• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

75

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Daerah penelitian mencakup dua provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa barat. Gambaran umum tentang kondisi fisik pertanian daerah penelitian mencakup beberapa aspek, yaitu geografis, topografi, jenis tanah, demografi, batas-batas wilayah, iklim, yang terkait dengan pertanian.

Kabupaten Boyolali

Kabupaten Boyolali termasuk wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang meliputi 19 (Sembilan Belas) kecamatan dan terdiri dari 267 desa/kelurahan (263 desa dan empat kelurahan).

Adapun 19 kecamatan di Kabupaten Boyolali tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kecamatan Selo ( 10 desa ) 2. Kecamatan Ampel ( 20 desa ) 3. Kecamatan Cepogo ( 15 desa ) 4. Kecamatan Musuk ( 20 desa )

5. Kecamatan Boyolali kota ( 6 desa dan 3 kelurahan ) 6. Kecamatan Mojosongo ( 13 desa )

7. Kecamatan Teras ( 13 desa ) 8. Kecamatan Sawit ( 12 desa ) 9. Kecamatan Banyudono ( 15 desa ) 10.Kecamatan Sambi ( 16 desa ) 11.Kecamatan Ngemplak ( 12 desa ) 12.Kecamatan Nogosari ( 13 desa ) 13.Kecamatan Simo ( 13 desa ) 14.Kecamatan Klego ( 13 desa ) 15.Kecamatan Andong ( 13 desa ) 16.Kecamatan Karanggede ( 16 desa ) 17.Kecamatan Kemusu ( 13 desa ) 18.Kecamayan Wonosegoro ( 18 desa )

19.Kecamatan Juwangi ( 9 desa dan 1 kelurahan).

Secara geografis Kabupaten Boyolali memiliki luas wilayah lebih kurang 101.510.0965 ha atau kurang 4,5% dari luas Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Boyolali terletak antara 1100 22’ BT – 110050’ BT dan 7036’ LS – 7071’LS dengan ketinggian antara 100 meter sampai dengan 1.500 meter di permukaan laut (dpl). Secara topografi Kabupaten Boyolali sebelah timur dan selatan merupakan daerah dataran rendah, sedangkan sebelah utara dan barat merupakan daerah

(2)

pegunungan. Kabupaten Boyolali berdasarkan perbatasan wilayah secara administrasi pemerintahan sebelah utara: berbatasan dengan wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Grobogan. Sebelah timur : berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. Sebelah selatan: berbatasan dengan wilayah Kabupaten Klaten dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelah barat: berbatasan dengan wilayah Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang. Jarak bentang Kabupaten Boyolali dari Barat ke Timur sekitar 48 km dan dari Utara ke Selatan sekitar 54 km.

Struktur tanah wilayah Kabupaten Boyolali terdiri atas:

1) Bagian Timur Laut (Kecamatan Karanggede dan Simo) pada umumnya terdiri dari tanah lempung.

2) Bagian Tenggara (Kecamatan Sawit dan Bayudono) struktur tanahnya adalah tanah Galih.

3) Bagian Barat Laut (Kecamatan Musuk dan Cepogo) struktur tanahnya berpasir.

4) Bagian Utara sepanjang perbatasan Kabupaten Boyolali dengan Kabupaten Grobogan struktur tanahnya berupa tanah kapur.

Menurut ketinggian di atas permukaan laut (dpl), wilayah Kabupaten Boyolali dibagi dalam kelompok sebagai berikut:

1)100 - 400 m dpl : Sebagai daerah dataran rendah meliputi Kecamatan Teras, Bayudono, Sawit, Sambi, Ngemplak, Simo, Nogosari, Kemusu, Karanggede, Mojosongo, Andong dan sebagian

Kecamatan Boyolali kota.

2)401 - 700 m dpl : Sebagai daerah dataran bergelombang meliputi Kecamatan

Boyolali kota, Mojosongo, Musuk, Ampel dan Karanggede. 3)701 - 1000 m dpl : Sebagai daerah perbukitan meliputi Kecamatan Musuk,

Ampel, dan Cepogo.

4)1001-1300 m dpl : Sebagai daerah pegunungan tinggi meliputi Kecamatan

Cepogo dan Ampel.

(3)

Sumber air dan pembangunan irigasi pertanian di Kabupaten Boyolali berasal dari air Sungai dan sebagai sungai utama adalah: sungai Serang, Cemoro, Pepe, dan sungai Gandul. Selain itu terdapat tiga buah waduk yaitu: waduk Cengklik di Kecamatan Ngemplak, waduk Kedung Ombo di Kecamatan Kemusu

dan waduk Bade di Kecamatan Klego. Sumber air dangkal yang cukup besar di Desa Tlatar Kecamatan Boyolali Kota, Desa Nepen di Kecamatan Teras dan Desa Pengging di Kecamatan Banyudono. Sumber air dan irigasi tersebut sebagai

sarana dan prasarana petani mengembangkan pertanian di lahan garapannya.

Kondisi tanah di Kabupaten Boyolali dengan luas wilayah Kabupaten

Boyolali 101.510,0965 ha. Terdiri atas 23 persen tanah sawah, 55 persen tanah

kering, dan 21,7 persen tanah penggunaan lain.

Kabupaten Boyolali secara klimatologi, berada pada daerah yang beriklim sedang, suhu harian berkisar antara 18-29oC dengan kelembaban rata-rata 85%, curah hujan antara 2.000 sampai dengan 4.000 mm per tahun, dengan rata-rata bulan basah lima bulan yaitu Oktober, Nopember, Desember, Januari, Pebruari dan rata-rata bulan kering empat bulan yaitu Juni, Juli, Agustus, September. Dari 19 Kecamatan di Kabupaten Boyolali ada lima kecamatan yang menjadi lokasi petani agribisnis sayuran binaan tim misi teknik Taiwan. Pertama, ada di Kecamatan Selo, meliputi Dukuh Monce dan Dukuh Tarusari Desa Tarubatang, dan Desa Lencoh.

Kedua, ada di Kecamatan Teras meliputi Desa Maloan, Dukuh Penjalinan Desa Tawangsari, Desa Tanjungsari, Dukuh Gupakwarak Desa Gumukrejo, Desa Tawangsari, Dukuh Pamotan Desa Gumukrejo, Dukuh Asem Legi dan Dukuh Gatak Balangan Desa Randusari, Dukuh Tagung Desa Bangsalan, Desa Banjarsari, Dukuh Talang, Dukuh Jrakah, Dukuh Pete, Dukuh Magangan, Dukuh Dampit dan Dukuh Desa Sudimoro.

Ketiga berada di Kecamatan Ampel, meliputi Dukuh Sukorejo Desa Candisari, Dukuh Sendang Desa Gladagsari. Keempat, berada di Kecamatan Banyudono meliputi Desa Bangak, Desa Trayu, Desa Plumbungan. Kelima, ada di Kecamatan Boyolali Kota meliputi Dukuh Wates Desa Kebonbimo. Keenam, ada di Kecamatan Mojosongo meliputi Dukuh Butuh Desa Butuh.

(4)

Terdapat 48 jenis komoditas pertanian sayuran yang dibudayakan meliputi brokoli, letuce, tomat besar, tomat cherry, selada keriting, bunga kol, sawi putih, labu siam, baby labu siam, sawi sendok, daun mint, kol putih, cabe merah besar, cabe merah kriting, spinak, daun bawang, kapri, cabe rawit hijau, sukini, caisim, seledri, kentang, kacang panjang, daun genjer, bunga genjer, kailan, bayam merah, bayam hijau, lobak, kucai, kangkung, asparagus, pare putih, jagung manis, sawi asin, pakchoy, terong ungu, terong lalap, kenikir, timun lokal, gambas, timun Jepang, okra, daun gingseng, jamur tiram, jagung acar, daun kacang, daun singkong. Luas lahan masing-masing petani rata-rata sekitar 3.000 m2.

Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di koordinat antara 6o18’00” - 6o47’10” Lintang Selatan dan 106o 23’45”-107o13’30” Bujur Timur. Aspek fisik wilayah secara topografi terdiri dari luas daerah puncak pegunungan dengan ketinggian 2.000 - 2.500 meter dpl sebanyak 22 persen, luas daerah pegunungan tinggi dengan ketinggian 1.000 – 2.000 meter dpl sebanyak 8,35 persen, luas daerah perbukitan dengan ketinggian 500 – 1.000 meter dpl sebanyak 19,34 persen, luas dataran bergelombang dengan ketinggian 100 – 500 meter dpl sebanyak 42,63 persen, luas dataran rendah dengan ketinggian 50 – 100 meter dpl sebanyak 29,28 persen.

Luas wilayah daratan Kabupaten Bogor seluruhnya 268.838.304 hektar. Batas wilayah secara administrasi pemerintahan di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang Provinsi Banten, Kabupaten/Kota Bekasi, Kota Depok. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Karawang serta di tengahnya berbatasan dengan Kota Bogor. Adanya Gunung Salak dan Gunung Gede merupakan batas alam antara Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur.

Secara administratif pemerintahan Kabupaten Bogor dibagi dalam 40 Kecamatan dengan 428 desa/kelurahan 3.639 Rukun Warga dan 14.403 Rukun Tetangga. Sarana dan prasarana penunjang pertanian di Kabupaten Bogor di antaranya sumberdaya air dan irigasi sebagai penunjang kegiatan pertanian, dijaga kontinyuitas dan distribusi air ke lahan-lahan pertanian karena sangat

(5)

menentukan tingkat produksi pertanian. Kabupaten Bogor telah memiliki daerah irigasi sebanyak 880 unit, bendungan sebanyak 1.825 unit, dan bedung sebanyak 453 unit. Sumber-sumber air lainnya berasal dari 6 (enam) daerah aliran sungai Cisadane, Ciliwung, Cidurian, Citarum, kali Bekasi, dan kali Cimanceuri dengan 94 situ, sehingga beberapa hamparan sawah telah mendapatkan pelayanan irigasi dari sumber-sumber air tersebut.

Dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor yang menjadi lokasi petani agribisnis sayuran binaan tim misi teknik Taiwan berada di Kecamatan Dramaga meliputi Desa Cikarawang, Desa Dramaga, Desa Cemplang; dan Kecamatan Leuwiliang meliputi Desa Karacak, Desa Situ Daun, Desa Gunung Bunder, Desa Ciherang, Desa Cibungbulang, Desa Pamijahan, Desa Ciaruteun, Desa Ciasmara, Desa Bantarsari Cigombong perbatasan dengan Kabupaten Sukabumi.

Seperti di Kabupaten Boyolali misi teknik Taiwan di Kabupaten Bogor Secara umum, juga mengembangkan setidaknya 48 jenis komoditas pertanian sayuran yang dibudayakan meliputi Brokoli, letuce, tomat besar, tomat cherry, selada keriting, bunga kol, sawi putih, labu siam, baby labu siam, sawi sendok, daun mint, kol putih, cabe merah besar, cabe merah kriting, spinak, daun bawang, kapri, cabe rawit hijau, sukini, caisim, seledri, kentang, kacang panjang, daun genjer, bunga genjer, kailan, bayam merah, bayam hijau, lobak, kucai, kangkung, asparagus, pare putih, jagung manis, sawi asin, pakchoy, terong ungu, terong lalap, kenikir, timun lokal, gambas, timun Jepang, okra, daun gingseng, jamur tiram, jagung acar, daun kacang, daun singkong. Rata-rata lahan petani di Kabupaten Bogor yang digunakan mendapatkan pendampingan misi teknik Taiwan berkisar 2000 meter persegi.

Peran Misi Teknik Taiwan (ICDF)

Kerjasama Tim ICDF dengan IPB dilaksanakan oleh Misi Teknik Taiwan (Taiwan Technical Mission) di Kabupaten Bogor disebut Agribisnis Development Center (ADC). Dalam mendampingi para petani sayuran misi teknik Taiwan mengajarkan kerjasama, hal ini diakui oleh para petani bahwa ADC mengajarkan aspek-aspek seperti pentingnya menjaga kepercayaan mitra karena kepercayaan merupakan dasar hubungan yang menguntungkan. Para petani juga mengakui karena ADC berasal dari Negara Asia pasti masih kental budaya timur dimana

(6)

kejujuran dan kepercayaan masih dipegang teguh. ADC juga menjelaskan bahwa kepercayaan itu bisa terjaga jika para petani dapat menjaga kualitas kerja mereka agar tetap profesional dan berpegang teguh pada kontrak yang telah dibuat. Petani juga mengatakan bahwa ADC secara tidak langsung mengajarkan petani untuk bisa lebih disiplin dalam bekerja dan pentingnya menjaga loyalitas kepada ADC.

Tidak semua petani mengatakan bahwa ADC mengajarkan dasar-dasar bekerja sama. Terdapat petani yang menjelaskan bahwa ADC tidak sama sekali membahas segi-segi moralitas (seperti kejujuran dan kepercayaan), Hal tersebut diakui petani baik dan bagus, karena ADC hanya berbicara mengenai teknis “masa bodoh” dengan urusan moralitas karena diakui oleh petani bahwa moralitas terkadang yang dapat menghambat kerja profesional karena itu ADC hanya berbicara bagaimana meningkatkan produksi dan mendatangkan keuntungan bagi para petani. Moralitas menjadi hal yang sering sekali dibahas oleh penyuluh, sehingga diakui petani bahwa penyuluh justru lupa berbicara mengenai teknis. Perilaku penyuluh yang kurang membahas aspek teknis tersebut, dianggap petani sebagai hal yang tidak akan meningkatkan kesejahateraan petani.

Hubungan Kerjasama Antar Petani dan ICDF

Sistem kerjasama lainnya yang sering diterapkan antara masyarakat (petani) dengan pihak kemitraan (ADC) adalah kerjasama mengenai penyediaan pupuk dan bibit sehingga produk-produk petani dapat langsung dijual kepada penyedia pupuk dan benih (ADC). Kerjasama dengan ADC dilakukan secara tertulis ada (kontrak). Petani sebagai pihak yang memiliki lahan bekerja sama dengan ADC yang punya pasar, fasilitas, dan teknologi. Para petani mendapatkan bibit,pupuk,dan obat dari ADC, tetapi pengolahannya di lahan petani sendiri. Penentuan harga penjualan ada di tangan ADC, harga yang ditawarkan ADC kepada petani lebih tinggi dari harga pasar, tetapi produk yang dapat lolos sortasi hanya produk-produk terbaik. Selain hal tersebut, petani juga diajarkan untuk bisa lebih mandiri.

Keuntungan Kerjasama dengan ADC. Diakui oleh para petani bahwa sistem kerjasama yang ditawarkan oleh pihak mitra (ADC) memberikan banyak sekali hal positif tidak hanya dari segi ekonomi tetapi juga dari segi teknis. Petani dapat menjual hasil panennya dengan harga yang relatif tinggi dibandingkan harga

(7)

pasar, sehingga secara ekonomi petani lebih untung daripada harus menjual langsung ke pasar. Keuntungan kerjasama dari segi teknis adalah petani mendapatkan cara-cara baru dalam budidaya pertanian, sehingga dapat memperoleh hasil pertanian yang baik. Hal tersebut cukup beralasan karena para petani tidak hanya memperoleh bibit atau benih begitu saja, tetapi mereka juga dilatih melalui kegiatan-kegiatan pelatihan. Sistem kerjasama ini juga diakui sebagai inovasi atau sesuatu yang “baru” dan mulai diadopsi, karena tidak merugikan petani. Selain menguntungkan dari segi ekonomi, petani juga merasa kapasitas budidaya pertanian juga meningkat.

Sistem bagi hasil antara Petani Sayuran dan ADC. Pihak mitra (ADC) tidak menawarkan sistem bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh. Kerjasama yang ditawarkan pihak kemitraan berupa penyediaan pupuk, penyediaan bibit, dan pelatihan terkait budidaya pertanian. Dalam setiap keuntungannya petani dipotong 500 rupiah untuk pembuatan sertifikat.

Adanya Empati dari ADC. Pihak kemitraan (ADC) memberikan empati terhadap petani yang mengalami musibah dengan cara datang “menengok” petani yang sedang mengalami musibah tersebut, biasanya ADC akan memberikan saran-saran atau motivasi agar musibah yang serupa tidak terjadi lagi pada petani. Akan tetapi ADC tidak banyak memberi bantuan konkrit berupa benih ataupun bibit tambahan karena ADC tidak bertanggung jawab akan kerugian yang diderita petani. Oleh karena itu ADC sebisa mungkin mendampingi secara rutin (satu bulan sekali) para petani untuk mengeliminir kesalahan yang sifatnya bisa fatal, ADC hanya bertanggung jawab untuk pemasaran.

ADC dan Ikatan Solidaritas. Diakui oleh para petani bahwa ADC tidak mengajarkan apa-apa untuk menghadapi tengkulak dengan sistem ijonnya. ADC hanya menganjurkan bahwa sebisa mungkin petani untuk membentuk kelompok tani dan jangan tergantung kepada tengkulak karena bagaimanapun juga tengkulak akan merugikan petani. ADC juga menganjurkan para petani untuk mampu menentukan harga dasar secara kolektif agar tidak dapat dikendalikan oleh tengkulak.

(8)

ADC dan Kearifan Lokal. Kearifan lokal sudah mulai tergerus dari budaya pertanian di tempat penelitian ini dilakukan, sebagian besar wilayah pertanian sudah mulai meninggalkan kearifan yang sifatnya lokal dan terdapat juga petani yang sudah mulai tidak percaya kearifan-kearifan yang berasal dari nenek moyang mereka. Hal tersebut sangat beralasan karena dalam proses budidaya para petani tidak diajarkan oleh pihak mitra (ADC) tentang apa itu kearifan lokal. Pada dasarnya ADC memiliki metoda tersendiri dalam teknik budidaya pertanian mereka. Teknik-teknik budidaya ADC itu yang kemudian diajarkan kepada para petani, sehingga para petani tidak lagi memahami atau mengetahui kearifan lokal di wilayah mereka. Petani binaan ADC yang umumnya tidak mengetahui kearifan lokal, karena usianya tergolong relatif muda. Petani-petani yang cenderung muda, lebih mempercayakan pada pelatihan-pelatihan yang ditawarkan oleh ADC.

Tidak semua petani tidak tahu atau tidak percaya dengan kearifan lokal. Masih terdapat petani yang percaya dan mengetahui bahwa di wilayah mereka terdapat kearifan lokal. Terdapat berbagai macam bentuk kearifan lokal yang tersebar di berbagai wilayah pada penelitian ini. Di antaranya terdapat kearifan lokal yang berupa “pranata mangsa.” Terdapat pula kearifan lokal yang berupa kepercayaan “jika mau menanam, agar panennya berhasil harus menanam satu hari setelah hujan besar turun membasahi lahan para petani.” Selain itu terdapat pula kearifan lokal berupa “pohon penjaga” jadi para petani biasanya menanam tanaman di setiap pojok-pojok lahan pertanian karena tanaman tersebut merupakan simbol penjaga tanaman pertanian yang sedang ditanam. Terdapat pula kearifan lokal yang berupa penanaman yang didasarkan atas penanggalan bulan-bulan Islam.

Deskripsi Faktor Internal dan Eksternal Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Untuk membahas deskripsi pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor dan faktor yang mempengaruhinya, yang pada penelitian ini berupa peubah karakteristik petani sayuran, dinamika sosial, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial ekonomi setempat dijelaskan dengan hasil analisis statistis deskripsi sebagai berikut.

(9)

Deskripsi Faktor Internal: Karakteristik Petani Sayuran

Hasil analisis peubah-peubah yang dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas karakteristik personal petani sayuran peserta bimbingan misi teknik Taiwan di Indonesia disajikan dalam Tabel 6. Sesuai dengan hipotesis sebelumnya, ada delapan peubah karakteristik yang dianalisis derajat pengaruhnya dengan peningkatan kapasitas kewirausahaan petani sayuran, yaitu tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, pendapatan, kepemilikan aset, kekosmopolitan, pengalaman berusaha, dan keberanian mengambil resiko.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan formal sebagai suatu landasan ilmu pengetahuan yang akan membantu petani dalam pengambilan keputusan serta dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Tingkat pendidikan yang baik dapat meningkatkan pengetahuan yang berhubungan dengan tingkat ketepatan penilaian yang berdampak pada kecepatan dalam mengadopsi suatu inovasi dan sebaliknya (Soekartawi, 2004).

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan formal petani sayuran di Kecamatan Boyolali sebagian besar adalah kategori menengah sebesar 85,9 persen dengan kisaran 10-13 tahun. Petani sayuran yang masih tergolong rendah pendidikan formalnya yaitu sebesar 10,2 persen dengan kisaran lama belajar formal 0-9 tahun dan yang berpendidikan tinggi dengan kisaran lama belajar 14-21 tahun sebesar 3,9 persen.

Tingkat pendidikan ini sangat mempengaruhi mudah atau tidaknya mereka dalam mengadopsi teknologi budidaya sayuran, menerapkannya serta dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi pendidikan formal petani sayuran semakin berkembang wawasan berpikirnya dan semakin baik keputusannya dalam berwirausaha tani sayuran yang lebih produktif. Dengan kata lain, tingkat pendidikan berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran terlebih pada petani responden di Kabupaten Boyolali.

(10)

Tabel 6. Sebaran responden berdasarkan karakteristik petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor (dalam persen)

Karakteristik Petani Petani Boyolali Petani Bogor Gabungan Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Pendidikan Formal - Rendah (0-9 tahun) - Menengah (10-13tahun) - Tinggi (14-21tahun) 8 67 3 10,2 85,9 3,9 29 10 7 63,0 21,8 15,2 37 77 10 29,8 62,1 8,1 Usia -Muda (21- 41 tahun) -Sedang (42-63 tahun) -Tua ( 63-86 tahun) 20 30 28 25,6 38,5 35,9 19 13 14 41,3 28,3 30,4 39 43 42 31,5 34,6 33,9 Jenis kelamin -Laki-laki -Perempuan 71 7 91,1 8,9 41 5 89,1 10,9 112 12 90,3 9,7 Pendapatan per panen (Omset)

-< Rp. 13.600.000 -Rp 13.600.000–Rp 26.800.000 - > Rp 26.800.000 22 23 33 28,2 29,5 42,3 20 17 9 43,5 36,9 19,6 42 40 42 33,9 32,2 33,9 Kepemilikan aset -Tidak punya

-Kurang dari Rp 500 juta -Rp 500 juta ke atas 10 31 37 12,8 13,7 47,5 30 11 5 65,2 23,9 10,9 40 42 42 32,2 33,9 33,9 Tingkat kekosmopolitan -Rendah ( 0 -154 jam) -Sedang (155 – 308 jam) -Tinggi (309 – 462 jam) 54 17 7 69,2 21,9 8,9 42 4 0 91,3 8,7 0 96 21 7 77,4 16,9 5,7 Pengalaman Bertani Sayuran

-Baru (0,5- 20 tahun) -Sedang (21 – 40 tahun) -Lama (41- 62 tahun) 69 8 1 88,5 10,3 1,2 33 9 4 71,7 19,6 8,7 102 17 5 82,3 13,7 4,0 Keberanian mengambil resiko

-Rendah Skor (4- 5) -Sedang Skor (5,1 – 6) -Tinggi Skor (6,1-8) 3 10 65 3,9 12,8 83,3 2 6 38 4,4 13,0 82,6 5 16 103 4,0 12,9 83,1 Jumlah (Prosentase) responden 78 62,9 46 37,1 124 100,0

Petani sayuran di Kabupaten Bogor yang umumnya berpendidikan formal tergolong rendah paling tinggi hanya lulus SMP sebanyak 29 orang atau sebesar 63%. Jika dibandingkan antara Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Boyolali, maka tingkat pendidikan petani sayuran Kabupaten Boyolali relatif lebih tinggi sebagian besar sampai lulus SMA dibandingkan petani sayuran Kabupaten Bogor kebanyakan hanya sampai lulus SMP. Hal ini terkait dengan biaya sekolah dan biaya hidup di Bogor yang masih lebih tinggi dibanding di Kabupaten Boyolali.

(11)

Namun pada tingkat pendidikan formal yang sampai perguruan tinggi petani sayuran Bogor lebih banyak yaitu tujuh orang atau sebesar 15,2 persen jika dibandingkan dengan di Kabupaten Boyolali hanya sebanyak tiga orang atau sebesar 3,9 persen. Hal ini tidak terlepas dari peranan Institut Pertanian Bogor sebagai perguruan tinggi pertanian yang ada di Kabupaten Bogor melalui penyuluhan dan kegiatan pengabdian masyarakat: Kuliah Kerja Nyata/Kuliah Kerja Profesi, Jumat keliling dan lain-lain telah memberikan pencerahan betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan petani di Kabupaten Bogor.

Pendidikan Nonformal. – Petani binaan pendampingan tim misi Taiwan umumnya jarang mengikuti kursus-kursus penyuluhan yang diselenggarakan pihak tim misi Taiwan maupun pemerintah, karena pendidikan nonformal berupa pelatihan-pelatihan oleh misi teknik Taiwan kebanyakan hanya diikuti oleh para ketua kelompok dan selanjutnya ketua kelompok yang memberikan penjelasan kepada para petani sayuran sebagai anggota kelompoknya. Selain itu para pendamping misi teknik Taiwan juga mempraktekkan langsung di lapangan sehingga lebih mudah ditiru oleh para petani sayuran. Metode ini ternyata berhasil karena terjadi interaksi langsung sehingga terjadi komunikasi efektif dialogik antar mereka.

Usia

Petani sayuran di Kabupaten Boyolali umumnya masuk kelompok berusia sedang adalah sebesar 38,5 persen dengan variasi mulai dari kisaran usia 42 tahun sampai dengan 63 tahun, Para petani sayuran kelompok tua adalah usia antara 63-86 tahun sebesar 35,9 persen, sedangkan para petani sayuran kelompok muda dengan kisaran usia 21-41 tahun sebesar 25,6 persen. Hal ini berarti bahwa usia petani sayuran tergolong produktif pada kisaran usia 42-63 tahun yang merupakan proporsi terbesar. Di samping itu, rata-rata petani sayuran yang berusia muda jumlahnya lebih sedikit dibanding yang kelompok berumur sedang dan kelompok tua. Hal ini juga mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran bidang usaha para pemuda dari bidang pertanian ke bidang lain.

Kondisi ini menunjukkan bahwa petani sayuran secara fisik masih sangat kuat untuk menjalankan kegiatan usahataninya secara baik. Petani sayuran kelompok usia sedang memiliki kemampuan bekerja dan berpikir yang lebih

(12)

tinggi, sehingga bisa dikatakan usia petani produktif ini mempunyai pengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran Kabupaten Boyolali.

Petani sayuran di Kabupaten Bogor umumnya masuk kelompok berusia muda adalah sebesar 41,3 persen dengan variasi mulai dari kisaran usia 21 tahun sampai dengan 41 tahun, para petani sayuran kelompok sedang adalah usia antara 42-63 tahun sebesar 28,3 persen, sedangkan para petani sayuran kelompok tua dengan kisaran usia 63-86 tahun sebesar 30,4 persen. Hal ini berarti bahwa usia petani sayuran tergolong produktif di Kabupaten Bogor pada kisaran usia 21-41 tahun yang merupakan proporsi terbesar.

Secara keseluruhan di dua kabupaten berada pada kategori sedang berumur 42-63 tahun sebesar 34,6 persen. Berarti usia produktif petani sayuran di dominasi oleh petani berusia sedang 42-63 tahun.

Jenis kelamin

Pada umumnya petani sayuran di Kabupaten Boyolali didominasi oleh petani laki-laki sebanyak 71 orang atau sebesar 91,1 persen dibanding perempuan sebanyak 7 orang atau sebesar 8,9 persen hal ini dikarenakan di Kabupaten Boyolali mayoritas mata pencaharian laki-laki sebagai kepala keluarga bekerja pada sektor pertanian dan perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga mengurus anak, memasak, mencuci namun sesekali membantu di lahan pertanian dengan kata lain pekerja di lahan pertanian menjadi tugas tetap laki-laki. Ada juga sebagian kecil perempuan yang bekerja tetap sebagai petani.

Demikian juga petani sayuran di Kabupaten Bogor, petani laki-laki lebih mendominasi dibanding perempuan. Sebanyak 41 orang petani laki-laki atau sebesar 89,1 persen dan petani perempuan sebanyak lima orang atau sebesar 10,9 persen. Hal ini hampir sama penyebabnya jika dibandingkan dengan petani di Kabupaten Boyolali yaitu kebanyakan laki-laki sebagai kepala keluarga bekerja pada sektor pertanian dan perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga lebih bersifat hanya membantu pekerjaan suami bertani, kecuali jika perempuan tersebut sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah sehingga mereka sebagai pekerja petani tetap bukan sampingan.

(13)

Secara keseluruhan baik di Kabupaten Boyolali dan Bogor petani yang mendapat bimbingan dari misi teknik Taiwan total sebanyak 112 orang atau sebesar 90,3 persen didominasi petani laki-laki dan petani perempuan hanya 12 orang atau sebesar 9,7 persen yang mencerminkan dari analisa gender peranan petani sayuran masih kuat dipengaruhi budaya lokal yaitu laki-laki harus mempunyai peranan lebih dibanding perempuan dalam berbagai hal dengan kata lain perempuan hanya konco wingking (teman belakang) saja jadi kurang penting peranannya, tumpuan keluarga tetap berada pada laki-laki sebagai kepala keluarga.

Pendapatan

Tingkat pendapatan petani sayuran di Kabupaten Boyolali pada kelompok yang berpenghasilan di atas Rp. 26.800.000,- per panen (omset) sebesar 42,3 persen sebagai kategori tinggi atau pendapatan bersih 10 persen dari omset. Petani sayuran berpendapatan kategori sedang dengan kisaran antara Rp.13.600.000,- sampai dengan Rp. 26.800.000,- adalah sebesar 29,5 persen, sedangkan untuk petani sayuran dengan kisaran penghasilan sebesar kurang dari Rp. 13.600.000,- sebesar 28,2 persen. Hal ini berarti di Kabupaten Boyolali mereka yang berpenghasilan tinggi berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran Kabupaten Boyolali.

Berbeda dengan petani sayuran Kabupaten Bogor, dimana sebagian besar 20 orang atau 43,5 persen berpendapatan rendah yaitu kurang dari Rp. 13.600.000,- per panen atau (omset). Hal ini dikarenakan rata-rata lahan petani sayuran Kabupaten Bogor seluas 2.000 m2 lebih sempit dibandingkan rata-rata lahan petani sayuran di Kabupaten Boyolali seluas 3.000 m2. Secara keseluruhan didominasi pada pendapatan rendah dan pendapatan tinggi.

Kepemilikan Aset

Petani sayuran di Kabupaten Boyolali yang mempunyai kekayaan dengan nilai kepemilikan aset Rp.500 juta ke atas ada sebesar 47,5 persen, kekayaan rata-rata petani sayuran yang mempunyai aset di bawah Rp.500.000.000,- sebesar 13,7 persen. Adapun kategori petani sayuran yang tidak mempunyai aset atau sebagai buruh sebesar 12,8 persen. Hal ini berarti semakin tinggi kekayaan rata-rata petani

(14)

sayuran di Kabupaten Boyolali berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran Kabupaten Boyolali.

Kekayaan petani sayuran di Kabupaten Bogor kepemilikan aset kebanyakan berada pada kategori rendah (tidak punya) yaitu sebanyak 30 orang atau sebesar 65,2 persen. Hal ini berarti petani sayuran di Kabupaten Bogor relatif lebih rendah kepemilikan asetnya dibandingkan dengan petani sayuran di Kabupaten Boyolali. Secara statistik pengaruh kepemilikan aset petani sayuran terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani tersebut, untuk di Kabupaten Boyolali lebih tinggi dibanding di Kabupaten Bogor. Secara keseluruhan didominasi pada kepemilikan aset rendah dan tinggi.

Kekosmopolitan

Di Kabupaten Boyolali keterbukaan terhadap dunia di luar lingkungannya rata-rata petani sayuran yang mempunyai tingkat kekosmopolitan selama tiga bulan terakhir saat penelitian dilakukan berada pada kisaran antara 0-154 jam sebesar 69,2 persen kategori rendah, rata-rata petani sayuran yang mempunyai tingkat kekosmopolitan kisaran antara 155-308 jam kategori sedang sebesar 21,9 persen. Rata-rata petani sayuran yang mempunyai tingkat kekosmopolitan kisaran antara 309-462 jam kategori tinggi sebesar 8,9 persen. Hal ini berarti keterbukaan terhadap dunia di luar lingkungannya mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten. Boyolali.

Di Kabupaten Bogor keterbukaan terhadap dunia di luar lingkungannya didominasi oleh petani sayuran yang mempunyai tingkat kekosmopolitan kisaran antara 0-154 jam sebanyak 42 orang atau sebesar 91,3 persen, sama dengan petani di Kabupaten Boyolali pada kategori ini. Hal ini berarti tingkat kekosmopolitan mempunyai pengaruh kuat terhadap lingkungan sosial ekonomi yang pada akhirnya berpengaruh kuat (secara tidak langsung) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Secara keseluruhan didominasi oleh tingkat kekosmopolitan rendah dengan kisaran 0-154 jam.

(15)

Pengalaman berusahatani sayuran

Pengalaman berusahatani dihitung berdasarkan lamanya petani menjalankan kegiatan usahataninya. Pengalaman petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor didominasi kategori baru sebanyak 69 orang atau 88,5 persen dan 33 orang atau 71,7 persen, yang berarti pengalaman dalam berusahatani sayuran masih tergolong baru didominasi oleh petani dengan pengalaman berwirausaha tani sayuran kisaran antara 0,5-20 tahun, yang secara gabungan ada sebesar 82,3 persen petani responden binaan ADC. Pengalaman berwirausaha tani sayuran kategori sedang sebanyak delapan orang, yang berarti pengalaman dalam berusaha tani sayuran masih tergolong sedang mempunyai kisaran antara 21-40 tahun ada sebesar 10,3 persen. Hanya seorang atau sebesar 1,2 persen berpengalaman berwirausahatani sayuran kategori lama, yakni pengalaman dalam berusahatani sayuran mempunyai kisaran antara 41-62 tahun.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pengalaman usahatani sayuran didominasi oleh petani sayuran pemula atau kategori belum berpengalaman yang mempunyai semangat mencoba teknologi baru dan berwirausaha tani baru. Dengan kata lain, petani di Kabupaten Boyolali dan Bogor meninggalkan kebiasaan sistem usahatani yang lama (padi, jagung dll) ke sistem berwirausaha tani sayuran.

Selain berusahatani sayuran, petani juga mempunyai pekerjaan lain seperti aparat pemerintahan desa dan guru, hal ini akan mempengaruhi pengetahuan ataupun keterampilannya dalam menjalankan usahatani sayuran. Berdasarkan pengalaman yang cukup bervariasi pada kategori sedang, dengan demikian ada beberapa petani sayuran yang berpengalaman dan tetap mempertahankan sistem berwirausaha tani lama (padi, jagung dll) dan juga mencoba berwirausaha tani sayuran.

Keberanian Mengambil Resiko

Petani sayuran di Kabupaten Boyolali yang berani mengambil resiko untuk berwirausaha tani kategori tinggi sebanyak 65 orang atau sebesar 83,3 persen didominasi oleh kategori tinggi dengan kisaran skor antara 6,1-8. yang berani mengambil resiko untuk berwirausaha tani kategori sedang sebanyak 10 orang atau sebesar 12,8 persen yang merupakan kategori sedang dengan kisaran skor antara 5,1-6. Para petani sayuran yang berani mengambil resiko untuk

(16)

berwirausaha tani kategori rendah sebanyak tiga orang atau sebesar 3,9 persen yang merupakan kategori rendah dengan kisaran skor antara 4-5. Hal ini berarti para petani yang berani mengambil resiko berwirausaha tani sayuran didominasi oleh kategori tinggi, membuktikan bahwa berani mengambil resiko merupakan salah satu faktor yang kuat dalam pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran.

Petani sayuran di Kabupaten Bogor yang berani mengambil resiko untuk berwirausaha tani kategori tinggi sebanyak 38 orang atau sebesar 82,6 persen juga sama didominasi oleh kategori tinggi dengan kisaran skor antara 6,1-8. yang berani mengambil resiko untuk berwirausaha tani kategori sedang sebanyak enam orang atau sebesar 13 persen yang merupakan kategori sedang dengan kisaran skor antara 5,1-6. Para petani sayuran yang berani mengambil resiko untuk berwirausaha tani kategori rendah sebanyak dua orang atau sebesar 4,4 persen yang merupakan kategori rendah dengan kisaran skor antara 4-5. Hal ini berarti para petani yang berani mengambil resiko berwirausaha tani sayuran didominasi oleh kategori tinggi, membuktikan bahwa berani mengambil resiko merupakan salah satu faktor yang kuat dalam pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran.

Deskripsi Faktor Eksternal: Dinamika sosial

Hasil penelitian tentang distribusi dinamika sosial petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Rataan skor dinamika sosial pendampingan misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Indikator Rataan Skor*

Kab. Boyolali Kab. Bogor Total

Keanggotaan kelompok 29,98 19,84 26,22

Ekologi kelompok 71,40 62,04 67,93

Status dan kekuasaan 59,25 48,76 55,36

Kepemimpinan kelompok 49,57 49,57 49,57

Suasana kelompok 63,46 56,83 61,00

Jaringan komunikasi tradisional 23,10 18,54 21,41

Dinamika Sosial 49,46 42,59 46,91

Keterangan:*Interval skor 0-25 = Sangat Rendah; 26-50 = Rendah; 51-75 = Tinggi; 76-100 = Sangat Tinggi

Berdasarkan Tabel 7 di atas, total rataan skor dinamika sosial yang terdiri dari aspek-aspek keanggotaan kelompok, ekologi kelompok, status dan kekuasaan, kepemimpinan kelompok, suasana kelompok, dan jaringan

(17)

komunikasi tradisional di Kabupaten Boyolali lebih tinggi yaitu 49,46 dibandingkan dengan Kabupaten Bogor yaitu sebesar 42,59. Hal ini terjadi karena pendampingan misi Taiwan di Kabupaten Boyolali lebih dulu berdiri dibandingkan dengan di Kabupaten Bogor. Dari sisi dinamika sosial, Kabupaten Boyolali struktur kelompok taninya cukup mapan karena usia kelompok taninya lebih lama dibandingkan di Kabupaten Bogor.

Namun demikian terdapat aspek yang menunjukkan rataan skor sama-sama berkategori rendah yaitu kepemimpinan kelompok sebesar 49,57. Untuk itu perlu ditingkatkan fungsi, tindakan, dan peran kepemimpinan kelompok di kedua lokasi penelitian dalam mempengaruhi, mengkoordinasi, memotivasi, memonitoring dan mengevaluasi orang lain di kelompoknya, agar mau bekerjasama dalam upaya mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Keanggotaan kelompok di dua kabupaten pun termasuk kategori rendah. Hal ini terjadi karena banyak anggota kelompok yang ketika sudah mulai merasa mandiri tidak lagi aktif menghadiri pertemuan-pertemuan dan diskusi yang diselenggarakan oleh pengurus kelompok dengan kata lain banyak keanggotaan kelompok yang keluar-masuk atau sering berganti. Bahkan Jaringan komunikasi tradisional di dua kabupaten termasuk kategori sangat rendah. Hal ini terjadi karena telah terjadi pergeseran fungsi jaringan komunikasi tradisional ke jaringan komunikasi modern berupa sarana komunikasi seperti telepon seluler dan internet, sehingga sangat wajar jika jaringan komunikasi tradisional tidak lagi menjadi sarana yang sering digunakan.

Secara keseluruhan dinamika sosial di dua kabupaten tersebut masih tergolong rendah (skor 46,91). Hanya indikator ekologi kelompok, status dan kekuasaan, dan suasana kelompok yang berkategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika sosial perlu ditingkatkan baik dari sisi size keanggotaan kelompok, misalnya minimal 20 orang yang aktif maupun kepemimpinan kelompok yaitu melalui leadership training dan memanfaatkan jaringan komunikasi tradisional yang sudah mereka ditinggalkan.

Di Boyolali, dinamika sosial untuk indikator keanggotaan, ekologi, status dan kekuasaan, kepemimpinan dan suasana kelompok, serta jaringan komunikasi tradisional lebih dominan dibanding di Bogor, kecuali indikator kepemimpinan kelompok. Artinya, dinamika sosial di Boyolali lebih kondusif dibanding Bogor.

(18)

Deskripsi Faktor Eksternal: Lingkungan Fisik

Hasil penelitian tentang distribusi petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor berdasarkan peubah lingkungan fisik disajikan dalam Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Rataan skor faktor lingkungan fisik petani pendampingan misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Indikator Rataan Skor*

Kab. Boyolali Kab. Bogor Total Infrastruktur/sarana komunikasi 45,71 32,23 40,71

Ciri/karakteristik teknologi 32,61 38,99 34,98

Lingkungan fisik 39,16 35,61 37,84

Keterangan:*Interval skor 0-25 = Sangat Rendah; 26-50 = Rendah; 51-75 = Tinggi; 76-100 = Sangat Tinggi

Berdasarkan Tabel 8, total rataan skor lingkungan fisik yang terdiri dari aspek-aspek infrastruktur/sarana komunikasi dan karakteristik teknologi di Kabupaten Boyolali lebih tinggi yaitu 39,16 dibandingkan dengan Kabupaten Bogor yaitu sebesar 35,61, di mana total rataan skor untuk kedua kabupaten tersebut adalah 37,84. Data ini menunjukkan, bahwa lingkungan fisik petani sayuran di dua kabupaten tergolong rendah terlihat dari sarana komunikasi yang sering digunakan untuk kebutuhan lain (sekunder) bukan untuk mencari informasi tentang berwirausaha tani sayuran. Ciri teknologi pun tergolong rendah.

Fakta lain menunjukkan bahwa sarana komunikasi di Boyolali lebih baik dibandingkan di Bogor, terlihat petani sayuran di Boyolali lebih mampu membeli sarana komunikasi (hp dan komputer). Sisi lainnya adalah karena pendampingan misi Taiwan di Kabupaten Boyolali lebih dulu berdiri dibandingkan dengan di Kabupaten Bogor, sehingga sarana komunikasinya yang ada sudah lebih baik. Saat ini, infrastruktur sarana komunikasi untuk pembinaan petani responden binaan ADC dikelola oleh dinas pertanian, perkebunan, dan kehutanan Kabupaten Boyolali melalui UPT usaha pertanian yang memang menganggarkan untuk operasional sarana komunikasi

Karakteristik teknologi di Bogor lebih baik dibandingkan Boyolali, karena petani sayuran di Bogor lebih cepat menerima teknologi pertanian yang sosialisasinya dilakukan tidak hanya oleh misi teknik Taiwan, tetapi juga oleh Penyuluh Swakarsa Mandiri (PSM), LSM dan mahasiswa IPB yang praktek kerja lapang, mereka langsung mengadopsi teknologi karena yakin manfaatnya.

(19)

Sarana komunikasi di Kabupaten Bogor termasuk kategori rendah, hal ini karena petani sayuran di Kabupaten Bogor kurang banyak mengakses informasi pertanian dari media cetak maupun media elektronik.

Deskripsi Faktor Eksternal: Lingkungan Sosial Ekonomi

Hasil penelitian tentang distribusi lingkungan sosial ekonomi petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor disajikan dalam Tabel 9.

Berdasarkan Tabel 9, total rataan skor lingkungan sosial ekonomi petani sayuran di dua kabupaten tergolong rendah, dan apabila dibandingkan ternyata faktor lingkungan sosial ekonomi di petani sayuran Kabupaten Bogor lebih tinggi yaitu 45,20 dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali yaitu sebesar 45,31, dimana total rataan skor untuk kedua kabupaten tersebut adalah 45,24.

Tabel 9. Rataan skor lingkungan sosial ekonomi petani sayuran pendam-pingan misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Indikator Rataan Skor*

Kab.Boyolali Kab. Bogor Total

Dukungan keluarga 68,59 59,78 65,32

Dukungan kelembagaan 22,22 27,54 24,19

Dukungan sistem sosial 53,85 44,57 50,40

Dukungan mitra usaha 23,08 57,07 35,69

Iklim kewirausahaan syariah 42,74 34,78 39,78

Keberfungsian kearifan lokal 56,62 50,36 54,30

Keterbukaan pasar 48,72 52,66 50,18

Informasi media massa 45,82 35,69 42,06

Lingkungan sosial ekonomi 45,20 45,31 45,24

Keterangan: *Interval skor 0-25 = Sangat Rendah; 26-50 = Rendah; 51-75 = Tinggi; 76-100 = Sangat Tinggi

Hal ini disebabkan Kabupaten Bogor sebagai penyangga ibu kota Negara Republik Indonesia sangat wajar jika lingkungan sosial ekonominya lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali. Dari sisi pemasaran produk hasil pertanian, Kabupaten Bogor jauh lebih luas pangsa pasarnya bisa ke wilayah JABODETABEK dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali yang pangsa pasarnya hanya ke Solo dan Yogyakarta saja.

Rendahnya dukungan faktor lingkungan sosial ekonomi di dua kabupaten amatan tersebut, lebih mendetil terlihat pada indikator dukungan kelembagaan, dukungan mitra usaha, iklim kewirausahaan syariah, dan informasi media massa. Hal ini dikarenakan para petani sayuran tidak memanfaatkan kelembagaan yang sudah ada dan hanya mengandalkan pada hubungan baik dengan misi teknik Taiwan dalam

(20)

bentuk hubungan bisnis di mana misi teknik Taiwan secara kelembagaan mampu menyediakan beberapa kebutuhan pokok dari para petani sayuran, sehingga tidak memanfaatkan lembaga-lembaga pemerintah, swasta atau lembaga lain. Demikian juga untuk dukungan mitra usaha para petani sayuran menganggap mitra usaha yang paling baik adalah misi teknik Taiwan sehingga mereka tidak lagi menjalin kerjasama dengan mitra usaha lain. Dalam hal iklim kewirausahaan syariah, petani di dua kabupaten tersebut, petani tidak mendapatkan sosialisasi tentang kewirausahaan syariah, baik dari penyuluh pemerintah maupun dari fasilitator misi teknik Taiwan, pemahaman tentang kewirausahaan syariah secara umum kebanyakan hanya didapat dari televisi, para da’i/ustadz pada umumnya. Di samping itu, lembaga keuangan syariah yang diharapkan memotori iklim kewirausahaan syariah belum banyak tumbuh di dua kabupaten tersebut. Informasi media massa masih rendah dikarenakan di dua kabupaten para petani sayuran kebanyakan lebih suka membaca dan menonton tayangan-tayangan hiburan, kurang memanfaatkan media massa untuk mendapatkan informasi tentang pertanian, khususnya pengembangan wirausaha tani sayuran.

Lingkungan sosial ekonomi untuk dukungan keluarga, dukungan sistem sosial, iklim kewirausahaan syariah, keberfungsian kearifan lokal, dan informasi media massa di Boyolali lebih baik dibandingkan di Bogor. Karena kelima dimensi tersebut sudah mulai tumbuh diharapkan dipertahankan keberlangsungannya dan terus berkembang. Adapun untuk dukungan kelembagaan, dukungan mitra usaha, dan keterbukaan pasar di Bogor lebih baik dibandingkan Boyolali. Hal ini dikarenakan, keempat dimensi tersebut di daerah Bogor mulai berkembang seiring dengan kemajuan usaha bisnis sayuran.

Bila di lihat secara parsial, terlihat bahwa, dukungan kemitraan di Kabupaten Boyolali kategori sangat rendah karena di Kabupaten Boyolali belum begitu banyak baik perusahaan daerah maupun perusahaan swasta yang berani menjalin kemitraan dengan petani sayuran mantan binaan misi teknik Taiwan tersebut. Hal ini menyebabkan petani masih ragu tentang pemasaran pascapanen dan penyediaan sarana produksi tani secara kontinyu. Berbeda dengan Kabupaten Bogor yang masuk kategori tinggi, karena hingga sekarang para petani sayuran masih mendapat pendampingan dari misi teknik Taiwan yang sekaligus menjamin membeli dan memasarkan hasil panennya. Di samping itu banyak perusahaan swasta di Kabupaten Bogor yang telah menjalin kemitraan dengan para petani

(21)

sayuran yang sebagian besar dari mereka meyakini pangsa pasar di daerah JABODETABEK yang lebih pasti dan menguntungkan.

Dukungan keluarga di Kabupaten Boyolali tergolong kategori tinggi karena kebanyakan petani sayuran mengandalkan pendapatan keluarga dari berusaha tani sayuran sehingga sangat wajar jika semua anggota keluarga sangat mendukung. Sistem sosial di Kabupaten Boyolali termasuk kategori tinggi karena masyarakat setempat melalui tokoh masyarakat sangat mendukung pengembangan kewirausahaan petani sayuran, hal ini terbukti dengan diterimanya program pengembangan kewirausahaan petani sayuran yang dibimbing oleh misi teknik Taiwan.

Dukungan sistem sosial di Kabupapen Bogor termasuk kategori rendah hal ini dikarenakan di Kabupaten Bogor binaan misi teknik Taiwan masih tergolong baru sangat wajar jika dukungan masyarakat baru pada kategori rendah, untuk itu perlu adanya sosialisasi yang lebih luas lagi kepada pada para tokoh masyarakat, opinion leader dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada.

Iklim kewirausahaan syariah Kabupaten Boyolali dan Bogor termasuk kategori rendah, hal ini karena hukum-hukum syariah belum banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari sebagai salah satu sistem solusi berwirausaha, petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor masih banyak yang belum memahami hukum–hukum syariah sehingga sangat wajar kalau baru dalam kategori rendah karena hanya beberapa komunitas saja yang memahami sehingga iklim kewirausahaan belum berkembang pesat.

Informasi media massa di Kabupaten Boyolali dan Bogor termasuk kategori rendah. Hal ini terlihat dari fakta lapangan, meskipun fasilitas media massa tersedia tetapi kebanyakan para petani sayuran kurang memanfaatkan untuk mendapatkan informasi pertanian terkait usahatani sayuran. Kebanyakan dari mereka lebih suka menonton hiburan dan kurang suka membaca koran dan majalah.

Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Hasil analisis indikator yang dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas deskripsi peubah pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran pada

(22)

misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor disajikan dalam Tabel 10. Sesuai dengan operasional konsep pada bab metode penelitian sebelumnya, ada dua indikator yang diteliti pada peubah pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran, yaitu pola komunikasi linier (monologik) dan dialogik (dialogik).

Tabel 10. Pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Indikator Rataan Skor*

Kab. Boyolali Kab.Bogor Total

Pola komunikasi monologik 35,09 39,56 37,90

Pola komunikasi dialogik 60,32 62,75 61,85

Pola komunikasi kewirausahaan

petani sayuran 47,71 51,15 49,88

Keterangan: *Interval skor 0-25 = Sangat Rendah; 26-50 = Rendah; 51-75 = Tinggi; 76-100 = Sangat Tinggi

Berdasarkan Tabel 10, secara keseluruhan rataan skor pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran yang terdiri dari aspek pola komunikasi monologik dan pola komunikasi dialogik di Bogor lebih tinggi yaitu 51,15 (kategori tinggi) dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali yaitu sebesar 47,71 (kategori rendah).

Hal ini disebabkan karena pada saat penelitian dilakukan, di Kabupaten Bogor sedang giat-giatnya menerima bimbingan dari pendamping misi Taiwan sehingga mutual sharing yang terjadi di antara pendamping dan para petani jauh lebih efektif dibandingkan dengan di Kabupaten Boyolali yang sudah diserahkan ke dinas pertanian, perkebunan, dan kehutanan Kab Boyolali melalui UPT usaha pertanian sehingga sangat wajar kalau ada faktor kejenuhan di dalam berkomunikasi di antara mereka.

Secara keseluruhan pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran di dua kabupaten tersebut, masuk kategori cukup, terlihat dari nilai total rataan skor untuk kedua kabupaten tersebut adalah 49,88 (kategori rendah). Sehingga perlu diupayakan sesering mungkin melakukan dialog antara fasilitator dari misi teknik Taiwan dengan para petani sayuran sehingga terjadi mutual sharing informasi di antara mereka. Dengan interaksi yang sering dilakukan akan membuka sikap keterbukaan di antara mereka dan keakraban dalam menjalin hubungan bisnis secara sehat.

Apabila dibandingkan antara pola komunikasi monologik dan dialogik, maka komunikasi monologik di dua kabupaten termasuk kategori rendah,

(23)

sedangkan untuk komunikasi dialogik termasuk kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pola komunikasi dialogik lebih bisa mengembangkan kapasitas kewirausahaan petani sayuran dibandingkan pola komunikasi monologik.

Lebih lanjut Tabel 10 menunjukkan, bahwa pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran di Bogor lebih baik dari pada di Boyolali. Namun keduanya berada dalam kategori tinggi, karena aktifnya para penyuluh misi teknik Taiwan. Hal ini menyebabkan terjadi sinergi yang baik antara petani sayuran dengan pendamping misi teknik Taiwan, sehingga terjadi komunikasi dua arah, transaksional dan konvergen, didapatkan mutual sharing di antara mereka.

Pengembangan Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Dari hasil analisis dimensi-dimensi peubah yang dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas deskripsi kapasitas kewirausahaan petani sayuran pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor disajikan dalam Tabel 11. Sesuai dengan definisi operasional pada bab metode penelitian, ada tiga indikator yang diteliti pada peubah kapasitas kewirausahaan petani sayuran, yaitu technical skill, social skill dan managerial skill.

Tabel 11. Pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Indikator Rataan Skor*

Kab. Boyolali Kab.Bogor Total

Technical skill 57,82 53,04 56,05

Social skill 53,46 52,28 53,02

Managerial skill 46,84 54,68 49,75

Kapasitas kewirausahaan petani

sayuran 52,71 53,33 52,94

Keterangan: *Interval skor 0-25 = Sangat Rendah; 26-50 = Rendah; 51-75 = Tinggi; 76-100 = Sangat Tinggi

Berdasarkan Tabel 11, terlihat bahwa kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Boyolali untuk technical skill dan social skill lebih baik dibanding petani sayuran di Bogor, namun untuk managerial skill di Bogor lebih baik. Ini dikarenakan petani sayuran di Boyolali lebih dahulu dibimbing oleh misi teknik Taiwan dari pada petani sayuran di Bogor yang baru berumur 7 tahun. Untuk managerial skill, sebenarnya misi teknik Taiwan tidak mengajarkan secara

(24)

spesifik, tetapi banyak penyuluhan peningkatan managerial skill yang diselenggarakan oleh LSM, dan Penyuluh Swakarsa Mandiri (PSM) termasuk juga para mahasiswa IPB yang melakukan praktek kerja lapang. Dengan kata lain teknik budidaya sayuran, keterampilan bersosialisasi dan kemampuan manajerial akan lebih baik lagi jika ditingkatkan melalui tambahan training untuk meningkatkan aspek kognitif, afektif dan psikhomotorik mereka.

Secara keseluruhan, terlihat bahwa total rataan skor pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Bogor lebih tinggi yaitu 53,33 dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali yaitu sebesar 52,71, di mana total rataan skor untuk kedua kabupaten tersebut adalah 52,94. Hal ini terjadi karena di Kabupaten Bogor pendampingan misi Taiwan bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor Cq University Farm melibatkan beberapa pakar di bidang pertanian dan merupakan pilot project dari institusi dalam menggalang pengabdian kepada masyarakat sebagai bentuk tri dharma perguruan tinggi. Diharapkan pengembangan kapasitas kewirausahaan petani ini dapat meningkatkan kemandirian petani khususnya di dua kabupaten penelitian, dan Indonesia pada umumnya. Secara keseluruhan pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di dua kabupaten tersebut tergolong tinggi.

Managerial skill petani sayuran binaan ADC di Kabupaten Boyolali tergolong kategori rendah, terjadi karena adanya penyerahan pengelolaan pembimbingan dari misi teknik Taiwan ke Dinas Pertanian, perkebunan, dan kehutanan melalui UPT usaha pertanian yang secara pendekatan budaya kerja penyuluh yang kebanyakan sebagai pegawai negeri sipil mengajarkan managerial skill-nya masih di bawah sistem manajerial ketika dibimbing oleh misi teknik dari Taiwan. Hal ini sangat berbeda seperti yang sekarang masih berlangsung di Kabupaten Bogor di mana para petani sayuran masih mendapatkan pembinaan misi teknik Taiwan yang hasil penelitian ini menunjukkan kategori tinggi.

Secara umum, kapasitas kewirausahaan petani sayuran di dua kabupaten penelitian tersebut harus terus ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan yang secara kontinyu, dipantau dan dievaluasi perkembangannya.

(25)

Pengaruh Dinamika Sosial, Lingkungan Fisik dan Lingkungan Sosek terhadap Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran pada

Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Dinamika sosial yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri atas ekologi kelompok, status dan kekuasaan, kepemimpinan kelompok, iklim kelompok, dan jaringan komunikasi tradisional. Lingkungan sosial terdiri atas sarana komunikasi dan karakteristik teknologi. Lingkungan sosial ekonomi terdiri atas dukungan keluarga, dukungan kelembagaan, dukungan sistem sosial, dukungan mitra usaha, iklim kewirausahaan syariah, keberfungsian kearifan lokal, keterbukaan pasar, dan informasi media massa. Hasil penelitian tentang pengaruh dinamika sosial, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial ekonomi terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor disajikan dalam Tabel 12.

Pengaruh Dinamika Sosial terhadap Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Dinamika sosial (X2) yang terdiri dari keanggotaan kelompok, ekologi

kelompok, status dan kekuasaan, kepemimpinan kelompok, iklim kelompok, jaringan komunikasi tradisional, diduga berpengaruh kuat terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran. Hasil Penelitian menunjukkan pengaruh dinamika sosial (X2) terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing- masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 12. Tampak bahwa Dinamika sosial (X2) yang terdiri atas aspek keanggotaan

kelompok (X2.1), ekologi kelompok (X2.2), status dan kekuasaan (X2.3), kepemimpinan kelompok (X2.4), iklim kelompok (X2.5), dan jaringan komunikasi tradisional (X2.6) tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran. Hal ini terlihat dari nilai koefisien regresi masing-masing 0,253; -0,040; -0,070; -0,265; 0,224; 0,106. Artinya aspek-aspek tersebut tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran khususnya pola komunikasi yang bersifat monologik.

(26)

Tabel 12. Pengaruh peubah-peubah bebas terhadap peubah terikat pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran

Peubah (X) Pola komunikasi (r)

Monologik Dialogik Dinamika Sosial

X2.1 Keanggotaan kelompok 0,253 0,270*

X2.2. Ekologi kelompok -0,040 0,109

X2.3. Status dan kekuasaan -0,070 0,160

X2.4. Kepemimpinan kelompok -0,265 0,013

X2.5 Iklim kelompok 0,224 0,484**

X2.6 Jaringan komunikasi tradisional 0,106 0,051

Lingkungan Fisik

X3.1 Infrastruktur/Sarana komunikasi 0,145 -0,233

X3.2 Karakteristik teknologi -0,154 0,177

Lingkungan Sosial Ekonomi

X4.1 Dukungan keluarga 0,207 0,026

X4.2 Dukungan kelembagaan -0,437** -0,035

X4.3 Dukungan sistem social 0,029 -0,099

X4.4 Dukungan mitra usaha 0,013 0,049

X4.5 Iklim kewirausahaan Syariah 0,161 -0,207

X4.6 Keberfungsian kearifan local 0,011 0,150

X4.7 Keterbukaan pasar -0,101 0,179

X4.8 Informasi media massa -0,276 -0,059

Keterangan:**Sangat signifikan pada α 0,01 r = koefisien regresi berganda *Signifikan pada α 0,05

Selain itu, hasil penelitian menunjukkan pengaruh dinamika sosial (X2) terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing-masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 12. Tampak bahwa dinamika sosial (X2) yang terkait dengan aspek

keanggotaan kelompok (X2.1) berpengaruh langsung 0,270 atau koefisien regresi 27,0 persen (signifikan pada α 0,05 taraf kepercayaan nyata 95 persen) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran, artinya semakin tinggi partisipasi anggota kelompok tani dalam dinamika sosial maka semakin efektif pola komunikasi kewirausahaan yang bersifat dialogik para petani sayuran.

Aspek dinamika social yang lain, hasil penelitian menunjukkan pengaruh nyata iklim/suasana kelompok (X2.5) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor berpengaruh 0,484 atau koefisien regresi 48,4 persen

(27)

(signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran. Artinya, Terdapat pengaruh iklim/suasana kelompok terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran sangat kuat. Dengan kata lain semakin kondusif suasana/iklim kelompok maka semakin efektif pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran yang bersifat dialogik.

Adapun aspek dinamika sosial lainnya yaitu ekologi kelompok (X2.2), status dan kekuasaan (X2.3), kepemimpinan kelompok (X2.4), dan jaringan komunikasi tradisional (X2.6) tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran, hal ini terlihat dari koefisien regresi aspek tersebut yaitu masing-masing 0,109; 0,160; 0,013; dan 0,051. Artinya aspek-aspek tersebut tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran khususnya pola komunikasi yang bersifat dialogik.

Pengaruh Lingkungan Fisik terhadap Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Lingkungan fisik (X3) yang terdiri dari infrastruktur/sarana komunikasi dan

karakteristik teknologi, diduga berpengaruh terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran. Hasil Penelitian menunjukkan pengaruh lingkungan fisik (X3) terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing– masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 13. Tampak bahwa lingkungan fisik (X3)

yang terkait dengan aspek sarana komunikasi (X3.1) tidak menunjukkan pengaruh signifikan dengan nilai koefisien 0,145 terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1).

Hasil Penelitian menunjukkan pengaruh lingkungan fisik (X3) terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing–masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 13. Tampak bahwa lingkungan fisik (X3) yang terkait dengan aspek

sarana komunikasi (X3.1) tidak menunjukkan pengaruh signifikan dengan nilai koefisien 0,145 terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1).

(28)

Demikian pula dengan aspek karakteristik teknologi (X3.2), hasil penelitian tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pola komunikasi monologik petani sayuran, hal ini terlihat dari hasil analisis regresi dengan nilai koefisien -0,154 atau hanya 15,4 persen. Artinya, baik sarana komunikasi dan karakteristik teknologi tidak mempengaruhi pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran.

Hasil penelitian menunjukkan pengaruh lingkungan fisik (X3) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing–masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 13. Tampak bahwa lingkungan fisik (X3) yang terkait dengan aspek

sarana komunikasi (X3.1) tidak menunjukkan pengaruh signifikan dengan nilai koefisien -0,233 terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran (Y1).

Demikian pula dengan aspek karakteristik teknologi (X3.2), hasil penelitian tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pola komunikasi monologik petani sayuran, hal ini terlihat dari hasil analisis regresi dengan nilai koefisien - 0,177 atau hanya 17,7 persen. Artinya, baik sarana komunikasi dan karakteristik teknologi tidak mempengaruhi pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran.

Pengaruh Lingkungan Sosek terhadap Pola Komunikasi Kewirausahaan petani sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten

Boyolali dan Bogor

Lingkungan sosial ekonomi (X4) yang terdiri dari dukungan keluarga,

dukungan kelembagaan, dukungan sistem sosial, dukungan mitra usaha, iklim kewirausaan syariah, keberfungsian kearifan lokal, keterbukaan pasar, informasi media massa, diduga berpengaruh kuat terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor.

Hasil Penelitian menunjukkan Lingkungan sosial ekonomi (X4)

berpengaruh langsung terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing – masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 12. Tampak bahwa Lingkungan sosial ekonomi (X4) dengan aspek dukungan kelembagaan (X4.2), menunjukkan pengaruh signifikan negatif terhadap pola komunikasi monologik petani sayuran

(29)

dengan nilai koefisien regresi -0,437, signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi dukungan kelembagaan yang diberikan semakin tidak efektif pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran.

Selain itu, hasil Penelitian menunjukkan lingkungan sosial ekonomi (X4)

berpengaruh langsung terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing– masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 12. Tampak bahwa Lingkungan sosial ekonomi (X4) dengan aspek dukungan keluarga (X4.1), dukungan sistem sosial (X4.3), dukungan mitra usaha (X4.4.), iklim kewirausaan syariah (X4.5), keberfungsian kearifan lokal (X4.6), keterbukaan pasar (X4.7), informasi media massa (X4.8), tidak berpengaruh terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1), nilai koefisien regresi masing masing 0,207; 0,029; 0,013; 0,161, 0,011, -0,101, dan -0,276. Artinya, aspek-aspek tersebut di atas tidak terdapat pengaruh yang signifikan (p>0,05) terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran.

Untuk analisis pengaruh lingkungan sosial ekonomi (X4) terhadap pola

komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing-masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 12. Tampak bahwa Lingkungan sosial ekonomi (X4) dengan aspek

dukungan keluarga (X4.1), dukungan kelembagaan (X4.2), dukungan sistem sosial (X4.3), dukungan mitra usaha (X4.4.), iklim kewirausaan syariah (X4.5), keberfungsian kearifan lokal (X4.6), keterbukaan pasar (X4.7), informasi media massa (X4.8), tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran (Y1), nilai koefisien regresi masing masing 0,026; -0,035; -0,099; 0,049; -0,207; 0,150; 0,179 dan -0,059. Artinya aspek-aspek tersebut di atas tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran.

Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Faktor-Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran pada

Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Dari hasil analisis peubah-peubah yang dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas deskripsi Pengembangan kapasitas kewirausahaan

(30)

petani sayuran pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor yang terkait dengan pengaruh langsung dan tidak langsung.

Tabel 13. Pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Peubah Pengaruh

Langsung

Pengaruh tidak langsung

melalui Pengaruh Total X4 Y1.1 Y1.2 X1.1 Tingkat Pendidikan 0,205* 0,088 - - 0,293 X1.2 Usia -0,077 -0,033 - - 0,110 X1.3 Pendapatan 0,083 0,036 - - 0,119 X1.4 Jenis kelamin X1.5 Kepemilikan aset -0,071 -0,030 - - 0,101 X1.6 Kekosmopolitan 0,001 0,000 - - 0,001 X1.7 Pengalaman usaha 0,244* 0,105 - - 0,349

X1.8 Berani ambil resiko 0,085 0,036 - - 0,121

X3.1 Infrastruktur sarana komunikasi -0,363** - 0,045 -0,081 0,490 X3.2 Karakteristik teknologi 0,278** - -0,035 0,062 0,375 X4.1 Dukungan keluarga 0,210* - -0,026 0,047 0,283 X4.2 Dukungan kelembagaan -0,167* - 0,021 -0,037 0,225 X4.3 Dukungan sistem sosial 0,273** - -0,034 0,061 0,368 X4.4 Dukungan mitra usaha -0,033 - 0,004 -0,007 0,045 X4.5 Iklim kewirausahaan syariah -0,004 - 0,001 -0,001 0,005 X4.6 Keberfungsian kearifan lokal 0,210* - -0,026 0,047 0,283 X4.7 Keterbukaan pasar -0.158 - 0,032 -0,058 0,248 X4.8 Informasi media massa 0,441** - -0,055 0, 99 0,595 Y1.1 Monologik -0,125 - - - -0,125 Y1.2 Dialogik 0,224* - - - 0,224

Keterangan: **Signifikan pada α 0,01 *Signifikan pada α 0,05

Sesuai dengan hipotesis sebelumnya, ada pengaruh langsung antara karakteristik petani, dinamika sosial, lingkungan fisik, lingkungan sosial ekonomi dan pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor.

(31)

Demikian juga tidak langsung antara karakteristik petani, dinamika sosial, lingkungan fisik, lingkungan sosial ekonomi dan pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Ada juga beberapa peubah yang nilai koefisien regresi yang tidak nyata pengaruhnya terhadap pola komunikasi dan pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor disajikan dalam Tabel 13.

Pengaruh Karakteristik Petani terhadap Pengembangan Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor

Karakteristik petani yang terdiri dari pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan per bulan, kepemilikan aset, tingkat kekosmopolitan, pengalaman berusahatani sayuran, berani mengambil resiko, diduga berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran. Hasil Penelitian menunjukkan pengaruh aspek-aspek karakteristik petani (X1) terhadap pengembangan kewirausahaan petani sayuran (Y2) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing-masing seperti ditunjukkan dalam Gambar 8. Pada Gambar 8 tampak bahwa karakteristik petani yang terkait dengan aspek tingkat pendidikan (X1.1) berpengaruh langsung 0,205 atau koefisien regresinya berpengaruh 20,5 persen (signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2), artinya pengaruh antara tingkat pendidikan terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran sangat kuat. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan petani sayuran maka semakin berkembang kapasitas kewirausahaan petani sayuran tersebut. Demikian juga, tingkat pendidikan juga berpengaruh tidak langsung melalui lingkungan fisik (X4) sebesar 0,008 persen (signifikan pada α 0,05 taraf kepercayaan nyata 95 persen) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2), artinya pengaruh tidak langsung antara tingkat pendidikan terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran melalui lingkungan fisik bisa dikatakan kuat.

Gambar

Tabel 6.  Sebaran responden berdasarkan karakteristik petani sayuran di  Kabupaten Boyolali dan Bogor (dalam persen)
Tabel 12.   Pengaruh peubah-peubah bebas terhadap peubah terikat pola  komunikasi kewirausahaan petani sayuran
Tabel 13. Pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pengembangan  kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali  dan Bogor
Gambar 5. Model Jalur Pola Komunikasi Efektif pada Pengembangan  Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran di Kabupaten Boyolali  dan Bogor X2.1 Keanggotaan Kelompok X2.5 Iklim Kelompok X3.1 Sarana komunikasi X3.2 Karakteristik
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu pada pengujian medium specimen yakni kuat tekan pasangan bata ternyata variasi yang kekuatan lebih baik terietak pada variasi bagian bawah. Hal ini dimungkinkan

Setelah studi perbandingan biaya pada proyek yang dijadikan obyek penelitian, sesuai dengan research question atau rumusan masalah “apa dan bagaimana” pada bab I, maka

Berdasarkan hasil penelitan yang telah dilakukan maka guru hendaknya memperhatikan beberapa hal yaitu guru sebaiknya mengunakan pembelajaran model pembelajaran

pelayanan jasa yang dikonsumsi oleh konsumen dan memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang u v]‰µ v u vÇ • šl v X_ 3 Dalam Pasal 1 angka (1)

(1) Harapan terhadap terhadap layanan di PGPAUD UNJ adalah kualitas SDM yang menunjang (dosen dan karyawan) sehingga mampu memberikan layanan pendidikan dan administrasi yang

Analisis data dilakukan dengan mengambil data barang berupa data penjualan ban dalam 3 tahun terakhir, disamping itu data persediaan ban juga dijadikan sebagai data analisa jumlah

Ma hine Learning Appli ations to Self-Organizing Networks: Cell Sele tion and Coverage and Capa ity Optimization Use Cases... A knowledgments Firstly, I would like to express my sin

1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang di ukur pada posisi.. terlentang atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih. Pengukuran. sekurang kurangnya dua kali pemeriksaan