• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keyword: tolerance, news, code of ethic journalistic.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keyword: tolerance, news, code of ethic journalistic."

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

TOLERANSI DALAM BINGKAI PEMBERITAAN DAN BUDAYA POP

Fajar Kurniawan

Program Studi Penyiaran Akom BSI Jakarta

Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta-Timur fajar.fuw@bsi.ac.id

Abtract

Today’s society condition are really ironic. Although the era of reform, promising openness, freedom, prosperity, and anti-oppression is ongoing, but all that give rise to communal conflict, which is far from ex-pectation tolerance. All of the news that brought by press, whether in concious or not, could cause a big sepa-ration in society. News coverage about descrimination, oftenly made out of proposition, and nearly against the code of ethic journalistic, and the Ethics which been already made. The rules that being made, though it’s related to the code of ethic journalistic, also the P3-SPS that been brought by KPI, oftenly not being seen by the media. The variety of the violations are diverse, from the News room policy, the carelessness of writing, and the ignorance of the ethic code and the other rules like P3-SPS until to the competency of a journalist.

Keyword: tolerance, news, code of ethic journalistic.

Abstraksi

Kondisi masyarakat saat ini, sungguh ironis. Meski era reformasi, yang menjanjikan keterbukaan, kebebasan, kesejahteraan, dan anti penindasan sedang berlangsung namun semua itu menimbulakan konflik komunal, yang jauh dari harapan toleransi. Pemberitaan di layar kaca belakangan ini, sadar atau tidak, dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Pemberitaan yang terkait dengan suku agama ras antar golon-gan (SARA), sering dimunculkan tidak proposional, dan cenderung melanggar kode etik jurnalistik dan etika yang sudah ada. Peraturan yang dibuatpun, apakah itu terkait kode etik jurnalistik, maupun program perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3-SPS) yang dikeluarkan KPI, sering diangap angin lalu oleh media. Pelangaran itu beragam, dari kebijakan redaksi, kecerobohan penulisan, ketidaktahuan tentang kode etik dan peratuan lain seperti hingga mengarah kepada kompetensi yang dimiliki seorang jurnalis.

Kata kunci: toleransi, pemberitaan, kode etik jurnalistik. I. PENDAHULUAN

Hampir genap sudah 15 tahun masyarakat di nusantara mencicipi era reformasi. Sebuah era yang menjanjikan keterbukaan, kebebasan, kesejahteraan, dan anti penindasan. Sebagai upaya mewujudkan semangat reformasi, distribusi wewenang menjadi bagian yang tak terelakan. Inilah yang kita kenal se-bagai otonomi daerah. Ironisnya saat keran kekuasaan dibuka, konflik komunal semakin sering kita lihat di layar kaca. Hasil riset SETARA Institute soal intol-eransi keberagamaan selama beberapa tahun terakhir ternyata sangat meresahkan.

Media massa cetak dan elektronik seakan berlomba untuk menyuguhkan potret tersebut da-lam bingkai berita. Anggapan bahwa perbedaan itu indah dan tidak harus dipermasalahkan, tampaknya harus ditinjau ulang. Setelah runtuhnya rezim orde baru, perbedaan yang terjadi dalam masyarakat In-donesia saat ini sudah diluar ambang batas toleransi.

Secara konsep, sebagai mahluk sosial, manu-sia selalu berhubungan dengan individu dan kelompok lain. Dalam kehidupan sosial, manusia cenderung un-tuk berkelompok dengan manusia lain yang memiliki kesamaan dengannya.

Persamaan disini dapat berupa latar belakang, kesamaan visi dan misi, atau kesamaan lain yang inti-nya bisa membuat manusia lebih inti-nyaman untuk ber-interaksi satu dengan lainnya. Disisi lain dorongan ini juga menimbulkan kesadaran tentang perbedaan terhadap orang-orang yang dianggap tidak memiliki kesamaan dari dirinya. Orang-orang ini disebut the other atau liyan.

Menurut Huber Cancik dan Hildegard Can-cik-Lindermaier dalam Frietche (1996), toleransi berasal dari bahasa Latin tolerantia-digunakan per-tama kali pada tahun 46 SM oleh Marcus Tulius Cicero-yang berarti kemampuan manusia menang-gung keadaan, hal, dan halangan yang biasa dia-laminya dalam hidup. Lebih lanjut kata tolerantia

(2)

dapat juga diartikan sebagai “menyokong” atau mem-buat sesuatu menjadi dapat ditanggung (A.Wierlacher, 1996). Namun arti kata toleran itu banyak mengalami perubahan setelah banyaknya peperangan dalam se-jarah Eropa, sehingga semakin berkaitan erat dengan masalah sosial-politik.Selain itu toleransi juga didefi-nisikan oleh Iring Fletscher sebagai pengakuan ter-hadap orang lain dalam perbedaannya. Menurutnya, pengakuan ini cukup berupa sikap menghormati dan memandang sederajat. Seseorang tidak perlu sampai mengikuti gaya hidup, kebudayaan dan kepercayaan liyan.

“Ich möte allerdings zum vollen Begriff von Toleranz die Annerkenung der Legitimität des An-deren in seiner Andersartigkeit hinzuzähen. Annerke-nung verlangt ja nicht die Übernahme des Glaubens, der Lebensfrom, kulturellen Eigenart des Anderen, sondern nur ihre Respektierung als gleichberechtigt

(K.Peter Fritzsche, 1996).

Toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama dapat diartikan sebagai sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelom-pok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama dimana penganut mayori-tas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga diguna-kan dengan menggunadiguna-kan definisi “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain.

Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum liberal maupun konservatif. Jadi toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, un-tuk menghormati dan menghargai manusia yang be-ragama lain.

Dalam www.vivanews.com dituliskan seba-gai berikut: “Makin meluasnya intoleransi beragama menjadi rapor merah bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Kasus intoleransi yang berujung pada kekerasan ini terjadi sebanyak 64 ka-sus di tahun 2012. Intoleransi ini juga didukung den-gan tidak adanya hukuman yang setimpal bagi pelaku. Kasus ini paling banyak menimpa kelompok Kristen dan Katolik. Berdasarkan data dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) setidaknya ada 22 gereja yang ditutup dan disegel pemerintah, sep-erti yang dialami oleh jemaat HBKP Filadelfia dan jemaat GKI Yasmin yang tidak bisa beribadat karena dilempari telur busuk dan air comberan. Kelompok Ahmadiyah pun tidak luput dari para intoleran. Selain itu, ada 12 peristiwa khusus yang ditujukan kepada

kelompok yang dicap penganut aliran sesat, seperti perusakan tempat ibadah dan larangan melakukan ibadah.”

Secara terminologi, toleransi adalah sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, mem-bolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, keper-cayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi juga diartikan sebagai suatu sikap penerimaan yang simpati terhadap perbedaan pandangan/sikap. To-leransi (tasamuh) adalah modal utama dalam meng-hadapi keragaman dan perbedaan (yanawwu'iyyah). Toleransi bisa bermakna penerimaan kebebasan be-ragama dan perlindungan undang-undang bagi hak asasi manusia dan warga negara. Toleransi adalah sesuatu yang mustahil untuk dipikirkan dari segi ke-jiwaan dan intelektual dalam hegemoni sistem-sistem teologi yang saling bersikap ekslusif.

Menurut Said Agil Husein al-Munawwar (2004), salah satu agenda besar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga Negara dan umat beragama. Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan kearah tersebut adalah masalah kerukunan nasional, termasuk di da-lamnya hubungan antar agama dan kerukunan hidup umat beragama.

Akhir-akhir ini, nilai-nilai kerukunan yang dijaga dengan baik oleh masyarakat mulai terkikis, mengalami degradasi, semboyan bhineka tunggal ika sudah mulai luntur dalam pemahaman dan penga-malan masyrakat. Ini bisa dilihat berbagai konflik yang terjadi diberbagai daerah seperti kasus Poso, Ambon, Sampang yang mengatasnamakan agama atau kondisi sosial yang berlindung dibalik simbol agama. Konflik-konflik yang mengatas namakan agama ini bahkan menimbulkan terjadinya disinte-grasi (perpecahan) bangsa.

Voltaire menerangkan bahwa yang dimaksud dengan toleransi adalah hukum alam yang sudah ter-tera dalam hati setiap manusia, seseorang yang tidak bertoleransi bukanlah seseorang yang mengungkap-kan perasaannya yang sepenuhnya untuk menjadi marah kepada permusuhan atau pertentangan itu benar merupakan sebuah tanda kelemahan. Tentu saja ada banyak orang yang tidak mengakui prinsip toleransi sebagai suatu hal yang abadi, karena dalam kondisi-kondisi yang beragam godaan balas dendam menjadi sangat kuat (Kartasapoetra dan Harini, 1992).

Jika dilihat kecenderungan yang ter-jadi saat ini di Indonesia, bukan tidak mung-kin disintegrasi terjadi. Indikasi yang muncul ini disebabkan faktor yang sangat kompleks.

(3)

Masalah ketidakadilan di bidang ekonomi, politik, sosial, agama, budaya, ikatan primordial dan lain sebagainya. Puncak dari semua kompleksitas permasalah yang terjadi di Indonesia, beberapa tahun belakang ini muncul kerusuhan diberbagai tempat diwilayah Indonesia, kerusuhan yang menimbuk-kan korban harta benda dan jiwa, yang tidak kalah pentingnya adalah rusaknya harmonisasi kehidupan masyarakat yang telah terbentuk sekian lama.

Kasus Ahmadiyah, kasus Syiah di Sampang merupakan contoh ketidakharmonisan yang terjadi. Identitas keberagaman di Indonesia terus diuji den-gan beragam tindakan diskriminasi. Selama 14 tahun setelah reformasi, berdasarkan data yang didapat dari Yayasan Denny JA, setidaknya 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi terjadi di Indonesia (www.kompas. com).

Toleransi lebih sering dibicarakan dalam neg-ara majemuk karena terdapat perbedaan suku bang-sa, ras, dan agama yang merupakan bentuk perbe-daan paling umum yang berkaitan dengan toleransi. Masalah toleransi juga dapat terjadi karena adanya perbedaan kelas sosial, haluan politik, dan lain seba-gainya. Masalah toleransi juga tidak hanya dialami orang-orang dewasa. Anak kecil dan remajapun bisa mengalaminya. Karena tingkat kematangan yang ren-dah, justeru remaja dan anak-anak cenderung lebih banyak mengalami masalah toleransi (www.kksp. or.id).

Berdasarkan catatan Pusat Pendidikan dan Hak Anak (KKSP), kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah, menjadi salah satu catatan bu-ruk penegakan hak anak di Sumatera Utara sepanjang tahun 2011 awal. Hal ini tidak bisa terus dibiarkan, melainkan harus diambil langkah untuk mereduksin-ya. Yayasan KKSP (Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak mencatat setidaknya ada sekitar 50 orang anak yang mengalami kekerasan di lingkungan pen-didikan dan sekolah. Angka ini masih yang muncul di permukaan saja. Diperkirakan, kasus-kasus lainnya masih banyak terjadi yang tidak terpantau dan tidak dilapokan.

Sebelum menganalisis dan mengaitkannya dengan pemberitaan yang saat ini banyak menyoro-ti soal perbedaan yang disuguhkan secara drama-tis terutama di televisi-televisi atau layar kaca, ada baiknya kita melihat pemberitaan dalam konteks memberitakan peristiwa yang terkait dengan bentuk-bentuk diskriminasi serta intoleransi. Karena da-lam sebuah organisasi media, terdapat campur tan-gan redaksi dalam membingkai peristiwa. memag tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembingkaian ini seringali menimbulkan masalah pada isi berita.

II. PEMBAHASAN 2.1. Pemberitaan Isu SARA

Pemberitaan di www.metrotvnews.com, se-harusnya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menyelesaikannya. Dalam pemberitaan itu dituliskan bahwa di Indonesia kekerasan berdasarkan agama dan atau kepercayaan jumlahnya meningkat. Menurut Human Rights Working Group (HRWG) da-lam kurun waktu 2011-2013 jumlah tindak kekeras-an berdasarkkekeras-an agama dkekeras-an kepercayakekeras-an meningkat. HRWG kemudian menuliskan surat terbuka kepada pelapor khusus (special rapporteur) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait meningkatnya kekeras-an berdasarkkekeras-an agama atau kepercayakekeras-an di Indone-sia.

Human Rights Working Group (HRWG) ada-lah Koalisi LSM untuk Advokasi Hak Asasi Manusia Internasional didirikan oleh mayoritas aktivis LSM yang bekerja dalam isu-isu yang berbeda mempunyai pandangan yang sama terhadap hak asasi manusia untuk melayani kebutuhan advokasi dengan tujuan mendesak kepada pemerintah suatu negara, untuk melaksanakan kewajiban internasional dan konstitu-sional untuk melindungi, memenuhi, menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia di negara itu.

Dalam www.bbc.co.uk edisi bahasa Indone-sia, dituliskan sebagai berikut: Hasil pantauan kasus Intoleransi tahun 2012 yang dikeluarkan Setara men-catat terdapat 264 peristiwa dan 371 tindakan. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2011, yang tercatat 244 peristiwa dan 299 tindakan. Dari 371 tin-dakan sepanjang tahun ini, Setara mencatat 145 kasus (39%) dilakukan oleh negara berupa tindakan aktif (117) dan pembiaran (28). Kepolisian masih masuk dalam daftar aktor negara yang masih melakukan pe-langgaran terbanyak diikuti pemerintah kabupaten, kota, kementerian agama dan camat. Sementara Ak-tor non negara yang melakukan kekerasan beragama meliputi warga, MUI, FPI, gabungan ormas dan in-stitusi pendidikan. Sementara 61% dari tindakan pe-langgaran kebebasan beragama dilakukan oleh aktor non negara.

Soal intoleransi, dalam pemberitaan di layar kaca, media televisi dengan gamblang, sang-kil dan mangkus menyuguhkan pemberitaan intol-eran itu dengan gambar-gambar yang disadari atau tidak dapat mempengaruhi pemirsa dalam menen-tukan pilihan hingga kepada sikap. Dalam peng-gambaran itu, jurnalisme televisi pada umumnya lebih menyuguhkan gambar yang dramatis, gambar

(4)

kekerasan seperti terjadinya bentrokan, pembakaran yang harusnya bisa dinilai apakah pemberitaan itu sudah sesuai dengan etika jurnalistik atau belum. Terlebih lagi pasca rezim Soeharto runtuh, dan era reformasi bergulir, ada lembaga yang mengawasi persoalan etis tidak etis tayangan dan pemberitaan di layar kaca. Lembaga dimaksud adalah Komisi Penyi-aran Indonesia (KPI). Lembaga ini lahir atas amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi).

Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil serta staf profesional non PNS. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentin-gan masyarakat akan penyiaran harus mengembang-kan program-program kerja hingga akhir kerja dengan selalu memperhatikan tujuan yang diamanatkan Un-dang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3: "Penyiar-an diselenggarak"Penyiar-an deng"Penyiar-an tuju"Penyiar-an untuk memperku-kuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia."

Organisasi KPI terbagi menjadi tiga bidang, yaitu bidang kelembagaan, struktur penyiaran dan pengawasan isi siaran. Bidang kelembagaan menan-gani persoalan hubungan antar kelembagaan KPI, koordinasi KPID serta pengembangan kelembagaan KPI. Bidang struktur penyiaran bertugas menangani perizinan, industri dan bisnis penyiaran. Sedangkan bidang pengawasan isi siaran menangani pemantauan isi siaran, pengaduan masyarakat, advokasi dan litera-si media. Mekanisme pembentukan KPI dan rekrut-men anggota yang diatur oleh Undang-undang nomor 32 tahun 2002 akan menjamin bahwa pengaturan sistem penyiaran di Indonesia akan dikelola secara partisipatif, transparan, akuntabel sehingga menjamin independensi KPI.

Kasus Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten pada 6 Februari 2011, merupakan sebuah pe-mentasan dalam dunia layar kaca di tanah air. Insiden itu, bagi hampir seluruh media televisi, menjadi menu andalan. Apapun alasannya, yang jelas perilaku kek-erasan, kekejaman yang jelas melanggar Etika Jurnal-istik, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Pro-gram Siaran yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Dalam kode etik yang dikeluarkan Ikatan Jur-nalis Televisi Indonesia (IJTI), dalam Bab III men-genai cara pemberitaan dijelaskan secara rinci dalam

Pasal 5 yang berbunyi, dalam menayangkan sumber dan bahan berita secara akurat, jujur dan berimbang, Jurnalis Televisi Indonesia:

a. Selalu mengevaluasi informasi semata-mata dasarkan kelayakan berita, menolak sensasi, ber-ita menyesatkan, memutar balikkan fakta, fitnah, cabul dan sadis.

b. Tidak menayangkan materi gambar maupun su-ara yang menyesatkan pemirsa.

c. Tidak merekayasa peristiwa, gambar maupun su-ara untuk dijadikan berita.

d. Menghindari berita yang memungkinkan ben-turan yang berkaitan dengan masalah SARA. e. Menyatakan secara jelas berita-berita yang

bersi-fat fakta, analisis, komentar dan opini.

f. Tidak mencampur-adukkan antara berita dengan advertorial.

g. Mencabut atau meralat pada kesempatan pertama setiap pemberitaan yang tidak akurat dan mem-berikan kesempatan hak jawab secara proorsion-al bagi pihak yang dirugikan.

h. Menyajikan berita dengan menggunakan bahasa dan gambar yang santun dan patut, serta tidak melecehkan nilai-nilai kemanusiaan.

i. Menghormati embargo dan off the record.

Sementara dalam program perilaku penyiaran dan standar program soaran (P3-SPS) yang merupakan produk dari KPI jelas dituliskan dalam isi pedoman perilaku dan penyiaran di Bab III, bahwa siaran dan pemberitaan televisi haruslah menghormati suku, agama, ras, antar golongan. Sehingga dapat ditarik benang merah, bahwa suguhan di pada layar kaca, yang mengetengahkan kasus-kasus SARA termasuk isu intoleransi belakangan ini lebih menjual kekerasan dibandingkan dengan konteks penghargaan terhadap perbedaan dan juga pembelajaran.

2.2. Budaya Pop di Indonesia

Dalam budaya pop yang bagi sebagian orang dianggap tak penting, mungkin perlu disinggung terkait tulisan ini. Mendefinisikan “budaya” dan “populer”, yang pada dasarnya adalah konsep yang masih diperdebatkan, sangat rumit. Definisi itu bersa-ing dengan berbagai definisi budaya populer itu sen-diri. John Storey, dalam cultural theory and popular culture, membahas enam definisi. Definisi kuantitatif, suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya “luhur” (Misalnya: festival-festival kesenian daerah) jauh lebih disukai.

“Budaya pop juga didefinisikan sebagai se-suatu yang “diabaikan” saat kita telah memutuskan yang disebut “budaya luhur”. Namun, banyak karya

(5)

yang melompati atau melanggar batas-batas ini mis-alnya Shakespeare, Dickens, Puccini-Verdi-Pavarotti-Nessun Dorma. Storey menekankan pada kekuatan dan relasi yang menopang perbedaan-perbedaan tersebut seperti misalnya sistem pendidikan.

Definisi ketiga menyamakan budaya pop den-gan Budaya Massa. Hal ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa. Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat diang-gap sebagai budaya Amerika atau, "budaya pop" dap-at didefinisikan sebagai budaya "otentik" masyarakdap-at. Namun, definisi ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan "masyarakat". Storey berpenda-pat bahwa ada dimensi politik pada budaya populer; teori neo-Gramscian "…melihat budaya pop sebagai tempat perjuangan antara 'resistansi' dari kelompok subordinat dalam masyarakat dan kekuatan 'persatu-an' yang beroperasi dalam kepentingan kelompok-kel-ompok dominan dalam masyarakat." Suatu pendeka-tan postmodernism pada budaya populer "tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya luhur dan budaya populer."

Storey menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi "bu-daya massa". Penelitian terhadap Shakespeare (oleh Weimann atau Barber Bristol, misalnya) menemu-kan banyak vitalitas karakteristik pada drama-drama Shakespeare dalam partisipasinya terhadap budaya populer Renaissance. Sedangkan, praktisi kontem-porer, misalnya Dario Fo dan John McGrath, meng-gunakan budaya populer dalam rasa Gramscian yang meliputi tradisi masyarakat kebanyakan.

Budaya Pop selalu berubah dan muncul se-cara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependen mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misal-nya, beberapa arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu subkultur, yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop mainstream begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat. Dalam konteks kekinian, penulis menilai bahwa budaya pop tidak ada salahnya untuk diterapkan dalam pemberitaan yang menyangkut intoleransi di Indoensia. Kita bisa memulainya untuk menu-liskan persoalan-persoalan SARA dan intoleransi tidak selalu menyuguhkan penderitaan, chaos dan air mata, meskipun hal itu mungkin didasari atas kebutuhan bisnis. Sudah saatnya para jurnalis baik

itu cetak maupun elektronika merubah jurnalistik konflik itu dengan yang humanis, mungkin bisa diar-tikan mengemasnya dalam konteks jurnalisme damai. Terkait dengan kode etik jurnlistik dan juga rambu penyiaran yang dikeluarkan oleh KPI melalui P3-SPSnya, sudah saatnya para jurnlis memperhatikan dan menjalankannya. Karena dengan memperhatikan dan menerapkan kode etik jurnalistik dan juga P3-SPS maka kompetensi seorag jurnalis akan terukur. Jika hal itu sudah terwujud, maka pengertian toleransi seperti yang diutarakan A.Wierlacher dan K.Peter Fritzsche dan juga pendapat lainnya bisa diartikan secara harafiah dengan tidak meninggalkan sedikitpun pemahaman tentang perbedaan. Penulis berpendapat, dengan memaknai perbedaan itu, maka akan terjadi penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia, yang lebih jauh bisa dibingkai dengan keberagaman dan kesatuan. Untuk seorang jurnalis, maka pemberitaan yang sesuai dengan etika dan juga menerapkan ram-bu-rambu yang ada akan menjauhkan pemberitaan dari fitnah yang dapat menyulut perpecahan.

III. PENUTUP

Kebanyakan dari pelaku media tidak mengin-dahkan pedoman perilaku penyiaran (P3) dan standar program siaran (SPS) serta etika penyiaran. Pemberi-taan media massa, khususnya televisi yang menyang-kut kasus SARA di Indonesia masih kerap bersikap intoleransi. Hal ini mengambil peran signifikan ter-hadap pembentukan opini di kalangan masyarakat. Redaksi bukan lagi menjadi agen perubahan kearah positif namun malah menjadi pemicu konflik. Terlebih jurnalisme televisi yang pada umumnya menyuguh-kan gambar yang dramatis, gambar kekerasan sep-erti terjadinya bentrokan dan pembakaran. Gambar-gambar seperti ini justru malah menjadimemperkeruh suasana. Alih-alih ingin menampilkan gambar yang dramatis malah menjadai provokator di ruang publik. Sudah saatnya media menerapkan konsep bu-daya pop alam memberitakan peristiwa, dalam hal ini khususnya peristiwa yang bersifat SARA. Kar-ena budaya pop memiliki spektrum yan lebih luas di masyarakat. Sehingga gambar yang disuguhkan pada saat peristiwa konflik diubah menjadi gambar yang humanis.

DAFTAR PUSTAKA

Bbc.co.uk.(2012,Desember,17).Intoleransi di Indo-nesia http://www.bbc.co.uk/ indoIndo-nesia/beri- indonesia/beri-ta_indonesia/121217_intoleransi_indonesia. shtml. Diakses 12 Desember 2012

(6)

Kartasapoetra dan Hartini. 1992. Kamus Sosiologi-dan Kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara. Kksp.or.id.Diskriminasi terhadap anak.http://www.

kksp.or.id/berita-379-ka sus-kekerasan—dan diskriminasi-terhadap-anak-di-sekolah-men-jadi-catatan-buruk-pendidikan-di-sumut-2011. html. Diakses 23 Desember 2012

Kompas.com.Lima Kasus Intoleransi Terburuk Pas-ca Reformasi.http://nasional.kompas.com / ead/2012/12/23/15154962/Lima.Kasus.Dis-kriminasi.Terburuk.Pascareformasi. Diakses 23 Desember 2012.

Metrotvnews.com.(2013,Mei,01).HRWG Kirim Su-rat Terbuka ke PBB. http:// www.metrotvnews. com/metronews/read/150796/HRWG-Buat-Surat Terbu ka-ke-PBB-soal-Pening katan-Ak-si-Intoleran. Diakses 10 Januari 2013

Peter Fritzsche. 1996. Toleranz im Umbruch-Über die Schwierigkeit, tolerant zu sein”, Kulturthema Toleranz zur Grundlegung einen Interdisziplin-aren und interkulturellen Toleranzforschung, München, ed.A, Wierlacher. .

Said Agil Husein Al-Munawwa. 2000, Fiqh Hubu-ngan antar Agama. Jakarta. Ciputat Press. Viva.co.id.KasusIntoleransi http://nasional.news.

viva.co.id/news/read/380872-64-kasus intol-eransi-beragama-tercatat-di-2012. Diakses 9 Januari 2013.

Wierlacher. 1996. Aktive Toleranz, Kulturthema Toleranz zur Grund legung einen Inter-disziplinaren und interkulturellen Toler-anz forschung. München. ed. A. Wierlacher.

Referensi

Dokumen terkait

Studi membahas penyebab dari genangan yang terjadi di daerah tersebut yang disebabkan kurang mampunya saluran drainase dalam menampung debit dan kurang optimalnya

Beban kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat perawat untuk meninggalkan pekerjaan, kepuasan dan keseimbangan kehidupan kerja memediasi hubungan kerja yang dirasakan

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi jenis, kerapatan, keanekaragaman, dan pola sebaran lamun (seagrass) yang terdapat di perairan Teluk Tomini

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang kami ikuti berada di SMP NEGERI 34 SEMARANG, di tempat latihan mahasiswa praktikan mendapatkan kesempatan untuk praktik

jagung keju. Jenis penelitian ini adalah eksperimen. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dengan uji organoleptik oleh 30 orang panelis. Analisis data

Beberapa hal yang perlu menjadi catatan dan perhatian yang merupakan bagian dari hambatan lainnya dalam melakukan penetrasi pasar dan kontak bisnis dengan pelaku usaha di Brasil

Berdasarkan hasil analisa dan pengolahan data kuesioner disimpulkan bahwa untuk kegiatan ekspor terdapat dua faktor yang menurut responden menjadi