• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PENDIDIKAN KELUARGA TERHADAP PRESTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLA PENDIDIKAN KELUARGA TERHADAP PRESTA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PENDIDIKAN KELUARGA TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK Makalah Ini disusun dalam rangka memenuhi tugas yang di

berikan

Dosen Pembimbing : Ibu Ketty Sumarlina,S.Th,M.Pd.K Nama : Andrew Gilbert Oktori

NIM :

Semester : 1 (satu) KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kepada TUHAN YESUS KRiSTUS

karena atas Kasih NYA saya dapat menyusun makalah ini sesuai dengan waktunya. Sehubungan dengan berakhirnya waktu tatap muka Mata Kuliah Dasar-dasar Pendidikan , maka makalah ini saya susun sebagai pemenuhan tugas semester ganjil ini

terkhusus kepada Ibu Ketty sumarlina selaku dosen pembimbing Mata Kuliah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta memperkaya Ilmu pengetahuan kita tentang dunia pendidikan yang tidak dapat terpisah dari kehidupan kita semua. Di samping itu saya menyadari bahwa penyusunan serta

penyajian makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang dapat memberikan perbaikan bagi penyempurnaan makalah ini sangat saya harapkan. Sekian terima kasih.

Penulis,

(2)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Disebut sebagai lingkungan pendidikan atau lembaga pendidikan pertama karena sebelum manusia mengenal lembaga pendidikan yang lain, lembaga pendidikan inilah yang pertama ada. Selain itu manusia mengalami proses pendidikan sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan pertama kali adalah dalam

keluarga. Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, di samping terdapat faktor lingkunga lain, keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar

keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.

Terlebih pada prestasi anak tersebut sendiri di bangku sekolah. 1.2 Pembatasan Masalah

Adapun batasan masalah yang penulis sajikan dalam penelitian ini mengenai Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Anak

1.3 Rumusan Masalah

(3)

Apa sajakah aspek-aspek penting dalam pendidikan karakter anak ?

Bagaimanakah hubungan antara pola asuh keluarga dengan prestasi belajar anak

BAB II

ISI ( Pembahasan )

A. KELUARGA SEBAGAI WAHANA PERTAMA DAN UTAMA PENDIDIKAN KARAKTER ANAK

Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak.

Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Karakter

didefinisikan secaara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap

kualitas moral dan mental, sementarayang lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang

(encaycalopedia.thefreedicationary.caom, 2004). Coon (1983) mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorangyang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh

(4)

karakter meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan

segenap caiptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan Arif; (4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong; (6) Percaaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik dan rendah hati; (9) Toleran, cainta damai dan kesatuan. Jadi, orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter tersebut. Pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson yang terkenal dengan teori Psycahososial Development juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan

berkembang secaara perlahan tapi pasti (dalam Hurlocak, 1981). Dengan katalain, Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) yang dimulai dari lingkungan keluarga anak tersebut berada dan faktor lingkungan (nurture). Menurut para developmental

psycahologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, ( Confusius ) seorang filsuf terkenal Cina menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencaintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan dimulai dari keluarga

sebagai wahana utama dan pertama, kemudian sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas sangat berperan penting dalam

(5)

hubungan kemasyarakatan. Aturan main disini Menurut Garbarino & Brofenbrenner (dalam Vasta, 1992), didefinisikan sebagai

aturan-aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa yang benar, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang patut dan tidak patut. sehingga nantinya mampu menanamkan dan mengaplikasikan aturan main tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

B. ASPEK-ASPEK PENTING DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK Dalam membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental.

1. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya), merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar

kepercaayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaaya.Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.

2. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. normal bagi seorang bayi untuk mencaari kontak dengan hanya satu orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi.

(6)

3. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus,

menggendong, dan berbicaara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.

C. POLA ASUH KELUARGA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK

C.1 POLA ASUH DALAM KELUARGA

Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) serta implementasinya terhadap prestasi belajar pada anak, sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi

pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di

masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan

lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak. Secaara umum Hurlocak juga Hardy & Heyes

mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh permisif, dan (3) Pola asuh otoritatif

( demokratis ). 1. OTORITER

(7)

1) Memberikan tuntutan yang sangat tinggi terhadap kontrol dan disiplin kepada anak, tanpa memperlihatkan ekspresi cainta dan kehangatan yang nyata.

2) Menuntut anak untuk mengikuti standar yang ditentukan tanpa mengizinkan anak untuk mengungkapkan perasaannya.

3) Ingin anak mengikuti kehendaknya tanpa banyak bertanya. 4) Menutup diri dan menolak adanya diskusi.

Pengaruhnya pada anak:

1) takut memperlihatkan hasil karyanya, karena takut dikritik yang akan diterimanya.

2) Tidak memiliki keberanian untuk mencaoba hal-hal baru.

3) Tidak memiliki masalah dengan pergaulan kenakalan remaja. 4) Tapi memiliki pribadi yang kurang percaaya diri, ketergantungan dengan orang tua tinggi, dan lebih mudah mengalami stress.

2. PERMISIF

Yang dilakukan orang tua:

1) Cenderung menghindari konfik dengan anak.

2) Membiarkan anak untuk melakukan apa pun yang diinginkan oleh anak.

3) Tak memberikan batasan yang jelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.

4) Takut memberikan larangan karena dianggap terkesan tidak mencaintai anak.

Pengaruhnya pada anak:

(8)

2) Memiliki rasa kepercaayaan diri dan kemampuan bersosialisasi yang caukup besar.

3) Namun akan mudah terseret pada bentuk kenakalan remaja dan memiliki prestasi sekolah yang rendah. Anak tidak mengerti norma-norma socaial yang harus dipenuhinya.

4) Anak menjadi bingung, karena ia merasa tidak salah tetapi mendapat penilaian buruk dari orang lain akibat kurangnya pemahaman terhadap norma yang dimilikinya.

3. OTORITATIF ( DEMOKRATIS ) Yang dilakukan orang tua:

1) Memberi kontrol terhadap anak dalam batas-batas tertentu, dengan tetap memberikan dukungan, kehangatan dan cainta

kepada anak.

2) Memonitor dan menjelaskan standar dengan tetap memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi.

3) Menghargai prestasi yang telah dicaapai anak, sekecail apa pun yang telah diperlihatkan oleh anak.

Pengaruhnya pada anak:

1) Merasa bahwa dia dihargai.

2) Dapat berdiskusi dengan leluasa dengan orang tua tanpa takuit dikritik atau disalahkan.

3) Merasa bebas mengungkapkan kesulitannya, kegelisahannya kepada orang tua karena ia tahu bahwa orang tua akan

membantu memberikan jalan keluar tanpa mendiktenya.

(9)

Pada intinya Pola asuh demokratis mempunyai cairi : 1) Ada kerjasama antara orangtua – anak.

2) Anak diakui sebagai pribadi.

3) Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua .4) Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.

Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah.

Menurut Arkof (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik

dengan caara demokratis umumnya caenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencaian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secaara otoriter atau ditolak memiliki kecaenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secaara permisif caenderung mengembangkan tingkah laku agresif secaara terbuka atau terang-terangan.

Menurut Middlebrook (dalam Badingah, 1993), hukuman fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak karena :

(a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak caocaok untuk belajar)

(10)

(ca) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada (d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi anak. Dalam Teori PAR (Parental Acacaeptancae-Rejecation Theory)-

menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acacaeptancae) atau yang menolak (rejecation) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak yang diberikan kasih sayang, baik secaara verbal (diberikan kata-kata cainta dan kasih sayang, kata-kata-kata-kata yang membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secaara fisik (diberi caiuman, elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik secaara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecailkan hati), ataupun secaara fisik (memukul, mencaubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga bersifat indifeerencae atau

neglecat, yaitu sifat yang tidak mepedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat undiferentiated rejecation, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak

merasa tidak dicaintai dan diterima oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian.

(11)

yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan caepat

tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.

Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.

Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecaerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :

1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secaara verbal maupun fisik.

2. Kurang meluangkan waktu yang caukup untuk anaknya.

3. Bersikap kasar secaara verbal, misainya menyindir, mengecailkan anak, dan berkata-kata kasar.

4. Bersikap kasar secaara fisik, misalnya memukul, mencaubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.

5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secaara dini.

6. Tidak menanamkan “good caharacater’ kepada anak. Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi akan menghasilkan anak-anak yang

mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecaerdasan emosi rendah.

(12)

dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.

2. Secaara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cainta kepada orang lain.

3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secaara verbal maupun fisik.

4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna. 5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, cauriga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.

6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.

7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan

intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicau kenakalan remaja, tawuran, dan

lainnya.

8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaaya kepada “peer group”nya sehingga mudah

terpengaruh dengan pergaulan negatif. C.2 PRESTASI ANAK

Poerwanto (1986:28) memberikan pengertian prestasi belajar yaitu “hasil yang dicaapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport.” Selanjutnya Winkel (1996:162) mengatakan bahwa “prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicaapainya.” Sedangkan menurut S Nasution (1996) prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicaapai seseorang dalam

(13)

apabila memenuhi tiga aspek yakni kognitif, afektif dan

psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut. Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemampuan siswa yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar

mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar adalah dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.

C.3 PENGARUH POLA ASUH TERHADAP PRESTASI SISWA

Dari 10 responden yaitu siswa dengan ranking 5 besar di sekolah usia antara 14 sampai dengan 17 tahun , yang kami beri

questionnaire maka diperoleh kesimpulan bahwa 100 % mereka memahami peranan orang tua ideal dan 90 % menyatakan bahwa orang tua mereka merupakan sosok orang tua yang ideal buat mereka karena bagi mereka orang tua adalah yang memberikan kasih sayang, mendidik, mengarahkan dan membimbing mereka menjadi anak yang lebih baik dan bermanfaat. Penanaman sikap disiplin, menerima apa adanya, memberikan motivasi berprestasi serta aspek spiritual kepada anak diakui merupakan dasar

pembentukan karakter anak berprestasi. Aspek psikis dan

(14)

akademik mereka, dari 10 responden menyatakan 50 % mereka mengikuti dan berprestasi dan 50 % mereka tidak mengikuti dengan alasan di sekolah tidak terdapat ekstrakurikuler.

Penghargaan terhadap prestasi anak juga dilakukan oleh orang tua dengan pola asuh otoritatif walaupun hanya dengan ucaapan selamat atas prestasi yang mereka peroleh. Sikap orang tua

tersebut akan memberikan efek psikologis bahwa mereka merasa dihargai eksistensinya dan menjadikan mereka lebih termotivasi untuk berprestasi lebih baik lagi.

Ketika anak mempunyai masalah dengan sekolah, hubungan dengan seseorang dan lingkungannya, responden menyatakan 40 % mereka lebih suka/nyaman membicaarakannya dengan orang tua karena orang tua lebih bisa menyimpan rahasia pribadi dan memberikan solusi, nasehat untuk membantu menyelesaikan masalah. Sedangkan 60 % mereka lebih suka caurhat dengan temannya dengan alasan karena teman atau sahabat mereka menjadi tempat berbagi caerita dan menjadi kepercaayaan mereka. Orang tua dengan pola asuh otoritatif bersikap responsif terhadap kebutuhan anak dan mendorong anak untuk menyatakan

pendapat atau pertanyaan. Dari 10 responden 100 % mereka menyatakan bahwa orang tua mereka mau mendengarkan

pendapat, solusi dan berdiskusi terhadap suatu hal atau masalah. Sikap orang tua tersebut akan memberikan efek rasa percaaya diri anak terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi. Dengan berdiskusi memberikan ruang bagi orang tua untuk memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk bagi anak dan anak pun memahami sikap dan alasan orang tua terhadap mereka.

(15)

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

Keluarga merupakan lingkungan sekaligus wadah yang pertama dan utama yang memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kerakter sekaligus prestasi anak. Hal ini meliputi upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mengajarkan aturan main yang berlaku dalam kehidupan di dunia maupun di dalam kehiduoan bermasyarakat melalui pola-pola interaksi yang berlangsung antara orangtua dengan anak atau yang lebih

dikenal dengan pola asuh. Pola asuh yang berbeda antara orangtua masing-masing anak akan berprngaruh pada hasil

karakter yang terbentuk dalam diri anak yang bersangkutan. Ada yang berdampak positif dan juga negatif tergantung pola mana yang dipilih orangtua tersebut. Setelah didasarkan dengan

penelitian yang ada pola sauh demokratis lebih berdampak positif di banding pola asuh yang lain.

Sebagai saran yang ingin saya sampaikan mungkin dalam

mendidik anak orang tua dapat melakukan hal-hal berikut sebagai pertimbangan, yaitu antara lain :

Harus disertai kasih sayang

Tanamkan disiplin yang membangun

Luangkan waktu kebersamaan dengan keluarga Ajarkan salah benar

Kembangkan sikap saling menghargai Perhatikan dan dengarkan pendapat anak Membantu mengatasi masalah

(16)

Mengembangkan kemandirian

Memahami keterbatasan pada anak

Referensi

Dokumen terkait

MODUL GURU PEMBELAJAR Bahasa Inggris SMA/SMK Modul Guru Pembelajar Bahasa Inggris SMA Kelompok Kompetensi A DOWNLOAD | Profesional :Distinguishing Texts and Non Texts DOWNLOAD

[r]

Malaysian palm oil futures extended gains on Thursday evening, supported by strength in soyoil markets, favourable export numbers and end of year production concerns. There are

Tujuan yang ingin dicapai dalam praktikum ini adalah mahasiswa dapat.. menilai kualitas

Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap objek

Salam sejahtera, puji syukur kepada Tuhan yang telah memberikan banyak kenikmatan salah satunya kemudahan, sehingga saat ini penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengisolasi bakteri yang bersimbiosis dengan spons dan menentukan karakteristik morfologi serta sifat Gram dari isolat

Hal yang menjadi referensi penulis dalam skripsi ini adalah skrips ini membahas tentang pengaruh komunikasi persuasif Personal Sales terhadap keputusan pembelian