• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PRIORITAS PENGEMBANGAN WILAYAH BERDASARKAN POTENSI PERTANIAN PADI (Studi Kasus Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan) A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PRIORITAS PENGEMBANGAN WILAYAH BERDASARKAN POTENSI PERTANIAN PADI (Studi Kasus Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan) A."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PRIORITAS PENGEMBANGAN WILAYAH

BERDASARKAN POTENSI PERTANIAN PADI

(Studi Kasus Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan)

A.NUR AZISA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Prioritas Pengembangan Wilayah Berdasarkan Potensi Pertanian Padi (Studi Kasus Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2008 A. Nur Azisa NRP. A353 060 061

(3)

ABSTRACT

A.NUR AZISA. A Regional Development Priority Based on Paddy Agriculture Potential. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and ISKANDAR LUBIS.

Bone Regency has high potential in agriculture sectors, especially paddy and palawija (maize, peanuts, nudge-beans, soya-beans, sweet potatoes, and cassava). The number of farmers of paddy fields in Bone regency is about 168,030 or 24.12 percent of the total citizens and paddy production contributes 25.51 percent to GDP of foodcrops. So that paddy sector provides a labour opportunity and income of the people about 25-30 percent. The aims of the research were : (1) to identify land potential of paddy through land suitability, (2) to know paddy production centers based on comparative advantages. (3) to know sub district tipology based on development in region for paddy development. (4) to formulate specific policies for development of paddy. The research was conducted by survey method and literature study. Data analysis consisted of land suitability analysis, LQ, tipology analysis (PCA&CA), land rent analysis, and SWOT analysis.

The results of land suitability analysis showed that Bone regency is potential for regional direction development of paddy covering there are 49.322 ha wide. The result of LQ analysis showed that food crop commodity especially the paddy crop has a value LQ>1 at the most, depicting concentration of development of paddy in 18 districts. The result of tipology analysis indicated 3 regional tipologies comprising developed regional tipology represented by 2 districts, a partly developed regional tipology consisting of 10 districts, and 15 districts of underdeveloped regional tipology. The result of land rent analysis indicated that developed regional tipology, partly developed regional tipology, and underdeveloped regional tipology had a value of Rp 17.431.700 ha/year, Rp 6.847.800 ha/year, and Rp 3.825.900 ha/year. The result of SWOT analysis resulted in alternative strategies in policy making for development of paddy in Bone regency consisting at: (a) exploiting regional potential, (b) improving partnerering pattern, (c) building facilities for agriculture and providing cheap manure, (d) increasing agriculture technology and information system by improving human resource, (e) processing rice into valuable food of high economy.

Based on the analysis the 16 districts (Kahu, Barebbo, Libureng, Awangpone, Dua Boccoe, Ponre, Lappariaja, Cenrana, Bontocani, Cina, Tanete Riattang, Tanete Riattang Barat, Tanete Riattang Timur, Bengo dan Ajangale) are suitable regions for paddy development. There are two factors to be considered for paddy development : land area development and increasing production. Land area development should be focussed on areas where water resources are a production constraint. In order to increase production, it is also important to take into account the carrying capacity of resources in the regions as well as cost analysis.

(4)

RINGKASAN

A NUR AZISA. Analisis Prioritas Pengembangan Wilayah Berdasarkan Potensi Pertanian Padi. Dibimbing oleh Dr. Ir. KUKUH MURTILAKSONO, MS. DAN Dr. Ir. ISKANDAR LUBIS, MS.

Kabupaten Bone memiliki potensi besar pada sektor pertanian khususnya pertanian tanaman pangan. Pertanian tanaman pangan terdiri dari padi dan palawija (jagung, kacang, kacang tanah, kedelai, ubi jalar, dan ubi kayu). Dari sisi PDRB peranan sektor pertanian terhadap perekonomian kabupaten Bone masih cukup besar yakni rata-rata 56,33 %. Tingginya peranan ini ditopang oleh sub-sektor tanaman pangan khususnya tanaman padi dengan kontribusi rata-rata 25,51 %. Dilihat dari lapangan usaha, sebagian besar penduduk Kabupaten Bone bekerja di sektor pertanian yang berjumlah 168.030 jiwa dari jumlah sebanyak 696.712 jiwa atau 24,12 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di beberapa kecamatan di Kabupaten Bone perekonomiannya masih mengandalkan pada pertanian tanaman pangan. Tujuan penelitian untuk (1) Mengidentifikasi pemanfaatan lahan padi melalui evaluasi kesesuaian lahan, (2) Mengetahui sentra produksi komoditas padi, (3) Mengetahui tipologi kecamatan berdasarkan tingkat perkembangan wilayah untuk pengembangan padi, (4) Merumuskan prioritas kebijakan arahan pengembangan padi.

Penelitian ini menggunakan metode survey dan studi pustaka. Untuk mengidentifikasi potensi lahan padi digunakan analisis kesesuaian lahan metode FAO (1976) yang berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah (LREP II, 1994), penentuan sentra basis produksi padi menggunakan analisis LQ, untuk mengetahui kecamatan yang akan dijadikan wilayah pengembangan padi menggunakan analisis tipologi (PCA&CA), analisis land rent digunakan untuk mengetahui pendapatan petani dari sebidang sawah perhektar pertahun, dan Analisis SWOT digunakan untuk memperoleh alternatif strategi kebijakan arahan pengembangan padi di kabupaten Bone, dengan lingkup unit analisis yaitu kabupaten Bone.

Hasil penelitian menghasilkan bahwa kabupaten Bone memiliki lahan potensial untuk dijadikan sebagai wilayah pengembangan padi seluas 49.322 ha. Hasil analisis LQ berdasarkan luas lahan tanaman pangan di Kabupaten Bone, menunjukkan bahwa komoditas tanaman pangan khususnya tanaman padi memiliki nilai LQ>1 paling banyak, sehingga merupakan keunggulan komparatif dari sisi penawaran dan menggambarkan pemusatan pengembangan padi di 18 kecamatan. Hasil analisis tipologi wilayah pengembangan padi diperoleh tiga tipologi wilayah yaitu tipologi wilayah berkembang sebanyak 2 kecamatan, tipologi wilayah cukup berkembang sebanyak 10 kecamatan, dan tipologi wilayah belum berkembang sebanyak 15 kecamatan. Hasil analisis Land rent dengan tipologi wilayah berkembang sebesar Rp. 17.431.700 ha/thn, tipologi wilayah cukup berkembang sebesar Rp. 6.847.800 ha/thn, dan tipologi wilayah belum berkembang sebesar Rp. 3.825.900 ha/thn. Hasil analisis SWOT diperoleh alternatif strategi kebijakan arahan pengembangan padi di Kabupaten Bone : (a) Memanfaatkan potensi wilayah, (b) Meningkatkan pola kemitraan, (c) Membangun sarana prasarana pendukung pertanian dan menyediakan pupuk murah, (d) Peningkatan penerapan teknologi budidaya dan sistem informasi

(5)

melalui peningkatan kualitas SDM, (e) Mengolah beras menjadi panganan yang bernilai ekonomi tinggi

Berdasarkan hasil overlay peta potensi luas areal pengembangan padi, peta potensi pengembangan padi pada penggunaan lahan eksisting, hasil analisis LQ, analisis tipologi wilayah, dan analisis SWOT diperoleh rekomendasi wilayah arahan pengembangan padi sebanyak 16 kecamatan. Kecamatan yang merupakan wilayah prioritas pengembangan padi antara lain kecamatan Kahu, Barebbo, Libureng, Awangpone, Dua Boccoe, Ponre, Lappariaja, Cenrana, Bontocani, Cina, Tanete Riattang, Tanete Riattang Barat, Tanete Riattang Timur, Bengo dan Ajangale. Ada dua faktor yang dipertimbangkan dalam pengembangan padi yaitu dengan perluasan areal lahan dan peningkatan produksi. Upaya peningkatan produksi dengan mempertimbangkan daya dukung sumberdaya diberbagai daerah, dan upaya perluasan areal dengan mempertimbangkan secara matang mengingat

opportunity cost sangat tinggi dan daya dukung lahan makin menurun. Perluasan areal lahan tanam difokuskan pada lahan-lahan yang memiliki sumber air yang cukup dengan kendala produksi seminimal mungkin.

Kata Kunci : Arahan pengembangan, Padi, Wilayah, Kabupaten Bone

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengaturan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

ANALISIS PRIORITAS PENGEMBANGAN WILAYAH

BERDASARKAN POTENSI PERTANIAN PADI

(Studi Kasus Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan)

A.NUR AZISA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(8)

Judul Tesis : Analisis Prioritas Pengembangan Wilayah Berdasarkan Potensi Pertanian Padi

(Studi Kasus Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan) Nama : A. Nur Azisa

NIM : A 353060061 Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Ketua

Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS. Anggota Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan

Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Ridho-Nya Tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan April 2008 ini adalah Analisis Prioritas Pengembangan Wilayah Berdasarkan Potensi Pertanian Padi (Studi Kasus Kabupaten Bone, Propinsi Sulawesi Selatan).

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS. selaku komisi pembimbing.

2. Dr. Ir. Setiahadi, MS. selaku dosen penguji luar komisi.

3. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah.

4. Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bone dan staf, Kepala Bappeda Kabupaten Bone dan staf, Pemda Kabupaten Bone dan staf, atas bantuan dalam penyediaan data dan fasilitas lainnya.

5. Yayasan Damandiri atas bantuan dana dalam penyelesaian penelitian

6. Kedua orangtua (H. Andi Hamri Mappa dan Hj. Andi Muliana), kakak-kakakku dan adik-adikku, serta seluruh keluarga besar atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.

7. Sahabat-sahabat PWL, baik kelas reguler maupun khusus angkatan 2006 atas segala dukungan dan kerjasamanya.

8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua

Bogor, November 2008 A.Nur Azisa

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kecamatan Mare Kabupaten Bone pada tanggal 02 Agustus 1982 sebagai anak ke tiga dari lima bersaudara dari pasangan H. Andi Hamri Mappa dan Hj. Andi Muliana. Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri 372 Mare dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikannya pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Jurusan Manajemen Hutan. Penulis menamatkan pendidikan pada tahun 2004.

Tahun 2006 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 7 Tujuan Penelitian ... 7 Manfaat Penelitian ... 7 TINJAUAN PUSTAKA ... 8 Pengembangan Wilayah ... 8

Peran Sektor Pertanian ... 11

Konsepsi Ketahanan Pangan ... 12

Tanaman Padi ... 15

Sumber Daya Lahan Pertanian ... 18

Evaluasi Kesesuaian Lahan ... 19

Prioritas Pembangunan ... 22

METODE PENELITIAN ... 25

Kerangka Pikir Penelitian... 25

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

Metode Pengumpulan Data ... 29

Metode Analisis Data ... 30

Analisis Kesesuaian Lahan FAO (1976) ... 30

Analisis Sentra Komoditas Pertanian Padi ... 33

Analisis Tipologi Kecamatan Berdasarkan Tingkat Perkembangan Wilayah Untuk Pengembangan Padi ... 34

Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) ... 34

Analisis Kluster (Cluster Analysis) ... 36

Analisis Land Rent Usahatani Padi ... 38

Analisis SWOT ... 39

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 42

Keadaan Geografis ... 42 Kependudukan ... 46 Penggunaan Lahan ... 48 Ketenagakerjaan ... 50 Pendapatan Regional ... 52 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

Identifikasi Potensi Lahan untuk Pemanfaatan Lahan Padi ... 54

(12)

Analisis Tipologi Kecamatan Berdasarkan Tingkat Perkembangan

Wilayah Untuk Pengembangan Padi ... 67

Analisis Land Rent Usahatani Padi ... 79

Analisis SWOT ... 83

Rekomendasi Pengembangan Wilayah Berdasarkan Potensi Pertanian Padi ... 91

KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas panen, produksi, dan produktivitas padi di kabupaten Bone Tahun

1999-2007 ... 5

2. Struktur ekonomi kabupaten Bone tahun 2002-2006 dalam (%) ... 6

3. Jenis dan sumber data penelitian ...29

4. Matrik analisis penelitian ...32

5. Matrik SWOT ...40

6. Pembagian wilayah administrasi kabupaten Bone tahun 2006 ...45

7. Rata-rata penduduk per desa/kelurahan dan kepadatan penduduk per km2 menurut kecamatan di Kabupaten Bone tahun 2006 ...49

8. Luas penggunaan lahan kabupaten Bone tahun 2006 ...50

9. PDRB dan angka perkapita atas dasar harga berlaku kabupaten Bone tahun 2002-2005 ...53

10.Luas kelas kesesuaian lahan di kabupaten Bone ...56

11.Potensi luas areal pengembangan padi kabupaten Bone ...57

12.Areal potensi pengembangan padi pada penggunaan lahan tahun 2003 di Kabupaten Bone (Ha) ...59

13.Nilai LQ luas areal tanaman pangan kabupaten Bone ...64

14.Keunggulan komparatif tiap kecamatan di Kabupaten Bone berdasarkan nilai LQ luas lahan pertanian tanaman pangan ...67

15.Variabel penentu tingkat perkembangan wilayah untuk pengembangan padi ...69

16.Nilai eigenvalues kumulatif ...70

17.Nilai faktor Loading peubah penentu kecamatan untuk pengembangan padi ...71

18.Kategori variabel penciri pada masing-masing tipologi berdasarkan perkembangan wilayah berbasis padi ...73

19.Tipologi wilayah berdasarkan pengelompokan kecamatan. ...74

20.Luas areal arahan pengembangan padi ...78

21.Nilai landrent usahatani padi masing-masing tipologi...79

22.Penilaian tingkat kepentingan SWOT ...85

23.Pemilihan analisis prioritas yang diunggulkan ...87

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Grafik perubahan luas lahan sawah kabupaten Bone menurut jenis

pengairannya ... 4

2. Pemanfaatan teknologi pascapanen padi dan produk sampingannya... 17

3. Diagram alur kerangka pikir penelitian ... 28

4. Diagam alir tahapan penelitian ... 31

5. Skema analisis kesesuaian lahan padi dengan SIG ... 33

6. Peta lokasi penelitian ... 43

7. Peta kelas lereng kabupaten Bone ... 44

8. Peta jenis tanah kabupaten Bone ... 47

9. Peta penggunaan lahan kabupaten Bone ... 51

10.Peta kelas kesesuaian lahan kabupaten Bone ... 55

11.Peta potensi luas areal pengembangan padi ... 58

12.Peta potensi pengembangan padi pada penggunaan lahan ... 60

13.Peta basis pengembangan padi kabupaten Bone ... 66

14.Scree plot eigenvalues ... 70

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah (LREP II, 1994) ... 100

2. Data ketinggian kabupaten Bone ... 101

3. Data kelas lereng kabupaten Bone ... 102

4. Peta RTRW kabupaten Bone ... 103

5. Hasil cluster analysis dengan metode K-Mean ... 104

6. Hasil cluster analysis pembagian tipologi wilayah ... 105

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan nasional mencakup beberapa aspek yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja serta kelestarian sumberdaya yang potensial. Keberhasilan pembangunan di Indonesia menuntut kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak dan peranan masing-masing sektor. Salah satu sektor yang diharapkan dapat menunjang tujuan pembangunan ekonomi adalah sektor pertanian.

Wilayah daratan di Indonesia cukup luas, sekitar 188,2 juta ha, dengan keragaman jenis tanah, iklim, bahan induk, relief/topografi, dan elevasi di tiap wilayah. Secara umum, Indonesia mempunyai 2 wilayah yang berbeda jenis iklimnya yaitu wilayah beriklim basah (umumnya di Kawasan Indonesia Barat) dan beriklim kering (di sebagian Kawasan Indonesia Timur). Keragaman tanah dan iklim tersebut merupakan salah satu modal yang sangat besar dalam memproduksi berbagai komoditas pertanian secara berkelanjutan baik kualitas maupun kuantitasnya. Oleh karena itu, pemanfaatan potensi sumberdaya lahan, untuk pengembangan pertanian perlu memperhatikan kesesuaian lahannya, agar diperoleh hasil yang optimal. Usaha peningkatan produksi bahan pangan dan produk pertanian lainnya sebagai ketahanan pangan dan penghasil devisa mutlak diperlukan, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan persaingan ekonomi global (Departemen Pertanian, 2005a).

Ketahanan pangan merupakan kondisi tersedianya bahan pangan dalam jumlah yang cukup, bermutu, aman dan halal serta dapat diakses secara merata. Kebutuhan pangan suatu wilayah memang dapat dipenuhi dari produksi lokal dan impor. Namun karena jumlah penduduk terus bertambah dan tersebar di banyak pulau maka ketergantungan akan pangan impor menyebabkan rentannya ketahanan pangan sehingga berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi dan bahkan politik.

(17)

Hingga saat ini pulau Jawa tetap memberikan kontribusi terbesar dalam pengadaan produksi padi nasional dengan pangsa luas panen dan produksi masing-masing 46,8% dan 54%. Dengan demikian, gejala penurunan produksi padi yang umumnya terjadi di lahan sawah irigasi di Jawa berdampak luas terhadap penyediaan pangan nasional ke depan. Di Jawa, meskipun laju produktivitas padi meningkat 1,2% per tahun, namun karena luas panen turun 2,2% maka produksi turun 1,1%. Penurunan produksi padi di Jawa sebagian ditutupi oleh produksi di Sulawesi dan Kalimantan yang masing-masing dengan laju peningkatan 3,5% dan 3,8% per tahun. Data tersebut mengindikasikan bahwa pulau Jawa kurang dapat lagi diandalkan dalam peningkatan produksi padi nasional ke depan, terutama melalui perluasan areal, tetapi cukup potensial melalui peningkatan produktivitas. Di Maluku dan Papua laju pertumbuhan produksi juga tinggi, namun karena areal panen padi tidak luas maka sumbangannya terhadap produksi nasional relatif kecil. Selain keterbatasan sumberdaya lahan, opportunity cost usahatani padi juga makin tinggi karena makin tajamnya kompetisi penggunaan lahan, terutama antara padi dengan komoditas lain yang bernilai ekonomi lebih tinggi (Departemen Pertanian, 2005b).

Berkaitan dengan pengembangan wilayah berdasarkan pertanian, Pola dasar pembangunan daerah propinsi Sulawesi Selatan tahun 1999/2000 – 2004/2005 merupakan salah satu dasar pertimbangan dalam penyusunan revisi rencana tata ruang wilayah kabupaten Bone tahun 2000 - 2010. Kandungan produk kebijakan pembangunan sebagian besar berisi kebijaksanaan pembangunan propinsi Sulawesi Selatan yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual, melalui pengelolaan dan pemanfaatan secara optimal terhadap segenap potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimilikinya sesuai azas pembangunan berkelanjutan dan azas pelestarian sumberdaya (Bappeda Kabupaten Bone, 2000a).

Guna mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan arahan dan pedoman dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agar dapat lebih berhasil secara optimal berdasarkan potensi dan kondisi dengan tetap memperhatikan

(18)

kesinambungan pembangunan dan pengelolaan lingkungan yang lestari secara merata. Dalam rencana struktur tata ruang propinsi Sulawesi Selatan arahan pengembangan kawasan pertanian, khususnya pertanian padi diarahkan pengembangannya di kabupaten BOSOWASIPILU (Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Luwu) (Bappeda Kabupaten Bone, 2000b).

Kabupaten Bone dengan luas wilayah 4.559 km2 merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang memiliki potensi pertanian yang cukup besar. Sektor pertanian diKabupaten Bone dibagi dalam 5 kelompok sub sektor yaitu, 1) sub sektor pertanian tanaman pangan, yang terdiri dari padi dan palawija (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, dan kacang hijau), 2) sub sektor perkebunan, yang produksinya cukup banyak adalah coklat, kelapa, tebu, kemiri, dan cengkeh, 3) sub sektor kehutanan terbagi yaitu hutan kayu (meranti, jati, dan lainnya), dan hutan non kayu (rotan, damar, getah pinus, dan lainnya), 4) sub sektor peternakan, terdiri ternak besar (sapi, kerbau, kuda, dan kambing) dan ternak unggas (ayam ras, ayam ras pedaging, ayam buras dan itik). 5) sub sektor perikanan meliputi perikanan laut dan perikanan darat (tambak dan kolam) (BPS Kabupaten Bone, 2007).

Persentase guna lahan kabupaten Bone terhadap propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2007 untuk persawahan adalah 15.21 %. Luas lahan persawahan yang dimanfaatkan penduduk kabupaten Bone masih banyak berupa sawah tadah hujan seluas 46.633 ha, sawah irigasi desa/sederhana seluas 23.711 ha, dan sawah pasang surut seluas 690 Ha. Jumlah ini masih memungkinkan untuk ditingkatkan menjadi persawahan beririgasi, mengingat areal persawahan yang telah beririgasi teknis dan semi teknis hanya seluas 17.415 ha dari total lahan persawahan di Kabupaten Bone (BPS Kabupaten Bone, 2007).

Berdasarkan data BPS Kabupaten Bone (2007), Semua jenis sawah menunjukkan perubahan luasan, hal ini dapat terjadi karena adanya upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan produktivitas sawah dengan membangun irigasi sederhana (pompa), irigasi semi teknis dan irigasi teknis, sehingga kebutuhan air bagi petani dapat dipenuhi dan dapat meningkatkan indeks pertanaman sawah dan luas panen. Secara grafis kecendrungan perubahan luas sawah menurut jenis pengairannya dapat dilihat pada Gambar 1.

(19)

Sumber : Hasil olahan (Data BPS Kabupaten Bone berbagai Tahun)

Gambar 1. Grafik perubahan luas lahan sawah kabupaten Bone menurut jenis pengairannya

Pada akhir tahun 2006 luas panen tanaman padi di Kabupaten Bone seluas 109.751 ha dengan produksi sebesar 548.797 ton. Jumlah penduduk kabupaten Bone sebanyak 696.712 jiwa yang membutuhkan beras sebanyak ± 464.668 ton beras (konsumsi perkapita ± 120,75 kg/kapital/thn) (BPS Kabupaten Bone, 2007). Nilai tersebut menunjukkan bahwa hasil pertanian tanaman padi di kabupaten Bone masih mengalami surplus. Meskipun terjadi surplus beras di Kabupaten Bone, namun tingkat perkembangan luas lahan, tingkat produksi dan tingkat produktivitas pada setiap tahunnya selalu berbeda atau fluktuatif. Perubahan luas lahan yang fluktuatif mengakibatkan terjadinya penyusutan lahan persawahan yang disebabkan oleh desakan pertambahan penduduk, perkembangan sektor industri, konversi lahan produktif, daerah wisata, dan peruntukan lainnya yang saling tumpang-tindih. Pada kondisi dimana luas areal panen padi semakin sulit ditingkatkan, peningkatan produksi hasil panen padi merupakan upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, jika produktivitas padi meningkat berarti suplai pangan nasional meningkat pula. Luas panen, produksi padi, dan produktivitas padi mulai tahun 1999-2007 dapat dilihat pada Tabel 1.

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun L u a s L a h a n ( H a )

Irigasi Teknis Irigasi semi teknis Irigasi sederhana tadah hujan

(20)

Tabel 1 Luas panen, produksi, dan produktivitas padi di Kabupaten Bone tahun 1999-2007

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

1999 134.339 602.004 4,48 2000 119.115 570.031 4,79 2001 111.168 517.535 4,66 2002 125.186 596.514 4,77 2003 110.145 562.624 5,11 2004 118.194 527.973 4,47 2005 114.187 537.266 4,71 2006 109.752 548.797 5,00 2007 117.116 672.599 5,74

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bone, 2007

Peningkatan hasil produksi pangan dapat ditempuh melalui pembangunan sumberdaya manusia, sarana/prasarana dan pembangunan jaringan irigasi yang memungkinkan peningkatan intensitas tanam padi pertahun, yang berarti dapat meningkatkan tingkat ketersediaan pangan nasional. Peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional. Dari sisi produksi, peningkatan ketahanan pangan tersebut diupayakan melalui peningkatan produksi beras terutama yang dihasilkan dari lahan sawah. Pertimbangan yang melatar belakangi kebijakan tersebut adalah bahwa beras merupakan bahan pangan pokok penduduk yang memiliki sumbangan paling besar terhadap konsumsi kalori protein yaitu sekitar 55 % dan 45 % (SUSENAS, 1999 dalam Irawan, 2005).

Berdasarkan data PDRB Kabupaten Bone tahun 2006, peranan sektor pertanian terhadap perekonomian kabupaten Bone masih cukup besar yakni rata-rata 56,33 %. Tingginya peranan ini ditopang oleh sub-sektor tanaman pangan, khususnya tanaman padi dengan kontribusi rata-rata 25,51 %. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk kabupaten Bone perekonomiannya masih mengandalkan pada pertanian tanaman pangan (PDRB Kabupaten Bone, 2007). Hal tersebut tercermin dari nilai PDRB dari tahun 2002-2006, dapat dilihat pada Tabel 2.

(21)

Tabel 2. Struktur ekonomi kabupaten Bone tahun 2002-2006 dalam (%)

Sektor 2002 2003 2004 2005 2006

1.Pertanian

2.Pertambangan/Penggalian 3.Industri pengolahan 4.Listrik, Gas, dan Air bersih 5.Bangunan

6.Perdagangan, Hotel & Restaurant

7.Angkutan dan Komunikasi 8.Keu, Persewaan & Jasa

Perusahaan 9.Jasa-jasa 58,65 0,39 9,02 0,80 3,86 8,45 4,66 3,52 10,66 58,50 0,40 9,06 0,84 3,77 8,53 4,67 4,07 10,16 56,97 0,42 9,25 0,86 3,95 8,73 4,96 4,49 10,39 56,17 0,43 8,97 0,89 3,98 8,54 4,93 4,90 11,19 56,33 0,39 8,36 0,95 4,20 7,93 4,68 4,99 12,17 Sumber : PDRB Kabupaten Bone Tahun 2007.

Berdasarkan karakteristik wilayah, data PDRB, data potensi pertanian padi, dan data-data lainnya, maka sektor pertanian khususnya padi di Kabupaten Bone mengindikasikan pentingnya pengembangan padi untuk kesejahteraan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan dan menciptakan lapangan kerja, dan mengarah pada ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi wilayah maupun regional. Hal ini sesuai dengan tujuan pengembangan produksi padi nasional yaitu untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri yang terus meningkat, baik sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri, dengan target swasembada berkelanjutan dan peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan efisiensi produksi dan peningkatan nilai tambah bagi masyarakat.

Sektor pertanian bila ditetapkan sebagai prioritas pertumbuhan ekonomi (berdasarkan penggolongan prioritas pertumbuhan antar sektor), dapat dirinci berdasarkan komoditas, wilayah pengembangan, sumberdaya yang tersedia, kebijaksanaan pemerintah, serta kondisi lingkungan makro ekonomi. Hal ini menuntut perlunya penetapan prioritas beberapa komoditas pertanian yang sesuai untuk dikembangkan pada wilayah tertentu agar mampu berperan dalam memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan yang dalam pengembangannya tidak saja ditentukan oleh kesesuaian biofisik tetapi juga dukungan ketersediaan sumberdaya, kebijakan pemerintah, dan kesesuaiannya dengan prospektif makro ekonomi.

(22)

Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Apakah pemanfaatan lahan untuk padi berdasarkan kesesuaian lahan? 2. Di wilayah mana yang potensial dikembangkan sentra produksi padi.

3. Bagaimana tipologi wilayah berdasarkan tingkat perkembangan wilayah untuk pengembangan padi.

4. Bagaimana prioritas arahan pengembangan padi di Kabupaten Bone.

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi pemanfaatan lahan padi melalui evaluasi kesesuaian lahan. 2. Mengetahui sentra produksi komoditas padi berdasarkan keunggulan

komparatif.

3. Mengetahui tipologi kecamatan berdasarkan tingkat perkembangan wilayah untuk pengembangan padi.

4. Merumuskan prioritas kebijakan arahan pengembangan padi di Kabupaten Bone.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah daerah kabupaten Bone tentang gambaran umum potensi pertanian khususnya padi

2. Sebagai bahan masukan dalam kebijakan penatagunaan lahan di Kabupaten Bone.

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah yang bersangkutan (Riyadi, 2002).

Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue (permasalahan) pokok wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu, tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya. Walaupun kedua konsep tersebut berbeda namun dalam orientasi keduanya saling melengkapi, dalam arti bahwa pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembangunan sektoral. Sebaliknya, pembangunan sektoral tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya pengembangan sektor itu sendiri. Bahkan hal ini bisa menciptakan konflik kepentingan antar sektor, yang pada gilirannya akan terjadi kontraproduktif dengan pengembangan wilayah. Dengan demikian pengembangan wilayah seyogyanya menjadi acuan (referensi) bagi pembangunan sektoral, dan sama sekali bukan agregat dari pembangunan sektor-sektor pada suatu wilayah tertentu (Riyadi, 2002).

Tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Dari sisi sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana, dan pelayanan logistik. Di sisi lain secara ekologis, pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap lingkungan (Triutomo, 1999)

(24)

Pendekatan wilayah sebagai basis perencanaan pengembangan wilayah harus diorientasikan kepada kemampuan bertindak lokal dalam kerangka berpikir global/makro, memperhitungkan kelayakan masa kini dalam pertimbangan masa depan, lebih fleksibel/dinamis dalam kerangka yang pasti, kemampuan memfokuskan pada masyarakat setempat dengan memanfaatkan keterlibatan masyarakat luas (bisnis, akademis, dan investor). Pembangunan dengan pendekatan wilayah hendaknya berwawasan : local based flexible (conditional), transparency (politically accepted), probisnis (layak ekonomi), long term (berkesinambungan), dan holistik (Deni dan Djumantri, 2002)

Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan kedepan dan kebelakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain (complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002).

Todaro berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual (Rustiadi et al., 2006)

Menurut Hoover dan Giarratani (1985) dalam Nugroho dan Dahuri (2004), terdapat tiga pilar penting perencanaan pembangunan wilayah yang berkaitan dengan aspek wilayah dan implementasi dalam kebijakan ekonomi. Pertama, keunggulan komperatif (comparative advantage). Pilar ini berhubungan dengan

(25)

keaadan sumberdaya yang spesifik dan khas, yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah, sehingga wilayah tersebut memiliki keunggulan komparatif. Karakter tersebut sejauh ini berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan dan kelompok usaha sektor primer lain. Kedua, aglomerasi (imperfect divisibility) sebagai akibat pemusatan ekonomi secara spasial. hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam bahan baku dan distribusi produk. Ketiga, biaya transport (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah yang paling kasat mata yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pengembangan wilayah. Ketiga pilar tersebut selanjutnya akan berimplikasi pada pengambilan keputusan terhadap lokasi kegiatan.

Penentuan pengambilan keputusan ini berkaitan lokasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu locational factors dan non-lacational factors. Faktor yang berkaitan dengan lokasi secara langsung antara lain :

a) Inersia, yaitu keputusan untuk menetapkan suatu lokasi kegiatan pada suatu tempat karena faktor-faktor spesifik yang berkaitan dengan limpahan sumber daya alam dan hubungan sosial

b) Berhubungan dengan minimisasi biaya transpor c) Lokasi titik akhir

d) Perpindahan alat pengangkutan, baik input maupun output e) Biaya/upah buruh

Faktor yang berkaitan dengan lokasi secara tidak langsung diantaranya adalah : a) Kebijakan pemerintah

b) Keadaan lingkungan dan sosial masyarakat c) Iklim dan stabilitas politik.

Menurut Wiradisastra (2006) tujuan utama dari program pembangunan pertanian adalah menaikkan produksi per ha dan per orang, yang berkesinambungan dalam jangka waktu yang lama. Pembangunan dalam arti ini mempunyai tujuan ekonomi dan juga ekologi. Tujuan ekonomi dan ekologi bersifat saling menunjang, tidak bersifat kompetititf. Pertumbuhan ekonomi yang

(26)

berkesinambungan membutuhkan perhatian terhadap integritas dan sistem ekologi.

Perencanaan pembangunan wilayah mestinya memadukan pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral adalah pendekatan perencanaan dimana seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjutnya sektor-sektor dianalisis satu persatu untuk dilihat potensi dan peluangnya, kemudian menetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan dimana lokasi dari kegiatan peningkatan tersebut. Pendekatan regional berbeda dengan pendekatan sektoral walaupun tujuan akhirnya adalah sama. Analisis regional adalah analisis atas penggunaan ruang dan perkiraan atas bentuk yang akan datang. Pendekatan sektoral saja tidak mampu melihat adanya kemungkinan tumpang tindih dalam penggunaan lahan, juga tidak mampu melihat perubahan struktur ruang yang mungkin terjadi akibat dilaksanakannya rencana sektoral tersebut, sedangkan pendekatan regional saja tidak cukup karena analisisnya bersifat makro wilayah sehingga tidak cukup detil untuk membahas sektor persektor apalagi komoditas per komoditas (Tarigan, 2004).

Menurut Rustiadi et al. (2006) pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial, serta antar pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah.

Peran Sektor Pertanian

Peran sektor pertanian yang merupakan dasar bagi kelangsungan pembangunan ekonomi berkelanjutan diharapkan mampu memberikan pemecahan permasalahan bagi bangsa Indonesia, hal tersebut dikarenakan sektor pertanian mempunyai empat fungsi yang sama yang sangat fundamental bagi pembangunan suatu bangsa, yaitu (1) mencukupi pangan dalam negeri, (2) penyediaan lapangan kerja dan usaha, (3) penyediaan bahan baku industri, dan (4) sebagai penghasil devisa negara (Dillon, 2004).

(27)

Potensi pertanian sebagai leading sektor dalam perekonomian ditunjukkan dengan bertahan dan tumbuh positif semasa krisis. Agar tercipta suatu potensi pertanian tersebut ditujukan :

1. Hasil produksi pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto, merupakan penyumbang nilai tambah (value added) terbesar dalam perekonomian nasional, diperkirakan sebesar 45 persen total nilai tambah. 2. Menyerap tenaga kerja terbesar

3. Pemanfaatan lahan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan 4. Terdapatnya sarana dan prasaran dalam menunjang pertanian

Pangan bagi manusia merupakan kebutuhan primer. Oleh sebab itu pemenuhan kebutuhan pokok pangan bagi manusia, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas yang berkelanjutan, menjadi sangat penting. Strategi yang diperlukan dalam ketahanan pangan adalah menjawab pertanyaan bagaimana mencukupi ketersediaan pangan bagi masyarakat, bagaimana mempertahankan ketersediaan itu, bagaimana pendistribusiannya, serta bagaimana meningkatkan kualitas bahan pangan yang dihasilkan, dan yang penting pula adalah bagaimana harga pangan bisa terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah. Ketahanan pangan selalu berkaitan dengan sektor pertanian dalam arti luas (perikanan, peternakan, dan perkebunan). Untuk itu dalam menciptakan ketahanan pangan harus secara seksama memperhatikan potensi dan kemungkinan pengembangan sektor pertanian tersebut.

Konsepsi Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari food security telah dibahas secara mendalam pada pertemuan-pertemuan internasional sejak terjadinya krisis pangan yang melanda dunia pada awal tahun 1970-an. Pada waktu itu pengertian ketahanan pangan lebih difokuskan pada masalah penyediaan pangan dalam kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan pangan di suatu negara. Swasembada pangan merupakan indikator utama yang digunakan untuk mencerminkan kondisi ketahanan pangan tersebut di suatu negara. Oleh karena itulah pada tahun 1970-an seluruh negara berusaha mencapai swasembada pangan dan pada tahun 1984 Indonesia memperoleh penghargaan dalam sidang FAO di Roma karena dinilai

(28)

berhasil membangun ketahanan pangannya akibat tercapainya swasembada beras (Irawan et al., 1999).

Setelah krisis pangan berlalu, pengertian tentang ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sesuai dengan permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Kondisi swasembada pangan mulai diragukan sebagai satu-satunya indikator ketahanan pangan suatu negara. Hal ini karena pengalaman di negara-negara yang dianggap telah mencapai swasembada pangan seperti Korea Selatan (1976), Filipina (1977) dan Indonesia (1984), menunjukkan bahwa kondisi swasembada pangan tidak selalu menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh penduduk di negara yang bersangkutan, terutama bagi kelompok penduduk miskin. Disamping itu, kekurangan pangan yang diindikasikan dari mengalirnya impor pangan, seringkali masih terjadi khususnya apabila gangguan produksi pangan akibat berbagai faktor seperti kondisi iklim yang buruk, bencana alam, peningkatan serangan hama dan penyakit, konversi lahan pertanian dan sebagainya (Irawan, 2005).

Dengan demikian, disadari bahwa kondisi ketahanan pangan tidak cukup hanya diukur dari kondisi swasembada pangan di tingkat negara hal tersebut belum menjamin terjadinya kecukupan pangan sepanjang waktu bagi seluruh lapisan masyarakat. Sejak itu konsep ketahanan pangan terus berkembang dan disempurnakan sesuai dengan permasalahan pangan yang dihadapi di berbagai negara. Pengertian ketahanan pangan yang mencakup aspek lebih luas dan bersifat universal dicetuskan dalam sidang komisi ketahanan pangan FAO pada tahun 1991 yang mendefinisikan bahwa :“Ketahanan pangan adalah suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat, dan setiap individu memiliki akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun secara ekonomi”. Berdasarkan definisi tersebut, maka permasalahan substantif ketahanan pangan tidak hanya mencakup aspek kuantitas ketersediaan pangan secara memadai, tetapi menyangkut pula aspek stabilitas ketersediaan pangan menurut waktu dan aspek aksesibilitas penduduk terhadap bahan pangan yang dibutuhkan (Soetrisno, 1998).

Berdasarkan hasil konferensi internasional tentang gizi yang disponsori oleh FAO dan WHO di Roma pada tahun 1992, aspek gizi mulai dimasukkan

(29)

meliputi tiga hal yaitu : kecukupan jumlah, mutu dan keragaman pangan, serta keamanan pangan bagi kehidupan yang sehat. Keragaman pangan dikaitkan dengan masalah kecukupan gizi makanan, karena setiap jenis pangan umumnya memiliki keunggulan dalam zat gizi tertentu tetapi memiliki keterbatasan dalam kandungan zat gizi lainnya. Dengan pola konsumsi pangan yang beragam, maka zat gizi makanan yang dikonsumsi penduduk akan semakin beragam pula, sesuai dengan kebutuhan fisiologis manusia.

Perkembangan pemikiran tentang ketahanan pangan di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi di tingkat dunia. Sampai dengan akhir pelita V masalah ketahanan pangan masih diukur dari aspek kuantitas ketersediaan pangan secara nasional yang diukur dari kondisi swasembada pangan. Konsepsi ketahanan pangan dengan cakupan aspek yang lebih luas baru dicetuskan pada pelita VII melalui Undang-Undang Pangan Nomor 7 tahun 1996 dimana ketahanan pangan didefinisikan sebagai : kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Makna terjangkau dalam pengertiani ini adalah bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk mendapatkan bahan pangan baik secara fisik (aksesibiltas fisik) maupun secara ekonomi (aksesibilitas ekonomi). Sedangkan ketersediaan pangan yang dimaksud dapat berupa ketersediaan pangan di pasar atau di tingkat rumah tangga, yang dapat diperoleh dari hasil produksi sendiri atau membeli di pasar (Irawan, 2005).

Berdasarkan definisi tersebut diatas maka ruang lingkup ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu : (1) dimensi ruang lingkup ketahanan pangan yaitu lingkup nasional, daerah dan rumah tangga yang terkait dengan aspek kuantitas ketersediaan pangan, (2) dimensi waktu dan musim yang terkait dengan aspek stabilitas ketersediaan pangan sepanjang waktu, dan (3) dimensi sosial ekonomi rumah tangga yang terkait dengan aspek aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan, aspek kualitas konsumsi pangan, dan aspek keamanan pangan (Irawan, 2005).

Soetrisno (1998) berpendapat bahwa ketahanan pangan di tingkat nasional atau daerah dapat diartikan sebagai agregasi ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga. Namun pendapat tersebut tidak sejalan dengan Simatupang (1999), yang

(30)

mengemukakan bahwa lingkup ketahanan pangan mulai dari tingkat nasional hingga tingkat individu pada dasarnya merupakan suatu hirarki dengan aspek ketahanan yang tidak selalu sama untuk setiap tingkatan hirarki. Ketahanan pangan di tingkat nasional, regional atau lokal tidak selalu menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga akibat ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga. Dalam kaitan ini masalah kelancaran distribusi juga memiliki peranan penting agar bahan pangan yang tersedia dapat diakses oleh seluruh kelompok rumah tangga miskin dan kaya.

Tanaman Padi

Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Meskipun mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang disebut padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Negara produsen padi terkemuka adalah Tiongkok (31% dari total produksi dunia), India (20%), dan Indonesia (9%). Namun hanya sebagian kecil produksi padi dunia yang diperdagangkan antar negara (hanya 5%-6% dari total produksi dunia). Thailand merupakan pengekspor padi utama (26% dari total padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Vietnam (15%) dan Amerika Serikat (11%). Indonesia merupakan pengimpor padi terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Bangladesh (4%), dan Brazil (3%) (Wikipedia, 2007).

Padi tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek. Sejumlah ahli menduga, padi merupakan hasil evolusi dari tanaman moyang yang hidup di rawa. Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim Graminae atau Glumiflorae). Sejumlah ciri suku (familia) ini juga menjadi ciri padi, misalnya berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun sejajar, memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk dengan satuan bunga berupa floret, floret tersusun dalam spikelet,

(31)

khusus untuk padi, satu spikelet hanya memiliki satu floret, buah dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir (Ing. grain) atau kariopsis (Wikipedia, 2007).

Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan manusia: Oryza sativa yang berasal dari daerah hulu sungai di kaki Pegunungan Himalaya (India dan Tibet/Tiongkok) dan Oryza glaberrima yang berasal dari Afrika Barat (hulu Sungai Niger). O. sativa terdiri dari dua varietas, indica dan japonica (sinonim sinica). Varietas japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi namun mudah rebah, paleanya memiliki "bulu" (Ing. awn), bijinya cenderung panjang. Varietas indica, sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil, paleanya tidak ber-"bulu" atau hanya pendek saja, dan biji cenderung oval. Walaupun kedua varietas dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya tidak tinggi. Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar IR8, yang merupakan hasil seleksi dari persilangan varietas japonica (kultivar 'Deegeowoogen' dari Formosa dan varietas indica (kultivar 'Peta' dari Indonesia). Selain kedua varietas ini, dikenal pula sekelompok padi yang tergolong varietas minor javanica yang memiliki sifat antara dari kedua varietas utama di atas. Varietas javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa. Budidaya padi yang telah berlangsung lama telah menghasilkan berbagai macam jenis padi akibat seleksi dan pemuliaan yang dilakukan oleh beberapa petani dan ilmuwan antara lain (Wikipedia, 2007) : Padi pera adalah padi dengan kadar amilosa pada pati lebih dari 20% pada

berasnya. Butiran nasinya jika ditanak tidak saling melekat. Lawan dari padi pera adalah padi pulen. Sebagian besar orang Indonesia menyukai nasi jenis ini dan berbagai jenis beras yang dijual di pasar Indonesia tergolong padi pulen. Penggolongan ini terutama dilihat dari konsistensi nasinya.

Ketan (sticky rice), baik yang putih maupun merah/hitam, sudah dikenal sejak dulu. Padi ketan memiliki kadar amilosa di bawah 1% pada pati berasnya. Patinya didominasi oleh amilopektin, sehingga jika ditanak sangat lekat. Padi wangi atau harum (aromatic rice) dikembangkan orang di beberapa

tempat di Asia, yang terkenal adalah ras 'Cianjur Pandanwangi' (sekarang telah menjadi kultivar unggul) dan 'rajalele'. Kedua kultivar ini adalah varietas javanica yang berumur panjang.

(32)

Di beberapa daerah tadah hujan orang mengembangkan padi gogo, suatu tipe padi lahan kering yang relatif toleran tanpa penggenangan seperti di sawah. Di Lombok dikembangkan sistem padi gogo rancah, yang memberikan penggenangan dalam selang waktu tertentu sehingga hasil padi meningkat. Padi rawa atau padi pasang surut dikembangkan oleh masyarakat yang tinggal

di rawa-rawa Kalimantan. Padi rawa mampu membentuk batang yang panjang sehingga dapat mengikuti ayunan kedalaman air.

Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sejumlah sistem budidaya diterapkan untuk padi.

Budidaya padi sawah (Ing. paddy atau paddy field), diduga dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok.

Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu daripada budidaya padi sawah.

Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau Kalimantan. Budidaya gogo rancah atau disingkat gora, yang merupakan modifikasi dari budidaya lahan kering. Sistem ini sukses diterapkan di Pulau Lombok, yang hanya memiliki musim hujan singkat.

Pemanfaatan teknologi pascapanen padi dan produk sampingannya memegang peranan penting, alternatif dan peluang peningkatan nilai tambah padi melalui sistem industri beras disajikan pada Gambar 2.

Industri Tekstil Bahan baku industri • Kompos • Pakan • Media jamur • Kertas • Papan Jerami (±50 %) PADI Gabah (±50 %) Beras pecah kulit (±80%) Sekam (±20 %) •Beras (±61%) •Menir (±10 %) Dedak (±9 %) Panganan Pangan fungsional Pangan pokok •Pangan olahan •Modified starch •Tepung BKP •Tepung instan •Industri Tekstil •Pangan olahan Pati Tepung Bihun, ekstrudat

(33)

Sumberdaya Lahan Pertanian

Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat bersifat siklik yang berbeda diatas dan dibawah wilayah tersebut termasuk atmosfir serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan dimasa yang akan datang. Pemanfaatan lahan merupakan proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia. Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi, dan minyak serta infrastruktur perumahan dan fasilitas publik. Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut menuntut tersedianya lahan. Namun karena ketersediaan tanah relatif tetap, kelangkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsinya.

Dalam kaitan ini, respon terhadap lahan dapat berupa (a) ekstensifikasi, bila masih mungkin ketersediaan lahan yang bersifat elastis, (b) intensifikasi, dengan ketersediaan lahan yang tidak elastis dan digantikan perannya oleh teknologi dan (c) kombinasi kedua hal tersebut. Terhadap keseimbangan antara permintaan dan penawaran lahan, sistem umpan balik penggunaan lahan dapat mengalir dalam dua arah, yaitu menghasilkan perbaikan kesejahteraan atau justru menurunkan produktivitas dan menganggu keberlanjutan produksi (Nasution, 1995). Dalam keadaan demikian lahan adalah aset yang memberikan nilai guna (use value) bagi manusia seperti yang ditampilkan oleh ciri-cirinya. Nilai guna lahan dapat berupa langsung dan tidak langsung. Nilai guna langsung diperlihatkan misalnya sebagai dasar hunian atau pendukung kegiatan-kegiatan ekonomi. Nilai guna tidak langsung dapat diduga dari unsur hara, mikroorganisme, keanekaragaman hayati, nilai-nilai sosial atau nilai lahan yang dapat diwariskan (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Konversi lahan pertanian terutama sawah produktif berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan (terutama di pulau jawa) selain telah menimbulkan dampak terhadap berkurangnya kapasitas produksi beras yang mengancam ketahanan pangan secara nasional, juga menimbulkan masalah ketenagakerjaan bidang pertanian, hilangnya aset pertanian yang telah dibangun dengan biaya mahal dan menimbulkan masalah lingkungan serta hilangnya sistem

(34)

kelembagaan sosial yang telah terbentuk di wilayah tersebut. Berkurangnya luas baku sawah akibat konversi, merupakan salah satu penyebab rendahnya peningkatan produksi padi sejak pertengahan tahun 1990-an dan juga merupakan salah satu penyebab utama berlanjutnya proses marginalisasi usaha pertanian rakyat, yang berarti juga merupakan faktor penghambat dalam upaya menghapus kemiskinan absolut yang masih dominan di wilayah pedesaan. Masalah konversi lahan sawah merupakan ancaman serius terhadap pembangunan nasional, khususnya dalam pemantapan ketahanan pangan, meningkatkan kesejahteraan melalui pengentasan kemiskinan (Rustiadi dan Wafda, 2005)

Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lain, bahkan dapat menghancurkan suatu kebudayaan yang sebelumnya telah berkembang (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).

Menurut Sitorus (2004) metode evaluasi lahan secara langsung untuk keperluan pertanian pada dasarnya dilakukan melalui percobaan, pengumpulan dan pengolahan data hasil tanaman atau pengukuran komponen produktivitas pertanian lainnya. Produktivitas dapat diukur melalui pengumpulan data hasil tanaman yang umum dibudidayakan atau melalui penghitungan keuntungan kegiatan usahatani pada sebidang lahan tertentu.

Menurut Ritung et al. (2007) evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial).

(35)

Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N) .

Kelas S1 : Sangat sesuai, Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata. Kelas S2 : Cukup sesuai, Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Kelas S3 : Sesuai marginal, Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong

(36)

S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta. Kelas N Lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi.

Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas kondisi perakaran (rc=rooting condition). Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Contoh kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan subkelas yang sama dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran terutama faktor kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1 kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan Unit 2 kedalaman efektif dangkal (<50 cm). Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang digunakan. (Ritung et al., 2007)

Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna tanah. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), isu utama dalam evaluasi lahan adalah menjawab pertanyaan yaitu lahan manakah yang terbaik untuk suatu jenis penggunaan lahan dan penggunaan lahan apa yang terbaik untuk suatu lahan tertentu. Adanya hasil evaluasi lahan dapat dijadikan dasar untuk memilih komoditas pertanian alternatif yang dikembangkan. Pelaksanaan evaluasi lahan dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu : tingkat tinjau skala 1 : 250.000 atau lebih kecil, semi detil skala 1 : 25.000 sampai 1 : 50.000, dan detil skala 10.000 sampai 25.000 atau lebih besar.

Menurut Djaenuddin et al. (2003) evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumberdaya lahan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang kemungkinan akan diperoleh. salah satu pendekatan yang digunakan adalah sistem matching atau mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan (land qualities/land characteristics) dengan kriteria

(37)

kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertanian yang berbasis lahan.

Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu lahan dapat berbeda tergantung tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan (Djaenuddin et al., 2000). Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Pada proses matching hukum minimum dipakai sebagai parameter dalam evaluasi lahan antara lain : kemiringan lereng, temperatur udara, drainase, tekstur, alkalinitas, bahaya banjir/genangan.

Perencanaan penentuan wilayah pengembangan komoditas tertentu dalam proses evaluasi lahan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Untuk keperluan tersebut maka perlu diketahui peta-peta seperti : peta lereng, peta status lahan dan peta penutupan lahan. Operasi selanjutnya adalah menumpangtindihkan (overlay) berbagai peta tersebut sehingga dapat diperoleh lokasi yang sesuai dengan persyaratan komoditas yang bersangkutan (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Prioritas Pembangunan

Sektor Prioritas merupakan sektor basis yang memiliki potensi optimal dalam pembangunan daerah. Sektor prioritas atau sektor strategis merupakan sektor yang memberikan sumbangan besar dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spatialnya, mengingat besarnya sumbangan sektor prioritas dalam perekonomian wilayah maka program-program pembangunan diarahkan kepada sektor ini untuk memperoleh hasil pembangunan yang optimal (Anwar dan Rustiadi , 2000).

Sektor prioritas menitik beratkan pada efisiensi dan efektifitas dalam pengembangan sektor tersebut. Efektif berarti pengelolaan sektor tersebut dilakukan secara tepat dan efisien artinya dalam pelaksanaan pengembangan

(38)

sektor tersebut dilakukan dengan benar. Suatu aktifitas ekonomis dikatakan secara teknis efisien apabila sejumlah input tertentu menghasilkan maksimum output, atau sejumlah output tertentu dicapai dengan input minimal. sedangkan suatu proses produksi dikatakan efisien apabila dengan biaya tertentu dicapai keuntungan maksimal.

Langkah awal dalam penentuan prioritas pembangunan adalah mengkaji terlebih dahulu sistem sosial, ekonomi, dan ekologi yang ada dalam wilayah perencanaan, dari pengkajian ini akan diketahui antara lain tingkat perkembangan dan potensi-potensi yang ada dalam wilayah tersebut, kebutuhan atau keinginan masyarakat dan diperhatikan juga seberapa besar hubungan saling ketergantungan/interaksi dengan wilayah lain. Struktur keterkaitan antara variabel-variabel (potensi) yang dimiliki oleh tiap daerah akan dapat dijadikan dasar dalam penentuan prioritas pembangunan. Potensi-potensi wilayah yang akan dikembangkan nantinya diharapkan mampu untuk dikelola bersama masyarakat dan bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah sebagian besar dalam penentuan prioritas pembangunan adalah keinginan atau kebutuhan masyarakat. Pemerintah mungkin saja menentukan suatu program pembangunan. Namun jika program tersebut tidak sesuai dengan keinginan ataupun kebutuhan masyarakat maka keinginan masyarakat dalam perkembangan tidak akan pernah muncul. Bahkan yang terjadi adalah hasil pembangunan yang tidak termanfaatkan oleh masyarakat, terbengkalai begitu saja, atau hasilnya hanya dinikmati oleh individu dan golongan tertentu saja. bentuk-bentuk kemubaziran seperti ini sangat banyak dijumpai diberbagai tempat di wilayah Indonesia

Menurut Rustiadi et al. (2006) dalam suatu perencanaan pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan sebagai akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dimana dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa : (1) setiap sektor memiliki sumbangan yang langsung maupun tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan baik penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional dan lain-lain, (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lain dengan karakteristik yang berbeda-beda, (3) aktivitas sektoral

(39)

tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan (infrastruktur) dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut, di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis sebagai akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung secara signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran.

Interaksi atau hubungan antara satu wilayah dengan wilayah lain dapat pula dijadikan dasar dalam menentukan prioritas pembangunan. seberapa besar suatu wilayah tergantung kepada wilayah lain dan sebaliknya (tingkat saling ketergantungan) dapat ditunjukkan oleh besarnya aliran penduduk atau barang dan jasa antar wilayah. Apabila suatu wilayah sangat tergantung dengan daerah lain hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan atau diinginkan oleh masyarakat wilayah setempat. Untuk mengurangi tingkat ketergantungan tersebut kemungkinan penentuan prioritas untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan atau dinginkan oleh masyarakat. Hirarki potensi dan sistem interaksi spatial berimplikasi pada tingkat perkembangan wilayah serta diarahkan kepada tingkat-tingkat yang telah ditentukan (Yasin, 2005).

Kaidah penentuan prioritas pembangunan sangat penting diketahui dan dipahami untuk pembuatan keputusan prioritas dari sekian banyak kebutuhan atau aktifitas pembangunan. Saat ini terdapat suatu kerancuan besar dalam menghadapi persoalan-persoalan yang harus diputuskan untuk didahulukan yang disebabkan oleh ketidak-mengertian pembuat keputusan tentang apa, bagaimana, dan mengapa suatu persoalan diprioritaskan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan politik.

(40)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pikir Penelitian

Pembangunan merupakan kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka mengelola sumberdaya yang dimiliki oleh suatu daerah. Pengembangan wilayah harus berdasar pada sektor pembangunan dengan memperhatikan faktor-faktor dasar seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal, teknologi dan kelembagaan yang dapat mempengaruhi proses pengembangan tersebut. Hal ini tercermin dari hasil-hasil pembangunan yang berupa peningkatan pendapatan dan tingkat kesejahteraan penduduk. Oleh karena itu pemberian prioritas pada sektor-sektor yang mampu memberikan kontribusi besar bagi pembangunan wilayah perlu dilakukan.

Sektor pertanian khususnya padi merupakan salah satu sektor potensial yang dapat memberikan peranan besar terhadap laju pertumbuhan perekonomian dan dapat menciptakan peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Bone. Untuk itu diperlukan penelitian untuk mengidentifikasikan dan menganalisis pengembangan wilayah yang berdasar pertanian padi. Pewilayahan pertanian padi didasarkan pada potensi wilayah, dengan mengacu pada tiga aspek yaitu aspek spasial, aspek biofisik dan aspek sosial ekonomi. Aspek spasial adalah lahan/areal yang diprioritaskan dalam pengembangan wilayah berdasarkan potensi pertanian padi sesuai dengan RTRW, aspek biofisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan/areal sawah merupakan areal yang sesuai secara potensial untuk padi, dan aspek sosial ekonomi adalah aspek yang menyangkut input dan sarana/prasarana dalam produksi padi sehingga dapat meningkatkan produktivitas usaha padi.

Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu lahan dapat berbeda tergantung tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan (Djaenuddin et al., 2003). Untuk mengidentifikasi potensi lahan padi pada suatu kecamatan, maka perlu dilakukan pengkelasan areal/lahan padi, dengan overlay (tumpang tindih) peta administrasi skala 1 : 100.000, peta kelas lereng skala 1 : 50.000, peta jenis tanah skala 1 : 250.000, dan data iklim Kabupaten Bone, yang berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah (LREP II, 1994) dengan menggunakan analisis kesesuaian lahan metode FAO (1976), diperoleh hasil peta kelas kesesuaian lahan

Gambar

Gambar 1. Grafik perubahan luas lahan sawah kabupaten Bone   menurut jenis pengairannya
Tabel 2. Struktur ekonomi kabupaten Bone tahun 2002-2006 dalam (%)
Gambar 3. Diagram alur kerangka pikir penelitian RTRW Peta Arahan pemanfaatan lahan Analisis kesesuaian lahan FAO (1976)  Analisis PCA→CA Analisis LQ
Tabel 3. Jenis dan sumber data penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perpustakaan Pusat Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Untuk mengatasi keraguan masyarakat dalam penggunaan pasir sungai lematang, maka penulis sangat tertarik untuk menguji kuat tekan beton yang menggunakan pasir sungai lematang,

CPL 1 Mampu menerapkan matematika, sains, dan prinsip rekayasa (engineering principles) untuk menyelesaikan masalah rekayasa kompleks pada proses, sistem pemrosesan,

Kelas situs gempa kota Surakarta akan ditentukan berdasarkan data bor dalam yang ada di wilayah Surakarta dari arsip Laboratorium Mekanika Tanah Universitas Sebelas

Serayu.. Teridentifikasi sebanyak 12 stakeholder yang terlibat dalam tata kelola wisata di Dataran Tinggi Dieng. Stakeholder tersebut termasuk ke dalam kuadran key player,

1) berkaitan pendekatan terjemahan yang digunakan oleh (GT), data-data tersebut diterjemahkan secara literal serta kaedah peminjaman yang mempunyai keterbatasan dan

Vinky Rahman, MT Sebagai Ketua Jurusan Departemen Arsitektur dan Koodinator Studio Tugas Akhir Semester A TA.. Bapak Imam Faisal Pane, ST, MT Sebagai Sekretaris

Terkait dari permasalahan diatas, peneliti ingin melakukan penelitian tindakan ke las (PTK) dengan judul “ Upaya m eningkatan Hasil Belajar PPKn Melalui Metode pembelajaran