• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bullying

1. Pengertian Bullying

Rigby (2002) menjelaskan perilaku bullying melibatkan hasrat untuk menyakiti, tindakan untuk menyakiti, ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan, malfungsi kekuasaan, dilakukan dengan hati yang senang oleh pelaku dan menimbulkan rasa tertindas pada korban. Menurut Olweus (Haryani, 2015) bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan individu atau kelompok secara berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu, bullying melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan sehingga korban tidak dapat mempertahankan diri untuk melawan tindakan negatif yang diterima.

McGrath (2007) menjelaskan proses terjadinya bullying meliputi intent to harm (niat untuk menyakiti atau membahayakan), an imbalance of power (ketidakseimbangan kekuatan), the perpetrator enjoys bullying (rasa nyaman melakukan perilaku bullying), repeated and systematic behavior (berulang dan sistematis). Lebih sederhana Olweus (Rigby, 2002) menjelaskan bullying terjadi apabila individu atau kelompok melakukan perilaku negatif candaan atau memanggil dengan nama yang buruk,

(2)

mengucilkan atau meninggalkan tanpa alasan, menggigit, memukul, mendorong dan menebar rumor yang tidak benar.

Astuti (2008) membagi bullying menjadi bentuk fisik dan non-fisik, bentuk fisik merupakan tindakan kekerasan secara fisik seperti menendang, memukul, menarik rambut atau mendorong. Kedua adalah bentuk non-fisik yang dibagi menjadi dua yaitu verbal, ucapan secara langsung seperti berkata kasar atau memanggil dengan nama yang buruk, non-verbal seperti melirik. McGrath (2007) membagi bullying menjadi tiga tipe, pertama physical bullying (perbuatan fisik yang merugikan orang lain), kedua emotional bullying (membahayakan konsep diri seseorang), ketiga relation bullying (membahayakan orang lain dengan merusak hubungan atau rasa persahabatan dan penerimaan.

Pemaparan teori di atas dapat disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku buruk yang dilakukan oleh individu dilakukan dengan niat untuk menyakiti atau membahayakan secara fisik maupun emosional, dilakukan secara berulang-ulang dan dengan hati yang senang.

2. Aspek-aspek Bullying

Menurut Rigby (2002) aspek- aspek bullying dibagi menjadi empat yaitu:

a. Bentuk fisik adalah tindakan kekerasan yang melibatkan fisik seperti menendang, memukul atau menarik rambut orang lain yang dirasa lebih lemah secara fisik.

(3)

b. Bentuk verbal adalah kekerasan yang diucapkan secara langsung kepada korban bullying. Seperti berkata kotor yang ditujukan kepada korban memanggil dengan nama yang buruk.

c. Bentuk isyarat tubuh seperti mengancam dari kejauhan dengan mengepalkan tangan dan gertakan.

d. Bentuk kelompok adalah kekerasan dengan cara membentuk koalisi untuk menjauhi individu lain atau menghasut teman kelas untuk mengucilkan salah satu murid di dalam kelas tersebut.

Coloraso (Zakiyah, Humaedi, & Santoso, 2017) menjelaskan aspek-aspek bullying sebagai berikut:

a. Bullying Fisik

Kekerasan fisik merupakan aspek bullying yang sangat mudah diidentifikasi karena terlihat dan tampak secara jelas. Contoh bullying secara fisik menendang, memukul, mendorong, mencubit.

b. Bullying verbal

Kekerasan verbal adalah bentuk penindasan yang paling umum terjadi baik pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Bullying secara verbal dapat berupa sindiran, mengejek, berkata kotor yang ditujukan kepada korban bullying.

(4)

c. Bullying Relasional

Kekerasan bullying relasional dilakukan dengan cara merusak hubungan individu dengan individu lain, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Tujuan utamanya adalah terputusnya hubungan. Contoh bullying relasional antara lain mengucilkan dan mengadu domba.

Aspek-aspek perilaku bullying yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Rigby (2002) yaitu bentuk fisik seperti menendang, memukul, mendorong atau menjambak. Bentuk verbal seperti mencaci, mengejek dan berkata kotor yang ditujukan kepada korban. Bentuk isyarat seperti mengancam dari kejauhan dengan mengepalkan tangan dan mengacungkan jari tengah yang bermaksud untuk menyatakan ketidaksukaan pelaku kepada korban. Bentuk kelompok seperti menghasut teman kelas untuk mengucilkan salah satu murid.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bullying

Menurut Astuti (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku bullying adalah sebagai berikut:

a. Perbedaan ekonomi, agama dan gender

Individu yang termasuk dalam ekonomi menengah ke atas memiliki kecenderungan melakukan perilaku bullying kepada individu dengan ekonomi menengah kebawah. Penguasaan pengetahuan agama yang

(5)

rendah dapat menjadi potensi munculnya perilaku bullyng. Jenis kelamin laki-laki berpotensi lebih besar melakukan perilaku bullying lebih tinggi.

b. Lingkungan sekolah yang tidak kondusif

Lingkungan sekolah yang mudah terjadi kasus bullying pada umumnya berada dalam kondisi sekolah dengan perilaku diskriminatif dikalangan guru dan siswa, kurangnya pengawasan dan bimbingan etika dari guru, kesenjangan sosial yang besar di dalam sekolah, aturan yang tidak konsisten.

c. Senioritas

Senioritas dapat diartikan sebagai perbedaan tingkat dalam usia, pemahaman, pangkat, jabatan atau level tertentu yang di dapat oleh seseorang.

d. Keluarga yang tidak harmonis

Keadaan keluarga yang tidak harmonis dapat membentuk karakter anak dengan mencontoh perilaku yang dilakukan oleh orang tua.

Auli dan Fithria (2016) melakukan penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional study mengungkap faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku bullying. Penelitian menggunakan subjek 94 orang murid di SMPN 3 Meureudu Kabupaten Pidie Jaya menunjukkan hasil faktor-faktor penyebab perilaku bullying yaitu:

(6)

a. Harga Diri

Sebanyak 67 murid memilki kategori harga diri yang rendah menunjukkan perilaku bullying yang tinggi. Analis yang dilakukan menunjukkan adanya hubungan negatif antara faktor harga diri dengan bullying, semakin rendah harga diri seseorang maka semakin tinggi perilaku bullying.

b. Kepribadian

Jenis kepribadian yang diungkap dalam penelitian ini adalah kepribadian introvert dan ekstrovert. Sebanyak 43 murid dengan kepribadian introvert menunjukkan perilaku bullying tinggi. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Diyanti, dkk (2015) menunjukkan kepribadian ekstrovert memiliki peluang lebih besar terlibat dalam perilaku bullying. Menurut Eysenck (Prabowo & Riyanti, 1998) berpendapat bahwa ekstroversi dan introversi merupakan dua kutub dalam satu skala, kebanyakan orang akan berada pada di tengah-tengah skala tersebut, hanya sedikit yang benar-benar introvert atau ekstrovert. Umumnya orang akan memiliki dua kutub tersebut, namun biasanya seseorang memilki salah satu kecenderungan tipe kepribadian yang dominan. Kepribadian seorang individu terbentuk dari pola asuh dan pendidikan orang tua. Nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan oleh orang tua akan membentuk kepribadian individu. Nilai dan norma yang baik akan membentuk kepribadian baik pada individu, sedangkan nilai dan norma yang buruk

(7)

akan membentuk kepribadian yang buruk. Lingkungan terutama orang tua berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian individu. Penelitian sebelumnya menunjukkan kepribadian tertentu memiliki peluang lebih besar dalam melakukan perilaku bullying.

c. Keluarga

Penelitian menunjukkan sebanyak 58 siswa yang memiliki pengaruh keluarga yang rendah dengan perilaku bullying yang tinggi. Jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua mempengaruhi perkembangan perilaku bullying anaknya. Penelitian yang dilakukan oleh Korua, Kanine dan Bidjuni (2015) menunjukkan bahwa pola asuh positif menekan perkembangan perilaku bullying anak, sedangkan pola asuh negatif seperti pola asuh otoriter menyebabkan perilaku bullying semakin parah. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara pola asuh yang digunakan oleh orang tua dengan tingkat perilaku bullying pada anak. Setiap aspek kehidupan individu pasti selalu dikaitkan dengan kelurga, sama halnya dengan perilaku bullying seseorang. Seorang individu mengenal baik atau buruk sesuatu berawal dari orang tua. Hal paling sederhana yang dilakukan oleh orang tua kepada anak seperti mendengarkan keluh kesah anak, saling berbagi emosi dengan anak dan saling membantu dalam melakukan tugas di dalam rumah dapat menjadikan anak merasa diterima. Pendidikan-pendidikan sederhana seperti ini ditanamkan oleh orang tua agar anak dapat melakukan hal yang sama ketika berada di luar lingkungan

(8)

kelurga. Sedangkan individu yang dibesarkan dengan tutur kata yang kasar, sering melihat orang tua berperilaku kasar memiliki peluang lebih besar meniru orang tuanya bahkan dapat melakukan hal sama kepada orang lain.

d. Sekolah

Kondisi lingkungan sekolah berperan aktif akan terjadinya perilaku bullying, semakin baik kondisi sekolah maka tingkat perilaku bullying semakin rendah.

e. Teman Sebaya

Penelitian menunjukkan jika pengaruh teman sebaya baik maka perilaku bullying yg terjadi rendah, sedangkan jika pengaruh teman sebaya buruk maka perilaku bullying meningkat.

Penjabaran hasil penelitian yang dilakukan oleh Auli dan Fithria (2016) dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab perilaku bullying adalah harga diri yang rendah, jenis kepribadian, kondisi keluarga, iklim sekolah dan pengaruh dari teman sebaya.

(9)

B. Empati

1. Pengertian Empati

Davis (2018) mengartikan empati sebagai sebuah proses yang mencakup sumber atau situasi dan kondisi yang terjadi, kemudian sumber tersebut di proses seseorang yang akan menghasilkan sebuah respon secara kognitif maupun tindakan. Menurut Edward empati berasal dari kata empatheia yang memiliki arti masuk ke dalam perasaan orang lain atau ikut merasakn keinginan dan kesedihan orang lain (Howe, 2015). Selanjutnya Howe (2015) menyatakan empati „ke dalam perasaan‟ atau „merasakan ke dalam‟, bahwa ide „ke dalam‟ sangat penting, terutama ketika seorang individu melihat dan merasakan dunia dari sudut pandang orang lain, berusaha memberikan pemahaman dan pengertian yang kita rasakan atas kejadian yang dialami orang lain.

Menurut Baron (Howe, 2015) empati didefinisikan sebagai sebuah kemampuan untuk mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan dalam rangka untuk merespon pikiran dan perasaan orang lain dengan sikap yang tepat. Agar definisi menjadi lebih mudah dipahami, Howe (2015) memberikan gambaran empati yang dibandingkan dengan simpati, apabila empati menempatkan seorang subjek dalam kondisi emosional subjek lain, sedangkan simpati hanya mencoba menyampaikan perasaan yang dirasakan subjek, simpati bersifat me oriented, simpati bersifat you oriented.

(10)

Empati tidak hanya mengetahui dan merasakan kondisi yang dialami oleh orang lain, tetapi mengkomunikasikan dengan cara, sikap, pengetahuan dan pemahan atas pengalaman emosional orang lain (Howe, 2015). Menurut Kohut (Taufik, 2012) empati memiliki manfaat yang luas, tidak hanya dalam bidang klinis, melainkan bermanfaat bagi kehidupan secara umum, masyarakat, pekerjaan, atau memahami persoalan keluarga. Perspektif psikoanalisa menyatakan bahwa empati merupakan kunci dari hubungan interpersonal (Taufik, 2012). .

Howe (2015) empati dibagi menjadi dua jenis, pertama empati emosional yaitu merasakan perasaan orang lain seperti ketakutan, kegembiraan, ketertarikan. Kedua, empati kognitif merupakan kesadaran kognitif tentang keadaan yang dialami oleh orang lain seperti pikiran, perasaan dan maksud orang lain. Teori yang dipaparkan oleh Carl Rogers (Taufik, 2012) bahwa empati memiliki dua konsepsi, pertama melihat kerangka berpikir orang lain secara akurat, kedua memahami kondisi orang lain seolah-olah individu masuk ke dalam diri orang lain tanpa kehilangan identitas diri. Teori tersebut memberikan pemahaman walaupun individu menempatkan diri pada kondisi orang lain, tetapi tetap dapat mengendalikan dan mengontrol diri.

Pemaparan teori di atas dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa empati merupakan proses kognitif dan afeksi seseorang dengan tujuan ikut merasakan kejadian yang dialami kemudian diimplementasikan menjadi sebuah respon berbentuk kogitif maupun perilaku.

(11)

2. Aspek-aspek Empati

Davis (1980) mengungkapkan empat aspek empati:

a. Perspective-Taking adalah kecenderungan seseorang untuk mampu menempatkan diri pada sudut pandang orang lain, memahami dan merasakan pandangan orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

b. Fantasy adalah kecenderungan untuk menempatkan diri ke dalam perasaan dan perilaku dari karakter-karakter yang terdapat dalam buku, novel, film atau game.

c. Empathic Concern adalah kecenderungan terhadap pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan kehangatan, rasa iba dan perhatian atas kemalangan yang dialami oleh orang lain.

d. Personal Distress adalah reaksi-reaksi emosional dimana seseorang merasa tidak nyaman dengan perasaannya sendiri ketika melihat ketidaknyamanan yang dialami oleh orang lain.

Aspek yang lain dipaparkan oleh Coley (Taufik, 2012) empati terdiri atas simpati, sensitivitas, dan sharing akan penderitaan yang dialami oleh orang lain seakan-akan dialami oleh indivudu.

Aspek-aspek empati yang digunakan dalam penelitian ini diungkapkan oleh Davis (1980) meliputi perspective-taking yaitu kemampuan seseorang untuk melihat dari sudut pnadang orang lain, fantacy yaitu kecenderungan seseorang untuk merasakan perasaan orang lain melalui film atau novel yang dilihat, empathic concern berhubungan dengan rasa iba seseorang atas kemalangan yang dihadapi orang lain dan

(12)

personal distress yaitu respon stress yang dialami seseorang terkait dengan perasaannya sendiri ketika proses empati terjadi.

3. Komponen Empati

Menurut Taufik (2012) empati memiliki beberapa komponen sebagai berikut:

a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif sangat berperan penting pada empati, tanpa kemampuan kognitif yang memadai seseorang akan selalu meleset dalam memahami kondisi orang lain Komponen kognitif memiliki tingkatan sebagai berikut:

1) Differentiation of The Self from Other

Kemampuan dalam membedakan diri sendiri dengan orang lain. Individu memahami bahwa dirinya berbeda dengan orang lain karena pada dasarnya setiap individu bersifat unik.

2) The Differentiation of Emotional States

Kemampuan membedakan kondisi emosional orang lain. Dalam hal ini, individu mampu memahami perasaan yang dirasakan diri sendiri dan orang lain.

3) Social Referencing and Emosional Meaning

Kejadian atau situasi sosial yang pernah dialami oleh seorang individu menjadi prasyarat empati. Emosi yang pernah dirasakan individu berperan dalam terbentuknya empati.

(13)

4) Labeling Different Emotional States

Empati dapat timbul apabila individu mengetahui jenis-jenis emosi seperti bahagia, marah, sedih, benci, dan bentuk emosi lain.

5) Cognitive Role Taking Ability

Kemampuan menempatkan diri sendiri ke dalam situasi orang lain untuk mengetahui perasaan atau pikiran individu tersebut.

b. Komponen Afektif

Kemampuan untuk mengidentifikasi perasaan orang lain. Individu mampu memahami dan merasakan perasaan yang sedang dirasakan oleh orang lain.

c. Komponen Kognitif dan Afektif

Empati merupakan konsep multidimensi yang meliputi komponen kognitif dan afektif yang terjadi secara bersamaan. Kedua komponen ini tidak dapat dipisahkan dalam proses terbentuknya empati.

d. Komponen Komunikatif

Komponen komunikatif merupakan ekspresi atau respon dari pikiran dan perasaan yang individu rasakan terhadap individu lain, ekspresi atau respon dapat berupa perkataan atau perbuatan.

Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa komponen empati merupakan prasyarat terbentuknya empati. Komponen empati meliputi komponen kognitif, komponen afektif, komponen kognitif dan afektif dan komponen komunikatif.

(14)

C. Hubungan antara Empati dan Perilaku Bullying Siswa di Sekolah Pesantren

Dunia pendidikan menjadi salah satu tempat tingginya perilaku bullying terjadi. Terdapat berbagai aspek dalam dunia pendidikan yang menyebabkan terjadinya perilaku bullying. Sebagai contoh faktor yang dapat menimbulkan perilaku bullying adalah lingkungan sekolah yang tidak kondusif, adanya tradisi senioritas yang turun temurun dan kriteria pendidik. Kehidupan di pesantren tidak luput dari perilaku bullying. Kondisi lingkungan pesantren yang jauh dari pengawasan orang tua, murid yang terdiri dari berbagai latar belakang budaya dan segala bentuk aturan yang diberlakukan dinggap mengekang oleh beberapa murid dapat menyebabkan terjadinya perilaku bullying.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku bullying antara lain harga diri yang rendah, jenis kepribadian, kondisi keluarga, keadaan sekolah, pengaruh teman sebaya (Fithria & Auli, 2016). Faktor tersebut mengungkapkan salah satu penyebab perilaku bullying adalah kondisi keluarga. Keluarga terutama orang tua adalah dunia pertama bagi seorang anak untuk belajar akan dunia luar selanjutnya. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua membentuk karakteristik dan kepribadian seorang anak. Penelitian yang dilakukan oleh Ilham (2013) menunjukkan bahwa pola asuh demokratis membentuk kepribadian ekstrovert, pola asuh otoriter dan pola asuh permisif cenderung membentuk kepribadian introvert. Penelitian yang dilakukan oleh Yusra (2017) menunjukkan hasil bahwa individu dengan kepribadian ekstrovert memiliki empati yang lebih tinggi dibandingkan individu dengan kepribadian introvert.

(15)

Penelitian yang dilakukan oleh Qingke Guo dan Linlin Feng (2017) menyebutkan bahwa jenis pola asuh mempengaruhi terbentuknya empati. Hasil penelitian menunjukkan pola asuh yang positif akan bermanfaat untuk perkembangan empati anak, sedangkan pola asuh negatif akan menghambat perkembangan empati anak yang menyebabkan anak tidak dapat meilhat dan merasakan perasaan dari sudut pandang orang lain.

Tingkat perilaku bullying berkaitan dengan kondisi empati seseorang yang rendah, sebaliknya bila rasa empati pada seseorang tinggi maka perilaku bullying dapat dikendalikan. Sejalan dengan penelitian empati dan perilaku bullying di sekolah inklusi menunjukkan hubungan negatif, artinya semakin rendah empati maka tingkat perilaku bullying semakin tinggi (Haryani, 2015). Pelatihan empati yang dilakukan (Izzah, 2015) dapat mengurangi kecenderungan melakukan bullying pada pelaku bullying. Adanya perbedaan tingkat bullying dan empati pada pelaku bullying antara sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan empati, serta dua minggu setelah pelatihan dilakukan.

Davis (1980) mengungkapkan empat aspek empati, pertama perspective-taking adalah kecenderungan orang untuk mampu menempatkan diri, merasakan serta memahami kondisi dari sudut pandang orang lain dalam kehidupan sehari-hari, semakin tinggi kemampuan perspective-taking maka akan semakin rendah tingkat perilaku bullying. Perspective-taking tidak beroerientasi pada kepentingan diri sendiri, tetapi pada kepentingan orang lain.

Aspek kedua, fantacy adalah kecenderungan untuk menempatkan diri ke dalam perasaan dan perilaku dari karakter-karakter yang terdapat dalam buku,

(16)

film atau novel. Seseorang terkadang menjadikan karakter dalam sebuah novel atau film sebagai role model. Seorang anak yang sering melihat film dengan adegan kekerasan memiliki kecenderungan untuk melakukan atau meniru, sehingga dapat meningkatkan perilaku bullying.

Aspek ketiga, empathic concern adalah kecenderungan terkait dengan kehangatan atau rasa iba atas kemalangan orang lain. Individu dengan rasa iba yang tinggi tidak akan melakukan perilaku bullying terhadap orang lain. Hal ini terjadi karena rasa iba yang ada dalam diri individu justru akan membuat individu mudah untuk membantu orang lain.

Aspek keempat, personal distress adalah reaksi emosional seseorang yang merasa tidak nyaman dengan perasaan sendiri ketika melihat ketidaknyamanan yang dirasakan orang lain. Seseorang dengan empati yang tinggi akan merasa tidak nyaman dan terganggu apabila melihat dan melakukan perilaku bullying. Personal distress dapat digambarkan sebagai gejolak emosi yang dialami individu saat melihat perilaku bullying disekitarnya.

Penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa empati berkaitan erat dengan perilaku bullying yang dilakukan seseorang. Penelitian sebelumnya secara mendasar mengungkapkan empati dapat terbentuk dari peranan pola asuh orang tua dan keadaan keluarga yang membentuk kepribadian serta karakteristik individu. Salah satu contoh pola asuh orang tua yang demokratis dapat membentuk kepribadian yang terbuka atau ekstrovert, yang mana kepribadian ini memiliki kecenderungan empati yang tinggi, sehingga dapat menurunkan tingkat perilaku bullying.

(17)

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara empati dan perilaku bullying siswa di Sekolah Pesantren. Semakin tinggi empati seseorang maka tingkat perilaku bullyng semakin rendah. Sebaliknya semakin rendah empati seseorang maka tingkat perilaku bullying semakin tinggi.

Referensi

Dokumen terkait

Jadi kesimpulannya bahwa dalam proses kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran Osborn-Parne pada mapel fiqih di kelas XI MA NU Miftahul Ulum Loram

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

Formulir Penilaian ATBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib disahkan oleh Kepala Satuan Kerja Penghasil Paten disertai dengan data dukung yang autentik..

Memberikan kemudahan untuk orang tua khususnya di indonesia untuk memberikan lagu- lagu yang sesuai dengan umur anak-anak mereka serta dapat menyanyikan dan memainkannya

The hypothesis was tested by using Spearman’s Rank correlation test (Siegel 2011). Farmer household’s food security was measured objectively based on the share of household’s

PENAWARAN UMUM OBLIGASI BERKELANJUTAN III SUMMARECON AGUNG TAHAP I TAHUN 2018.. Emiten : PT Summarecon Agung Tbk Kepemilikan : PT Semarop

Membedakan dengan penelitian lain, penemuan penulis mengenai pengaruh interaksi terhadap keberhasilan program “Angkringan Gayam”, bahwa seluruh tahapan proses manajemen di atas