BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia mempunyai kekayaan hutan hujan tropik yang melimpah. Sepuluh persen permukaan bumi ditutupi oleh hutan di mana 30%-nya adalah hutan tropika basah. Dua per tiga dari hutan tropika basah ini adalah hutan hujan tropika yang terdiri dari tiga wilayah yaitu Amerika, Afrika dan Indo-Malaya. Indonesia termasuk dalam Indo-Malaya dan dijuluki sebagai megabiodiversity karena memiliki 10-20% keanekaragaman hayati dunia yang terdiri dari 10% jumlah spesies tumbuhan dunia, mamalia 10%, burung 17%, ikan 25% dan serangga 15%, sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman genetik yang tinggi (Purwanto dan Warsito, 2001).
Ironisnya, pada saat ini Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan tingkat laju kepunahan flora dan fauna tertinggi di dunia akibat degradasi hutan dan konversi yang tidak terkendali. Predikat sebagai megadiversity country, yaitu negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, perlahan namun pasti bergeser menjadi hotspot country, yaitu negara dengan tingkat kepunahan keanekaan hayati tertinggi di dunia. Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki daftar spesies terancam punah terpanjang dan terbanyak di dunia, yang meliputi 104 jenis burung, 57 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan air tawar dan 281 jenis tumbuhan, dan jumlah ini terus mengalami peningkatan (Purwanto dan Warsito, 2001)
Menurut Shiva et al. (1993) terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terganggunya keanekaragaman hayati di suatu kawasan, yaitu:
1. Hilangnya dan fragmentasi habitat.
Berkurangnya habitat pendukung keanekaragaman hayati terutama disebabkan oleh kegiatan manusia berupa pembukaan hutan untuk berbagai keperluan, pembuatan dam, pengeringan rawa dan penggembalaan ternak. Faktor lain yang menyebabkan perubahan dan kerusakan habitat adalah bencana alam, kebakaran hutan dan pencemaran bahan kimia.
2. Eksploitasi spesies hewan dan tumbuhan secara berlebihan.
Eksploitasi keanekaragaman hayati banyak terjadi untuk mendapatkan komoditi yang bernilai komersial tinggi seperti bagian tubuh hewan bermitos (gading, tanduk, kulit), hewan peliharaan, barang antik dan barang koleksi. Komisi Kelangsungan Hidup IUCN
9
memperkirakan bahwa eksploitasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kepunahan dua dari lima spesies vertebrata.
3. Pengaruh spesies asing (eksotik).
Introduksi spesies hewan dan tumbuhan asing menimbulkan gangguan terhadap ekosistem karena faktor-faktor yang menjamin keseimbangan ekosistem asli tidak berlaku bagi spesies pendatang. Jenis spesies asing yang mempunyai daya adaptasi tinggi dan bersifat invasif mampu mengubah ekosistem lokal. Spesies tanaman asing telah dianggap sebagai ancaman utama bagi sistem Taman Nasional Amerika Serikat dan telah mengganggu keseimbangan ekosistem di sejumlah taman nasional di Indonesia, yaitu Taman Nasional Wasur, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Lore Lindu (Kepala Pusat PHKA, 2001). Namun sampai saat ini kesadaran dan pemahaman mengenai isu ini, terutama di Indonesia, masih sangat terbatas.
4. Pencemaran pada air, tanah dan atmosfer.
Produk-produk industri membuang sebagian dari hasil olahannya (pestisida, ozon troposferik, oksida sulfur dan nitrogen serta berbagai macam limbah) ke lingkungan. Masuknya zat asing pada suatu habitat dapat mengurangi dan atau melenyapkan spesies yang peka.
5. Perubahan iklim dunia.
Perubahan iklim yang terjadi pada saat ini berlangsung lebih cepat dari sebelumnya karena tingginya gangguan terhadap ekosistem secara meluas. Pencemaran dan pembukaan hutan telah meningkatkan kecepatan perubahan iklim. Pembukaan lahan untuk pertanian, perumahan dan industri telah menyebabkan fragmentasi habitat alami. Kondisi ini membuat spesies mengalami permasalahan untuk bermigrasi pada saat menghadapi perubahan iklim. Spesies-spesies yang mempunyai penyebaran sempit atau kemampuan menyebar rendah akan mengalami kepunahan lebih cepat.
Salah satu upaya untuk menjaga keanekaragaman hayati adalah dengan penetapan kawasan lindung. Konservasi ’in situ’ dilakukan di daerah-daerah perlindungan, di kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Daerah-daerah yang dikenal sebagai ’ekosistem alami’ akan melindungi spesies dari campur tangan manusia seminimal mungkin. Sedangkan ’ekosistem daerah
10
penyangga’ merupakan kawasan yang dapat dipengaruhi oleh manusia sejauh pengaruh manusia tidak lebih besar dari faktor lainnya (Shiva et al, 1993).
Terdapat 8163 daerah yang dilindungi yang tersebar di dunia yang mencakup 750 juta hektar atau sekitar 1,5 % dari luas permukaan bumi (WRI et al., 1992) yang terdiri dari beragam ekosistem laut dan darat. Sedangkan di Indonesia sendiri terdapat 491 unit kawasan konservasi dengan luas mencapai 27.623.418,28 ha (Departemen Kehutanan, 2004), terdiri dari cagar alam, suaka mergasatwa, taman nasional, dan taman wisata alam yang berada di darat maupun di laut, serta taman hutan raya dan taman buru.
Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan lindung terdiri dari:
1. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
2. Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
3. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
4. Cagar Biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.
5. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
6. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
11
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
7. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
8. Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
2.1. Banteng
Di beberapa daerah banteng mempunyai nama lain yaitu B. birmanicus, B. butleri, B. discolour, B. domesticus, B. leucoprymnus, B. longicornis, B. lowi, B. porteri dan B. sondaicus (Huffman, 2005). Nama binomial banteng adalah Bos javanicus d’Alton 1823 dengan sistematika sebagai berikut:
Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Class : Mamalia Order : Artiodactyla Family : Bovidae Subfamily : Bovinae Genus : Bos
Species : javanicus d’Alton 1823(Wikipedia, 2005)
Sejarah wilayah penyebaran banteng meliputi Indochina, Kalimantan, Jawa dan Malay Peninsula (Bowman, 1992). Banteng merupakan satwa liar yang menyukai daerah hutan yang terbuka dan berumput sehingga pola penyebarannya diduga mengikuti pola penyebaran hutan terbuka (Alikodra, 1983).
2.1.1. Morfologi
Banteng memiliki tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depan lebih tinggi daripada bagian belakang tubuhnya. Banteng dapat tumbuh mencapai 1,6 m dengan berat mencapai 600-800 kg untuk pejantan dan betina memiliki berat 600-700 kg. Banteng mempunyai bulu putih pada kakinya, pantat putih dan sedikit hiasan di sekitar mata dan moncongnya. Pejantan mempunyai bulu berwarna hitam kebiruan atau coklat gelap dengan tanduk yang panjang ke
12
arah atas (CSEW, 2005), runcing dan melengkung secara simetris ke dalam (Hoogerweef (1970) dan Halder (1976) dalam Alikodra (1983)). Betinanya mempunyai warna coklat kemerahan dengan tanduk yang lebih kecil ke arah atas. Pada saat ini banteng mempunyai umur rata-rata 11 tahun dalam habitat alami, meskipun ada juga banteng yang bertahan hidup hingga 20-25 tahun (CSEW, 2005).
Banteng pada dasarnya merupakan jenis satwa ’browser’ yang pemilih. Banteng cenderung memilih rumput, namun akan mengkonsumsi berbagai jenis pakan lainnya yang tersedia tergantung pada musim dan jenis yang tersedia (Huffman, 2005). Pakan banteng dapat berupa rumput, daun, buah-buahan, bambu muda, pucuk semak dan lain-lain.
Proses reproduksi banteng umumnya dilakukan pada musim kemarau (Huffman, 2005). Pada musim kemarau ini terjadi pertemuan antara banteng jantan dan betina siap kawin untuk melakukan reproduksi serta dilakukan pengasuhan terhadap banteng muda di padang rumput. Padang rumput merupakan habitat yang penting untuk proses reproduksi banteng karena memberikan ruang gerak yang diperlukan selama prosesi perkawinan.
Perkembangbiakan merupakan suatu penentu dalam kelestarian suatu populasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses perkembangbiakan adalah penyebaran umur dalam populasi (Suwasono, 1994). Perbandingan umur dalam populasi dapat menentukan keadaan reproduktif yang berlangsung dalam populasi dan dapat dipakai untuk memperkirakan keadaan populasi masa depan. Populasi yang sedang berkembang cepat mengandung sebagian besar individu muda, sedangkan populasi yang stasioner pembagian umur lebih merata dan populasi yang sedang menurun sebagian besar berumur tua. Banteng liar mulai dewasa seksual pada umur 2-3 tahun (Huffman, 2005) sehingga banteng betina dewasa umumnya dapat mulai mempunyai anak pada umur 3 tahun. Banteng liar ini mempunyai sifat monoestrus (satu musim kawin dalam satu tahun). Banteng betina mengandung anaknya selama 285 hari dengan rata-rata jumlah anak dari setiap induknya adalah 1 ekor (Huffman, 2005).
2.1.2. Status
IUCN Red Data List dan US Endangered Species Act memasukkan banteng dalam status konservasi ‘endangered’ berdasarkan pada penurunan populasi yang melebihi kisaran 80% dalam tiga generasi terakhir (IUCN, 2004).
13
Populasi banteng di dunia pada saat ini diperkirakan antara 3000-8000 ekor yang tersebar di beberapa negara, yaitu Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam (Huffman, 2005). Pada umumnya banteng di daerah tersebut terancam oleh perburuan dan pengambilan bagian tubuh, khususnya tanduk. Populasi banteng di Jawa pada saat ini terancam oleh perburuan, kerusakan habitat dan penyakit peternakan domestik.
Ancaman utama terhadap kelestarian banteng menurut IUCN (2004) adalah:
1. Hilang atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk 2. Spesies asing invasif (yang berpengaruh secara langsung terhadap
spesies dan munculnya kompetitor) 3. Perburuan
4. Perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestikasi dan hibridisasi serta adanya penyakit/patogen
Salah satu langkah untuk melestarikan satwa ini adalah dengan menetapkan banteng sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan dilakukan konservasi di sejumlah kawasan konservasi di Indonesia.
Pelestarian banteng di setiap kawasan konservasi mengalami permasalahan tersendiri. Diantaranya populasi banteng di Meru Betiri yang kini ada sekitar 200 ekor yang tersebar pada beberapa kawasan seperti Pagargunung, Nanggelan, Curahmalang, Moroseneng, Sarongan, dan Mandilis. Banteng di kawasan konservasi ini tampak bergerak keluar batas taman nasional. Kawasan luar taman nasional mencakup daerah penyangga (buffer zone), perkebunan, pertanian dan hutan produksi yang letaknya berdekatan dengan taman nasional. Taman Nasional Alas Purwo, pada tahun 1992, memilliki banteng mencapai 188 ekor yang terdiri dari 57 ekor jantan dewasa, 90 ekor betina dewasa, 31 betina muda dan 10 ekor anak-anak. Permasalahan yang ada di Taman Nasional Alas Purwo adalah pemangsaan berlebihan oleh ajak, persaingan dengan binatang lain dan perburuan liar (Iskandar dalam Gatra, 2004).
Satu-satunya kawasan konservasi yang memiliki populasi banteng berlebih adalah Taman Nasional Ujung Kulon dengan populasi mencapai lebih dari 900
14
ekor. Jumlah ini telah melebihi kapasitas daya dukung lingkungan terhadap kehidupan banteng sebanyak 404 ekor (Ibrahim dalam KapanLagi, 2003). Kondisi ini menjadi permasalahan karena jumlah banteng yang berlebih mengancam kelestarian badak bercula satu di Ujung Kulon.
Jumlah banteng di Taman Nasional Baluran pada tahun 2004 mencapai kisaran 219-267 ekor yang terbagi atas beberapa kelompok yang terdiri atas 2-25 ekor/kelompok. Beberapa permasalahan yang dikemukakan oleh pengelola Taman Nasional Baluran yaitu adanya persaingan dengan satwa herbivora lain terutama kerbau, perburuan liar, predator dan gangguan terhadap habitat dengan masuknya jenis asing invasif (Siubelan dalam KapanLagi, 2003). Pada tahun 1990-an telah dilakukan penjarangan kerbau untuk mengurangi persaingan terhadap benteng namun tidak tampak peningkatan jumlah banteng secara signifikan meskipun pada tahun 2004 jumlah kerbau hanya 48-64 ekor (Departemen Kehutanan, 2004).
Perburuan liar yang terjadi hampir di semua kawasan konservasi pada saat ini telah menurun dengan adanya UU No. 5 Tahun 1990 yang memberikan perlindungan atas sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, selain munculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan (Soewadji dalam KapanLagi, 2003).
2.1.3. Habitat
Habitat adalah tempat organisme hidup atau tempat di mana manusia dapat menemukan organisme tersebut (Suwasono dan Kurniati, 1994). Habitat utama banteng adalah di hutan tropis atau subtropis kering dan savana. Banteng tinggal pada dataran terbuka dan kering di daerah hutan sekunder akibat penebangan maupun kebakaran. Menurut Huffman (2005), banteng akan meninggalkan padang rumput terbuka pada musim penghujan menuju daerah hutan di dataran yang lebih tinggi. Tempat yang ideal bagi banteng merupakan suatu kesatuan (ekosistem) yang terdiri dari hutan, padang penggembalaan dan sumber-sumber air (Alikodra, 1983).
15
Padang Penggembalaan Hutan Pantai Hutan
Gambar 3. Lingkungan Hidup Banteng yang Ideal (Alikodra, 1983) 2.1.3.1. Hutan Alam
Hutan di Taman Nasional Baluran berupa hutan musim dataran tinggi dan dataran rendah. Hutan musim dataran rendah berupa daerah terbuka sampai hutan yang rapat pada ketinggian 50 – 400 m dpl. Sedangkan hutan musim dataran tinggi terdapat di lereng Gunung Baluran, kecuali daerah Talpat dan Klosot yang ditumbuhi rumput sampai ke puncaknya. Talpat merupakan salah satu daerah yang sering dikunjungi satwa karena terdapat sumber air yang mengalir sepanjang tahun.
Hutan merupakan suatu ekosistem yang diperlukan bagi kehidupan banteng. Hutan berfungsi sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari bermacam-macam gangguan, seperti cuaca, manusia maupun pemangsa serta sebagai tempat tidur dan beristirahat. Banteng akan berlindung di hutan di sekitar padang savana jika terjadi angin kencang atau hujan lebat. Pada musim penghujan, banteng memanfaatkan tumbuhan bawah yang ada di hutan sebagai pakan. Selain itu, semak (tumbuhan bawah) dalam hutan dapat berfungsi sebagai sumber makanan banteng pada kondisi terbatas. Semak belukar di hutan juga merupakan tempat bersembunyi banteng dari serangan predator (Alikodra 1983). Ketersediaan air pada musim penghujan cukup banyak dan dapat dijumpai tergenang di bawah tegakan pohon sehingga aktivitas pergerakan banteng keluar hutan relatif kecil.
2.1.3.2. Padang Savana
Savana merupakan padang rumput tropika yang terdapat di daerah bermusim kering panjang. Savana tropika terdiri dari pepohonan yang tersebar berjauhan di atas padang rumput tersebut. Pepohonan dapat
16
mencapai 20% dari seluruh wilayah savana dalam jarak sebaran yang beragam. Umumnya kerdil dan berbonggol-bonggol. Banyak yang bersifat mudah menggugurkan daunnya dan meranggas pada musim kemarau (Ewusie, 1990). Padang rumput di Taman Nasional banyak diselingi oleh tumbuhan Acacia leucophloea, Schleichera oleosa, jeungjing (Albizia falcataria) dan jenis palem yang berfungsi sebagai peneduh dan memberi naungan (shelter). Pada cuaca yang sangat panas, banteng akan berlindung di bawah pohon rindang yang terdapat di padang savana (Alikodra, 1983). Pada cuaca mendung, banteng akan lebih lama berada di padang savana (Balai Taman Nasional Baluran, 2001).
Musim kering yang panjang di padang savana mengakibatkan kondisi tumbuhan menjadi sangat kering dan mudah terbakar jika terjadi pergesekan. Banteng akan segera lari ke hutan dan berlindung di antara semak di sekitar padang savana jika terjadi angin kencang (Alikodra, 1983). Kebakaran padang savana terjadi setiap tahun di Taman Nasional Baluran. Kebakaran ini secara alami membantu suksesi padang savana, karena sejumlah vegetasi padang savana di Baluran sangat tergantung pada api (fire climax vegetation). Api membantu menyingkirkan gulma yang tidak tahan api, memberikan waktu bera pada tanah dengan tidak adanya peragutan dan injakan oleh satwa selama beberapa saat setelah kebakaran serta memacu perkecambahan. Keberadaan jenis asing invasif Acacia nilotica yang tahan api telah menghalangi terjadinya kebakaran di padang savanna. Acacia nilotica juga memiliki kemampuan bertunas dan pertumbuhan yang lebih cepat daripada vegetasi endemik sehingga dapat mendominasi kawasan padang savana.
Padang rumput mempunyai peranan penting dalam usaha pelestarian banteng. Pada musim kemarau banteng kembali ke dataran rendah yang terbuka untuk memenuhi kebutuhan pakan (Huffman, 1995). Sebagian besar waktu hidup banteng dipergunakan untuk tinggal di padang rumput. Banteng menggunakan padang savana selain untuk makan juga bersosialisasi (berhubungan antara banteng) antara banteng dewasa dan banteng muda (anaknya) maupun antara jenis kelamin sehingga dapat terjadi perkawinan banteng dewasa.
Menurut Sancahyaningsih et al. dalam Martatilofa (2004), persebaran banteng pada saat merumput berjarak 1,5-7 m antara individu. Pada saat
17
berada di padang savana, banteng juga melakukan aktivitas lain yaitu melakukan pendekatan dengan banteng yang berlawanan jenis, dan melakukan perkawinan. Pada saat melakukan perkawinan diperlukan ruang untuk manting (banteng jantan menaiki banteng betina). Padang savana juga merupakan tempat untuk melahirkan, mengasuh, dan membesarkan anaknya.
Sebagian besar populasi banteng (Bos javanicus), rusa timor (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak) maupun kerbau liar (Bubalus bubalis) mempergunakan areal flat savanna untuk merumput, sedangkan daerah undulating savanna kurang disukai karena kontur tanahnya yang bergelombang. Jenis-jenis rumput yang dominan di daerah flat savanna adalah lamuran putih (Dichantium caricosum), rumput merakan (Heteropogan concortus), Schlerachne punctata dan padi-padian (Shorgum nitidus), dengan beberapa jenis pohon savana, diantaranya Pilang (Acacia leucophloea) dan Kesambi (Schleichera oleosa). Pertumbuhan rumput di areal undulating savanna lebih tinggi jika dibandingkan dengan flat savanna dengan didominasi oleh rumput merakan putih (Dichantium caricosum) dan padi-padian (Shorgum nitidus). Pohon Kesambi (Scleichera oleosa), Pilang (Acacia leucophoea) dan Bidara (Zizypus rotundifolia) tumbuh terpencar di savana ini (Departemen Kehutanan, 1997). Penyebaran pohon-pohon di padang savana ini sangat bermanfaat sebagai naungan satwa liar dari teriknya matahari (Alikodra, 1986).
Banteng di Taman Nasional Baluran melintasi padang savana tidak hanya pada musim kemarau karena perlu memenuhi kebutuhan mineral dengan meminum air laut. Padang Savana Bekol merupakan salah satu savana dengan tipe flat savana yang penting dalam ekosistem Taman Nasional Baluran. Padang Savana Bekol menempati posisi yang strategis, yaitu terletak pada daerah dataran rendah yang landai serta relatif dekat dengan pantai, sehingga sejumlah satwa herbivora banyak terkonsentrasi di sekitarnya. Padang Savana Bekol dibatasi oleh hutan dataran rendah sekunder ke arah darat dan hutan mangrove sekunder ke arah laut.
Daya tarik Padang Savana Bekol juga terdapat pada topografi yang relatif datar sehingga memberikan kemudahan untuk satwa mengakses Padang Savana Bekol. Menurut Susetyo (1980), topografi yang relatif datar memberikan nilai proper use factor yang lebih tinggi daripada topografi
18
berombak atau terjal, terutama untuk satwa herbivora yang berukuran besar. Proper use factor pada topografi datar bernilai antara 60-70%. Pada kondisi topografi curam, ruang gerak satwa besar menjadi terbatas sehingga nilai proper use factor semakin kecil. Menurut Setyawan (1996), nilai proper use factor di Padang Savana Bekol sebesar 61%.
2.1.3.3. Sumber Air
Air merupakan komponen ekologi yang mutlak diperlukan dalam kehidupan makhluk hidup. Sumber air baik sungai maupun danau harus ada di sekitar padang rumput dan berair sepanjang tahun. Pergerakan banteng di Taman Naional Baluran dipengaruhi oleh musim karena sumber air yang tersedia berfluktuatif. Pada musim kemarau, banteng cenderung terkonsentrasi di dekat sumber air dan padang savana (Balai Taman Nasional Baluran, 2001). Sumber air yang mengalir di Taman Nasional terdapat 24 dan yang banyak dikunjungi satwa pada musim kemarau terdapat pada 16 lokasi (Lampiran 13). Hal ini terjadi karena beberapa titik sumber air berdekatan dengan aktivitas manusia sehingga satwa tidak lagi berkunjung (Lampiran 14).
Perubahan iklim yang menyebabkan air tidak tersedia pada suatu musim maka harus dibuat bak-bak persediaan air yang dapat mencukupi kebutuhan satwa. Selain itu, untuk pemenuhan kebutuhan mineral, satwa akan mengkonsumsi air garam (air laut).
Sumber air di Bekol berupa bak buatan yaitu di bagian utara bukit Bekol dan di bagian savana. Bak buatan di utara bukit Bekol mempunyai luas ± 4 m2 dengan kedalaman 1 m, sedangkan di savana berupa bak memanjang dengan luas ± 6 m2 dan kedalaman ±80 cm. Kualitas dan kuantitas air di Bekol masih mendukung kehidupan satwa banteng dan mamalia besar lainnya (UGM, 1993). Ketersediaan air di kedua tempat tersebut sangat dipengaruhi oleh pengisian air dengan generator sehingga sangat mempengaruhi intensitas kedatangan satwa. Pada saat sekarang ini, satwa yang secara rutin datang dengan jumlah cukup banyak adalah rusa (Pratiwi, 2005).
2.1.3.4. Hutan Pantai atau Hutan Payau
Hutan pantai di Taman Nasional Baluran merupakan daerah ekoton yang berbatasan dengan savana. Hutan ini sebagian besar terdapat di Kalikepuh bagian tenggara, Popongan, Kelor, bagian timur Bama serta barat
19
laut Gatel. Selain itu terdapat hutan mangrove di daerah pantai utara dan timur kawasan Taman Nasional Baluran, seperti di Bilik, Lempuyang, Bama, Tanjung Sedano dan Kelor. Di daerah ini, tanah menjadi berlumpur pada musim penghujan sedangkan pada musim kemarau menjadi keras dan kering dengan lapisan garam di permukaannya. Menurut Alikodra (1983), banteng kurang menyukai hutan mangrove karena kondisi berlumpur ini.
Keberadaan hutan di sekitar pantai berfungsi sebagai penyangga yang meliputi fungsi sebagai penghalang angin atau wind break (tajuk), pencegah intrusi garam ke arah darat melalui sistem perakarannya, sebagai tempat berlindung dan beristirahat satwa, tempat bersarang dan mencari makan serta mempersulit pemburu masuk areal dari arah laut (Alikodra, 1983).
Penentuan daya dukung padang savana terhadap binatang pemakan rumput berdasarkan pada pertimbangan: (1) produktivitas primer dan (2) persentasi produktivitas bersih yang dapat dihasilkan setiap tahun, dengan tetap meninggalkan tumbuhan rumput cukup sebagai cadangan untuk memungkinkannya melakukan produktivitas di masa yang akan datang, terutama untuk mengatasi tekanan pada waktu-waktu tertentu, pada saat udara kurang baik (kekeringan) (Odum, 1993). Produktivitas primer kurang lebih sejalan dengan keadaan curah hujan dan diketahui bahwa kurang dari setengah hasil bersih tahunan akan dikonsumsi oleh satwa, sehingga dapat diperhitungkan produktivitas hijauan pakan yang sesuai dengan jumlah satwa.
2.2. Acacia nilotica
Acacia nilotica Willd, ex Dell 1813 termasuk dalam famili leguminosae subfamili Mimosoideae. Akasia ini dikenal dengan nama daerah red heat, kudupod, sweet smell, babul acacia dan babul (India); kiker, babal (Pakistan); lekkerruikpeul, ruikperul, sun (Arab); Egyptian acacia; Indian gum-arabic-tree; thorn-mimosa, thorny acacia (Australia); acacia ă gomme, gommier rouge (Perancis); arabische Gummiakazie (Jerman), algarrobo dan acacia gomifera (Spanyol) (GRIN, 2005).
Sistematika nama ilmiah Acacia nilotica adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Superdivision : Spermatophyta
20
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Order : Fabales
Family : Fabaceae (alt. Leguminosae)
Subfamily : Mimosoideae
Suku : Acaciae atau Mimosoiceae Genus : Acacia P. Mill
Species : Acacia nilotica (L) Willd. ex Delile 1813 (GRIN, 2005 dan USDA, 2005)
2.2.1. Morfologi
Acacia nilotica merupakan pohon yang dapat mencapai umur 60 tahun, berukuran sedang dengan tinggi dapat mencapai 20 meter tergantung pada kondisi lingkungannya dan pada umumnya tinggi maksimum hanya mencapai 5-8 meter (Binggeli, 1997), di Australia mencapai tinggi rata-rata 4-5 m dan kadang mencapai 10 m (Department of Natural Resources and Mines, 2004). Pada daerah yang kondisi lingkungannya tidak cocok, pertumbuhannya menjadi kerdil menyerupai semak.
Acacia nilotica mempunyai percabangan tajuk berbentuk payung (umbrella-shaped crown), batangnya berduri keras dan ranting berwarna gelap. Duri lurus berwarna keputih-putihan tajam panjangnya lebih dari 3 cm pada pohon muda dan pohon dewasa umumnya duri mengeras dengan warna semakin gelap. Daunnya hijau sepanjang tahun, bersirip biasanya terdiri dari 3-12 pasang, anak daun 10-30 pasang linear oblong dengan panjang 0,4 cm; bunga kuning cerah dengan diameter 10 mm; buah berwarna hijau keabu-abuan dan berbulu, tebal lurus atau bengkok ramping, panjang 10-15 cm dengan lekukan diantara biji-bijian, lunak pada waktu masih muda dan menjadi hitam dan keras setelah tua; berakar tunjang dan jalar.
2.2.2. Potensi
Potensi Acacia nilotica sendiri cukup banyak, diantaranya : 1. Kayu
Kayu Acacia nilotica yang berwarna coklat tua termasuk jenis kayu berat (berat jenis 0,67-0,68) yang kuat, tahan rayap, tahan lama, keras (hampir dua kali lebih keras dari kayu jati), dan sangat tahan tekanan. Di India dan Pakistan, kayu Acacia nilotica yang berumur 15-20 tahun digunakan sebagai bahan bakar kayu dan bangunan. Sebagai bahan
21
bakar mempunyai nilai kalori yang tinggi yaitu 4950 kcal/kg dan sangat baik digunakan dalam bentuk kayu bakar maupun arang yang berkualitas dengan asap yang sedikit. Di Sudan, pada umur 20-30 tahun, digunakan sebagai gerbong kereta api. Pemanfaatan lain Acacia nilotica digunakan untuk bangunan, tiang penyangga pertambangan, perangkat pegangan alat pertukangan dan gerobak. Pada saat masih hijau kayunya dapat diukir (Fagg,1992).
2. Agroforestry
Di India dan Zimbabwe, pohon Acacia nilotica digunakan sebagai penahan angin (windbreak) di padang penggembalaan (Fagg,1992). 3. Makanan Ternak
Buah polong dan daunnya dapat dikonsumsi. Di India polongnya digunakan sebagai suplemen pakan untuk peternakan, terutama dalam bentuk polong kering.
Komposisi kimia dan nilai nutrisi beberapa bagian Acacia nilotica tampak pada tabel berikut :
Tabel 2. Komposisi Kimia dan Nilai Nutrisi Beberapa Bagian Acacia nilotica
Daun
Komponen Muda Sedang Tua
Bunga yang jatuh ke tanah Polong Biji Komposisi Kimia Bahan Kering (%BK) Total Protein (%BK) N-tersedia (%protein) 78 27 21 88 16 18 83-94 11-15 13-23 84 9 30 94 9-14 54 94 18-23 27-58 Komponen Dinding Sel NDF (%BK) ADF (%BK) ADL (%BK) 13-23 17 15 6 28 22 8 32-44 25-32 3-4 Nilai Nutrisi Nilai Energi (MJ ME/kg BK) Protein Kasar Tercerna (g DCP/kg BK) 2.3 50 3.4 50 8.8-9.5 60-100 9.2 40 8.0 40-90 6.8-10.3 60-140 Sumber : Audru et al., 1993
22
4. Rehabilitasi Tanah
Lebih dari 50.000 ha jurang Indian Chambal direhabilitasi dengan Acacia nilotica (Binggeli,1997). Di India digunakan secara ekstensif dalam menurunkan tingkat salinitas dan alkalinitas tanah. Hal ini karena Acacia nilotica dapat tumbuh pada tanah dengan pH di atas 9 dengan kandungan garam terlarut mencapai 3%, dan dapat tetap tumbuh dengan baik pada saat pengairan kurang dan dapat berkembang pada timbunan batuan limbah pertambangan.
5. Tanin
Tanin digunakan dalam industri penyamakan kulit. Polong Acacia nilotica mengandung 50% tanin. Pada pohon berumur 10 tahun memproduksi 35-40 kg kulit kayu yang mengandung tanin 12-20% (Audru et al., 1993).
6. Getah
Getah Acacia nilotica sudah sangat terkenal sebagai bahan dasar dari “Gum Arabic” dan dipergunakan dalam industri-industri korek api, tinta, cat dan konveksi (Alikodra, 1986).
7. Pengobatan
Tanin dari Acacia nilotica dapat digunakan sebagai astringent yang kuat. Getahnya dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan kanker dan/atau tumor (telinga, mata atau testicle) dan menjaga kondisi hati dan ginjal, condylomas, dan flesh berlebih, kedinginan, kongesti, batuk, diare, disentri, demam, gallbladder, hemorrhage, wasir, leucorrhea, ophthalmia, sklerosis, cacar, dan TBC (James, 1983). Buah polong yang direbus dalam air dapat digunakan sebagai minuman kesehatan untuk penderita diabetes dan untuk mengobati bisul (Audru et al., 1993).
2.2.3. Perkembangbiakan
Acacia nilotica mulai berbunga kurang lebih 1 bulan setelah turun hujan pertama, dua bulan kemudian musim berbuah dan lima bulan kemudian musim biji dengan produksi rata-rata per pohon berukuran sedang sekitar 175000 biji per tahun pada kondisi yang mendukung (Department of Natural Resources and Mines, 2003) sedangkan pada pohon berukuran besar produksi biji dapat mencapai >200000 biji atau sekitar 70 kg polong per tahun. Acacia nilotica mulai berbuah umur 2 tahun sehingga mempercepat penyebaran tumbuhan tersebut.
23
Biji Acacia nilotica memiliki masa dormansi yang cukup lama yaitu sekitar 8 tahun. Pada awal pertumbuhan dengan penanaman bijinya sangat membutuhkan sinar matahari dan kelembaban yang tinggi. Masyarakat di sekitar Taman Nasional Baluran memanfaatkan bijinya sebagai bahan campuran kopi dan untuk kecambah (Mutaqin, 2001). Buah akasia ini juga dipungut oleh penduduk sekitar taman nasional untuk dijual kepada Perum Perhutani sebagai bibit. Acacia nilotica dapat ditanam baik secara langsung dengan biji maupun benih. Akan tetapi bijinya akan dapat tumbuh dengan sempurna jika direndam dahulu dalam air panas sebelum ditanam.
Acacia nilotica termasuk jenis yang cepat pertumbuhannya. Pada keadaan lingkungan yang sesuai laju pertumbuhan mencapai 2-3 cm per tahun. Akasia ini memiliki habitat asli di daerah tropis kering dengan jenis tanah liat (Binggeli,1997) namun dapat tumbuh pada tanah berpasir dengan curah hujan yang tinggi. Acacia nilotica merupakan salah satu tumbuhan yang tahan api sehingga sering dimanfaatkan sebagai sekat bakar (fire break). Tumbuhan ini dapat berkembang pada ketinggian lebih dari 2000 m dpl (di Pegunungan Himalaya), pada suhu ekstrim (-1 - 50OC) dapat tumbuh (Fagg, 1992) dan bertahan hidup di daerah-daerah yang sangat kering dan daerah yang biasa terkena banjir serta pada berbagai jenis tanah. Jadi tumbuhan ini dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah walaupun pada tanah-tanah yang sangat miskin. Biji Acacia nilotica yang dikonsumsi oleh satwa dapat langsung tumbuh setelah enam hari keluar dari tubuh satwa melalui feses (Department of Natural Resources and Mines, 2004). Pohonnya berduri dan sering menimbulkan masalah sehingga dianjurkan untuk ditanam pada daerah-daerah yang sangat kritis akan kebutuhan kayu bakar. Acacia nilotica mempunyai zat alelopatik sehingga dapat mempunyai ruang tumbuh tersendiri karena tanaman di sekitarnya mati (El Khawas dan Shehata, 2005).
Acacia nilotica mempunyai ciri tumbuhan yang berpotensi invasif, yaitu: 1) suatu tumbuhan perennial yang plastis sehingga dapat berkecambah pada rentang kondisi fisik yang luas; 2) pertumbuhan cepat; 3) berbunga dalam waktu singkat; 4) adaptif; 5) memproduksi benih yang banyak dengan penyebaran luas; 6) dapat bereproduksi secara vegetatif; dan 7) merupakan kompetitor yang tangguh (Noble, 1989).
Di Australia, Acacia nilotica dimasukkan ke wilayah Middle East di padang savana sebagai peneduh dan sumber pakan. Pada awal tahun 1900-an, biji
24
Acacia nilotica dibawa dan disebarkan oleh ternak dan saat ini telah menginvasi hampir semua padang savana di kawasan timur laut (pada perbatasan Queensland). Vektor penyebaran Acacia nilotica di kawasan ini adalah sapi karena tidak mampu mencerna biji Acacia nilotica sebaik domba. Luas lahan yang terinvasi mencapai 7 juta hektar, di mana 500.000 hektar diantaranya tidak dapat lagi digunakan sebagai padang penggembalaan. Kerugian ekonomi akibat invasi Acacia nilotica mencapai 5 juta dolar per tahun dengan turunnya produktivitas penggembalaan dan 4 juta dolar untuk mengontrol populasi Acacia nilotica. Kondisi ekologi kawasan tersebut mengalami kerugian dengan adanya perubahan struktur vegetasi yang mengakibatkan perubahan komposisi spesies flora dan fauna. Peningkatan kepadatan pohon juga mengakibatkan perubahan komposisi lapisan tanah yang merugikan spesies rumput endemik (Tropical Savanna CRC, 2003).
Di Indonesia, Acacia nilotica dimasukkan pada tahun 1963 sebagai fire break di perbatasan wilayah Taman Nasional Baluran untuk mengurangi tingkat penyebaran kebakaran dari padang savana ke areal hutan jati pada musim kemarau (Mutaqin, 2001). Dalam kawasan Taman Nasional Baluran kebakaran dapat terjadi setiap tahun dalam musim kemarau. Kebakaran umumnya mulai terjadi pada kawasan padang savana karena hijauan yang mengering sangat mudah terbakar dengan adanya pergesekan oleh angin dalam sinar matahari yang terik. Oleh karena itu pada tahun 1969 Acacia nilotica juga ditanam sebagai tanaman pagar untuk mencegah perluasan kebakaran yang terjadi.
Menurut Alikodra (1986), penyebaran yang pesat di Savana Bekol terjadi karena:
1. Adanya satwa liar banteng, kerbau dan rusa yang suka memakan kulit buah akasia, sehingga sekaligus biji akasia terbawa ke dalam sistem pencernaan yang kemudian dikeluarkan bersama-sama fesesnya pada saat satwa berada di padang rumput savana. Biji akasia yang tertelan oleh satwa liar tersebut setelah dikeluarkan bersama-sama dengan feses diduga mempunyai daya kecambah yang lebih tinggi
2. Di padang rumput savana intensitas cahaya matahari lebih tinggi jika dibandingkan dengan di hutan, sehingga sangat sesuai untuk perkecambahan biji akasia, serta mampu menstimulir pertumbuhan selanjutnya
25
3. Adanya penggembalaan yang berat telah menyebabkan kondisi tanah semakin jelek dan pertumbuhan rumput kurang baik. Keadaan ini menyebabkan rumput tidak mampu bersaing dengan akasia sehingga pertumbuhannya tertekan
4. Adanya jalur akasia sebagai penahan api telah mengakibatkan semakin berkurangnya peranan api di padang rumput savana Bekol. Hal ini tidak menguntungkan pertumbuhan rumput savana
Potensi dampak positif dan negatif yang dimiliki oleh tumbuhan ini dapat mempengaruhi kestabilan ekosistem padang savana. Hal ini karena ekosistem padang rumput di Padang Savana Bekol terdiri dari jenis-jenis vegetasi klimaks karena pengaruh api (fire-climax vegetation) (Alikodra, 1986). Sehingga keberadaan Acacia nilotica yang menurunkan tingkat kebakaran yang terjadi di padang savana menghalangi terbentuknya komunitas padang savana. Selain itu, spesies pohon Acacia nilotica toleran untuk tumbuh diantara spesies yang dominan pada savana terbuka, dapat berkembang lebih cepat pada saat kelembaban yang lebih tinggi tersedia dan pada saat kondisi kering dapat bertahan dari kematian secara berangsur-angsur dapat menginvasi savana (Huston, 1995).
Dampak yang nyata yaitu berkurangnya luasan savana juga mengurangi ruang gerak satwa dalam melakukan aktivitas sosial, proses belajar, kawin, serta mengasuh dan membesarkan anak. Selain itu, tumbuhan ini dapat tumbuh menyaingi hijauan pakan satwa, menaungi luasan lahan tempat tumbuh hijauan sehingga menekan perolehan sinar matahari yang dibutuhkan hijauan untuk tumbuh. Suksesi tumbuhan ini di savana dapat membentuk hutan tertutup jika terdapat kelembaban yang mencukupi untuk mendominasi savana (Huston, 1995). Apabila kondisi ekologis ini berlangsung terus tanpa pengendalian maka populasi jenis-jenis satwa dan flora endemik akan terancam (Mutaqin, 2001).
Upaya-upaya pemberantasan Acacia nilotica dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pemberantasan secara fisik, biologi dan kimiawi. Pemberantasan secara fisik bisa dilakukan dengan cara menebang atau memotong batang pada pangkal akar pada kedalaman 10-20 cm di bawah permukaan tanah. Hal ini karena pada pangkal akar akasia mempunyai tunas-tunas yang berada dalam kondisi dorman dan akan segera tumbuh apabila keadaan memungkinkan. Pemberantasan secara biologi sudah diuji coba di Australia dengan menggunakan serangga tertentu tetapi untuk kondisi di Taman
26
Nasional Baluran hal tersebut tidak memungkinkan karena akan mengganggu keaslian jenis dan keutuhan ekosistem yang ada. Pemberantasan secara kimiawi dapat dilakukan namun perlu mendapatkan pengawasan yang ketat mengingat herbisida mempunyai efek samping yang dapat meracuni organisme lain, dapat bertahan lama dalam betuk racun dalam tanah, mengakibatkan transfer racun, keracunan sekunder, penyimpanan racun dalam jaringan tubuh dan sepanjang rantai makanan.
2.3. Jenis Asing Invasif
Invasi merupakan suatu kondisi ekstrim penyebaran geografis spesies dalam kondisi yang paling memungkinkan. Jenis asing invasif adalah suatu spesies yang menyebar jauh dari distribusi aslinya, melintasi benua atau kadang menyebar ke seluruh penjuru dunia (Huston, 1995). Spesies ini berasal dari suatu tempat/ekosistem tertentu masuk atau dibawa ke suatu tempat atau ekosistem lain yang berbeda dan mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang biak dengan sangat cepat sehingga mampu mengganggu kelangsungan hidup spesies asli di tempat tersebut. Jenis asing invasif ini dapat berupa hewan maupun tumbuhan.
Di dunia ini hampir tidak ada ekosistem yang tidak terpengaruh oleh invasi tumbuhan darat walaupan hanya sedikit, khususnya oleh tumbuhan berbunga dan conifer. Spesies tumbuhan yang mempunyai potensi invasif umumnya berasal dari famili-famili yang mempunyai ruang penyebaran yang luas dengan daya reproduktif tinggi, mekanisme penyebaran yang kompleks dan konsentrasi secara alami besar seperti Asteraceae, Fabaceae dan Poaceae (Heywood, 1989). Penyebaran jenis asing invasif secara alami dapat terjadi karena angin dan hewan. Sekitar 32 % spesies tumbuhan berkayu yang invasif di Afrika Selatan mempunyai buah yang disebarkan oleh vertebrata atau mempunyai potensi untuk menyebar melalui hewan (Kruger et al., 1989).
Pada saat ini, intervensi manusia merupakan faktor penyebab utama terjadinya invasi tumbuhan, khususnya melalui pembersihan vegetasi alami untuk pertanian dan perkebunan yang dilanjutkan dengan invasi oleh spesies gulma (Heywood, 1989). Pada struktur ekosistem daerah lindung, jenis asing invasif mempunyai dampak terhadap percepatan laju kepunahan lokal dan global serta terjadinya perubahan genetis (Macdonald et al., 1989). Invasi yang terjadi pada beberapa komunitas alami di beberapa bagian dunia disebabkan oleh
27
pengenalan tumbuhan, khususnya tumbuhan berkayu, yang kemudian menjadi permasalahan paling serius yang dapat mengancam kelangsungan komunitas tersebut. Kondisi di beberapa tempat menunjukkan invasi menjadi penyebab kepunahan dan menghasilkan penurunan keanekaragaman spesies. Kepunahan yang cepat dapat merupakan hasil dari: 1) interaksi predator-mangsa atau induk semang-parasit; atau 2) masuknya jenis asing invasif yang mempunyai jenis fungsional sama dengan spesies yang ada (Huston, 1995).
Pola penyebaran jenis asing invasif ditentukan oleh kondisi lingkungan, terutama iklim dan status nutrisi tanah tempat baru yang dimasuki (Kruger, 1989). Pengaruh perubahan suatu habitat akibat invasi bervariasi tergantung pada bioklimatik daerah tersebut. Pada daerah mediterania dan ekosistem pulau, keberadaan jenis asing invasif memiliki pengaruh yang besar. Padang rumput dan penggembalaan merupakan ekosistem yang kaya akan jenis asing invasif dan banyak berubah dari kondisi aslinya karena suatu perluasan untuk kepentingan manusia (Heywood, 1989).
Pemahaman ekologi invasi membutuhkan perhatian terhadap tiga hal berikut: 1) laku dan mekanisme transport atau perpindahan organisme; 2) karakteristik organisme yang menjadikannya invasif; 3) kondisi ekosistem yang membuat ekosistem tersebut rentan atau resisten terinvasi (Huston, 1995).
2.4. Pendekatan Sistem
Suatu sistem merupakan suatu kumpulan objek yang masing-masing bekerja untuk menjaga keseimbangan kinerja sistem dengan lingkungannya (Caswell et al., 1972). Sistem adalah suatu kumpulan dari bagian-bagian yang berinteraksi menurut proses tertentu (Odum, 1992). Analisis sistem merupakan suatu cara mengorganisasikan data dan informasi secara teratur dan logik menjadi model-model yang kemudian diikuti dengan berbagai uji dan eksplorasi dari model-model tersebut untuk validasi dan penerapan model (Jeffers, 1978). Kegiatan analisis sistem ini lebih menekankan pada hubungan yang terjadi antar bagian-bagian. Sedangkan menurut Kendall dan Kendall (1992), analisis sistem dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: 1) mengidentifikasi masalah, peluang dan tujuan; 2) menentukan informasi yang dibutuhkan; 3) menganalisis kebutuhan sistem; 4) merancang sistem yang direkomendasikan; 5) membangun dan mendokumentasikan software; 6) menguji dan membangun sistem; dan 7) menerapkan dan mengevaluasi sistem.
28
Pendekatan dalam analisis sistem dapat dilakukan dengan membangun model. Pemodelan merupakan suatu rangkaian aktivitas pembuatana model (Eriyatno, 2003). Suatu model merupakan suatu perumusan yang menirukan kejadian alam sebenarnya untuk membuat peramalan-peramalan (Odum, 1993) dan merupakan gambaran abstrak dari sistem dunia nyata dalam kondisi tertentu (Winardi, 1989). Dalam pembuatan model suatu sistem maka pengelolaan sumberdaya alam suatu daerah dapat digambarkan dalam bentuk masukan luaran (Soerianegara, 1978). Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari kinerja dunia nyata dan untuk membantu dalam mengenali struktur dan perilaku sistem, dapat digunakan model grafik yang terdiri atas diagram sebab akibat (causal loop), diagram kotak hitam (black box) dan diagram alir (flow chart).
Menurut Eriyatno (2003), pemodelan dapat dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu: 1) tahap seleksi konsep; 2) tahap rekayasa model; 3) tahap implementasi komputer; 4) tahap validasi; 5) analisis sensitivitas; 6) analisis stabilitas; dan 7) aplikasi model. Model dapat dibuat dalam beberapa bentuk (Jeffers, 1978), diantaranya:
1. Model deskriptif (word model), sebagai suatu preliminary yang penting untuk pemodelan di mana di dalamnya semua teronsentrasi pada masalah yang harus dipecahkan yang dikombinasikan untuk menghasilkan suatu gambaran sistem ekologi dalam kata-kata. 2. Model matematika, merupakan suatu logika simbolis yang dapat
mengekspresikan pemikiran–pemikiran terutama hubungan-hubungan yang sangat kompleks sehingga dapat dihasilkan suatu ekspresi yang sederhana dan ringkas.
Model matematika dapat berupa model dinamik, model compartment, model matriks model multivariate, model optimisasi dan lain-lain.