• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN CEMARAN MIKROBA PADA BAHAN PANGAN ASAL TERNAK (DAGING DAN SUSU) MULAI DARI PETERNAKAN SAMPAl DIHIDANGKAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGENDALIAN CEMARAN MIKROBA PADA BAHAN PANGAN ASAL TERNAK (DAGING DAN SUSU) MULAI DARI PETERNAKAN SAMPAl DIHIDANGKAN."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

P

angan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, sehingga ketersediaan pangan perlu mendapat perhatian yang serius baik kuantitas maupun kualitasnya. Perhatian pemerintah terhadap ketersediaan pangan diimplementasikan melalui program ketahanan pangan, agar masyarakat mem-peroleh pangan dalam jumlah yang cukup, aman, bergizi, sehat, dan halal untuk

dikonsumsi (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat 2004).

Bahan pangan dapat berasal dari tanaman maupun ternak. Produk ternak merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia. Namun, produk ternak akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan apabila tidak aman dikonsumsi. Oleh karena itu, keamanan pangan asal ternak

merupakan persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawar lagi (Bahri 2008). Sebagai komoditas dagang, produk ternak juga dituntut keamanannya agar mempunyai daya saing yang tinggi, yang pada gilirannya dapat memberikan sumbangan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional (Murdiati 2006).

Perdagangan global memberikan dam-pak terhadap produk pertanian dengan

PENGENDALIAN CEMARAN MIKROBA PADA BAHAN

PANGAN ASAL TERNAK (DAGING DAN SUSU) MULAI

DARI PETERNAKAN SAMPAl DIHIDANGKAN

Erni Gustiani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Jalan Kayuambon No. 80, Kotak Pos 8495 Lembang 40391 Telp. (022) 2786238, Faks. (022) 2789846, E-mail: bptp-jabar@litbang.deptan.go.id, fathbian@yahoo.com

Diajukan: 17 April 2009; Diterima: 28 Juli 2009

ABSTRAK

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Beberapa kasus keracunan atau penyakit karena mengonsumsi makanan yang tercemar mikroba telah banyak terjadi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa keamanan pangan masih perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang sering menimbulkan masalah antara lain adalah antraks, foodborne disease, dan waterborne disease, sedangkan mikroba yang biasa mencemari bahan pangan asal ternak di antaranya adalah Salmonella sp., Escherichia coli, Coliform, Staphylococcus sp., dan Pseudomonas. Hal ini disebabkan bahan pangan asal ternak merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme patogen. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak khususnya daging dan susu, penyakit yang ditimbulkan, dan strategi pengendaliannya. Informasi yang disajikan diharapkan dapat memberikan pemahaman dan membangkitkan kesadaran tentang pentingnya menghasilkan produk ternak yang bermutu, bergizi, halal, dan aman dikonsumsi melalui penerapan sistem keamanan pangan dalam setiap proses produksi, mulai dari tahap budi daya (good farming practices), pascapanen (good handling practices), dan pengolahan (good manufacture practices) hingga makanan siap disajikan di meja.

Kata kunci: Bahan pangan asal hewan, cemaran mikroba, keamanan pangan

ABSTRACT

Controlling microbial contamination on livestock products (meat and milk) from farm to table Food is a basic need for human living. Some poisoned cases or diseases caused by microbial contaminated livestock product have been reported in Indonesia. It showed that food safety has to obtain serious attention. Some diseases caused by microbial contamination are anthrax, foodborne diseases, and waterborne diseases. Microorganisms that contaminate livestock products are Salmonella sp., Escherichia coli, Coliform, Staphylococcus sp., and Pseudomonas. The livestock products are good media for microorganism patogen living. This articles reviewed the existence of microbial contamination on animal products especially meat and milk, diseases caused by microbial contamination on animal products, and strategy to control the diseases. The information is hopefully useful in giving understanding and awareness to all of us about the importance of producing high quality product, halalness, nutritious and safely to be consumed through the implementation of food security system in each process of production from the farm (good farming practices), postharvest (good handling practices), and processing (good manufacture practices) until to table.

(2)

munculnya isu keamanan pangan. Isu ter-sebut sering diberitakan di media massa sehingga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran dan per-hatian masyarakat. Kepanikan masyarakat akibat kasus penyakit sapi gila (mad cow) di Inggris dan beberapa negara Eropa, serta kasus penyakit antraks pada domba dan kambing di Bogor pada tahun 2001, menggambarkan pentingnya keamanan pangan asal ternak karena tidak hanya berdampak terhadap kesehatan manusia, tetapi juga pada perdagangan domestik dan global serta perekonomian negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut (Darminto dan Bahri 1996; Sitepu 2000).

Bahan pangan asal ternak (daging, telur, susu) serta olahannya mudah rusak dan merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba. Cemaran mikroba pada pangan asal ternak yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah Coliform, Escherichia coli, Enterococci, Staphylococcus aureus, Clostridium sp., Salmonella sp., Champhylobacter sp., dan Listeria sp. (Syukur 2006). Beberapa cemaran mikroba yang berbahaya pada produk segar antara lain adalah Salmonella sp., Shigella sp., dan E. coli. (Pusat Standarisasi dan Akreditasi 2004). Jumlah dan jenis mikroba berbahaya pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional cukup mengkhawatir-kan, terlebih lagi bila pemotongan ayam dilakukan di pasar tradisional (Budi-nuryanto et al. 2000).

Cemaran mikroba dapat terjadi saat ternak masih hidup dan selanjutnya mikroba masuk dalam rantai pangan. Titik awal rantai penyediaan pangan asal ternak adalah kandang. Tata laksana peternakan sangat menentukan kualitas produk ternak. Cemaran pestisida pada air, tanah, dan tanaman pakan yang diberikan kepada ternak dapat masuk ke dalam tubuh ternak dan residunya akan ditemukan dalam produk ternak (Soejitno dalam Murdiati 2006). Selain residu pestisida, residu obat hewan terutama antibiotik dapat terjadi pada produk ternak akibat pemberian antibiotik tanpa memperhatikan anjuran pemakaian. Oleh karena itu, menjaga kesehatan ternak sangat penting untuk mengurangi pemberian obat-obatan kepada ternak.

Pengolahan bahan pangan asal ternak dapat menekan atau menghambat per-tumbuhan bakteri dalam produk pangan tersebut. Namun, pengolahan tidak selalu dapat menghilangkan bakteri yang

mencemari produk ternak saat berada di peternakan atau pada saat panen (Murdiati 2006).

Tulisan ini bertujuan untuk mengulas cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak khususnya daging dan susu, pe-nyakit yang ditimbulkan, dan upaya pengendaliannya. Informasi yang disa-jikan diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya meng-hasilkan produk ternak yang bermutu, bergizi, halal, dan aman dikonsumsi.

CEMARAN MIKROBA PADA

SUSU

Susu adalah bahan pangan yang berasal dari sekresi kelenjar ambing pada hewan mamalia (sapi, kambing, kerbau, dan kuda) serta mengandung protein, lemak, laktosa, mineral, dan vitamin (Lampert 1980). Susu memiliki kandungan gizi yang tinggi dan merupakan bahan makanan sempurna, karena mengandung hampir semua zat gizi yang diperlukan tubuh manusia dalam jumlah yang cukup dan seimbang, yaitu 1 bagian karbohidrat, 17 asam lemak, 11 asam amino, 16 vitamin, dan 21 mineral (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat 2003). Oleh karena itu, susu dapat dijadikan pilihan pertama untuk dikonsumsi bagi penderita gizi buruk. Ketersediaan susu perlu diperhatikan untuk memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan.

Susu merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri dan dapat menjadi sarana bagi penyebaran bakteri yang membahayakan kesehatan manusia. Karena itu, susu akan mudah tercemar mikroorganisme bila penanganannya tidak memperhatikan aspek kebersihan (Balia et al. 2008). Karena itu, upaya memenuhi ketersediaan susu harus disertai dengan peningkatan kualitas dan keamanan produk susu, karena seberapa pun tinggi nilai gizi suatu bahan pangan akan menjadi tidak berarti bila bahan pangan tersebut berbahaya bagi kese-hatan (Murdiati et al. 2004).

Pada umumnya, bakteri merupakan penyebab utama penyakit yang ditularkan dari ternak ke manusia melalui pangan. Bakteri yang menyerang ternak saat di kandang dapat menular ke manusia karena pemeliharaan dan proses panen yang tidak higienis. Pemerahan susu yang tidak sesuai anjuran dapat menyebabkan susu tercemar mikroorganisme dari lingkungan sekitar sehingga kualitas susu menurun.

Proses pencemaran mikroba pada susu dimulai ketika susu diperah karena adanya bakteri yang tumbuh di sekitar ambing, sehingga saat pemerahan bakteri tersebut terbawa dengan susu. Menurut Rombaut (2005), pencemaran pada susu terjadi sejak proses pemerahan, dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara.

Bakteri yang dapat mencemari susu terdiri atas dua golongan, yaitu bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Kedua golongan bakteri tersebut dapat me-nyebabkan penyakit yang ditimbulkan oleh susu (milkborne disease), seperti tuberkulosis, bruselosis, dan demam tipoid.Mikroorganisme lain yang terdapat di dalam susu yang dapat menyebabkan penyakit adalah Salmonella, Shigella, Bacillus cereus, dan S. aureus (Buckle et al.1987).Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam susu melalui udara, debu, alat pemerah, dan manusia.

Mikroorganisme yang berkembang dalam susu dapat menurunkan kualitas susu dan mempengaruhi keamanan produk tersebut bila dikonsumsi oleh manusia. Beberapa kerusakan pada susu yang disebabkan oleh cemaran mikroorganisme adalah:

1) Pengasaman dan penggumpalan, yang disebabkan oleh fermentasi laktosa menjadi asam laktat sehingga pH susu menurun dan kasein menggumpal. 2) Susu berlendir seperti tali karena

ter-jadinya pengentalan dan pemben-tukan lendir akibat pengeluaran bahan seperti kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri.

3) Penggumpalan susu tanpa penurunan pH yang disebabkan oleh bakteri B. cereus.

Sebelum mengonsumsi susu perlu diperhatikan terlebih dahulu kondisi susu tersebut. Susu segar yang baik adalah yang memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH), yaitu: 1) tidak mengandung atau tidak bersentuhan dengan barang atau zat yang diharamkan, 2) tidak mengandung agens penyebab penyakit, misalnya mikroba penyebab penyakit hewan menular (bakteri tipus, TBC) dan residu bahan berbahaya (antibiotik, logam berat, pestisida, hormon), 3) tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apa pun, dan 4) mengandung zat gizi dalam jumlah yang cukup dan seimbang.

(3)

Berdasarkan Standar Nasional Indo-nesia (SNI) Susu Segar Nomor 01-3141-1998, syarat susu segar antara lain adalah: 1) tanda-tanda organoleptik tidak berubah atau tidak menyingkir, berwarna putih kekuningan, bau dan rasa khas susu serta konsistensi normal, 2) kandungan protein minimal 2,70% dan lemak minimal 3%, dan 3) cemaran mikroba maksimum 1 juta cfu/ ml. Susu segar yang ASUH dapat dihasilkan dari ml sapi perah yang sehat serta pemerahannya baik dan benar.

Pengolahan susu melalui sterilisasi atau pasteurisasi dapat menekan jumlah mikroba yang terdapat dalam susu segar. Menurut Thahir et al.(2005), bahan dasar susu pasteurisasi pada beberapa produsen susu di Jawa Barat mengandung mikroba total 104−106 CFU/g susu. Namun, proses

pasteurisasi dapat menurunkan kandung-an mikroba hingga 0−103 CFU/g susu.

Berdasarkan SNI 01-6366-2000, ambang batas cemaran mikroba yang diperboleh-kan dalam susu adalah 3 x 104 CFU/g

sehingga susu pasteurisasi yang dihasil-kan produsen susu di Jawa Barat aman untuk dikonsumsi.

CEMARAN MIKROBA PADA

DAGING

Daging adalah bagian dari hewan yang dipotong dan lazim dikonsumsi manusia, termasuk otak serta isi rongga dada dan rongga perut. Hewan potong yang dimaksud adalah ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba, kambing), kuda, dan unggas (ayam, itik, entok, burung dara, kalkun, angsa, burung puyuh, dan belibis). Pencemaran daging oleh mikroba dapat terjadi sebelum dan setelah hewan di-potong. Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke seluruh anggota tubuh hewan sehingga penggunaan pisau yang tidak bersih dapat menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah. Pencemaran daging dapat dicegah jika proses pemotongan dilakukan secara higienis. Pencemaran mikroba terjadi sejak di peternakan sampai ke meja makan. Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah: 1) hewan (kulit, kuku, isi jeroan), 2) pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui pakaian, rambut, hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki, 3) peralatan (pisau, alat potong/talenan, pisau, boks), 4) bangunan (lantai), 5) lingkungan (udara, air, tanah), dan 6) kemasan.

Daging merupakan bahan pangan yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba karena: 1) memiliki kadar air yang tinggi (68,75%), 2) kaya akan zat yang me-ngandung nitrogen, 3) kaya akan mineral untuk pertumbuhan mikroba, dan 4) mengandung mikroba yang mengun-tungkan bagi mikroba lain (Betty dan Yendri 2007). Perlakuan ternak sebelum pemotongan akan berpengaruh terhadap jumlah mikroba yang terdapat dalam daging. Ternak yang baru diangkut dari tempat lain hendaknya tidak dipotong sebelum cukup istirahat, karena akan meningkatkan jumlah bakteri dalam daging dibandingkan dengan ternak yang masa istirahatnya cukup.

Daging yang tercemar mikroba me-lebihi ambang batas akan menjadi ber-lendir, berjamur, daya simpannya menurun, berbau busuk, rasa tidak enak, dan menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi (Djaafar dan Rahayu 2007). Mikroba yang dapat mencemari daging antara lain adalah Salmonella sp., E. coli, Coliform, Staphylococcus sp., dan Pseudomonas.

Kontaminasi mikroba pada daging dapat pula terjadi melalui permukaan daging pada saat pembelahan karkas, pen-dinginan, pembekuan, penyegaran daging beku, pemotongan, pembuatan produk daging olahan, pengawetan, pengepakan, penyimpanan, dan pemasaran. Berdasar-kan SNI 01-3932-1995, yang dimaksud dengan karkas sapi adalah: 1) tubuh sapi sehat yang telah disembelih dan dikuliti, 2) tanpa kepala, kaki bagian bawah dan alat kelamin (pada sapi jantan) atau ambing (pada sapi betina), 3) dengan/atau tanpa ekor, 4) isi perut dan rongga dada dikeluarkan, dan 5) utuh atau dibelah membujur sepanjang tulang belakangnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas daging, terutama pada saat penyimpanan, adalah:

1) Karkas segar: karkas yang baru selesai diproses selama tidak lebih dari 6 jam dan tidak mengalami perlakuan lebih lanjut.

2) Karkas dingin segar: karkas segar yang segera didinginkan setelah selesai di-proses sehingga suhu daging menjadi 4−5°C. Jika disimpan pada suhu 0°C, karkas masih layak dikonsumsi dalam beberapa minggu.

3) Karkas beku: karkas yang telah meng-alami proses pembekuan cepat atau lambat dengan suhu penyimpanan 12− 18°C. Jika disimpan pada suhu -6,60

sampai -17,70°C maka karkas beku tahan selama 3−12 bulan.

PENYAKIT AKIBAT

CEMARAN MIKROBA

DALAM BAHAN PANGAN

Sebagian besar penyakit pada manusia disebabkan oleh makanan yang tercemar bakteri patogen, seperti penyakit tipus, disentri, botulisme, dan hepatitis A (Winarno 1997). Penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri dan sering menimbulkan masalah serta memiliki dampak yang cukup berbahaya terhadap kesehatan manusia antara lain adalah antraks, salmonellosis, brucellosis, tuberkulosis, klostridiosis, E. coli, koli-basilosis,dan S. aureus (Supar 2005).

Foodborne disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari pencernaan dan penyerapan makanan yang mengandung mikroba oleh tubuh manusia. Mikroba yang menimbulkan penyakit dapat berasal dari makanan produk ternak yang terinfeksi atau tanaman yang terkontaminasi (Bahri 2001). Makanan yang terkontaminasi selama pengolahan dapat menjadi media penularan penyakit. Penularan penyakit ini bersifat infeksi, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang hidup dan berkembang biak pada tempat terjadinya peradangan. Mikroba masuk ke dalam saluran pencernaan manusia melalui makanan, yang kemudian dicerna dan diserap oleh tubuh. Dalam kondisi yang sesuai, mikroba patogen akan berkembang biak di dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan gejala penyakit. Foodborne disease yang disebabkan oleh salmonella dapat menyebabkan kematian pada manusia, media pencemarannya dapat berasal dari air pencuci yang telah terkontaminasi. Mikroorganisme lainnya yang dapat menyebabkan foodborne disease antara lain Compylobacter, E. coli, dan Listeria (Tabel 1). Gejala umum foodborne disease adalah perut mual diikuti muntah-muntah, diare, demam, kejang-kejang, dan gejala lainnya.

Memperbaiki sanitasi terutama ling-kungan, merupakan salah satu solusi terbaik dalam mengantisipasi cemaran mikroba. Sanitasi yang buruk yang menyebabkan air tercemar tinja yang mengandung kuman penyakit, menyebab-kan terjadinya waterborne disease.Angka kejadian waterborne disease dan

(4)

food-borne disease di Indonesia tergolong tinggi, yaitu sekitar 300−1.000 penduduk menderita diare dan dua pertiga penduduk terinfeksi cacingan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2008). Diare yang diakibatkan oleh adanya bibit penyakit dalam makanan merupakan penyebab utama malnutrisi. Setiap anak berusia 5 tahun ke bawah (balita) rata-rata menderita diare 2−3 kali per tahun, sedangkan 15 dari 1.000 anak-anak meningal karena diare. Di negara berkembang, 70% penyakit diare dewasa ini dianggap disebabkan oleh makanan yang mengandung penyakit (Winarno 2004).

PENGENDALIAN CEMARAN

MIKROBA

Pemberlakuan perdagangan bebas meng-haruskan keamanan pangan mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, produsen, dan konsumen. Di era pasar bebas, industri pangan Indo-nesia harus mampu bersaing dengan negara lain yang telah mapan dalam sistem penanganan mutunya.

Penyediaan pangan asal ternak yang memenuhi keamanan pangan, yaitu aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) kepada masyarakat perlu dilakukan melalui pe-ngendalian residu dan cemaran mikroba. Upaya ini sangat bermanfaat bagi peme-rintah sebagai pengawas peredaran bahan pangan asal ternak di pasar, terutama mengenai batas maksimum residu anti-biotik dan cemaran mikroba, produsen sebagai penghasil produk, maupun konsumen untuk menjamin keamanan dan kesehatan masyarakat.

Untuk memperoleh jaminan keamanan pangan perlu diterapkan sistem keamanan pangan dalam setiap proses produksi (Gambar 1). Tahap awal dimulai dari budi daya, yaitu perlu diterapkan praktek beternak yang baik (good farming practices, GFP), meliputi sanitasi kandang dan lingkungan sekitar kandang dan pemberian pakan ternak yang bebas jamur atau aflatoksin. Selanjutnya pada tahap pascapanen perlu dilakukan praktek penanganan pascapanen yang baik (good handling practices, GHP). Pada tahap ini perlu diperhatikan peralatan atau mesin yang digunakan untuk penanganan pascapanen. Pada saat pemotongan

ternak, misalnya, pisau yang disediakan untuk memotong ternak minimal 2 buah dan digunakan secara bergantian untuk menghindari kontaminasi silang dari ternak yang dipotong. Selanjutnya, pada tahap pengolahan perlu diterapkan good manufacture practices (GMP), sehingga produk yang dihasilkan aman dan sehat dikonsumsi. Pada tahap ini perlu diper-hatikan penggunaan zat-zat yang aman dan efektif untuk pengolah makanan.

Sistem keamanan pangan yang sudah diakui dan diterapkan secara internasional adalah Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Sistem ini menekankan pada pengendalian berbagai faktor yang mempengaruhi bahan, produk, dan proses. Pendekatan HACCP meliputi tujuh prinsip yaitu:

1) Analisis potensi bahaya, bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengeva-luasi potensi bahaya yang diperkira-kan dapat terjadi pada setiap langkah produksi makanan.

2) Penentuan titik kendali kritis, merupa-kan langkah tindak lanjut dari analisis potensi bahaya. Potensi bahaya yang telah teridentifikasi harus diikuti de-ngan satu atau lebih critical control point (CCP).

3) Penetapan batas kritis. Batas kritis mencerminkan batasan yang diguna-kan untuk menjamin proses yang berlangsung dapat menghasilkan produk yang aman.

Tabel 1. Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak.

Agens Media/sumber pencemaran Gejala

Salmonella Air pencuci terkontaminasi Demam, diare, kram perut Campylobacter Kontak dengan permukaan karkas Diare, demam, kram perut

unggas yang terinfeksi, atau mengonsumsi daging ayam yang masih mentah

Escherichia coli Makanan/minuman yang tercemar Diare berdarah dan kesakitan

oleh feses karena kram perut tanpa

disertai demam

Listeria Makanan mentah, susu yang Infeksi di selaput otak, infeksi dipasteurisasi, keju lunak meluas ke dalam saluran darah Sumber: Andriani (2005).

Gambar 1. Skema penerapan sistem keamanan pangan pada tiap tahapan produksi.

Sarana produksi GFP Prapanen Konsumen GHP GMP GDP Pascapanen Budi daya pertanian/ peternakan Produksi pertanian/ peternakan Pasar s s t s Penanganan (pascapanen) Pengolahan hasil Distribusi

GFP : Good farming practices GMP : Good manufacture practices GHP : Good handling practices GDP : Good distribution practices

(5)

4) Penetapan sistem pemantauan. Pada tahapan ini dilakukan serangkaian pengamatan atau pengukuran untuk memeriksa apakah CCP di bawah kendali dan untuk memperoleh catatan yang akurat untuk digunakan dalam verifikasi.

5) Penetapan tindakan korektif. Pada tahapan ini dilakukan tindakan per-baikan terhadap produk bila CCP melampaui batas kritis.

6) Penetapan prosedur verifikasi, meliputi uji dan prosedur tambahan untuk me-mastikan bahwa sistem HACCP ber-jalan dengan efektif.

7) Penetapan dokumentasi dan penyim-panan. Tahapan ini mencakup semua dokumentasi dan catatan yang sesuai untuk rencana HACCP, seperti rincian analisis bahaya, penentuan CCP dan batas kritis, pemantauan dan verifikasi (Djaafar dan Rahayu 2007).

Di samping meningkatkan keamanan pangan, beberapa hal yang perlu diper-hatikan untuk mengeliminasi dampak pencemaran mikroba pada bahan pangan adalah: 1) meningkatkan pengetahuan ekologi dan epidemiologi alami untuk menetapkan metode diagnosis yang akurat, 2) mengidentifikasi titik kritis terjadinya kontaminasi agens penyakit ke dalam mata rantai pangan asal ternak, 3) meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap penyakit yang disebabkan oleh cemaran mikroba, dan 4) memperluas stakeholder dan meningkatkan koordinasi dengan dinas/instansi terkait.

KESIMPULAN

Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

DAFTAR PUSTAKA

Andriani. 2005. Escherichia coli 0157 H:7 sebagai penyebab penyakit zoonosis. Prosi-ding Lokakarya Nasional Penyakit Zoono-sis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Bahri, S. 2008. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(3): 225−242.

Bahri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikroba pada bahan pangan, pakan, dan produk peternakan di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 20(2): 55−64. Balia, R.L., E. Harlia, dan D. Suryanto. 2008. Jumlah Bakteri Total dan Koliform pada Susu Segar Peternakan Sapi Perah Rakyat dan Susu Pasteurisasi Tanpa Kemasan di Pedagang Kaki Lima. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Betty dan Yendri. 2007. Cemaran mikroba terhadap telur dan daging ayam. Dinas Pe-ternakan Provinsi Sumatera Barat, Padang. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, and M. Wootton. 1987. Food Technology. Inter-national Development Program of Australian Universities and College. Department of Education and Culture, Directorate General of Higher Education.

Budinuryanto, D.C., M.H. Hadiana, R.L. Balia, Abubakar, dan E. Widosari. 2000. Profil keamanan daging ayam lokal yang dipotong di pasar tradisional dalam kaitannya dengan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan ARMP II Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Darminto dan S. Bahri. 1996. “Mad Cow” dan penyakit sejenis lainnya pada hewan dan manusia. Jurnal Penelitian dan Pengembang-an PertPengembang-aniPengembang-an 15(4): 84−88.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2008. Cuci Tangan Kunci Cegah Berbagai Penyakit. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2003. Standar Susu Segar. Kegiatan Standarisasi dan Penerapan Sistem Jaminan Mutu Produk Peternakan. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2004. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Pro-vinsi Jawa Barat, Bandung.

Djaafar, T.F. dan S. Rahayu. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian, penyakit yang ditimbulkan dan pencegahannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(2): 67−75.

Lampert, C.M. 1980. Modern Dairy Product. New York Publishing, Co. Inc. p. 234−255. Murdiati, T.B., A. Priadi., S. Rachmawati, dan Yuningsih. 2004. Susu pasteurisasi dan penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jurnal IImu Ternak dan Veteriner 9(3): 172−180.

Murdiati, T.B. 2006. Jaminan keamanan pangan asal ternak: Dari kandang hingga piring kon-sumen. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25(1): 22−30.

Pusat Standarisasi dan Akreditasi. 2004. Info Mutu. Berita Standarisasi Mutu dan

Keaman-an PKeaman-angKeaman-an. Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Edisi April 2004. hlm. 4−7. Rombaut, R. 2005. Dairy Microbiology and

Starter Cultures. Laboratory of Food Tech-nology and Engineering, Gent University, Belgium.

Sitepu, M. 2000. Sapi Gila (Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE), Keterkaitan dengan Berbagai Aspek. Gramedia Widasarana Indonesia, Jakarta.

Supar. 2005. Keamanan pangan produk pe-ternakan ditinjau dari aspek prapanen: Permasalahan dan solusi. hlm. 56−60. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Syukur, D.A. 2006. Biosecurity terhadap

Cemaran Mikroba dalam Menjaga Keaman-an PKeaman-angKeaman-an Asal HewKeaman-an. Dinas PeternakKeaman-an dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, Bandar Lampung.

Thahir, R., S.J. Munarso, dan S. Usmiati. 2005. Review hasil-hasil penelitian keamanan pangan produk peternakan. hlm. 18−26. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Winarno, F.G. 1997. Naskah Akademis.

Ke-amanan Pangan. FTDC (Food Technology Development Center) Institut Pertanian Bogor.

Winarno, F.G. 2004. Keamanan Pangan, Cetakan 1 Jilid 2. M-Brio Press, Bogor.

1) Pengolahan untuk menekan atau menghambat pertumbuhan bakteri, walaupun cara ini belum selalu dapat menghilangkan bakteri yang mence-mari produk ternak saat berada di peternakan atau pada saat panen. 2) Pengendalian residu dan cemaran

mikroba pada produk pangan asal ternak dengan menekankan batas maksimum residu antibiotik.

3) Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap proses produksi melalui good farming practices (GFP), good handling practices (GHP), dan good manufacture practices (GMP). 4) Meningkatkan pengetahuan,

kesadar-an, dan kepedulian masyarakat ter-hadap penyakit yang disebabkan oleh cemaran mikroba sehingga dapat mengeliminasi dampak yang ditimbul-kan oleh pencemaran mikroba pada bahan pangan.

Gambar

Gambar 1. Skema penerapan sistem keamanan pangan pada tiap tahapan produksi.

Referensi

Dokumen terkait

Revolusi biru adalah usaha manusia dalam meningkatkan produksi pangan atau makanan dengan jalan meningkatkan produksi pangan yang berasal dari laut (sumber daya

Fokus penelitian ini pada kegiatan Musrenbang pada tingkat desa dan kelurahan sebagai forum komunikasi stakeholder yang mewakili masyarakat desa/kelurahan untuk mengaspirasikan

Berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan agar pengembangan industri otomotif mobil pedesaan ini dilakukan oleh industri dalam negeri dan masyarakat,

Sebuah sampel yang terdiri dari 100 orang wanita muda dan sampel lain yang terdiri dari 200 wanita berumur diminta mencium bau parfum itu dan menyampaikan apakah mereka menyukainya

Metode penelitian studi kasus membantu penulis mengungkapkan diseminasi informasi dalam kegiatan promosi dan pelayanan perpustakaan secara menyeluruh dari pihak

Arsitektur Lanskap adalah seni perencanaan (planning) dan perancangan (design) serta pengaturan daripada lahan penyusunan benda-benda alam maupun benda-benda buatan manusia

6) Membimbing mahasiswa merampungkan hal-hal administratif yang diperlukan sehingga menjadi artikel ilmiah yang siap diunggah ke e-journal atau dimuat pada

tentang Calon Tenaga Pendidik Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia Melalui Program Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM-3T) Universitas Negeri Malang Kerjasama dengan Ditjen