• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sindroma Anafilaktoid pada Kehamilan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sindroma Anafilaktoid pada Kehamilan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Sindroma Anafilaktoid pada Kehamilan

Sony Hidayat, Ery Leksana

Bagian/ SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UNDIP/ RS Dr. Kariadi Semarang

PENDAHULUAN

Anaphylactoid syndrome of pregnancy (ASOP), dahulu dikenal sebagai emboli air ketuban, adalah salah satu penyebab kematian ibu hamil. Sindroma ini belum banyak diketahui patofisiologinya dan terjadi secara tiba-tiba. Kasusnya terjadi antara 1 : 20.000 sampai 1 : 80.000 kelahiran. Bahkan hingga tahun 1950, hanya ada 17 kasus yang pernah dilaporkan. Sesudah tahun 1950, jumlah kasus

yang dilaporkan sedikit meningkat.

Emboli air ketuban merupakan masuknya cairan ketuban dan komponen-komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu. Komponen tersebut berupa unsur-unsur yang ada dalam air ketuban, misalnya lapisan kulit janin yang terlepas, rambut janin, lapisan lemak janin, dan musin atau cairan kental.

Emboli air ketuban umumnya terjadi pada kasus aborsi, terutama jika dilakukan setelah usia kehamilan 12 minggu. Bisa juga saat amniosentesis (tindakan diagnostik dengan cara mengambil sampel air ketuban melalui dinding perut). Ibu hamil yang mengalami trauma atau benturan berat juga berpeluang terancam emboli air ketuban. Namun, kasus Emboli air ketuban yang paling sering terjadi justru saat persalinan atau beberapa saat setelah ibu melahirkan (postpartum).

Baik persalinan normal atau sesar tidak ada yang dijamin 100% aman dari risiko emboli air ketuban, karena pada saat proses persalinan, banyak vena-vena yg terbuka, yang memungkinkan air ketuban masuk ke sirkulasi darah ibu.

Diagnosis emboli air ketuban didasarkan pada ditemukannya element fetus pada pembuluh darah paru atau pun pada paru-paru saat pemeriksaan otopsi. Kecurigaan pada emboli air ketuban makin meningkat bila ditemukan squamous

(2)

sel dan debris yang diperkirakan berasal dari fetus di vena atau arteri pulmonal ibu.

DEFINISI

Secara tradisional, ASOP merupakan masuknya cairan ketuban dan komponen-komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu. Komponen tersebut berupa unsur-unsur yang ada dalam air ketuban, misalnya lapisan kulit janin yang terlepas, rambut janin, lapisan lemak janin, dan musin. 1-4

Clark dan kawan-kawan melaporkan bahwa secara klinis, hemodinamik, hematologik, dan laboratorium, manifestasi emboli air ketuban menyerupai pasien-pasien dengan syok septik dan syok anafilaktik. Mereka mengusulkan istilah anaphylactoid syndrome of pregnancy yang menunjukkan bahwa tanda dan gejala yang timbul tidak sesuai dengan emboli, tetapi lebih menyerupai syok septik dan syok anafilaktik. 5

Sindroma ini dapat terjadi pada kasus aborsi, terutama jika dilakukan setelah usia kehamilan 12 minggu. Bisa juga saat amniosentesis (tindakan diagnostik dengan cara mengambil sampel air ketuban melalui dinding perut). Ibu hamil yang mengalami trauma atau benturan berat juga berpeluang terancam. Namun, yang paling sering terjadi justru saat persalinan atau beberapa saat setelah ibu melahirkan (postpartum). 1-3

Baik persalinan normal atau bedah sesar tidak ada jaminan 100% aman dari resiko ASOP, karena pada saat proses persalinan, banyak vena-vena yg terbuka, yang memungkinkan air ketuban masuk ke sirkulasi darah ibu. 1-3

Secara tradisional, diagnosis anaphylactoid syndrome of pregnancy didasarkan pada ditemukannya elemen fetus pada pembuluh darah paru atau pada paru-paru saat pemeriksaan otopsi. Kecurigaan meningkat bila ditemukan squamous sel dan debris yang diperkirakan berasal dari fetus di vena atau arteri pulmonal ibu. 1-3

(3)

FISIOLOGI AIR KETUBAN:

Di dalam ruang yang yang diliputi oleh selaput janin yang terdiri dari lapisan amnion dan korion terdapat liquor amnii (air ketuban). Air ketuban mempunyai karakteristik yang khas yaitu sabagai berikut : 3

 Volume berkisar 1000-1500 ml pada saat hamil cukup bulan  Berwarna putih

 Agak keruh

 Mempunyai bau yang khas agak amis dan manis

Cairan ini dengan berat jenis 1,008 terdiri atas 98 % air, sisanya terdiri atas garam anorganik serta bahan organik. Secara mikroskopis terdapat rambut lanugo (rambur halus berasal dari bayi), sel-sel epitel dan verniks kaseosa (lemak yang meliputi kulit bayi). Protein ditemukan rata-rata. 2,6 % per liter, sebagian besar albumin.2,3

Kadang-kadang pada partus warna air ketuban ini menjadi kehijau-hijauan karena tercampur mekonium. Berat jenis liquor menurun seiring dengan tuanya kehamilan (1.025-1.01). 3,4

Asal cairan ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori mengatakan bahwa air ketuban berasal dari lapisan amnion. Teori lain mengatakan kemungkinan dari plasenta. 3,4

Dalam satu jam didapatkan perputaran air ketuban lebih kurang 500 ml. Bayi menelan air ketuban yang kemudian dikeluarkan melalui urin. Prichard dan Sparr menyuntikan kromat radioaktif ke dalam air ketuban ini. Mereka menemukan bahwa janin menelan +8-10 cc air ketuban atau dari seluruh volume air dalam tiap jam. Apabila janin tidak menelan air ketuban ini misalnya pada janin dengan stenosis akan didapatkan keadaan hidramnion. Keadaan hidramnion ini terdapat pula pada anensefalus, spina bifida, korioangioma (tumor pembuluh darah plasenta). Potter juga mrngemukakan adanya hidramnion pada agenesis ginjal bawaan. 1,2

(4)

Air ketuban mempunyai beberapa fungsi yang vital bagi kelangsungan hidup fetus itu sendiri yaitu sebagai berikut : 3,4

 Melindungi janin terhadap trauma dari luar  Memungkinkan janin bergerak dengan bebas  Melindungi suhu tubuh janin

 Meratakan tekanan di dalam uterus pada partus, sehingga servik membuka

 Membersihkan jalan lahir (jika ketuban pecah, cairan yang steril mempengaruhi keadaan di dalam vagina, sehingga bayi kurang mengalami infeksi.

PENYEBAB DAN FAKTOR RISIKO

Anaphylactoid syndrome of pregnancy merupakan keadaan yang tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dicegah. Pada penelitian, 41% pasien dengan Anaphylactoid syndrome of pregnancy mempunyai riwayat alergi.1-3

Walaupun masih belum jelas penyebabnya, terdapat beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan insidensi. 1-4

 Multipara

 Adanya mekonium dalam air ketuban  Laserasi servik

 Intrauterine fetal death

 Frekuensi dan kontraksi uterus yang terlalu kuat  Sudden fetal expulsion

 Placenta akreta  Polihidramnion

(5)

 Ruptur uteri

 Riwayat alergi atau atopi pada ibu hamil  Koriamnionitis

 Makrosomia  Oxytocin  Berkulit hitam PATOFISIOLOGI

Patofisiologi ASOP masih belum dapat diterangkan. Namun ada teori yang meyebutkan bahwa air ketuban dan sel-sel fetus masuk ke dalam sirkulasi maternal yang memungkinkan terjadinya rangsasangan reaksi anafilaksis terhadap antigen fetus. Walaupun demikian, tidak selalu ditemukan material fetus dalam sirkulasi darah maternal yang mengalami ASOP. 1-5

Pada penelitian yang dilakukan pada biri-biri yang sedang hamil dilakukan injeksi cairan ketuban secara intravascular, ternyata efek system kardiorespirasi yang terjadi ketika cairan ketuban disuntikan secara intravascular adalah sebagai berikut : 4,5

 Hipotensi

 Penurunan Mean Arterial Pressure sebesar 40% diikuti oleh peningkatan Mean Pulmonar Arterial Pressure.

 Perubahan pada tekanan atrium kiri atau tekanan arteri pulmonal.  Penurunan kardiak output sebesar 40% disertai peningkatan tekanan

arteri pulmonal secara cepat.

 Perubahan dari kardiak output menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler paru sebesar dua sampai tiga kali lipat dan terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik sebesar dua sampai tiga kali lipat.

(6)

Sementara itu pada penelitian yang dilakukan pada monyet dengan memberikan injeksi cairan intravaskuler tidak memberikan efek pada kardiovaskuler seperti yang terjadi pada penelitian biri-biri dan manusia. 2

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Benson dan kawan-kawan patofisiologi dari emboli air ketuban dapat diterangkan sebagai berikut : 4

1. Gejala klinis merupakan hasil dari degranulasi mast sel yang menyebabkan pelepasan histamine dan triptase.

2. Gejala klinis timbul akibat aktivasi dari jalur komplemen.

Dari penelitian, sembilan wanita hamil dengan ASOP dibandingkan dengan wanita persalinan normal. Penelitian dilakukan dengan pengambilan serum dan urin pasien ASOP. 4

Hasilnya ternyata enam dari sembilan pasien dengan ASOP meninggal dan sembilan pasien tersebut membutuhkan transfusi darah untuk penanganan DIC. Tujuh wanita dengan ASOP tidak terbukti adanya degranulasi dari sel mast (baik histamine dalam urin maupun triptase dalam serum). 4

Jika dibandingkan dengan kontrol, level komplemen pada wanita dengan ASOP terdapat penurunan yang cukup besar. Data ini mengarahkan bahwa aktivasi dari komplemen berperan penting dalam patofisiologi terjadinya emboli air ketuban. 4

Farrar dan Gherman melaporkan kasus wanita berumur 40 tahun, multipara, dengan persalinan aktif yang mendapat serangan akut eritema di daerah muka disertai kejang, hipoksia, kardiak arrest, DIC dan akhirnya meninggal. Ternyata pada pemeriksaan otopsi ditemukan sel squama fetus dan fibrin trombi di dalam cabang paru-paru. Pemeriksaan darah 2 jam setelah gejala terdapat serum triptase sebesar 4,7 ng/ml (normal < 1 ng/ml).3

Markus dan kawan-kawan juga melaporkan, pada pasien dengan ASOP yang terjadi akibat rupture membrane spontan, tidak didapatkan peningkatan dari mast sell ataupun degranulasi dari mas sel pada jaringan paru.6

(7)

Walaupun patofisiologi terjadinya ASOP masih sangat sulit untuk diterangkan. Namun apabila cairan amnion dan debris ataupun subtansi yang tidak teridentifikasi masuk melalui sirkulasi maternal saat persalinan ataupun prosedur lainnya, tetap saja dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya reaksi anafilaktik, pengaktifan jalur komplemen atau kedua-duanya. Progresivitas penyakit terjadi dalam dua fase. Fase pertama, terjadi vasospasme arteri pulmonal dengan hipertensi pulmonal dan peningkatan tekanan ventrikel kanan yang disebabkan hipoksia. Hipoksia menyebabkan kerusakan miokard, kerusakan kapiler pulmonal, gagal jantung kiri dan sindroma distress respirasi akut. Pasien yang dapat bertahan dapat mencapai fase dua atau fase hemoragik, pada fase ini terjadi perdarahan masif dengan atoni uteri dan DIC. 1,2,7

Kesamaan karakteristik dari kerusakan hemodinamik yang disebabkan ASOP, anafilaktik dan septik syok, memberikan informasi penting dalam penelitian tentang teori cairan amnion yang dapat menyebabkan pengeluaran mediator endogen primer dan sekunder (metabolit asam arakhidonat). Karena kesamaan karakteristik ini pulalah yang memungkinkan koagulopati pada kasus emboli air ketuban. 1,2,7

Selain itu pada penelitian ASOP dengan pemberian inhibitor sintesis leukotrien sebagai pencegahan untuk terjadinya kegagalan hemodinamik yang fatal, mendukung adanya mekanisme reaksi anafilaktik pada ASOP. Kadar triptase yang merupakan produk dari sel mast yang dikeluarkan bersamaan dengan histamine selama reaksi anafilaktik masih perlu penelitian lebih lanjut dalam kaitannya sebagai salah satu prekursor anafilaktik dalam kasus ASOP. Gejala-gejala yang timbul tidak bergantung pada jumlah cairan ataupun partikel dan zat yang masuk ke dalam vaskuler. 7

(8)

Gambar 1. Komponen cairan amnion4

GEJALA KLINIS

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya ASOP sering terjadi pada saat persalinan, abortus, setelah trauma abdomen dan ketika dilakukan pemeriksaan amniosintesis. Wanita dengan persalinan tahap akhir yang terserang dispneu dengan hipotensi dan mungkin mempunyai riwayat kejang akan segera diikuti kardiak arrest. Setelah itu terjadi DIC diikuti dengan perdarahan hebat dan pasien meninggal. Banyak pasien meninggal dalam satu jam setelah onset. 1,2,7

Saat ini belum ada tes diagnosis yang pasti. Kriteria diagnosis yang direkomendasikan Amniotic Fluid Embolus Registry adalah : 1,2,3,7

(9)

 Hipotensi akut atau henti jantung  Hipoksia akut

 Koagulopati atau perdarahan berat tanpa adanya penyebab lain

 Semuanya itu berlangsung saat persalinan, bedah sesar, atau terjadi 30 menit setelah partus tanpa ditemukan penyebab lain.

Beberapa gejala yang mungkin dapat ditemukan pada pasien penderita ASOP adalah sebagai berikut : 1, 2, 7

 Hipotensi berat, beberapa pasien diastolik tidak terukur.  Dispneu, kadang takipnea.

 Kejang. Kejang tonik klonik terlihat pada 50% kasus.  Batuk, merupakan manifestasi dari dispnea.

 Sianosis, akibat hipoksia atau hipoksemia.

 Bradikardi janin, merupakan respon dari keadaan hipoksia. Denyut jantung fetus bisa turun hingga kurang dari 110 kali per menit

 Edema paru, terlihat saat pemeriksaan x-foto toraks.  Kardiak arrest.

 Atoni uterus, biasanya terjadi pada perdarahan postpartum. Kerusakan uterus semakin kuat dirasakan bila dilakukan manuver bimanual.  Koagulopati. Perdarahan berat tanpa adanya penyebab lain (DIC

ditemukan pada 83% pasien).  Penurunan kesadaran.

Klinis ditemukan lebih dari 50% pasien meninggal dalam 1 jam. Namun sekitar 50 % pasien akan berlanjut pada fase kedua yaitu DIC yang

(10)

bermanifestasi sebagai perdarahan akut dan persisten. Fase ini bisa terjadi 30 menit sampai 4 jam setelah fase pertama. 1,2,7

PENATALAKSANAAN

Tidak ada pedoman yang tepat untuk penatalaksanaan emboli air ketuban. Tahap pertama yang sangat penting adalah kita harus bisa mengidentifikasi sedini mungkin penyakit ini, diikuti oleh penatalaksanaan anestesi dan resusitasi. 8-11

Intubasi dan oksigenasi dilakukan sesegera mungkin. Bagaimanapun pasien dengan gagal napas dapat diikuti oleh terjadinya kolaps kardiovaskuler. Sehingga, intubasi dan oksigenasi harus tetap dilakukan.

Berikut adalah urutan tindakan manajemen ASOP.8-11

1. Tindakan yang harus segera dilakukan :

 kontrol jalan napas dengan intubasi endotrakeal dan oksigenasi.  pasang infus intravena.

2. Terapi hipotensi dengan pemberian cairan kristaloid dan koloid.

3. Steroid dapat diberikan karena ASOP merupakan proses imunologis. (hidrokortison 500 mg intravena / 6 jam).

4. Dopamine.

Titrasi intravena 2-5 mcg / kg BB / jam. 5. Vasopresor seperti efedrin.

6. Adrenalin, 1 mg iv / 3 menit

Sementara itu bila fase pertama dapat dilalui dan berkembang menjadi fase kedua yaitu DIC yang merupakan hasil dari penurunan kadar fibrinogen, platelet dan faktor koagulasi terutama faktor V, VIII, dan XIII. Sehingga terapi yang dapat diberikan adalah krioprecipitat untuk kadar fibrinogen di bawah 100 mg/dl dan transfusi platelet bila platelet di bawah 20.000/mm 11

(11)

Untuk mengetahui keberhasilan terapi, resusitasi, dan perkembangan pasien selalu monitoring tanda vital, EKG, analisa gas darah, dan produksi urin. Selain itu, bila memungkinkan, arteri line, kateter vena central dan kateter arteri pulmonal sangat bermanfaat. 3

Bila resusitasi kardiopulmonal gagal, dilakukan bedah sesar emergensi untuk menyelamatkan janin. Oleh sebab itu, denyut jantung janin harus terus dipantau selama menyelamatkan maternal. Bedah sesar perimortem dilakukan dengan sayatan dinding abdomen dan uterus vertikal dengan mengabaikan prinsip sterilitas. Menurut Katz dan kawan-kawan, 70% bayi yang dilahirkan dalam 5 menit setelah ibunya meninggal tidak terjadi defisit neurologis. Namun bila bedah sesar dilakukan lebih dari 5 menit setelah ibu meninggal, hanya 13% bayi yang hidup. Bayi-bayi ini juga mengalami defisit neurologis permanen ringan sampai berat. 3

Sedangkan tujuan utama resusitasi pada ASOP adalah : 8-11

 Mempertahankan sistolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg  Produksi urin 1 cc / kg BB / jam atau lebih.

 Saturasi oksigen 92% atau lebih.

Bagi wanita dengan riwayat emboli air ketuban, mereka masih dapat hamil dengan sempurna pada kehamilan berikutnya. Dari laporan didapatkan pasien yang dapat bertahan dari kardiorespirasi arrest akibat emboli air ketuban berhasil dalam kehamilan berikutnya tanpa komplikasi apapun.12-14

RINGKASAN

Anaphylactoid syndrome of pregnancy merupakan masuknya cairan ketuban dan komponen-komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu. Komponen tersebut berupa unsur-unsur yang ada dalam air ketuban, misalnya lapisan kulit janin yang terlepas, rambut janin, lapisan lemak janin, dan musin atau cairan kental. Emboli air ketuban umumnya terjadi pada kasus aborsi, terutama jika dilakukan setelah usia kehamilan 12 minggu. Bisa juga saat amniosentesis. Ibu

(12)

hamil yang mengalami trauma atau benturan berat juga berpeluang terancam emboli air ketuban.

Patofisiologi dari Anaphylactoid syndrome of pregnancy sulit untuk diterangkan. beberapa teori menyatakan bahwa air ketuban dan sel-sel fetus masuk ke dalam sirkulasi maternal yang menimbulkan reaksi anafilaksis terhadap antigen fetus. Progresifitas penyakit terjadi dalam dua fase. Fase pertama, terjadi vasospasme arteri pulmonal dengan hipertensi pulmonal dan peningkatan tekanan ventrikel kanan. Hipoksia menyebabkan kerusakan miokard, kerusakan kapiler pulmonal, gagal jantung kiri dan distress respirasi. Pasien yang bertahan, mencapai fase dua atau fase hemoragik. Pada fase ini terjadi perdarahan masif dengan atoni uteri dan DIC.

Pasien dengan Anaphylactoid syndrome of pregnancy memperlihatkan gejala dispneu akut, batuk, hipotensi berat, diikuti kardiak arrest. Setelah itu terjadi DIC, perdarahan hebat dan pasien meninggal. Banyak pasien meninggal dalam satu jam setelah onset.

Berikut adalah urutan tindakan manajemen ASOP. 1. Tindakan yang harus segera dilakukan :

 kontrol jalan napas dengan intubasi endotrakeal dan oksigenasi.  pasang infus intravena.

2. Terapi hipotensi dengan pemberian cairan kristaloid dan koloid.

3. Steroid dapat diberikan karena ASOP merupakan proses imunologis. (hidrokortison 500 mg intravena / 6 jam).

4. Dopamine.

Titrasi intravena 2-5 mcg / kg BB / jam. 5. Vasopresor seperti efedrin.

(13)

Tahap yang sangat penting adalah identifikasi Anaphylactoid syndrome of pregnancy sedini mungkin. diikuti oleh penatalaksanaan ABC yang cepat dan agresif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ill GA, Belford MA, Clark SL. Anaphylactoid Syndrome of Pregnancy (Amniotic Fluid Embolism). Dalam: Belford, MA. editor. Critical Care Obstetics. Fifth Edition. Chicester: Wiley-Blackwell; 2010. Hlm 466-75. 2. Obstetric Anesthesia. Dalam: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.

editor. Clinical Anesthesiology. ed. 4th. New York: McGraw-Hill

Companies; 2006.

3. Santoso N, Hanafie A. Emboli Air Ketuban. Dalam : Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwondo BS. editor. Anestesi Obstetri. Bandung: Komisi Pendidikan SpAnKAO Kolegium Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (KATI); 2013.

4. Benson MD, Kobayashi H, Silver RK, et al. Immunologic Studies in Presumed Amniotic Fluid Embolism. Obstetrics and Gynecology. April 2001[diunduh 22 Desember2013]

;97(4):510-4. Tersedia dari :

http://www.mobile.journals.lww.com/greenjournal/_layouts/oaksjournals. mobile/default.aspx.

5. Clark SL, Hankins GD, Dudley DA, et al. Amniotic fluid embolism: analysis of the national registry. American Journals of Obstetrics and Gynecology. April 1995[diunduh 22 Desember 2013];172(4):1158-67. Tersedia dari : http://www.sciencedirect.com/science/journal/00029378 6. Marcus BJ, Collins KA, Harley RA. Ancillary studies in amniotic fluid

(14)

Forensic Medicine Pathology. Maret 2005[diunduh 22 Desember

2013];26(1):92-5. Tersedia dari :

http://www.mobile.journals.lww.com/amjforensicmedicine/_layouts/oaks.j ournals.mobile.default.aspx

7. De Jong MJ, Fausett MB. Anaphylactoid Syndrome of Pregnancy : A Devastating Complication Requiring Intensive Care. American Association of Critical-Care Nurses. December 2003[diunduh 13

Desember 2013];22(6):42-8. Tersedia dari :

http://ccn.aacnjournals.org/content/23/6/42.ful l

8. Vanden Hoek TL, Morrison LJ, Shuster M, Donnino M, Sinz E, Lavonas EJ, Jeejeebhoy FM, Gabrielli A. Part 12: cardiac arrest in special situations —2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010[diunduh 22 Desember 2013];122:S829–61. Tersedia dari: http://www.circ.ahajournals.org/content/122/18_suppl_3/S829.full

9. Morrison LJ, Deakin CD, Morley PT, Callaway CW, Kerber RE, Kronick SL, Lavonas EJ, Link MS, Neumar RW, Otto CW, Parr M, Shuster M, Sunde K, Peberdy MA, Tang W, Hoek TL, Bottiger BW, Drajer S, Lim SH, Nolan JP. Part 8: advanced life support—2010 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment Recommendations. Circulation. 2010[diunduh 22 Desember 2013];122:S345–421. Tersedia dari: http://www.circ.ahajournals.org/content/122/16_suppl_2/S345.full 10. Jeejeebhoy FM, Zelop CM, Windrim R, Carvalho JC, Dorian P, Morrison

LJ. Management of cardiac arrest in pregnancy: a systematic review. Resuscitation. 2011[Diunduh 23 Desember 2013];82:801–9. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/21549495/

(15)

Anesthesia-Gynecol. 2011[diunduh 23 Desember 2013];117:69–74. Tersedia dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21173646

12. Tuncalp O, Hindin M, Souza J, Chou D, Say L. The prevalence of maternal near miss: a systematic review. BJOG. 2012[diunduh 24

Desember 2013];119:653–61. Tersedia dari :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22489760

13. Small MJ, James AH, Kershaw T, Thames B, Gunatilake R, Brown H. Near-miss maternal mortality: cardiac dysfunction as the principal cause of obstetric intensive care unit admissions. Obstet Gynecol. 2012[diunduh 24

Desember 2013];119:250–5. Tersedia dari :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22270275

14. Meenakshi, Kachru N, Radhika B, Aggarwala, Sharma M. Amniotic Fluid Embolism During First Trimester Medical Termination Of Pregnancy-An Unusual Complication. Indian Journal of Anasthesia. 2003[diunduh 24 Desember 2013]; 47 (3) : 212-213. Tersedia dari: http://www.medind.nic.in/iad/t03/i3/iadt03i3c.shtml

Gambar

Gambar 1. Komponen cairan amnion 4

Referensi

Dokumen terkait

asal Pakistan dan Quraish Shihab. Muhammad Abdul Fatah, dalam penelitiannya yang berjudul Tafsir Al-Qur’an tentang Poligami, mencoba membandingkan penafsiran Muhammad

Adapun variabel yang juga memiliki dampak pengaruh terhadap kinerja karyawan yaitu faktor kesepakatan termasuk interpersonal bahwa seseorang dapat bekerjasama dan bergaul

Sistem manajemen khususnya pada Toko Quin’s Laundry yang sedang berjalan sekarang ini masih menggunakan cara transaksi manual, dimana semua kegiatan transaksi

Rencana Strategis Balai Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Renstra BP- PAUD dan Dikmas) Jawa Timur Tahun 2015—2019 disusun berdasarkan arah dan kebijakan

Semakin banyak reaksi dari tumpuan yang melawan gaya dari beban maka defleksi yang terjadi pada tumpuan rol lebih besar dari dari beban maka defleksi yang

 Diberitahukan kepada seluruh Koordinator Sektor &amp; Wakil Koordinator sektor, Pengurus ke 6 Pelkat dan Koordinator Komisi GPIB Jemaat Petra, jika ingin memberikan

Metode komponen simetris digunakan dalam perhitungan yang berhubungan dengan keadaan yang tak seimbang pada perangkat listrik tiga fasa, dan secara khusus untuk perhitungan

Tolnaftat adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan sebagian besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Tolnaftat tersedia dalam bentuk krim,