ini deformasi yang maksimal biasanya teramati tidak lama sebelum letusan gunung-api berlangsung. Sedangkan deformasi berupa deflasi umumnya terjadi selama atau sesudah masa letusan. Pada saat itu tekanan magma di dalam tubuh gunung-api telah melemah. Pada saat itu permukaan tanah cenderung kembali ke posisinya semula.

Inflasi (Penaikan Muka Tanah) Deflasi (Penurunan Muka Tanah)

Magma

Tubuh gunung api yang terangkat menjelang letusan

Magma

Tahap letusan dan sesudahnya, permukaan tanah menurun.

Gambar 4.3.6. Gejala deformasi pada gunung-api aktif.

Gejala deformasi gunung-api akan menyebabkan pergeseran posisi suatu titik di tubuh gunung-api. Pergeseran posisi tersebut dapat terjadi baik dalam arah horisontal maupun vertikal. Menurut Van der Laat (1997), nilai pergeseran ini bisa mencapai puluhan meter pada gunung-api silisik yang membentuk kubah lava. Pada gunung-api yang kantong magmanya masih jauh di bawah permukaan atau gerakan naiknya magma relatif lambat, deformasi yang teramati relatif kecil, kadang-kadang nilai strain-nya lebih kecil dari 0.1 ppm/tahun.

(13)

diklasifikasikan atas dua tipe, yaitu metode episodik dan metode kontinyu seperti yang ditunjukkkan pada Gambar 4.3.7. Pada metode episodik, pemantauan dilakukan secara episodik dalam selang waktu tertentu. Metode deformasi episodik ini umumnya menggunakan data-data pengamatan terestris, seperti jarak (dari EDM, Electronic Distance Measurement), arah (dari theodolit), beda tinggi (dari sipat datar), dan perubahan gaya berat (dari pengukuran mikrogravitas); dan sekarang ini juga mulai menggunakan data pengamatan GPS. Sedangkan pada metode deformasi kontinyu pemantauan dilakukan secara terus menerus. Metode deformasi kontinyu ini umumnya menggunakan sensor-sensor tiltmeter, extensiometer, dan dilatometer, yang hanya mengkarakterisir deformasi yang sifatnya sangat lokal. Patut ditekankan di sini bahwa GPS yang dikombinasikan dengan sistem telemetri/komunikasi data juga dapat digunakan untuk memantau deformasi gunung-api secara kontinyu. Baik untuk metode episodik maupun kontinyu, dapat diperkirakan bahwa GPS akan punya peran yang penting dalam proses pemantauan deformasi gunung-api di masa-masa mendatang.

Episodik

 Pengukuran Jarak (EDM)

 Pengukuran Sudut

 Pengukuran Beda Tinggi (Sipat Datar)

 Pengukuran Mikro Gravitasi

 Survai GPS Periodik

 INSAR (Interferometric SAR)

 Tiltmeter

 Extensiometer

 Dilatometer

 Jaringan GPS Kontinyu

Kontinyu METODE

DEFORMASI

Gambar 4.3.7. Metode deformasi untuk pemantauan gunung-api.

Patut dicatat bahwa secara operasional pemantauan deformasi gunung-api dengan GPS, baik secara episodik maupun kontinyu, sudah diterapkan di banyak gunung-api di seluruh dunia. Contoh-contoh kasus dalam hal ini bias dilihat di USGS-Volcano (2006). Untuk kasus gunung-api di Indonesia, pemantauan gunung-api secara episodik dengan metode survei GPS telah diterapkan di beberapa gunung-api. Gambar 4.3.8. menunjukkan beberapa lokasi gunung-api yang deformasinya dipelajari dengan survei GPS yang dilaksanakan oleh Kelompok Keilmuan (KK) Geodesi ITB bekerjasama dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen ESDM.

Guntur

(14)

Survei GPS di gunung-gunung-api yang ditunjukkan pada Gambar 4.3.8 tidak dimulai pada tahun yang sama; yaitu Guntur sejak 1996, Papandayan sejak 1998, Kelud sejak 1999, Batur sejak 1999, Galunggung sejak 2001, Bromo sejak 2001, Ijen sejak 2002, Tangkuban Perahu sejak 2002, dan Semeru sejak 2003. Umumnya survei di gunung-gunung tersebut dilaksanakan setahun sekali. Beberapa hasil dari studi deformasi gunung-api dengan metode survei GPS tersebut diberikan di Abidin et al. (1997, 1998a, 1998b, 1999, 2000, 2001, 2004, 2005).

Geologi dan Geokimia

a. Komposisi gas

Gunung-api melepaskan gas-gas volkanik, seperti H2S, H2, CO, CO2, HCl, HF dan He.

Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa erupsi gunung-api hampir selalu ditandai dengan terjadinya peningkatan kandungan gas-gas volkanik ini. Untuk itu dalam melakukan mitigasi bencana gunung-api, salah satu cara adalah dengan memonitor kandungan gas di keluaran-keluaran gas, seperti fumarola, solfatara, steam vent, dll.

Pengambilan sampel gas dilakukan secara periodik untuk melihat perubahan kandungan gas-gas volkanik yang bertujuan untuk memantau aktivitas gunung-api. Studi di G. Merapi menunjukkan, bahwa erupsi Merapi pada November 1994 ditandai dengan meningkatnya kandungan gas H2, CO2, CO, SO2 dan HCl terhadap kandungan uap air,

serta rasio SO2/H2S dan H2/H2S(Priatna dan Kadarsetia, 2007).

Peningkatan aktivitas G. Tangkuban Parahu pada April 2005 juga ditandai dengan peningkatan kandungan gas CO2 dan H2S yang terjadi sesuai dengan peningkatan

aktivitas seismik dan deformasi (Dana dkk, 2006).

b. Manifestasi panasbumi di permukaan

Perubahan fisik manifestasi atau kenampakan panasbumi di permukaan dapat dijadikan cara memonitor kondisi gunung-api dengan mudah. Perubahan ini menunjukkan adanya perubahan komposisi kimia air dan gas panasbumi dan dapat mengindikasikan pergerakan magma ke permukaan.

Magma melepaskan gas-gas volkanik seperti CO2 dan H2S yang dapat terkondensasi ke

dalam air tanah atau air permukaan. Hal ini akan mengakibatkan perubahan tipe air panasbumi dari air klorida yang mempunyai derajat keasaman sekitar netral, menjadi air sulfat dan bikarbonat yang ber-pH asam. Perubahan ini dapat diamati dari perubahan fisik mata air panas atau kolam air panas yang tadinya bening dan jernih berubah menjadi keruh. Gas-gas volkanik tersebut juga dapat merubah pola alterasi batuan di sekitar keluaran gas. Alterasi akan didominasi oleh mineral-mineral lempung, seperti kaolinit dan smektit, yang berasosiasi dengan alunit dan residu silika.

Mazot dkk (2007) menunjukkan perubahan karakteristik dan komposisi kimia manifestasi panasbumi di Papandayan sebelum dan setelah erupsi tahun 2002. Terdapat peningkatan kandungan gas-gas volkanik seperti HCl, SO2, H2S dan HF pada air di

(15)

4.3.9, Mazot dkk, 2007). Pembentukan alterasi argilik lanjut terlihat dari material-material yang terlempar saat erupsi terjadi. Meskipun demikian, setelah erupsi November 2002, kandungan gas-gas volkanik pada air danau kawah kembali normal.

Seperti halnya karakteristik kimia air danau kawah G. Kelud yang menunjukkan peningkatan temperatur dan kandungan unsur-unsur terlarut, seperti SO4, Cl, B, F, Ca,

K dan Fe (Gambar 4.3.10), disamping peningkatan kandungan gas-gas volkanik, seiring dengan peningkatan aktivitas vulkanisme (Kadarsetia dkk, 2006).

Gambar4.3.9. Plot antara kandungan Cl dengan SO4 dan Mg dalam air sebelum (1994-2002) dan setelah (2003-2005) erupsi Papandayan (Mazot dkk, 2007).

c. Vulkanostatigrafi

(16)

Gambar4.3.10. Kandungan K, Ca dan Fe air danau kawah G. Kelud antara tahun 1987 hingga 2005 (Kadarsetia dkk, 2006).

4. Kesimpulan dan Penutup

Beberapa aspek mitigasi bencana gunung-api yang disampaikan pada tulisan ini masih bersifat garis besar yang dapat dikembangkan lebih lanjut, baik dalam tataran riset maupun implementasi yang bersifat pemantauan rutin. Aspek lain yang juga perlu diperhatikan dan dikembangkan adalah manajemen bencana khususnya bencana akibat erupsi gunung-api.

Elemen-elemen yang menunjang hal itu khususnya dari segi sumber daya manusia banyak tersebar di berbagai institusi pendidikan dan penelitian. Untuk itu diperlukan sinergi dan kerja-sama yang baik demi membangun keunggulan dalam bidang volkanologi di tingkat regional bahkan internasional. Dengan demikian ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan kegunung-apian dapat lebih dikembangkan di Indonesia secara signifikan mengingat potensi yang cukup besar dalam bidang ini.

Daftar Pustaka

Abidin, H.Z., O.K. Suganda, M.A. Kusuma, I. Meilano, B. Setyadji, D. Muhardi, R. Sukhyar, J. Kahar, and T. Tanaka, 1997, Monitoring the Deformation of Guntur Volcano (West Java, Indonesia) Using GPS Survey Method : Status and Future Plan. Proceedings of International Symposium on Natural Disaster Prediction and Mitigation, Kyoto, December 1-5, pp. 81 – 88.

(17)

International Workshop on Advances in GPS Deformation Monitoring, ISBN : 1-86308-073-2, Curtin University, Perth, 24-25 September, Paper no. 18.

Abidin, H.Z., I. Meilano, O.K. Suganda, M.A. Kusuma, O. Yolanda, D. Muhardi, B. Setyadji, R. Sukhyar, J. Kahar, and T. Tanaka, 1998b, Some Aspects of Volcano Deformation Monitoring Using Repeated GPS Surveys. Proceedings of Spatial Information Science, Technology and Its Applications, Wuhan, China, 13-16 December, pp. 92 - 109.

Abidin, H.Z., I. Meilano, O.K. Suganda, M.A. Kusuma, I. Meilano, M. Gamal, W.S. Tjetjep, R. Sukhyar, A.D. Wirakusumah, T. Tanaka, J. Kahar, C. Rizos, and M.S. Widodo, 1999, The Status of Deformation Monitoring of Active Volcanoes in Indonesia with GPS Satellite System. Proceedings of the 28th Annual Convention of Indonesian Association of Geologists, Vol. IV : Developments in Engineering, Environment, and Numerical Geology, Jakarta, 30 Nov. - 1 Dec. 1999, pp. 261 - 277.

Abidin, H.Z., D. Darmawan, O.K. Suganda, M. A. Kusuma, I. Meilano, F. Anthony, M. Gamal, and A.D. Wirakusumah, 2000, Studi Deformasi Gunung Papandayan Dengan Metode Survei GPS. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan HAGI (Himpunan Ahli Geofisika Indonesia) ke-25, ISBN : 979-95053-4-8, Bandung, 3-4 Oktober, pp. 330-335.

Abidin, H.Z., D. Darmawan, M. A. Kusuma, M. Hendrasto, O.K. Suganda, M. Gamal, F. Ki-mata, and C. Rizos, 2001, Studi Deformasi Gunung Kelut Dengan Metode Survei GPS. Surveying & Geodesi, Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Geodesi ITB, ISSN : 0852-0569, Vol. XI, No.2, Mei, pp. 11 - 18.

Abidin, H.Z., M. Hendrasto, H. Andreas, D. Darmawan, M.A. Kusuma, M. Gamal, O.K. Suganda, I. Kusnadi, dan A.D. Wirakusumah, 2002, Studi Deformasi Gunung-api Batur Dengan Metode Survei GPS. Surveying & Geodesi, Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Geodesi ITB, ISSN : 0852-0569, Vol. XII, No.3, September, pp. 1 – 10.

Abidin, H.Z., H. Andreas, M. Gamal, M. Hendrasto, Ony K. Suganda, M.A. Purba-winata, Irwan Meilano, and F. Kimata, 2004, The Deformation of Bromo Volcano as Detected by GPS Surveys Method. Journal of Global Positioning Systems, Vol.3, No. 1-2, pp.16-24.

Abidin, H.Z., H. Andreas, M. Gamal, O.K. Suganda, I. Meilano, M. Hendrasto, M.A. Kusuma, D. Darmawan, M.A. Purbawinata, A.D. Wirakusumah, and F. Kimata, 2005, Ground De-formation of Papandayan Volcano Before, During and After Eruption 2002 as Detected by GPS Surveys. GPS Solutions. Springer-Verlag GmbH, ISSN: 1080-5370 (Paper) 1521-1886 (Online), DOI: 10.1007/s10291-005-0009-1.

Banks, N.G., R.I. Tilling, D.H. Harlow, and J.W. Ewert, 1989, Volcano monitor-ing and short term forecast. In Volcanic Hazards (ed. R.I. Tilling), Ameri-can Geophysical Union, Washington, D.C., USA.

(18)

Dvorak, J.J., and D. Dzurisin, 1997, Volcano Geodesy : The Search for Magma Reservoirs and the Formation of Eruptive Vents. Review of Geophysics, Vol. 35, No. 3, August, pp. 343 - 384.

Grandis, H., Widarto, D.S., Yudistira, T., dan Herawati A., 2004, Simulasi fenomena volkano-magnetik menggunakan pemodelan magnetik 3-D. Prosiding PIT HAGI ke-29, Yogyakarta.

Grandis, H., Widarto, D.S., dan Sumintadiredja, P., 2005, Pencitraan struktur internal gunung-api aktif menggunakan metode magnetotellurik (MT). Laporan Penelitian RUT X.

Grandis, H., 2008, Magnetotelluric (MT) inversion for 3-D conductivity model resolution using Markov Chain Monte Carlo (MCMC) algorithm: Preliminary results. Jurnal Geofisika 2006/1.

Kadarsetia, E., Primulyana, S., Sitinjak, P., dan Saing, U.B., 2006, Karakteristik kimiawi air danau kawah Gunung-api kelud, Jawa Timur pasca letusan tahun 1990. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1, No. 4, 185-192.

Katili, J.A., dan S.S. Siswowidjojo, 1994, Pemantauan Gunung-api di Filipina dan Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

Matsushima, N., Oshima, H., Ogawa, Y., Takakura, S., Satoh, H., Utsugi, M., and Nishida, Y., 2001, Magma prospecting in Usu Volkano, Hokkaido, Japan using magnetotelluric soundings. J. Volcanol. Geotherm. Res, 109, 263-277.

Mazot, A., Berbard, A., and Sutawidjaja, I.S., 2007, Hydrothermal system of the Papandayan volcano, West Java, Indonesia and its geochemistry evolution of thermal water after the November 2002 eruption. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2, No. 1, 15-29.

McGuire, W.J., 1995, Monitoring active volcanoes – an introduction, In Moni-toring Active Volcanoes by B. McGuire, C.R.J. Kilburn, and J. Murray (Eds), pp. 1-31, UCL Press Limited, London, 421 pp.

Mogi, T., Sato, H., Saba, M., Tanimoto, K., Nishida, Y., Takada, M., Utsuki, M., Hashimoto, T., and Sasai, Y., 2003, Electric and Magnetic field change associated with the 2000 Usu Volcano eruption. IUGG General Assembly, Sapporo – Japan.

Priatna, and Kadarsetia, E., 2007, Characteristics of volcanic gas correlated to the eruption activity; Case study in the Merapi Volcano, periods of 1990 – 1994. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2, No. 4, 235-246.

Scarpa, R., and P. Gasparini, 1996, A Review of Volcano Geophysics and Volcano-Monitoring Methods. In Monitoring and Mitigation of Volcano Hazards by R. Scarpa and R.I. Tilling (Eds.), Springer Verlag, Berlin, pp. 3 - 22.

Scarpa, R., and R.I. Tilling (Eds.), 1996, Monitoring and Mitigation of Volcano Hazards. Springer Verlag, Berlin, 841 pp.

(19)

USGS-Volcano (2006). Situs internet dari U.S. Geological Survey Volcano Hazards Program. Alamat situs : http://volcanoes.usgs.gov.

van der Laat, R. (1996) “Ground-Deformation Methods and Results.” In Monitoring and Mitigation of Volcano Hazards by R. Scarpa and R.I. Tilling (Eds.), Springer Verlag, Berlin, pp. 147 - 168.

Williams-Jones, G., Rymer, H., 2002, Detecting volcanic eruption precursors: a new method using gravity and deformation measurements. J. Volcanol. Geotherm. Res, 113, 379-389.

Gambar

Gambar 4.3.1. Metode-metode pemantauan aktivitas gunung-api, diacu dari USGS-Volcano (2006)
Gambar 4.3.2. Kontur ketinggian kerucut gunung-api dan posisi 4 titik pengamatan di sekitar (kanan).puncak (kiri), perubahan anomali magnetik hasil simulasi pada ke 4 titik pengamatan tersebut
Gambar 4.3.3. Simulasi perubahan anomali magnetik sebagai respons perubahan posisi atau trayektori bola dipol (atas) dan data hasil pemantauan anomali magnetik di Usu Volcano, Hokkaido, Jepang (bawah) (Mogi dkk, 2003)
Gambar 4.3.4. Plot harga gradien gravitasi terhadap ketinggian (FAG) dan FAG yang telah dikoreksi Bouguer (BCFAG) yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat aktivitas gunung-api (Williams-Jones dan Rymer, 2002)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) pengetahuan Dewan berpengaruh terhadap pengawasan Keuangan Daerah (2) partisipasi masyarakat berpengaruh terhadap hubungan

Oleh karena itu pemberian asam humat melalui daun dengan pupuk K diharapkan dapat meningkatkan produksi tana man, khususnya untuk budida ya tanaman hortikultura.Berdasarkan

Kirjastonkäyttäjien keskinäisistä, tiloissa tietokoneiden ääressä käydyistä keskusteluista kuitenkin selvisi, että viikon aikana työasemilla muun muassa tutkittiin

Antara ciri- ciri yang kami tentukan adalah: (i) peserta telah mendidik anak– anak secara berseorangan tanpa bantuan pihak atau badan-badan tertentu, (ii) tidak pernah

Teori ekonomi geografi baru menekankan pada adanya mekanisme kausalitas sirkular untuk menjelaskan konsentrasi spasial dari kegiatan ekonomi (Krugman dan Venables dalam

Berdasarkan hasil ujicoba efektivitas pembelajaran yang meliputi 3 kriteria yaitu: (a) tercapainya batas ketuntasan 75 baik secara klasikal di seluruh kelas ujicoba, bahkan 4

Daerah (Kota) Ambon, dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No. Daerah Maluku Utara, mula-mula suatu pemerintahan-gabungan dari tiga pemerintahan swapraja-swapraja Ternate, Tidore

Kinerja perusahaan menggunakan metode Human Resource Scorecard (HRSC) dan Analytical Hierarchy Process (AHP) menghasilkan bobot dengan perincian perspektif