• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

P

enyakit jantung bawaan (PJB) merupakan penyebab tersering kelainan kongenital mayor dengan jumlah mencapai 28% dari seluruh kelainan kongenital dan diperkirakan terdapat 1,35 juta penderita PJB baru setiap tahunnya sehingga masih merupakan masalah kesehatan

Perbedaan Kadar Malondialdehid Serum antara

Anak dengan Penyakit Jantung Bawaan Sianotik

dan Nonsianotik

Wiwin Winiar, Sri Endah Rahayuningsih, Cissy Sudjana Prawira

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Latar belakang. Penyakit jantung bawaan (PJB) masih merupakan masalah kesehatan global. Reperfusi, iskemia, dan hipoksemia kronik yang terjadi pada PJB memicu terjadi stres oksidatif. Malondialdehid telah lama digunakan sebagai penanda stres oksidatif.

Tujuan. Melihat perbedaan kadar malondialdehid serum antara anak yang menderita PJB sianotik dan nonsianotik.

Metode. Penelitian analitik komparatif potong lintang dilakukan pada Juni–Desember 2012 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung terhadap 20 penderita PJB sianotik dan 20 nonsianotik berusia 1 bulan−18 tahun. Kadar malondialdehid serum diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay. Perbedaan kadar malondialdehid serum antara kedua kelompok dianalisis dengan uji t tidak berpasangan dan perbedaan bermakna apabila p<0,05.

Hasil. Malondialdehid serum rerata pada kelompok sianotik dan nonsianotik berturut-turut 3,545 pmol/ mg (interval kepercayaan (IK95%: 3,238−3,853) dan 3,875 pmol/mg (IK95%: 3,620−4,131); p=0,046. Perbedaan kadar malondialdehid serum tetap bermakna setelah disesuaikan dengan anemia (p=0,023), sedangkan setelah disesuaikan dengan saturasi oksigen dan hipertensi pulmonal menjadi tidak bermakna. Kesimpulan. Kadar malondialdehid serum penderita PJB sianotik lebih rendah dibandingkan dengan nonsianotik. Anemia dan hipoksemia meningkatkan kadar malondialdehid serum.

Sari Pediatri 2014;16(1):47-52.

Kata kunci: anak, malondialdehid, penyakit jantung bawaan

Alamat korespondensi:

Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr. SpA(K). Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin,Jl. Pasteur No. 38 Bandung 40163, Indonesia. No telepon: 022-2035957. E-mail: endah.

(2)

Bandung. Status gizi dinilai dengan berat menurut tinggi badan (BB/TB) berdasarkan kriteria World Health

Organization (WHO) child growth standard 2007 untuk

subjek berusia ≤5 tahun dan menggunakan indeks massa tubuh menurut usia (IMT/U) berdasarkan WHO

reference 2007 untuk subjek berusia >5 tahun.15 Anemia

ditegakkan berdasarkan kadar hemoglobin menurut usia (kriteria WHO).16 Hipertensi pulmonal ditegakkan

berdasar kan pemeriksaan ekokardiografi.

Malondialdehid serum diperiksa dengan metode

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Perbedaan

kadar MDA serum antara kedua kelompok dianalisis dengan uji t tidak berpasangan dengan nilai p<0,05 menunjukkan perbedaan bermakna. Analisis kovariat dilakukan untuk menyesuaikan pengaruh perancu terhadap perbedaan kadar MDA serum. Analisis data menggunakan program SPSS for windows versi 17.0. Penelitian mulai dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Hasil

Karakteristik subjek penelitian meliputi usia anak dan jenis kelamin tidak berbeda pada kedua kelompok (Tabel 1).

Diagnosis terbanyak ditemukan pada kelompok PJB sianotik adalah tetralogi Fallot (TF), sedangkan pada PJB nonsianotik adalah defek septum ventrikel (DSV) (Tabel 2).

Stres oksidatif dapat meningkat pada keadaan gizi kurang, hipoksemia, anemia, serta hipertensi pulmo-nal. Perbedaan status gizi, saturasi oksigen, anemia, serta hipertensi pulmonal tertera pada Tabel 3. global.1,2 Reperfusi, iskemia, dan hipoksemia yang

terjadi pada PJB meyebabkan pelepasan spesies oksigen reaktif (SOR) berlebihan sehingga terjadi stres oksidatif.3 Stres oksidatif terjadi sebagai akibat

ketidakseimbangan antara produksi SOR dan sistem pertahanan antioksidan.4 Malondialdehid (MDA)

merupakan penanda yang telah lama digunakan untuk menilai stres oksidatif.4,5 Beberapa keadaan yang dapat

meningkatkan stres oksidatif di antaranya anemia, hipoksia, gizi kurang, obesitas, hipertensi pulmonal, dan infeksi.3,6-9

Penyakit jantung bawaan berdasarkan manifestasi klinisnya dibagi menjadi PJB sianotik dan non-sianotik.10,11 Pada penderita PJB sianotik, terjadi

hipoksia kronik yang menyebabkan penurunan ka-pasitas antioksidan.3,7 Pada penderita PJB nonsianotik

terjadi peningkatan aliran darah ke paru-paru yang menyebabkan hipertensi pulmonal, sedangkan aliran darah sistemik justru sebaliknya.3,12-14

Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan stres oksidatif antara anak yang menderita PJB sianotik dan nonsianotik melalui pengukuran kadar malondialdehid serum.

Metode

Penelitian analitik komparatif dengan rancangan potong lintang dilakukan di poliklinik anak Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Kriteria inklusi sampel penelitian yaitu anak berusia 1 bulan sampai 18 tahun yang telah diketahui menderita penyakit jantung bawaan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, röntgen toraks, elektrokardiografi, ekokardiografi, dan orangtua menyetujui anaknya diikutsertakan dalam penelitian. Penderita PJB dengan kondisi yang menyebabkan peningkatan stres oksidatif seperti obesitas, lahir prematur, infeksi akut maupun kronik, serta sindrom kongenital dieksklusikan dari penelitian ini. Gizi kurang dan anemia dimasukkan ke dalam faktor perancu penelitian. Penderita selanjutnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok PJB sianotik dan nonsianotik berdasarkan manifestasi klinisnya.

Berdasarkan tingkat kepercayaan 95% dengan power

test 80% didapatkan besar sampel 20 untuk

masing-masing kelompok. Pengambilan sampel dilakukan secara berturut-turut pada penderita yang datang ke Poli Kardiologi Anak Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin

Tabel 1. Karakteristik umum subjek Karakteristik subjek PJB sianotik

(n=20) PJB nonsianotik (n=20) Usia (bulan) Rerata (SB) Median Rentang 58,6 (53,2) 35 1–169 55,6 (52,7) 59,5 1–168 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 13 7 6 14 Keterangan: n: jumlah sampel, SB: simpang baku

(3)

Tidak ditemukan perbedaan status gizi antara kedua kelompok (p=0,723). Status gizi sebagian besar penderita normal (Tabel 3). Sebenarnya, sebagian besar subjek telah mengalami gangguan pertumbuhan linier (stunted/severely stunted) yang menunjukkan ada gangguan gizi kronik.

Saturasi oksigen rerata pada PJB sianotik lebih rendah dibandingkan dengan PJB nonsianotik dengan nilai p<0,001. Keadaan anemia lebih banyak ditemukan pada kelompok PJB nonsianotik (p=0,043).

Hipertensi pulmonal hanya ditemukan pada kelompok PJB nonsianotik dengan nilai p<0,001 (Tabel 3).

Kadar MDA serum rerata PJB sianotik lebih rendah dibandingkan dengan nonsianotik dengan nilai p=0,046. Perbedaan kadar MDA antara kedua kelompok menjadi tidak bermakna setelah dilakukan penyesuaian terhadap saturasi oksigen dan hipertensi pulmonal. Perbedaan kadar MDA serum setelah disesuaikan terhadap anemia semakin bermakna (p=0,023) (Tabel 4).

Tabel 2. Diagnosis penyakit jantung bawaan

Jenis kelainan Sianotik (n=20) Nonsianotik(n=20)

Atresia pulmonal + DAP 1 0

Atresia trikuspid + DSV 1 0

DAP 0 5

DSA 0 4

DSV 0 11

Hypoplastic left heart syndrome 1 0

Stenosis pulmonal 2 0

Tetralogi Fallot 14 0

Transposition great arteries (TGA) +DSV 1 0

Keterangan: DAP: duktus arteriosus persisten, DSA: defek septum atrium, DSV: defek septum ventrikel

Tabel 3. Perbedaan status gizi, anemia, saturasi oksigen, dan hipertensi pulmonal antara kelompok PJB sianotik dan nonsianotik

Karakteristik subjek PJB sianotik (n=20) PJB nonsianotik (n=20) p Status gizi Normal Malnutrisi 14 6 15 5 0,723* Saturasi oksigen (%) Rerata (SB) 83,75 (4,459) 96,65 (2,059) <0,001** Rentang 72–90 92–99 Anemia Ya 1 7 0,043*** Tidak 19 13 Hipertensi pulmonal Ya 0 9 <0,001*** Tidak 20 11

(4)

Pembahasan

Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan kadar MDA serum antara kedua kelompok dengan hasil lebih ren dah pada kelompok penderita PJB sianotik dibandingkan dengan PJB nonsianotik. Hasil tersebut menunjukkan tingkat stres oksidatif penderita PJB sianotik lebih rendah dibandingkan dengan nonsianotik.

Penelitian Pirinccioglu dkk17 terhadap MDA

serum, protein carbonyl (PCO), reaktan fase akut, serta proinflamasi seperti interleukin (IL)-6 dan

tumor necrosis factor (TNF)-α pada 15 penderita PJB

sianotik, 28 PJB nonsianotik, serta 30 kontrol yang sehat menunjukkan kadar MDA serum penderita PJB sianotik lebih tinggi dibandingkan dengan nonsianotik. Penelitian Ercan dkk3 menunjukkan

kapasitas antioksidatif total, status oksidan total, serta indeks stres oksidatif secara signifikan lebih tinggi pada penderita PJB sianotik dibandingkan dengan nonsianotik. Hal tersebut disebabkan pada PJB sianotik hipoksia yang terjadi lebih berat sehingga terjadi pemakaian cadangan kapasitas antioksidan dan meningkatkan suseptibilitas terhadap stres oksidatif.3

Penelitian lain, Rokicki dkk,18 terhadap 41 neonatus

dan bayi berusia <1 tahun (14 subjek dengan pirau dari kiri ke kanan, 9 subjek dengan PJB sianotik, serta 18 subjek kontrol yang sehat) melalui pemeriksaan aktivitas enzim antioksidan dalam darah (superoksid dismutase, katalase, dan glutation peroksidase), kadar

antioksidan berberat molekul rendah, serta kadar MDA didapatkan hasil peningkatan kadar MDA pada kelompok PJB sianotik.

Setelah dilakukan analisis kovariat terhadap faktor yang dapat memengaruhi kadar MDA serum, perbedaan kadar MDA serum pada kedua kelompok semakin bermakna setelah disesuaikan dengan anemia. Malondialdehid serum rerata pada kelompok sianotik setelah disesuaikan semakin kecil karena pada kelompok PJB sianotik sebagian besar subjek justru mengalami hemokonsentrasi. Pada kelompok nonsianotik, MDA serum rerata semakin meningkat setelah disesuaikan dengan anemia karena 7 dari 20 subjek mengalami anemia. Keadaan anemia dapat meningkatkan stres oksidatif sehingga dianggap sebagai faktor perancu pada penelitian. Pada anemia defisiensi besi, terjadi penurunan kapasitas antioksidan total, sedangkan peroksida total justru meningkat, akibatnya terjadi peningkatan stres oksidatif.19 Penderita PJB

sianotik biasanya memiliki kadar hemoglobin normal, meskipun terjadi anemia dan ini menjadi distorsi keadaan sebenarnya karena alasan tersebut penentuan diagnosis anemia pada penderita PJB sianotik tidak dapat hanya menggunakan parameter hemoglobin.20

Saturasi oksigen pada kelompok PJB sianotik lebih rendah dibandingkan dengan PJB nonsianotik. Sianosis merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan warna kebiruan pada kulit dan mukosa sebagai akibat kadar hemoglobin tereduksi >5 g/100 mL dalam Tabel 4. Perbedaan kadar malondialdehid serum antara kelompok PJB sianotik dan nonsianotik sebelum dan sesudah disesuaikan

MDA (pmol/mg) PJB sianotik (n=20) PJB nonsianotik (n=20) p

Sebelum disesuaikan

Rerata (SB) 3,545 (0,658) 3,875 (0,547)

0,046*

IK 95% 3,238−3,853 3,620−4,131

Rentang 2,40–4,64 2,40–4,88

Setelah disesuaikan dengan saturasi oksigen

Rerata (SE) 3,555 (0,230) 3,866 (0,230) 0,461**

IK 95% 3,089−4,021 3,400−4,322

Setelah disesuaikan dengan anemia

Rerata (SE) 3,474 (0,136) 3,947 (0,136) 0,023**

IK 95% 3,199−3,750 3,671−4,222

Setelah disesuaikan dengan hipertensi pulmonal

Rerata (SE) 3,619 (0,139) 3,802 (0,139) 0,378**

IK 95% 3,338−3,900 3,521−4,083

(5)

vena kutaneus. Keadaan tersebut disebabkan oleh penurunan saturasi darah arteri. Pada PJB nonsianotik yang disertai hipertensi pulmonal berat, juga dapat ditemukansianosis.11 Keadaan hipoksia menyebabkan

peningkatan konsumsi antioksidan sehingga akan menyebabkan stres oksidatif.3 Perbedaan kadar

MDA serum kedua kelompok tidak berbeda setelah disesuaikan terhadap saturasi oksigen. Malondialdehid serum rerata kelompok PJB sianotik setelah disesuaikan dengan saturasi oksigen semakin meningkat karena hipoksemia yang terjadi lebih berat, ditandai dengan saturasi oksigen rerata jauh lebih rendah dibandingkan dengan PJB nonsianotik, sedangkan pada kelompok PJB nonsianotik MDA serum rerata lebih rendah sete-lah disesuaikan dengan saturasi oksigen. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan saturasi oksigen berpengaruh pada kadar MDA serum.

Hipertensi pulmonal terjadi sebagai akibat peningkatan aliran darah ke paru-paru dan dapat ditemukan pada PJB sianotik dan PJB nonsianotik.11

Pada penelitian ini, hipertensi pulmonal hanya ditemukan pada kelompok PJB nonsianotik karena hampir seluruh diagnosis subjek PJB sianotik tidak memungkinkan terjadi peningkatan aliran darah ke paru-paru. Perbedaan kadar MDA serum setelah disesuaikan dengan hipertensi pulmonal tidak bermakna. Perbedaan kadar MDA menjadi tidak bermakna karena pada kelompok PJB sianotik meskipun tidak didapatkan hipertensi pulmonal, hipoksemia yang terjadi jauh lebih berat sehingga terjadi peningkatan kadar MDA serum.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan stres oksidatif pada penderita PJB sianotik lebih tinggi dibandingkan dengan nonsianotik. Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan penderita PJB nonsianotik yang datang ke RS Dr. Hasan Sadikin sebagian besar terdiagnosis pada usia anak lebih besar dan sebagian telah mengalami komplikasi akibat kelainan jantungnya. Hal tersebut berhubungan dengan minimnya sarana untuk deteksi dini PJB di sarana kesehatan, rendahnya tingkat pengetahuan tentang PJB, sebagian besar penderita berstatus sosioekonomi rendah sehingga penderita dibawa berobat setelah penyakit lanjut. Anemia menyebabkan kadar MDA serum pada kelompok PJB nonsianotik semakin meningkat.

Keterbatasan penelitian ini, yaitu tidak dilakukan klasifikasi berat ringannya penyakit sehingga tidak

dapat menilai pengaruh berat penyakit pada MDA, tidak menilai kadar MDA pada anak normal sebagai pembanding, serta tidak dilakukan analisis faktor eksogen yang memengaruhi kadar MDA serum, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Kesimpulan

Kadar MDA serum pada penderita PJB sianotik lebih rendah dibandingkan dengan PJB nonsianotik. Anemia dan hipoksemia meningkatkan kadar MDA serum.

Daftar pustaka

1. Dolk H, Loane M, Garne E. For the European Surveillance of Congenital Anomalies (EOROCAT) Working Group. Congenital heart defects in Europe: prevalence and perinatal mortality, 2000 to 2005. Circulation 2011;123:841–9.

2. Van der Linde D, Konings EEM, Slager MA, Witsenburg M, Helbing WA, Takkenberg JJM. Birth prevalence of congenital heart disease worldwide: a systemic review and meta-analysis. J Am College Cardiol 2011;8:2241–7. 3. Ercan S, Cakmak A, Kosecik M, Erel O. The oxidative

state of children with cyanotic and acyanotic congenital heart disease. Anadolu Kardiyol Derg 2009;9:486−90. 4. Preiser JC. Oxidative stress. J Parenteral Enteral Nutr

2012;36:147–54.

5. Rio DD, Stewart AJ, Pellegini N. A review of recent studies on malondialdehyde as toxic molecule and biological marker of oxidative stress. Nutr Metab Cardio Dis 2005;15:316−28.

6. Melarcode P, Krishnamoorthy, Prabu N, Mohan DM, Sabitha N, Janakarajan VN. Role of oxidative stress and antioxidants in children with IDA. Int J Collaborative Res Intern Med Public Health 2010;2:2−18.

7. Rogers SC, Said A, Corcuera D, McLaughlin D, Kell P, Doctor A. Hypoxia limits antioxidant capacity in red blood cells by altering glycolytic pathway dominance. Faseb J 2009;23:3159−70.

8. Bosnak M, Kelekçi S, Yel S, Koçyigit Y, Sen V, Ece A. Oxidative stress in marasmic children:relationships with leptin. Eur J Gen Med 2010;7:1−8.

9. Mohn A, Catino M, Capanna R, Giannini C, Marcovecchio M, Chiarelli F. Increased oxidative stress in prepubertal peverely obese children: effect of a dietary

(6)

restriction-weight loss program. J Clin Endocrinol Metab 2005;90:2653−8.

10. Bernstein D. Congenital heart disease. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Elsevier; 2007. h.1878−81.

11. Park MK, Troxler RG. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-4. New York: Mosby; 2008. 12. Silberbach M, Hannon D. Presentation of congenital

heart disease in the neonate and young infant. Pediatr Rev 2007;28:123−30.

13. Grobe AC, Benavidez E, Oishi P, Azakie A, Fineman JR, Black SM. Increased oxidative stress in lambs with increased pulmonary blood flow and pulmonary hypertension: role of NADPH oxidase and endothelial NO synthase. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2006;290:1069−77.

14. Van Loon RLE, Roofthooft MTR, Berger RMF. Pulmonary arterial hypertension in children with congenital heart disease. PVRI Rev 2009;1:203−7.

15. Grover Z, Ee L. Protein energy malnutrition. Pediatr Clin N Am 2009;56:1055–68.

16. WHO. Worldwide prevalence of anemia 1993−2005. Geneva:WHO;2008.

17. Pirinccioglu AG, Alyan O, Kizil G, Kangin M, Beyazit N. Evaluation of oxidative stress in children with congenital heart defects. Pediatr Intern 2012;54:94−8.

18. Rokicki W, Strzalkowski A, Klapcinska B, Danch A, Sobczak A. Antioxidant status in newborns and infants suffering from congenital heart defects. Wiad Lek 2003;56:337−40.

19. Aslan M, Horoz M, Çelik H. Evaluation of oxidative status in iron deficiency anemia through total antioxidant capacity measured using an automated method. Turk J Hematol 2011;28:42−6.

20. Amoozgar MS, Besharati A, Cheriki S. Undiagnosed anemia in pediatric patients with congenital heart diseases. Iran Cardiovasc Res J 2011;5:69–70.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik umum subjek Karakteristik subjek PJB sianotik
Tabel 3. Perbedaan status gizi, anemia, saturasi oksigen, dan hipertensi pulmonal antara kelompok  PJB sianotik dan nonsianotik

Referensi

Dokumen terkait

Ditemukan perbedaan berat badan yang signifikan antara PJB sianotik dan asianotik, dengan PJB sianotik memiliki berat badan yang

Kriteria inklusi adalah anak dengan defek septum ventrikel berumur 5 sampai dengan 14 tahun, belum menjalani operasi jantung, bisa melakukan spirometri, bersedia

Anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik didapatkan peningkatan rasio albumin kreatinin pada urin lebih banyak dibandingkan dengan anak penderita penyakit jantung bawaan

Anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik didapatkan peningkatan rasio albumin kreatinin pada urin lebih banyak dibandingkan dengan anak penderita penyakit jantung bawaan

Menurut penelitian Adhikarmika, sebagian besar orangtua dari anak dengan PJB tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang PJB itu sendiri, 10 padahal pemahaman yang baik

Penelitian RCT di India terhadap 609 anak usia 6-35 bulan (298 kelompok seng dan 311 kelompok plasebo), dengan pemberian suplementasi seng 10 mg selama 6 bulan, didapatkan

6 Hasil yang didapat dalam penelitian ini, kurang sesuai dengan teori yang menyebutkan pada anak PJB sianotik, berat badan dan tinggi badan akan terkena dampak yang sama besar

Penjelasan tentang pengambilan sampel darah bayi untuk skrining PJB (Penyakit Jantung Bawaan) dan tindakan yang harus dilakukan berdasarkan hasil