TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Tanaman Industri (HTI)Hutan tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistim silvikultur intensif dan diharapkan sebagai salah satu solusi mengatasi deforestasi. Adapun Hutan Tanaman industri (HTI) adalah hutan tanaman yang ditujukan untuk penyedian bahan baku industri secara berkelanjutan. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam kawasan hutan produksi, yang kegiatannya terdiri dari penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan, dengan pemilihan jenis yang disesuaikan dengan kebutuhan industri pengolahan hasil hutan kayu.
Dengan demikian Hutan Tanaman Industri merupakan hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan berdasarkan azas manfaat yang lestari dan azas ekonomi perusahaan dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistim silvikultur intensif, dimana menurut Manan (1992) ada beberapa kemungkinan cara melaksanakan HTI di Indonesia, yaitu :
1. Melalui konversi hutan alam produksi yang berkriteria hutan rawang, yaitu hutan yang tidak produktif, berpotensi rendah dan understocked. Misalnya akibat perladangan berpindah yang memunculkan hutan sekunder dan belukar, bekas kebakaran, atau telah mengalami pembalakan berulang-ulang.
2. Membangun HTI pada tanah kosong dan yang ditumbuhi alang-alang serta semak. Secara ekologis terjadinya keadaan lahan seperti ini disebabkan hal yang sama seperti tipe pertama di atas, tetapi lebih intensif dan parah, sehingga terjadi suksesi alam yang retrogesif dan dapat melahirkan lahan kritis. Pada keadaan ini tanaman yang dipilih adalah jenis pohon pionir yang mampu tumbuh di bawah sinar matahari lansung.
3. Melalui penerapan sistim silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) di areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Meskipun potensi hutan tidak tergolong kriteria hutan rawang atau kurang produktif, namun karena untuk memasok kebutuhan bahan baku kayu untuk
industri dalam skala besar, maka sistim tebang habis dilaksanakan dan hutan dibangun kembali dengan jenis cepat tumbuh pada lahan bekas hutan alam tersebut.
4. Melalui konversi hutan tanaman yang telah masak tebang dan kemudian diganti dengan menanam jenis lain yang diharapkan lebih baik dan produktifitasnya lebih tinggi, namun jenis pohon semula memang jenis kayu industri juga.
Pada peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahan HTI disebutkan bahwa areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif. Sistim silvikultur yang diterapkan adalah sistim Tebang Habis Permudaan Buatan. Permudaan yang dilaksanakan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, baik industri kayu lapis maupun industri pulp dan kertas atau industri pertukangan lainya.
Hutan tanaman merupakan sebuah sumberdaya yang tumbuh (A Growing
Resource) yang tidak dapat dibiarkan tampa memeliharanya. Pemeliharaan yang
sesuai pada saat yang tepat dapat mengarahkan pertumbuhan tegakan agar mendapatkan hasil akhir yang diinginkan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.
Mengingat tujuan yang penting, yaitu untuk dapat memproduksi kayu bagi penyediaan bahan baku industri perkayuan secara teratur dan berkesinambungan, maka perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis-jenis pohon yang dipilih untuk pembangunan HTI ini terdiri dari :
1. Untuk kayu pertukangan : Shorea stenoptera, Switenia marcophylla,
Pareserianthes falcataria, Pinus mercusii, Eucalyptus spp, Shorea leprosula, Dipterocarpus spp, Agathis boornensis.
2. Untuk pulp dan kertas : Pinus merkusii, Eucalyptus spp, Anthocephalus
cadamba, Acacia mangium, Pareserianthes falcataria, Leucaena leucocephala, Aleurites moluccana.
3. Untuk kayu bakar/energi : Acacia auriculiformis, Leucaena
Sifat Botanis dan Penyebaran Tegakan Acacia mangium
Sifat botanis
Acacia mangium termasuk Sub famili Mimosoidea, Famili Leguminose,
sebelumnya nama species ini adalah Mangium Montanum Rumph yang kemudian diganti oleh C.L.Willdenow (Pinyopusarerk 1993). Secara umum jenis ini dikenal dengan nama mangium, brown salwood, hickory wattle dan sabah salwood (National Academy of Science 1983), diacu dalam (Wasis 2006). Sedangkan di Ambon nama asli jenis ini dikenal dengan nama Mangi-mangi.
Acacia mangium termasuk jenis pohon, tingginya dapat mencapai 30 m dan
diameternya bisa mencapai 90 cm atau lebih. Ranting kuat berbentuk segitiga tajam, yang disebut daun pada dasarnya bukanlah daun tetapi tangkai daun yang melebar dan berfungsi sebagai daun, disebut Phyllodia. Daun yang sudah dewasa sangat besar dengan lebar 5 sampai 10 cm dan panjang 25 cm, berwarna hijau tua terdapat 4 atau kadang-kadang 3 buah tulang daun utama. Tulang daun utama berbentuk memanjang dan menyolok yang muncul pada ujung daun dan menyatu kembali pada pangkal daun, sedang tulang daun sekunder berbentuk jala tetapi tidak tampak jelas (National Academy of Science (1983) diacu dalam Wasis (2006). Buah berbentuk polong kering merekah yang melingkar ketika masak, agak keras, panjang 7-8 cm, lebar 3-5 mm. Benih mengkilap, lonjong 3-5 x 2-3 mm, dengan ari (funicle) kuning cerah atau orange yang terkait dengan benih. Terdapat 66.000 - 120.000 benih/kg. Umumnya kulit batang bagian bawah beralur longitudinal berwama coklat terang sampai coklat tua (Davidson 1982 diacu dalam Wasis 2006).
Riap rata-rata tahunan adalah 20-46 m3 per hektar per tahun dengan daur 8-10 tahun. Pada lahan yang terganggu seperti bekas kebakaran, tanah lempung yang sudah kurus dengan dasar batuan vulkanis, tanah gersang bekas perladangan liar, lereng terjal, lahan alang-alang, jenis ini dapat memproduksi kayu rata-rata 20 m3/ha/tahun (National Academy of Science 1983 diacu dalam Wasis 2006). Jenis Acacia mangium secara umum pembiakannya dilakukan dengan menggunakan biji atau benih, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ini dapat dilakukan pengembangbiakan secara vegetatif yaitu melalui Kultur jaringan (Hakim 1999).
Penyebaran
Acacia mangium secara alami tersebar di daerah Australia bagian utara, Irian
jaya(Papua) bagian selatan (Fak-fak, Manokwari, Sedai, sepanjang sungai Digul dan Merauke), di kepulauan Aru (Pulau Tragan dan kepulauan Ngaibar) dan Maluku (pulau Sulau, Taliabu, Teje dan Seram). Sedangkan menurut Nicholson (1981) jenis ini tumbuh secara alami di Australia timur laut, Papua Nugini dan Indonesia bagian timur (Maluku dan Irian Jaya) dan menyebar dari batas Irian Jaya (0 – 50o LS) sampai bagian selatan Queensland, Australia (sekitar 19o LS).
Tegakan sisa yang cukup luas di temui di daerah Daintre River (11o LS), Heatlands (11o LS), daerah Champ China (16o LS) dan Wenlock Nugini. Sedangkan menurut Awang dan Taylor (1993) diacu dalam Wasis (2006), penyebaran Acacia mangium di Papua Nugini tersebar merata di daerah dataran rendah dari propinsi bagian barat Papua Nugini, mulai dari daerah selatan danau Murray sampai ke pantai dan dari batas Irian Jaya sampai ke Fly River di daerah Balimo.
Persyaratan Tumbuh Acacia mangium
Tanah
Acacia mangium merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap kondisi
tanah. Tanaman ini sangat baik tumbuh pada tanah yang subur dengan drainase yang baik (tetapi drainase tanah tidak sangat cepat). Tanaman ini dapat tumbuh baik pada tanah terkikis, ataupun tanah miskin mineral dan juga pada tanah Entisol (Dulsalam 1987). Ditambahkan oleh Retnowati (1988), Acacia mangium dapat tumbuh pada lahan bekas kebakaran, pada tanah Ultisol dari batuan vulkanis. Acacia mangium mampu tumbuh pada tanah-tanah masam dengan pH serendah 4,2. Hal ini merupakan keistimewaan yang membedakannya dengan tanaman leguminosa lainnya.
Acacia mangium tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang tinggi. Dapat
tumbuh dengan baik pada tanah yang miskin hara dan tidak subur, padang alang-alang, bekas tebangan dan mudah beradaptasi. Pada tanah yang jelek masih dapat tumbuh lebih baik dari jenis pohon cepat tumbuh lainnya (Siregar et al. 1991; Susanto et al. 1997).
Di Sabah Acacia mangium dikembangkan pada lahan dengan pH 4,5 dan jenis tanahnya Entisol dan Ultisol. Adaptasinya terhadap berbagai tipe lingkungan merupakan keistimewaan dari jenis ini, sehingga patut diperhatikan pengembangannya dalam hutan tanaman industri (Rahayu et al. 1991). Tanaman ini merupakan tumpuan dan harapan untuk perjuangan melawan kerusakan lahan dan hutan di daerah tropik (Soerjono 1989).
Nicholson (1981) diacu dalam Fauzi (2001) menyatakan bahwa Acacia
mangium dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah tetapi jarang tumbuh pada
tanah-tanah yang mempunyai lapisan padas, tumbuh baik pada tanah-tanah yang mempunyai batuan metamorfik dan granitik serta tanah datar jenis coastal dimana umumnya merupakan jenis batuan alluvium quartener. Menurut National Academy of Science (1983), diacu dalam Wasis (2006) jenis ini tumbuh dengan baik pada tanah tererosi, tanah mineral dan tanah alluvial. Di pulau Seram tumbuh pada tanah Podsolik Merah Kuning, sedang di Sabah telah ditanam pada tanah Entisol dan Ultisol yang bersifat asam. Adaptasi dan perkembangan tanaman Acacia
mangium pada lahan reklamasi bekas tambang batubara yang mempunyai sifat
fisika dan kimia tanah yang marginal sampai umur 4 tahun 4 bulan menunjukkan pertumbuhan cukup baik (Tampubolon et al. 1996).
Iklim
Acacia mangium adalah jenis pohon yang memerlukan tempat tumbuh yang
basah (Dulsalam 1987). Pada tempat tumbuh daerah asalnya, curah hujan tahunan bervariasi antara 1000 mm sampai lebih 4500 mm per tahun.
Di Indonesia Acacia mangium berhasil baik tumbuh pada lokasi yang menerima curah hujan 1500 mm sampai 3100 mm per tahun (Retnowati, 1988). Suhu udara maksimum berkisar antara 31o C – 34o C, sedangkan suhu udara minimum berkisar antara 22o C – 25o C. Kelembaban tanah yang tinggi sepanjang tahun biasanya sangat diperlukan.
Menurut Dulsalam (1987), seperti kebanyakan spesies pionir, Acacia
mangium tumbuh lebih baik pada sinar matahari penuh, karena kondisi demikian
Produktifitas Lahan Hutan
Porduktifitas lahan hutan adalah potensi tegakan yang dihasilkan oleh lahan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Davis dan Johnson (1987), diacu dalam Suhendang (1990) menamakan dimensi tegakan dengan istilah ciri tegakan yang dapat berbentuk fisik (volume, luas bidang dasar, dll) atau nilai tegakan yang dinyatakan dalam uang.
Tingkat produktifitas lahan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu faktor adalah jenis penggunaan lahan. Masing-masing jenis penggunaan lahan menyebabkan tingkat produktifitas yang berbeda. Keragaman tingkat produktifitas lahan tersebut disebabkan kemampuan lahan, jenis tanaman yang diusahakan, tingkat teknologi yang digunakan serta faktor pembatas lainnya (Direktorat Tata Guna Tanah 1984 diacu dalam Kusdiantoro 1998).
Kemampuan tanah menyediakan unsur hara bagi tanaman merupakan persoalan utama dalam produksi tanaman. Tanaman dapat tumbuh serta memberikan hasil yang baik jika tumbuh pada tanah yang cukup kuat menunjang tegaknya tanaman, tidak mempunyai lapisan penghambat perkembangan akar, beraerasi baik, tingkat kemasaman sekitar netral, tingkat kelarutan garam yang rendah serta cukup tersedia unsur hara dan air yang berada dalam kondisi seimbang. Tanah yang subur ditunjukan oleh kemampuannya dalam menyediakan unsur hara dalam jumlah yang cukup serta dalam keseimbangan yang tepat dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan suatu species tanaman (Islami dan Utomo 1995).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tegakan
Hubungan kualitas tempat tumbuh dengan pertumbuhan Acacia mangium Kualitas tempat tumbuh merupakan penjumlahan banyak faktor lingkungan: kedalaman tanah, karakteristik propil, komposisi mineral, kecuraman lereng, arah lereng, iklim mikro, jenis tanah dan lain-lain. Faktor-faktor ini berturut-turut merupakan fungsi sejarah geologis, fisiografis, iklim mikro dan perkembangan suksesi (Daniel et al. 1987). Sedangkan faktor tempat tumbuh tegakan adalah totalitas dari peubah keadaaan tempat tegakan, mencakup bentuk lapangan, sifat-sifat tanah dan iklim yang memiliki tingkat keeratan hubungan yang cukup tinggi
dengan dimensi tegakan. Peubah-peubah ini tidak perlu berupa faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tegakan (Suhendang 1990).
Wilde (1958) diacu dalam Wasis (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya produktivitas tanah hutan dipengaruhi oleh faktor-faktor primer dan sekunder. Faktor-faktor primer ini terdiri atas kondisi umum iklim, topografi, drainase, batuan asal, tekstur tanah, profil tanah dan lain lain ciri tanah. Sedangkan faktor-faktor sekunder antara lain serasah, simbiosis organisme, iklim mikro dan spesies tumbuhan. Pertumbuhan pohon sangat ditentukan oleh interaksi antara tiga faktor yaitu keturunan, lingkungan dan teknik pembudidayaan (silvikultur) (Kramer dan Kozlowski 1960) diacu dalam Wasis (2006).
1. Faktor genetik pada hutan tanaman Acacia mangium
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perlu dipahami sehingga kita dapat melakukan manipulasi pertumbuhan tanaman agar dapat diperoleh hasil produksi yang menguntungkan. Adapun faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang dapat dimanipulasi yaitu faktor genetik dan faktor tanah. Keragaman pertumbuhan akibat keragaman genetis diduga sangat kecil apabila biji yang ditanam berasal dari sumber biji yang sama.
2. Sifat-sifat tanah
Faktor lingkungan adalah faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan tegakan hutan yaitu iklim, bentuk lahan, ketinggian tempat dan topografi, dimana secara umum sangat sulit untuk dikendalikan atau dikelola. Upaya yang dilakukan pada kegiatan budidaya tanaman yaitu melalui pendekatan kepada kesesuaian lahan. Peningkatan pertumbuhan pohon atau tanaman dapat dilakukan melalui perbaikan kesuburan tanah.
Tanah merupakan faktor edafis yang penting bagi pertumbuhan perakaran pohon dan perkembangannya. Kegiatan kehutanan dan pertanian memerlukan tanah yang subur untuk berhasilnya usaha penanaman. Kesuburan tanah diartikan sebagai kesuburan kimiawi dan fisika, yang memungkinkan pohon tumbuh dengan baik dan menghasilkan kayu produk lainnya. Kesuburan tanah ditentukan oleh sifat kimia, fisika dan biologis tanah. Kesuburan tanah merupakan kekuatan di dalam budidaya hutan tanaman, tanah yang subur akan memberikan peluang keuntungan yang besar dalam pengusahaan hutan tanaman (Tobing 1995).
a. Sifat kimia tanah
Tanah merupakan perantara penyedia faktor-faktor suhu, udara, air dan unsur hara yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, terutama unsur-unsur hara esensial. Unsur hara esensial dapat berasal dari udara, air dan tanah.
Penelitian hubungan kualitas tempat tumbuh dengan peninggi tegakan
Acacia mangium menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi peninggi
yaitu umur dan kandungan K (Chaerudy 1994). Sedangkan menurut Rukmini (1996) faktor yang mempengaruhi adalah umur, kandungan P, C organik, pH dan tebal lapisan A. Hasil penelitian Kusnadi (1998) diacu dalam Wasis (2006), pada hutan tanaman Acacia mangium secara tegas mendiagnosis unsur hara K dan P masing-masing sebagai hara yang paling defisien urutan pertama dan kedua sehingga direkomendasikan untuk memberi input baik berupa pupuk maupun pengapuran.
Tanaman cepat tumbuh diduga memerlukan unsur hara yang banyak untuk pertumbuhannya sehingga menyebabkan unsur hara dari tanah akan cepat terkuras. Pemberian pupuk fosfat (TSP) terbukti berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan biomassa anakan Acacia mangium dan telah menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan biomassa sebesar 34,2% pada dosis 300 ppm (Kusumawati 1998).
b. Sifat fisika tanah
Sifat fisika tanah terutama penting dalam hubungannya dengan kandungan air, aerasi, drainase dan kandungan hara. Pada tanah yang padat aerasi menjadi buruk. Dalam kondisi demikian pengambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida tidak berjalan dengan baik. Keadaan sifat fisika tanah sangat mempengaruhi kesuburan tanah terutama dalam perbaikan tekstur dan struktur tanah. Penelitian Soedomo (1984) menunjukkan bahwa sifat fisika tanah merupakan komponen yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan tegakan hutan dan diyakini bahwa sifat fisika tanah lebih penting pengaruhnya dibandingkan dengan sifat kimia dan biologi tanah.
Penelitian di lahan kritis Padang Lawas menunjukkan bahwa sifat fisika tanah yaitu tekstur tanah dan pengolahan tanah dibandingkan sifat kimia lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman muda Acacia
mangium (Butar et al. 1993). Pertumbuhan tinggi Acacia mangium yang terbaik
sampai dengan umur dua tahun didapat melalui pengolahan tanah, total tingginya yaitu 6,83 m dan paling rendah pertumbuhannya dengan perlakuan land clearing yaitu sebesar 3,83 m. Pengolahan tanah akan memperbaiki sifat fisika tanah dan menekan pertumbuhan alang-alang sehingga tidak terjadi persaingan hara dan air dengan tanaman pokok (Kusnandar 1996).
Hasil penelitian Soedomo (1984) pada tegakan pinus menunjukkan bahwa si fat fisika tanah yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan tegakan adalah ketebalan lapisan A, penetrabilitas tanah, tekstur tanah, kadar air tersedia dan bulk density (limbak).
Faktor ketebalan tanah lapisan atas (top soil) merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan tanaman. Lapisan ini merupakan zona perakaran tanaman dan tempat hidup berbagai makro dan mikro organisme tanah. Lapisan atas (horison A) umumnya memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi, lebih subur dan memiliki sifat fisika tanah yang lebih baik dibandingkan lapisan lainnya (Soedomo 1984).
Kadar air tersedia adalah kondisi air pada kapasitas lapang (field capacity) sampai dengan kondisi titik layu permanen. Kapasitas lapang adalah jumlah kandungan air di dalam tanah sesudah air gravitasi turun semua, sampai batas akar tanaman tidak mampu mengisap air tanah lagi. Menurut penelitian Ang et al. (1997) diacu dalam Wasis (2006) tanaman Acacia mangium yang tumbuh pada tanah yang kekeringan akan mempunyai fotosintesa lebih rendah dibandingkan dengan yang tumbuh pada lahan yang basah.
Pertumbuhan Tegakan Acacia mangium
Pertumbuhan adalah menunjukkan total jumlah hasil sampai periode waktu tertentu, sedangkan arti laju pertumbuhan menunjukkan jumlah untuk setiap periode waktu tertentu, biasanya dinyatakan untuk setiap tahun. Riap adalah laju pertumbuhan tegakan dalam satuan m3/ha/tahun. Kurva pertumbuhan mahluk hidup secara ideal berbentuk sigmoid, dengan syarat matematis sebagai berikut, (a) melalui titik nol pada saat awal pertumbuhan (a =.0) dan mencapai titik nol pada akhir pertumbuhan (A = tak terhingga), (b) mempunyai titik belok (Q). Titik Q adalah titik belok kurva hasil, dicapai pada saat laju pertumbuhan
maksimum dan (c) memiliki garis asimptot yaitu suatu garis yang bersifat tetap dan mendatar yang terjadi pada akhir pertumbuhan (Suhendang 1990).
Dalam kegiatan pengelolaan hutan dibedakan pengertian pertumbuhan tegakan dan hasil tegakan. Menurut Davis dan Johnson (1987) diacu dalam Suhendang (1990), pertumbuhan tegakan adalah perubahan ukuran dari sifat terpilih dari tegakan (dimensi tegakan) yang terjadi selama periode waktu tertentu. Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai waktu tertentu.
Perbedaan antara pertumbuhan dan hasil tegakan terletak pada konsepsinya yaitu produksi biologis untuk pertumbuhan tegakan dan pemanenan untuk hasil tegakan. Pengelolaan hutan berada pada kelestarian hasil apabila besarnya hasil sama dengan pertumbuhan dan berlansung terus menerus. Secara umum dapat dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu itu, sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus menerus setiap periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu itu (Suhendang 1990).
Tanaman Acacia mangium untuk kelas perusahaan kayu serat (pulp)
umumnya tidak dilakukan perlakuan penjarangan dan daur bisa diperpendek menjadi 6 - 8 tahun, sedangkan untuk kelas perusahaan kayu pertukangan sejak awal harus dilakukan secara intensif kegiatan wiwilan (pruning) dan penjarangan (thinning) dengan daur 10 tahun (Djojosoebroto 2003b). Produksi maksimum tegakan Acacia mangium dicapai umur sekitar 6 tahun, pada saat kurva riap tahunan berjalan (CAI) dan riap tahunan rata-rata (MAI) saling berpotongan (Fadjar 1996).
Jenis tanaman Acacia mangium di beberapa literatur menyebutkan bahwa perkiraan riap volume sebesar 20 sampai dengan 30 m3 per ha/thn. Dengan daur 7 tahun maka potensi per ha pada akhir daur berkisar antara 140 sampai dengan 210 m3 per ha. Pada kenyataannya beberapa data sulit untuk
mencapai potensi tersebut, dimana rata-rata maksimal yang dapat dicapai adalah 100 m3 per ha. Beberapa perusahaan yang sudah panen menginformasikan bahwa
rata-rata potensi hutan tanaman yang dapat dipanen sebesar 80 m3 per ha (Purnomo 2002).
Pembangunan hutan tanaman industri jenis Acacia mangium menunjukkan bahwa pemanfaatan tegakan hampir dilakukan seluruh bagian tegakan. Daun/serasah digunakan untuk media tumbuh persemaian, ranting dan cabang untuk pembuatan arang dan batang pohon untuk kayu pulp dan pertukangan (pada pemanenan akan dilakukan pembagian batang dimana kelas diameter di atas 20 cm untuk kayu pertukangan dan diameter di bawah 20 cm untuk pulp). Sehingga hasil tegakan yang dipanen untuk dimanfaatkan adalah biomassa tegakan tersebut. Menurut Mindawati (1999) pada setiap aktivitas pemanenan tegakan Acacia mangium perlu meninggalkan bagian-bagian tanaman selain kayu di lantai hutan, hal tersebut untuk memperbanyak unsur hara yang dapat dikembalikan pada areal tersebut.