• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdirinya sebuah kota tidak dapat dipisahkan dari perkembangan desa di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdirinya sebuah kota tidak dapat dipisahkan dari perkembangan desa di"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Berdirinya sebuah kota tidak dapat dipisahkan dari perkembangan desa di Indonesia yang ditandai dengan budaya masyarakat yang saling berhubungan dan berkomunikasi sehingga melahirkan pengetahuan, budaya, sosial, ekonomi, politik dan melahirkan kota1. Syarat berdirinya sebuah kota harus memperhatikan beberapa unsur, di antaranya unsur internal yakni kondisi geografis, sosial, budaya dan politik masyarakat dan unsur eksternal yakni proses urbanisasi. Perkembangan kota di Indonesia dimulai setelah berdirinya beberapa Ibukota kerajaan di beberapa wilayah diantaranya : Trowulan yang merupakan Ibukota Kerajaan Majapahit, Banten yang merupakan Ibukota Kerajaan Banten dan Kotagede yang merupakan Ibukota Kerajaan Mataram Awal2.

Kota di Indonesia selalu berkembang seiring berjalanya waktu. Selain didasar kan kepada unsur pembentuk kota juga terdapat unsur morfologi pembentuk kota yakni penggunaan lahan, pola konstruksi jalan dan gaya bangunan3. Kota memiliki hubungan yang erat dengan peradaban4. Sebuah kota

1

Purnawan Basundoro., Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Ombak 2012)., hlm. 19.

2

Ibid., hlm. 21.

3

Hadi Sabari Yunus., Struktur Tata Ruang Kota, ( Yogyakarta: Ombak, 2004)., hlm. 116.

(2)

berkembang melalui sebuah proses panjang dan selalu mengalami perubahan fisik seiring berjalanya waktu, yang menggambarkan kesinambungan antara kondisi masa lalu dan kondisi sekarang5.

Awal mula berdirinya kota tidak bisa lepas dari proses urbanisasi yang terjadi setelah berpindahnya kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ibukota Kerajaan Majapahit Trowulan merupakan awal berdirinya kota di Pulau Jawa yang sudah menciptakan kota dengan konsep kota tradisional Jawa, dengan ciri khas kraton untuk pusat pemerintahan dan kediaman raja, alun-alun sebagai pusat kota dan difungsikan sebagai tempat raja dan menteri menghadiri upacara dan kegiatan kerajaan, pasar untuk perekonomian masyarakat, masjid dan benteng6. Di samping itu juga terdapat permukiman para kerabat kraton yang berada di lingkup kerajaan, dan pemukiman masyarakat biasa di luar kraton. Kota tradisional Jawa cenderung menggunakan konsep alun-alun sebagai pusat kota sekaligus tempat raja menerima tamu kenegaraan7. Alun-alun dianggap sebagian masyarakat Jawa merupakan tempat penting yang hanya didatangi pada waktu tertentu, dan oleh golongan tertentu seperti raja dan priyayi. Raja dan priyayi disini adalah raja dan para pegawai kerajaan.

4

N, Daldjoeni., Geografi Kota dan Desa, (Bandung: PT Alumni, 1998), hlm 1.

5

R, Bintarto., Interaksi Desa-Kota dan Permasalahanya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983)., hlm 8.

6

Purnawan Basundoro., Loc.Cit., hlm. 42.

7

Peter J.M. Nas., Kota-Kota di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 8.

(3)

Kota di Indonesia diklasifikasikan menjadi kota pesisir yang merupakan jalur transportasi dan perdagangan barang jasa dari berbagai negara, dan kota pedalaman yang merupakan kota agraris penghasil hasil bumi. Salah satu kota di Indonesia yakni : Banten, merupakan kota pesisir yang notabene adalah jalur perdagangan mengakibatkan struktur kotanya berbeda dengan kota tradisional pedalaman di Jawa. Kota Banten berdiri menghadap laut yang ditujukan untuk mendapat keuntungan dari jalur perdagangan barang dan jasa. Di sisi lain, Surakarta merupakan kota pedalaman yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan wilayah karesidenan juga untuk mengumpulkan hasil bumi.

Perkembangan kota di Indonesia berlanjut hingga periode kolonial dimana kota kolonial merupakan kota yang dikembangkan oleh pendatang dari Eropa di tempat baru saja mereka datangi. Selanjutnya pendatang Eropa mengembangkan menjadi pusat pemerintahan penjajahan sekaligus perdagangan. Ciri kota kolonial yakni rumah residen, rumah asisten residen, pemukiman kolonial, pasar, gereja, barak militer, benteng perlindungan dan tempat berkumpulnya penguasa kolonial dan penguasa pribumi atau Societeiet serta jalan raya utama.

Kota pada masa kolonial berdiri di pinggir laut, karena laut merupakan jalur utama kapal-kapal membawa hasil bumi dari lokasi jajahan. Salah satu kota di Indonesia yang terletak di pinggir laut dan dikelilingi sungai yang didirikan oleh Belanda yakni Batavia. Ciri utama dari kota kolonial pada awal abad ke-17 yakni gaya bangunan Eropa yang cocok untuk mengatasi perubahan musim dapat diaplikan langsung ke kawasan tropis Indonesia. Lokasi didirikannya bangunan

(4)

bergaya Eropa tersebut mayoritas jalur pos perdagangan dan kota-kota di dalam benteng.

Tahun 1903 ketika Undang Undang Desentralisasi dicanangkan, kota-kota di Indonesia diberikan hak otonomi untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri tanpa tergantung dari pemerintah pusat yakni Batavia. Awal abad ke-20 merupakan awal munculnya kota pemerintahan yang diberikan hak otonomi kepada masing-masing kota kabupaten. Waktu pelaksanaan Undang Undang Desentralisasi, kota-kota di Indonesia sudah memiliki pemerintahan tetapi belum memiliki kepala pemerintahan, sehingga tanggung jawab untuk mengurus pemerintahan pada waktu itu dipegang oleh asisten residen. Semenjak asisten residen berada di kota kabupaten, maka dibentuklah Dewan Pemerintah Daerah atau Gemeenteraad8. Tugas dan kewajiban yang harus dijalankan Dewan Pemerintah Daerah ini, yakni : perawatan, pembuatan jalan umum dan segala hal yang berkaitan dengan jalan umum, bertanggung jawab atas kebakaran, dan pemeliharaan makam9.

Surakarta merupakan kota tradisional Jawa yang digunakan sebagai rujukan kota-kota tradisional yang lebih rendah di Jawa, yakni kota kabupaten. Struktur Pemerintahan Surakarta dipegang oleh asisten residen yang bertanggung jawab kepada Belanda, sedangkan kota kabupaten dipegang oleh bupati yang

8

Gemeenteraad merupakan cikal bakal Dewan Perwakilan Daerah yang memiliki fungsi dan peran Legislatif dan Eksekutif dibawah pimpinan Wali Kota / Gubernur. Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1847.

9

(5)

bertanggung jawab terhadap Kasunanan Surakarta. Dalam masyarakat Jawa, dikenal dengan istilah nagara yang merupakan pengaruh Hindu di Indonesia10. Selain istilah nagara di Jawa, terdapat istilah lain, yakni kuta yang memiliki makna sama akan tetapi lebih baku11.

Kota Boyolali berdiri pada tanggal 5 Juni 1847 dengan bupati pertama, bernama RT. Suto Nagoro sebagai Bupati Pulisi, merupakan salah satu kota kabupaten di Indonesia yang di dirikan oleh pihak Kolonial dan Keraton Kasunanan Surakarta, nama pertama kali yang digunakan adalah Kabupaten Gunung Pulisi. Pada tahun 1847 Pemerintah Kasunanan mengeluarkan peraturan baru yang membahas tentang Pemerintah Dhusun. Alasannya bahwa, Pemerintah Kasunanan diwakili oleh Pemerintah Bale Mangoe12 sudah tidak bisa menjalankan segala urusan pemerintahan yang semakin rumit di daerah. Tahun 1847 diadakanlah perjanjian antara kasunanan diwakili Sunan Paku Buwana VII dengan Pemerintah Kolonial Belanda, yang menyebutkan dibutuhkanya abdi dalem gunung yang berkewajiban menjaga tata tertib dan keamanan kota kabupaten dan mengurusi pemerintahan. Sejak perjanjian tahun 1847 disahkan, maka Pemerintahan Bale Mangu resmi dihapus.

10

Nagara merupakan konsep organisasi politik, ekonomi, sosial dan budaya untuk mengurusi masalah pemukiman yang dikelola oleh suatu sistem kekuasaan atas beberapa desa”. Purnawan Basundoro., Ibid, hlm. 42.

11

Kuta mengacu pada kawasan pemukinam yang dilindungi oleh dinding yang dibangun mengelilingi sesuai bentuk permukiman”. Ibid., hlm. 45.

12

Pemerintah Bale Mangu yakni pemerintahan yang masih berada dibawah tanggung jawab Sunan, akan tetapi Sunan memberikan kepercayaan tanggung jawab terhadap Patih. Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1847.

(6)

“Kang kapratjaja angetrapake bebeneran ana ing karaton Soerakarta : 1) ing Kadipaten; 2) ing Pradoto; 3) ing Soerambi apadene bebeneran Bale Mangoe saiki kasowak”13

.

Berdasarkan perjanjian tersebut Bupati Gunung Pulisi ditetapkan oleh sunan dengan persetujuan Pemerintah Belanda yakni Residen Surakarta. Berdasarkan dari Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1847 No. 30 tersebut, Pemerintah Kasunanan Surakarta membentuk enam daerah Kabupaten Gunung, yakni : Kabupaten Gunung Kota Surakarta, Kartasura, Klaten, Bojolali, Wonogiri dan Sragen. Berfungsi sebagai pembantu pelaksana pemerintahan daerah. Sehingga para bupati pulisi diberikan tugas mengatasi masalah keamanan dan ketertiban daerah.

Seiring berjalannya waktu dan masalah semakin rumit di Kabupaten Gunung Pulisi, maka Belanda merubah Peraturan Tanggal 24 Maret 1854 No. 615 menjadi peraturan Pemerintah Kasunanan 1854 No I, perubahan tersebut tertuang pada Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1854 No. 32 yang menjelaskan pendirian Pengadilan Pradata pada setiap Kabupaten, dimana Bupati Pulisi sebagai Residen dibantu dengan kaum atau rakyat pribumi. Boyolali yang waktu itu merupakan wilayah Kasunanan Surakarta, menjadikan Pengadilan Pradata tersebut juga didirikan di Boyolali.

”Ing Kaboepaten Klaten, Ampel, Bojolali, Kartosuro, lan Sragen apadene Kawadanan ing Larangan, kadodokan Pangadilan ingaran Pradoto Kaboepaten”14

.

13

Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1847 No. 30. Bab II.

14

(7)

Tujuan didirikanya pengadilan ini karena masih seringnya pelanggaran yang terjadi, maka Pemerintah Kasunanan dan Pemerintah Kolonial pada tahun 1874 menyerahkan sepenuhnya kepada Pradata Kabupaten. Serah terima tersebut terjadi pada tanggal 8 September 1874 dan tertuang pada Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1874 No. 209 yang berisi tentang pelaksanaan ketertiban dan keamanan setiap kabupaten. Tahun 1874 merupakan berdirinya Pengadilan Pradata Kabupaten sekaligus penempatan wakil Belanda dengan pangkat Asisten Residen di Boyolali. Dengan adanya Asisten Residen, maka terdapat Abdi Dalem Kasunanan dan Abdi Dalem Gupermen. Abdi Dalem Kasunanan di bawah kuasa Bupati Pulisi sedangkan Abdi Dalem Gupermen di bawah kekuasaan Asisten Residen. Sejak dipimpin Asisten Residen, maka Bupati memiliki dua atasan yakni Patih Dalem dan Asisten Residen.

Pada tahun 1918 terjadi penggantian nama Bupati Pulisi dan para Abdi Dalem menjadi Abdi Dalem Pangreh Praja. Didasarkan dari Pranata Pepatih Dalem No. 383, Rijksblaad Surakarta 1918 No. 23. Isi dari Pranata Pepatih Dalem:

“Para Abdi Dalem Wadono Kaliwon Panewoe Mantri sapanoenggalane,kang saiki kaaranan golongan poelisi, nanging kang koewajiban oega nindakake babagan paprentah ikoe ing samengko djonge golongan Abdi Dalem maoe kasalinan aran : Abdi Dalem Pangreh Projo”15

.

15

Rijksblaad Soerakarta, Tanggal 12 Oktober 1918 No. 23., Koleksi Sasana Pustaka Kasunanan Surakarta.

(8)

Dengan berubahnya status Kabupaten Gunung Pulisi Boyolali menjadi

Kabupaten Pangreh Praja, maka kepala pemerintahan dipimpin oleh Bupati Pangreh Praja, Bupati Anom, Wedana dan Asisten Wedana pada tanggal 12 Oktober 1918. Pada tahun pergantian status ini, berubah juga perihal keamanan dan pemerintahan di Kabupaten Pangreh Praja.

Kabupaten Pangreh Praja Boyolali, pada masa kolonial terdiri dari masyarakat yang beragam mulai dari masyarakat Eropa, pendatang / Cina hingga masyarakat pribumi dan mewakili budaya mereka masing-masing golongan. Masyarakat yang beraneka ragam budaya dan golongan menyatu dalam satu kota yakni Kabupaten Pangreh Praja Boyolali tetapi status sosial dari masing-masing golongan berbeda dan ditempatkan di beberapa sudut kota. Kota-kota di Indonesia mayoritas memiliki kawasan-kawasan yang dihuni oleh masing-masing golongan, yakni kawasan Eropa atau Europeesche Wijk, kawasan Pecinan atau Chinese kamp, dan kawasan pribumi.

Awal kedatangan masyarakat Eropa di Indonesia adalah untuk berdagang, hal tersebut ditandai dengan didirikanya gudang-gudang yang dipergunakan untuk menyimpan barang dagangan dan rempah-rempah yang berada di pesisir Jawa tepatnya Banten dan Jakarta16. Setelah menetap di Jawa tepatnya Batavia, dominasi masyarakat Eropa semakin kental di tengah masyarakat pribumi. Kedudukan antara masyarakat Belanda dengan pribumi terlihat pada status sosial dan beberapa gaya arsitektur tempat tinggal di masyarakat. Belanda dalam

16

Joko Soekiman., Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII – Medio Abad XX, (Yogyakarta: Bentang, 2000), hlm. 1.

(9)

mendirikan kota bagi koloni mereka selain berada di pesisir laut yang sekaligus sarana transportasi barang dan jasa yang dibutuhkan, juga mendirikan kota di pedalaman Jawa, sedangkan masyarakat pribumi berada di pinggiran kota pedalaman dan pesisir. Belanda menerapkan pola tempat tinggal seperti di negara Belanda yang memiliki aliran sungai, dan berada di dalam tembok benteng yang memisahkan antara pribumi dan Belanda.

Masa pendudukan Belanda awal abad XVIII, muncul gaya hidup dimana Belanda memiliki rumah tinggal yang besar dengan taman yang luas dan berisikan keluarga inti dan jongos17 yang merupakan masyarakat pribumi. Hadirnya Belanda di Indonesia yang menjadi penguasa setempat telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat, dan gaya bangunan tradisional Jawa. Budaya Jawa yang sudah melekat pada masyarakat pribumi Jawa semenjak kedatangan Belanda juga turut berubah sesuai dengan kondisi pada waktu. Selain penerapan pola pemukiman, Belanda juga membawa beberapa budaya asli ke Indonesia, kebudayaan tersebut yakni gaya hidup masyarakat, pemakaian bahasa Belanda, cara berpakaian, perkawinan, pembagian mata pencaharian, kesenian dan kepercayaan18.

Masyarakat pribumi yang cenderung terbuka dan menerima hal-hal baru, maka secara perlahan budaya Eropa dengan mudah diterima masyarakat. Seiring berjalanya waktu muncullah Kebudayaan Indis yang merupakan perpaduan antara Belanda dan Jawa dari segi budaya dan gaya hidup masyarakat, yang terbentuk

17

Jongos adalah sebutan untuk pembantu rumah tangga pada masa kolonial. Joko Soekiman., ibid, hlm 20.

18

(10)

pada masa kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda di Jawa. Kebudayaan Indis muncul pada awal abad XVIII di Hindia Belanda, seiring dengan lahir dan berkembangnya kebudayaan masyarakat di Nusantara yang merupakan wilayah koloni Belanda. Faktor yang mendukung munculnya budaya Indis disini yakni faktor politik, sosial, ekonomi dan seni budaya masyarakat.

Kebudayaan Indis tidak hanya berdampak terhadap gaya hidup dan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia, akan tetapi juga berdampak terhadap gaya arsitektur bangunan di Indonesia. Unsur budaya dan iklim di Indonesia yang mempengaruhi dalam mendirikan tempat tinggal Belanda di Jawa, mengakibatkan Belanda tidak menerapkan gaya bangunan khas negara Belanda di Indonesia. Dalam mendirikan bangunan tempat tinggal di Jawa, Belanda mencampurkan gaya bangunan tradisional Jawa dengan Belanda yang lebih dikenal dengan gaya bangunan Indis19. Belanda dalam mendirikan tempat tinggal mereka cenderung berbeda dengan tempat tinggal pribumi, baik dalam bentuk fasade atau tampak muka, bagian dalam rumah, hiasan dan ornamen hingga detail bangunan itu sendiri.

Kota Boyolali memiliki beberapa bangunan bergaya arsitektur Indis yang merupakan peninggalan kolonialisme dan hasil campuran dua budaya antara Belanda dan Jawa. Bangunan Indis di Boyolali didirikan anatara tahun 1910 hingga 1915, hal tersebut didasarkan atas identitas tahun berdiri dari rumah-rumah tersebut meskipun berbeda dalam gaya arsitekturnya. Bangunan yang didirikan pada masa kolonial di Boyolali antara lain yakni Europe School berganti menjadi

19

(11)

Societeiet (Kamar Bola), Tangsi Militer, Rumah Sakit Mardi Nirmala, Sekolah Rakjat, Oemah Leo, Villa Merapi, Kantor Dinas Kesehatan 1914, kepatihan, kantor asisten wedana, rumah distrik, rumah tinggal pribadi, Sono Sudoro theater, Boyolali theater, Gereja Khatolik Santa Perawan Maria, asrama Polri Banaran, Balai Pertemuan Bhayangkari, Hotel Bojolali, Wisma Cakra, Kantor Polisi Sektor, rumah dinas, penjara, Rumah Dinas Pegawai Penjara, Staanplaat

(pemberhentian bus), Landraad (Pengadilan),Holland Inlanden School (SMP N 1 Boyolali),

Dari latar belakang masalah yang sudah dipaparkan di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul Gaya Arsitektur Bangunan Indis di Boyolali Tahun 1910-1915. Ciri khas penulisan karya sejarah yakni ruang dan waktu peristiwa, maka dalam studi ini ruang dan waktu penelitian yakni 1910 hingga 1915. Pengambilan periode tersebut dikarenakan tahun pendirian bangunan-bangunan Indis di Boyolali dimulai dari tahun 1910 hingga 1915.

B. Perumusan Masalah

Berpijak dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yakni:

1. Bagaimana karakteristik kota Boyolali dan masyarakatnya pada masa pemerintahan kolonial Belanda?

2. Bagaimana gaya arsitektur bangunan Indis di Boyolali tahun 1900 – 1915?

(12)

3. Bagaimana pengaruh arsitektur bangunan Indis di Boyolali terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat kota Boyolali tahun 1900 – 1915?

C. Tujuan Penelitian

Berpijak dari latar belakang dan permasalahan yang telah diungkapkan, penelitian ini diarahkan untuk tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui karakteristik kota Boyolali dan masyarakatnya selama pemerintahan kolonial Belanda.

2. Mengetahui bagaimana gaya arsitektur bangunan Indis di Boyolali tahun 1900 – 1915.

3. Mengetahui dampak sosial dan budaya di masyarakat Boyolali terhadap pengaruh arsitektur bangunan Indis di kota Boyolali tahun 1900 – 1915.

D. Kajian Pustaka

Penulisan sejarah ini menggunakan beberapa referensi pustaka. Referensi tersebut yakni Hady Sabari Yunus dalam bukunya berjudul Struktur Tata Ruang Kota20. Memberikan informasi terkait struktur, penempatan dan konsep tata ruang kota di berbagai negara, dan buku ini akan digunakan sebagai rujukan dalam membahas perkembangan sebuah kota. Dari buku Struktur Tata Ruang Kota ini dijelaskan beberapa faktor pendukung terjadinya sebuah kota dan konsep kota di

20

Hady Sabari Yunus., Struktur Tata Ruang Kota, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

(13)

Negara Eropa. Buku ini membantu penulis dalam mengkaji tata ruang kota Boyolali, namun belum membahas tentang perkembangan kota Boyolali.

Peter J.M Nas dalam bukunya berjudul Kota-kota di Indonesia21,

memberikan gambaran tentang bagaimana konsep kota yang ada di Indonesia. Buku ini berisi kumpulan artikel tentang kota Indonesia selama 1981 hingga 2000. Daerah yang dikaji yakni : Jakarta, Semarang dan Aceh. Di sisi lain juga berisi informasi mengenai identitas etnik dalam arsitektur kota, simbolisme kota kecil, kota Indonesia dalam teori perkotaan dan prinsip orientasi perkotaan di Indonesia. Buku ini membantu penulis dalam mengkaji perkembangan kota di Indonesia, salah satunya Kota Boyolali.

Joko Soekiman dalam bukunya berjudul Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII – Medio Abad XX22.

Memberikan gambaran mengenai budaya Eropa dan budaya pribumi yang sebenarnya berbeda, akan tetapi secara perlahan kedua budaya tersebut dapat menyatu meskipun banyak sekali perbedaan. Selain budaya masyarakat, juga dijelaskan mengenai budaya Indis yang muncul dan dikenal oleh masyarakat dunia yang berawal dari penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Kebudayaan Indis muncul dikarenakan adaptasi dari percampuran budaya yang berbeda dan menghasilkan budaya baru tetapi tidak meninggalkan budaya Jawa. Buku ini

21

Peter J.M. Nas., Kota-Kota di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007).

22

Joko Soekiman., Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII – Medio Abad XX, (Yogyakarta: Bentang, 2000).

(14)

membantu penulis dalam mengkaji perbedaan budaya Eropa dan budaya pribumi yang akhirnya menghasilkan budaya baru yakni budaya Indis.

Purnawan Basundoro dalam bukunya berjudul Pengantar Sejarah Kota23.

Memberikan informasi tentang awal mula berdirinya sebuah kota di Indonesia yang ditandai dengan kemunculan Ibukota kerajaan pada jaman Hindu-Budha, Ibukota Kerajaan Majapahit, Ibukota Kerajaan Banten hingga Kota Gede sebagai Ibukota Kerajaan Mataram. Penjelasan buku ini tidak hanya terbatas kepada kota tradisional, melainkan hingga perkembangan kota pada masa kolonialisme Belanda. Selain membahas perkembangan fisik kota, juga berisi penjelasan tentang urbanisasi masyarakat sebagai pendukung berdirinya kota. Buku ini membantu penulis dalam mengkaji tentang awal mula sebuah kota hingga kota pada masa kolonialisme.

Sidharta dan Eko Budihardjo dalam bukunya berjudul Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta24. Memberikan informasi dan pemahaman tentang pentingnya pelestarian bangunan dan kawasan cagar budaya baik dengan cara penyelamatan dan pendokumentasian. Di sini juga diberikan gambaran tentang Kotamadya Surakarta dan sekitarnya. Buku ini membantu penulis dalam mengkaji tentang beberapa bangunan kuno bersejarah dan cara penyelamatanya di Kota Boyolali.

23

Purnawan Basundoro., Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Ombak, 2012).

24

Sidharta dan Eko Budihardjo., Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1989).

(15)

Radjiman dalam bukunya berjudul Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat25. Menjelaskan campur tangan Belanda dengan Mataram hingga akhirnya berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdasarkan perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 oleh Sunan Pakubuwana III dengan Pangeran Mangkubumi. Dijelaskan juga pada masa Pemerintahan Daendels, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kompeni ke Pemerintah Kolonial Belanda, mengalami beberapa perubahan antara tahun 1840 hingga 1918. Pada masa ini juga muncul jabatan Residen yang berkedudukan sebagai penasehat Raja, dan tugas utamanya adalah mengawasi Kasunanan dengan cara diatur dan dibatasi oleh kontrak perjanjian antara Raja dan kolonial Belanda. Residen turut serta dalam mengatur pemerintahan di Kasunanan Surakarta dan berkuasa atas penduduk daerah Kasunanan yang terdiri dari Jawa dan asing, maka untuk mengatur pemerintahan yang ditangani Belanda dibentuklah jabatan Asisten Residen untuk membantu menjalankan tugas pemerintahan di Surakarta. Buku ini membantu penulis dalam mengkaji tentang perkembangan pemerintahan di Karesidenan Surakarta terlebih Kota Boyolali.

Selain menggunakan referensi buku, penulis juga menggunakan referensi berupa skripsi yang mengangkat penelitian tentang Jejak-jekak Arsitektur Bangunan Indis di Kota Salatiga Awal Abad XX26. Membahas tentang bangunan-bangunan kolonial yang mewakili budaya Indis di Kota Salatiga, dan pengaruhnya

25

Radjiman., Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2002).

26

Wahyuningsih., Jejak-jekak Arsitektur Bangunan Indis di Kota Salatiga Awal Abad XX, (Surakarta: Alumni Fakultas Sastra dan Seni Rupa, 2006).

(16)

terhadap budaya masyarakat Salatiga abad XX. Skripsi ini membantu penulis dalam mengkaji tentang karakteristik bangunan-bangunan bergaya Indis yang berada di Kota Boyolali.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis nantinya semoga dapat memberikan dasar pijakan pemerintah dalam mengambil langkah untuk menata kembali kota Boyolali pada masa yang akan datang. Selian itu juga memberikan pengetahuan terhadap masyarakat kota Boyolali khususnya, tentang bangunan dan kawasan Indis atau bangunan dan kawasan bersejarah di kota Boyolali.

F. Metode Penelitian

Metode yang relevan untuk mendiskripsikan kembali kondisi dan segala yang terjadi pada kurun waktu tertentu adalah metode sejarah, yakni suatu metode yang digunakan untuk menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu baik berupa lisan maupun tulisan dan merekontruksi secara imajinatif masa lalu berdasarkan data yang diperoleh27. Louis Goutschalk berpendapat bahwa metode sejarah adalah proses mengumpulkan, menguji, dan menganalisa secara kritis rekaman rekaman peninggalan masa lampau serta usaha

27

Sartono Kartodirdjo., Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama (1993). hlm 2.

(17)

melakukan sintesa terhadap masa lampau tersebut menjadi kisah sejarah28. Metode sejarah yang digunakan mencakup empat langkah, yakni :

1. Heuristik

Proses mengumpulkan sumber-sumber sejarah di berbagai tempat yang diduga menyimpan data data yang dibutuhkan. Pengumpulan data dilakukan sebanyak banyaknya, namun tetap berpegang pada tema dan permasalahan penelitian. Cara yang ditempuh untuk melengkapi langkah heuristik ini ada beberapa cara, antara lain:

a. Studi Dokumen

Dokumen yaitu sumber tertulis ataupun kesaksian tertulis, yang merupakan bahan utama dalam penelitian sejarah sebagai bukti primer. Dari penelusuran dokumen diperoleh fakta sejarah, yang merekam peristiwa di masa lampau yang dapat digunakan dalam penulisan sejarah. Dari dokumen tersebut dapat diketahui tempat dan waktu suatu peristiwa sejarah terjadi. Dengan menggunakan studi dokumen tulisan sejarah yang dihasilkan dapat lebih detail dan jelas. Dokumen yang dibutuhkan dalam penulisan ini, yakni Staatsblad van Nedherlandsch-Indie, Rijksblaad van Nedherlandsch-Indie, Serat Angger Gunung, Majalah dan arsip-arsip yang sejaman.

28

Louis Goutschalk., Mengerti Sejarah (edisi terjemahan oleh Nugroho Notosusanto). Jakarta: UI Press (1975). hlm. 32

(18)

b. Studi Pustaka

Studi Pustaka dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data yang bersifat teoritis sekaligus sebagai pelengkap sumber data yang tidak diperoleh dari studi dokumen. Data-data tersebut antara lain buku, majalah, surat kabar dan sumber lainya yang masih berkaitan dengan tema penelitian.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber merupakan proses penilaian sumber sejarah baik dengan kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik intern digunakan untuk mengkritisi keaslian dari isi sumber maupun data. Kritik ekstern digunakan untuk mengkritisi keaslian bentuk sumber maupun legalitas arsip.

3. Interpretasi

Tahap ini merupakan tahap penafsiran ataupun analisi keterangan yang saling berkaitan secara kronologis dengan fakta yang telah melalui proses kritik. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari sumber dokumen, tulisan dalam media massa dan foto.29 Untuk menganalisis lebih lanjut dengan menggunakan berbagai teori maupun pendekatan dengan menggunakan ilmu bantu lain.

4. Historiografi

29

Kasijanto., et. al., Pedoman Penulisan Sejarah Lokal, (Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2005). hlm. 33-34

(19)

Historiografi yaitu tahap penulisan sejarah dimana hasil penelitian disajikan. Historiografi dalam penelitian diwujudkan dalam bentuk skripsi yang isinya disusun secara sistematis sesuai kaidah penulisan sejarah.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini dijelaskan mengenai beberapa permasalahan yang dijelaskan pada beberapa bab. Adapun sitematika penulisan ini terbagi dalam lima bab pembahasan, adapaun kelima bab tersebut yakni:

Bab I. Pendahuluan berisi penjelasan mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Manfaat Penelitian, dan Metode Penelitian yang terdiri dari : 1. Metode, 2. Teknik Pengumpulan Data, 3. Analisis Data, 4. Sistematika Penulisan.

Bab II. Dengan judul Kota Boyolali dan Masyarakat Pendukung Budaya Indis, berisi penjelasan mengenai Sejarah Kota Boyolali mulai dari tahun 1900 hingga 1915, Stratifikasi Masyarakat Boyolali hingga Kebudayaan Indis di Boyolali Awal Abad ke-20 dan Arsitektur Indis.

Bab III. Dengan judul Arsitektur Bangunan Indis di Kota Boyolali, brisi penjelasan mengenai Perkembangan Arsitektur Indis Abad XX di Boyolali, Pemetaan Kawasan Bangunan Indis di Boyolali mulai dari pemerintahan Eropa di Pusat Kota Boyolali, Tempat Tinggal Eropa hingga Sekolah Khusus Eropa.

(20)

Bab IV. Dengan judul Dampak Munculnya Bangunan Indis di Boyolali, mengakibatkan berisi penjelasan dampak sosial dan budaya yang terajadi pada masyarakat dan kota Boyolali Abad XX.

Referensi

Dokumen terkait

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari jawaban responden yang telah mengisi kuesioner tentang alasan pengusaha kuliner menggunakan jasa.. iklan I nstagram

Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bidang Kelautan Perikanan Kementerian Pendidikan..

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi antara pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dengan kinerja keuangan Pemerintah Daerah

Bermacam-macam obat topikal dapat digunakan untuk pengboatan selulitis. Obat topical anti mikrobial hendaknya yang tidak dipakai secara sistemik agar kelak tidak terjadi resistensi

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis keanekaragaman jenis burung di Pulau Rambut Kepulauan Seribu, menjelaskan

Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi adanya keberadaan industri marmer di Desa Besole Kecamatan Besuki Kabupaten Tulungagung yang tentunya menimbulkan dampak

Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa pemberian filgrastim dapat menghambat kerja TPO dalam meningkatkan jumlah trombosit sehingga memperpanjang durasi

EDUKASI  Lindungi pasien dan orang lain dari perilaku merusak diri  Perawatan dengan pengawasan yang ketat.  Dukungan dan peran