• Tidak ada hasil yang ditemukan

RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299

RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan

Vol. 6 No. 3 Desember 2019 Ketua Editor

Anja Meryandini Dewan Editor

Dodik Ridho Nurrochmat Widiatmaka

Hadi Susilo Arifin Ahmad Maryudi Sofyan Sjaf Leti Sundawati M. Alif Sahide Lukas Giessen

James Thomas Erbaugh Ho Sang Kang Editor Pelaksana Kaswanto Tim Teknis Riza Hariwahyudi Fajar Cakrawinata Badar Muhammad Penerbit

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSP3-LPPM IPB) dan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI)

Sekretariat

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSP3-LPPM IPB, Gedung utama Kampus IPB Baranangsiang, Jl. Raya Pajajaran No.7, RT.02/RW.05, Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129

P: +62 251 8345 724 F: +62 251 8344113 E: psp3@apps.ipb.ac.id

(4)
(5)

E-ISSN : 2477-0299

ANALISIS FINANSIAL DAN NILAI TAMBAH USAHA

AGROFORESTRI KOPI PADA PROGRAM CSR PT INDONESIA

POWER UP MRICA KABUPATEN BANJARNEGARA

Faradis Alfi Zain1*, Dodik Ridho Nurrochmat2

1 Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680

*Email: faradis22alfi@gmail.com

2 Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680 RINGKASAN

Kegiatan pembudidayaan sayuran di wilayah hulu menjadi faktor utama penyumbang sedimentasi Waduk Panglima Besar Soedirman. Penanaman komoditas kopi melalui program Sekolah Lapang Konservasi dimaksudkan sebagai salah satu alternatif guna membenahi permasalahan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalis kelayakan finansial usaha kopi pada berbagai pola agroforestri, menguji tingkat sensitivitas dari penurunan harga dan kenaikan biaya input terhadap keuntungan usaha, serta besaran nilai tambah dari setiap bentuk olahan buah kopi di Desa Leksana, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara. Berdasarkan perhitungan analisis finansial yang dilakukan menggunakan metode Discounted Cash Flow, usaha dengan pola agroforestri jambu, sengon, kopi arabika lebih menguntungkan dibandingkan pola agroforestri sengon, kopi robusta dan pola agroforestri sengon, kopi robusta pagar. Usaha agroforestri kopi di Desa Leksana lebih sensitif terhadap penurunan harga jual daripada kenaikan biaya produksi. Menurut perhitungan nilai tambah menggunakan metode Hayami, olahan produk kopi pada level roasted bean memberikan nilai tambah yang terbesar dibandingkan dengan produk olahan lainnya.

Kata kunci: agroforestri, analisis finansial, kopi, nilai tambah

PERNYATAAN KUNCI

• Peningkatan jumlah komoditas yang didominasi sayuran berdampak positif terhadap peningkatan nilai ekonomi masyarakat. Namun peningkatan jumlah komoditas sayuran tanpa diimbangi oleh tanaman keras akan berdampak

negatif terhadap aspek ekologi di wilayah pegunungan.

• Masyarakat mulai menanam kopi secara masif sejak dimulainya program Sekolah Lapang Konservasi melalui kerjasama PT Indonesia Power UP Mrica dan Dinhutbun

(6)

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2009.

• Motivasi masyarakat menanam kopi adalah untuk upaya konservasi tanah dan air serta menjadikannya sebagai usaha sampingan karena dalam pelaksanaannya tidak membutuhkan modal banyak.

• Tingginya permintaan kopi dalam periode waktu yang singkat berpotensi mengurangi persediaan kopi secara drastis. Hal ini dapat mempengaruhi kontinuitas penjualan kopi, sehingga kajian mengenai strategi pemasaran perlu dilakukan. REKOMENDASI KEBIJAKAN

• Penanaman kopi memberikan manfaat ekonomi yang tinggi bagi masyarakat, sehingga perlu dikembangkan lagi pengelolaannya agar dapat berproduksi secara optimal.

• Beberapa alternatif untuk mengoptimasi lahan petani di Desa Leksana adalah dengan memperbaiki pola tanam dan menanam tanaman MPTS (Multipurpose Tree Species) yang toleran terhadap naungan.

• Memberikan edukasi pada petani tentang selecting and grading biji kopi. Agar biji yang berkualitas specialty cukup diolah sampai produk green bean dan roasted bean, sedangkan biji yang berkualitas di bawahnya diolah hingga

menjadi bubuk kopi, sehingga keuntungan yang diperoleh akan lebih optimal.

I. PENDAHULUAN

Sub DAS Merawu merupakan salah satu Sub DAS kritis di Banjarnegara karena memiliki pola sedimentasi yang terus meningkat dan laju erosi yang sangat fluktuatif setiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2009, tingkat laju erosi di Sub DAS Merawu mencapai 13,30 mm (Indonesia Power, 2018). Sebagian besar masyarakat di daerah hulu Waduk Panglima Besar Soedirman hanya berfokus pada pembudidayaan sayuran. Pola tanam yang kurang beraturan sangat bervariasi mengikuti tren yang sedang berlangsung dan kondisi ekonomi setiap petani, serta kurangnya tanaman keras yang ditanam mengakibatkan fungsi hidrologi di daerah pegunungan terus berkurang. Oleh sebab itu tutupan lahan bervegetasi pada bagian hulu Waduk PB Soedirman sangat diperlukan guna mengurangi laju erosi dan sedimentasi.

Salah satu alternatif dalam membenahi permasalahan ini adalah dengan menerapkan pola tanam agroforestri. Darusman (2002) dalam Hairiah et al, (2003) mengungkapkan bahwa sistem agroforestri memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan sistem yang lain, yaitu terciptanya kestabilan ekologi yang lebih tinggi, terciptanya kesinambungan ekonomi

(7)

yang berimbas pada peningkatan kesejahteraan petani, tingkat kesesuaian yang lebih tinggi dengan budaya dan pengetahuan petani, serta terpenuhinya kestabilan politik akibat daya terima yang lebih luas di masyarakat.

Awal tahun 2009 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara bersama PT Indonesia Power UP Mrica menginisiasi diselenggarakannya program guna menyadarkan masyarakat lokal mengenai pentingnya usaha pemeliharaan kawasan hulu yang diberi nama program Sekolah Lapang Konservasi (SL Konservasi). Penentuan objek CSR didasarkan oleh pemetaan kawasan Sub DAS yang paling banyak memberikan kontribusi sedimentasi, yakni Sub DAS Merawu, yang terletak di Desa Leksana, Kecamatan Karangkobar dan Desa Kubang, Kecamatan Wanayasa.

Komoditas yang dijadikan sebagai objek pada program SL Konservasi ini adalah kopi. Kopi telah menjadi produk andalan penyumbang devisa negara karena besarnya permintaan pasar global terhadap komoditas ini. Dalam penelitian yang dilakukan Sudjarmoko (2013), disebutkan bahwa ekspor kopi Indonesia yang cenderung fluktuatif masih didominasi oleh ekspor biji kopi sebesar 99.8 persen dan sisanya dalam bentuk bubuk. Sebagai salah satu negara eksportir kopi dunia, produksi kopi menjadi input utama dalam kegiatan

ekspor negara Indonesia. Dalam program SL Konservasi, pembudidayan kopi direkomendasikan sebagai alternatif pemanfaatan lahan di daerah pegunungan karena perakarannya yang kuat dan bersifat toleran terhadap naungan. Penerapan pola agroforestri kopi tidak hanya memiliki nilai konservasi, ekologi, sosial budaya, namun jika dikelola dengan teknologi yang tepat akan memberikan nilai ekonomi yang signifikan.

Adanya pengetahuan mengenai hasil analisis finansial akan membantu petani dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki untuk memperoleh keuntungan pada selang waktu tertentu secara efektif dan efisien. Disamping itu, mengingat bahwa hampir 99.8 % buah kopi dieskpor dalam bentuk biji, maka pengetahuan mengenai besaran nilai tambah dari setiap bentuk olahan kopi juga diperlukan sebagai alternatif bagi para petani dalam menjual produknya.

II. SITUASI TERKINI

Pola Tanam Kopi di Desa Leksana Jenis kopi yang dicanangkan pada program SL Konservasi adalah jenis kopi robusta, karena memiliki perakaran yang lebih kuat dan mampu menghasilkan buah per tanaman yang lebih banyak dibanding jenis arabika, meskipun nilai jualnya lebih rendah. Saat dimulainya kegiatan penanaman SL Konservasi, petani menyediakan hampir setengah dari

(8)

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

kepemilikan lahannya untuk ditanami kopi. Dari total lahan garapan seluas 20,87 ha, 9,16 ha diantaranya ditargetkan untuk ditanam komoditi kopi. Secara umum pola tanam kopi di Desa Leksana terbagi menjadi 2 macam.

Gambar 1 Pola tanam agroforestri sengon kopi robusta (I), agroforestri sengon kopi robusta pagar (II), agroforestri jambu

sengon kopi arabika (III) Pola pertama (I) adalah penanaman kopi robusta secara menyeluruh di setiap sela bedeng sayuran dengan jarak 2 m x 3 m

ditambah selingan sengon pada setiap jarak 5−6 m, sehingga diproyeksikan pada tahun kedua dan seterusnya bidang lahan tersebut terpenuhi oleh kopi dan sengon. Sayuran hanya mampu tumbuh optimal hingga umur 2 tahun, karena di tahun tersebut cabang kopi sudah mulai rapat menaungi tanah di bawahnya.

Pola kedua (II) yang umum dijumpai di lokasi penelitian adalah penanaman kopi robusta yang hanya ditanam di sekeliling lahan petani sebagai tanaman pagar dengan jarak tanam 2 m, dan di sela bedengan hanya ditanami sengon setiap 5−6 m, sehingga sayuran masih mampu tumbuh optimal sampai jangka waktu pengusahaan berakhir. Pada penelitian ini dibuat sebuah pola simulasi (III) yakni dengan tetap menanam sengon dan menambahkan tanaman jambu kristal, serta mengganti kopi robusta dengan jenis arabika yang memiliki nilai toleransi lebih tinggi terhadap naungan. Jambu dan sengon ditanam secara selang-seling dengan jarak tanam 4 m x 4 m, sedangkan kopi arabika pada sela bedengan di sampingnya dengan jarak tanam 2 m x 4 m. Pembuatan pola III dimaksudkan untuk membandingkan apakah secara ekonomi sistem agrokompleks ini mampu mengimbangi atau bahkan melebihi sistem hortikultura konvensional yang telah lama diterapkan oleh para petani (pola II). Penerimaan dan Biaya Usaha

(9)

Pada Kelompok Sari Tani, ketua kelompok yang berinisiatif untuk membeli hasil panen buah kopi langsung dari para anggota kelompok, sehingga harganya cenderung stabil. Dengan adanya bantuan alat dari PT Indonesia Power, petani sangat terfasilitasi untuk menjual produk kopinya secara mandiri, mulai dari bentuk green bean, roasted bean, maupun bubuk kopi. Ketua kelompok membeli buah kopi robusta dari para petani per kilonya seharga Rp 5.500,-

dan kopi arabika Rp 7.000,-. Besar penerimaan yang digunakan dalam perhitungan analisis finansial ini hanya harga buah kopi, tidak sampai pada harga olahan green bean dan roasted bean, karena semua anggota kelompok tani hanya memperoleh penerimaan dari buah kopi. Harga jual kopi jenis robusta dan arabika serta olahannya di Desa Leksana dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Harga jual kopi robusta dan arabika di Desa Leksana

No. Jenis Harga (Rp/kg)

Robusta Arabika

1 Buah (Cherry) 5.500 7.000

2 Green Bean 40.000 100.000

3 Roasted Bean 125.000 250.000

4 Bubuk Kopi 150.000 300.000

Tabel 2. Total aliran kas masuk pada pola agroforestri kopi di Desa Leksana Pola

Agroforestri

Jumlah (Rp/ha) Total

(Rp/ha)

Sayuran Kopi Sengon Jambu

sengon & kopi robusta 757.436.400 325.662.375 273.600.000 − 1.356.698.775 sengon & kopi robusta pagar 5.713.394.400 136.386.750 273.600.000 − 6.123.381.150 jambu, sengon, & kopi arabika 577.656.000 267.710.950 641.250.000 1.638.451.200 3.125.068.150

(10)

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

Pemasukan lain yang diterima petani adalah penjualan kayu sengon dan buah jambu kristal. Kayu sengon sebetulnya dijual oleh petani saat diperlukan pemasukan lebih sesuai desakan kebutuhan, atau biasa disebut tebang butuh. Karena volume kayu yang dihasilkan cukup bervariasi akibat perbedaan bibit dan sistem pemeliharaan, maka harga sengon diasumsikan sama yakni sebesar Rp 300.000,- sesuai dengan harga minimum sengon yang memiliki lingkar 70−80 cm (d=25 cm) di Kecamatan Karangkobar. Umumnya pada umur 5 tahun sengon dapat mencapai ukuran diameter tersebut dan diperkirakan harganya akan terus meningkat.

Tanaman jambu kristal yang dibudidayakan oleh petani di Desa Leksana mampu menghasilkan buah pada tahun pertama dan kedua setiap minggunya rata-rata sebanyak 0,5 kg, tahun ketiga dan keempat sebesar 1,05 kg per tanaman, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai puncak produktivitas di umur 6 dan 7 tahun. Rincian total pemasukan dari setiap komoditas yang diusahakan pada pola agroforestri kopi di Desa Leksana ditampilkan pada Tabel 2.

Jika dibandingkan antara ketiga pola, pengeluaran pada pola II dan III memiliki tingkat pembiayaan yang jauh lebih besar yaitu pada biaya variabel, dari mulai penyediaan bibit hingga pemanenan. Hal ini

disebabkan karena pada pola II sayuran mampu ditanam hingga jangka waktu pengusahaan berakhir, maka selalu ada pengeluaran di setiap tahunnya. Sementara pada pola III terdapat tambahan komoditas jambu yang membuat biaya pemeliharaannya meningkat tajam.

III. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI

Analisis Finansial Usaha Agroforestri Kopi Desa Leksana

Kelayakan usaha dihitung dalam jangka waktu pengusahaan selama 15 tahun dengan luasan sama setiap polanya, yakni 1 hektar. Selama jangka waktu pengusahaan, tanaman kopi diasumsikan 1 kali daur yakni sesuai umur produktifnya, sengon diasumsikan 3 kali daur yang berarti dipanen setiap berumur 5 tahun, dan jambu diasumsikan 2 kali daur yaitu setelah tanaman jambu berumur 10 tahun. Analisis finansial dilakukan dengan melihat rekapitulasi arus masuk dan arus keluar kas yang dibuat dalam suatu cash flow dalam masing-masing unit usaha. Sementara hasil perhitungan terhadap analisis finansial pada sistem agroforestri pola-I (sengon dan kopi robusta), pola-II (sengon dan kopi robusta pagar), dan pola-III (jambu, sengon, dan kopi arabika) ditampilkan dalam Tabel 3.

(11)

Tabel 3. Rekapitulasi cashflow pada sistem pengelolaan agroforestri pola-I, pola-II, dan pola-III di Desa Leksana

Kriteria Pola-I Pola-II Pola-III

Kelayakan (Sengon dan (Sengon dan Kopi (Jambu, Sengon, Investasi Kopi Robusta) Robusta Pagar) dan Kopi Arabika) NPV (Rp/ha/15tahun) 469.422.559 1.286.677.768 1.315.264.047

BCR 1,74 1,44 2,41

IRR 95% 106% 113%

Berdasarkan Tabel 3, pola III memiliki nilai NPV yang terbesar dibandingkan kedua pola lainnya. Pola ketiga merupakan pola simulasi dengan tambahan komoditas dari MPTS yakni tanaman jambu kristal, atau dapat disebut dengan sistem agrokompleks. Selama jangka waktu pengusahaan 15 tahun petani pada pola ketiga akan memperoleh manfaat bersih sebanyak Rp 1.315.264.047,-/ha. Angka ini tentu cukup menjanjikan karena mampu menandingi sistem hortikultura konvensional (pola II) yang telah lama diterapkan sebelumnya oleh para petani. Selain memberikan nilai NPV lebih besar, sistem pemeliharaan pada pengelolaan pola ketiga juga lebih sederhana dibandingkan pola kedua.

Semua sistem pengelolaan yang diterapkan pada ketiga pola memiliki nilai BCR lebih dari satu, maka proyek pada setiap pola tersebut dinilai layak dan menguntungkan untuk dijalankan. Diketahui sistem pengelolaan pada setiap pola menggunakan suku bunga deposito Bank BRI sebesar 5%. Diantara ketiga pola yang diusahakan, pola ketiga (simulasi)

memiliki nilai BCR yang terbesar yaitu 2,41%. Hal ini terjadi karena pendapatan terdiskonto yang diperoleh pola ketiga jauh lebih besar dibandingkan ketiga pola lainnya.

Nilai IRR yang dihasilkan dapat menggambarkan besarnya kemampuan usaha untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan. Ketiga pola pengusahaan sesuai dengan Tabel 3 memiliki nilai IRR yang lebih dari sama dengan tingkat suku bunga deposito 5%, maka ketiga proyek tersebut layak untuk diusahakan dan terus dikembangkan. Pola III memiliki tingkat IRR tertinggi yakni sebesar 113%, sedangkan pola II dan III memiliki tingkat IRR senilai 95% dan 106%.

Nilai IRR yang dihasilkan oleh ketiga pola sangat besar disebabkan karena usahatani ini selalu mendapatkan pemasukan setiap tahun yang dapat mengkover keseluruhan biaya pada tahun tersebut. Oleh sebab itu tingkat pengembaliannya cepat hingga mencapai 100%. Namun IRR bukanlah metrik yang dapat diandalkan untuk membuat suatu keputusan, karena suatu usaha yang

(12)

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

memiliki nilai tingkat pengembalian internal (IRR) tinggi tidak selalu lebih baik dibandingkan usaha yang memiliki nilai IRR rendah (Gittinger, 2008). Proyek yang baik

tetap merupakan proyek yang memberikan lebih banyak hasil kepada pendapatan dibandingkan terhadap sumberdaya yang digunakan.

Tabel 4. Hasil analisis sensitivitas usaha agroforestri kopi di Desa Leksana

Uraian Pola Agroforestri

Kondisi Persen

perubahan Normal Harga turun Biaya naik Harga turun Biaya naik

10% 10% 10% 10%

NPV (Rp)

Kopi sengon 469.422.559 358.723.563 405.665.819 23,58 13,58 Kopi sengon pagar 1.286.677.768 863.233.874 991.901.650 32,91 22,91 Kopi sengon

jambu 1.315.264.047 1.090.328.359 1.221.854.764 17,10 7,10 IRR

(%)

Kopi sengon 95 65 67 31,58 29,47

Kopi sengon pagar 106 72 75 32,08 29,25

Kopi sengon

jambu 113 88 90 22,12 20,35

BCR

Kopi sengon 1,74 1,56 1,58 10,34 9,20

Kopi sengon pagar 1,44 1,29 1,31 10,42 9,03

Kopi sengon

jambu 2,41 2,17 2,19 9,96 9,13

Analisis Sensitivitas Usaha Agroforestri Kopi Desa Leksana

Analisis sensitivitas diterapkan untuk menilai hal-hal yang akan terjadi terhadap hasil analisis kelayakan suatu proyek apabila terjadi perubahan di dalam perhitungan biaya atau manfaat. Menurut Nurmalina et al, (2010) perubahan yang sering terjadi dalam menjalankan bisnis adalah perubahan harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya, dan perubahan hasil produksi. Analisis sensitivitas pada penelitian ini dilakukan dengan dua skenario yaitu apabila terjadi penurunan penjualan kopi, sayuran, dan buah jambu kristal sebesar 10%, dan apabila terjadi kenaikan biaya total dalam

pengelolaan usaha sebesar 10%. Hasil analisis sensitivitas usaha agroforestri kopi ditunjukkan oleh Tabel 4.

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas pada Tabel 4, meskipun terjadi perubahan terhadap nilai NPV, IRR serta BCR, tetapi secara umum kondisi kelayakan usaha tidak mengalami perubahan pada kenaikan biaya atau penurunan penerimaan sebesar 10%. Nilai NPV yang dihasilkan masih lebih besar dari 0, nilai BCR masih lebih besar dari 1 dan nilai IRR yang dihasilkan masih lebih besar dari tingkat suku bunga yang digunakan yaitu 5%. Perbandingan persentase perubahan nilai ketiga kriteria yang digunakan menunjukkan penurunan

(13)

harga produk sebesar 10% menghasilkan perubahan negatif yang lebih besar daripada terjadinya kenaikan biaya input sebesar 10%. Artinya usaha agroforestri kopi di Desa Leksana akan lebih sensitif terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penurunan harga jual produk dibandingkan hal-hal yang berpengaruh terhadap kenaikan biaya modal.

Analisis Nilai Tambah Produk Olahan Kopi

Kondisi saat ini di lapangan menunjukkan bahwa petani adalah agen ekonomi yang memperoleh keuntungan terkecil dan menanggung risiko produksi tertinggi. Oleh karena itu, pengembangan agroindustri dapat digunakan sebagai model alternatif pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan nilai tambah produk dengan memanfaatkan bahan baku lokal. Meskipun skala bisnis ini masih dikategorikan sebagai industri skala rumah tangga, produk yang dihasilkan akan mampu memperkaya variasi produk di pasar lokal dan mengisi pasar di luar wilayah (Aklimawati et al, 2016). Menurut Hayami et al, (1987), nilai tambah merupakan penambahan nilai pada input dengan melakukan proses pengangkutan, pengolahan, dan penyimpanan dalam suatu produksi sehingga menghasilkan output yang bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan input.

Perhitungan nilai tambah dilakukan pada setiap bentuk olahan buah kopi, yaitu

green bean, roasted bean, dan bubuk kopi, baik jenis robusta maupun arabika. Output dan input yang digunakan serta dihasilkan berbeda setiap produknya. Hal ini karena penyediaan bahan baku dan kapasitas produksi yang berbeda di setiap pengolahannya. Jadi penentuan bahan baku sejumlah 100 kg hanya berlaku untuk buah kopinya saja, bahan baku green bean dan roasted bean akan menyesuakan dengan seberapa besar penyusutan yang terjadi dalam setiap proses pengolahannya.

Nilai tambah diperoleh melalui pengurangan nilai output dengan sumbangan input lain dan harga bahan baku. Dari semua proses pengolahan, ternyata kopi yang telah disangrai (roasted bean) yang memiliki nilai tambah terbesar, yaitu Rp 54.734,- pada kopi robusta dan Rp 94.361,- pada kopi arabika. Dengan demikian petani akan dapat memaksimalkan keuntungannya apabila menjual biji kopi kualitas baik pada level produk roasted bean dan mengolah biji kopi yang cacat hingga menjadi bubuk kopi. Melalui pengembangan agroindustri kopi, nilai tambah produk akan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar kepada petani serta memudahkan penyediaan bahan baku bagi industri kopi skala kecil dan menengah.

(14)

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

Tabel 5. Perbandingan nilai tambah dan keuntungan produk olahan buah kopi robusta dan arabika

No. Produk Olahan

Nilai Rasio Nilai

Keuntungan (Rp/kg)

Rasio

Tambah Tambah Keuntungan

(Rp/kg) (%) (%)

1 Green Bean Robusta 4.362 43,62 3.181 31,81

2 Green Bean Arabika 17.862 71,45 16.681 66,73

3 Roasted Bean Robusta 54.734 54,73 52.623 52,62 4 Roasted Bean Arabika 94.361 47,18 91.833 45,92

5 Bubuk Kopi Robusta 13.259 8,84 9.925 6,62

6 Bubuk Kopi Arabika 38.171 12,72 34.421 11,47

Selecting and Grading Produk Olahan Kopi

Nilai tambah suatu produk akan dapat meningkat secara lebih optimal apabila produk mendapatkan nilai jual yang tepat sesuai dengan kualitasnya. Untuk itu sangat diperlukan adanya pengetahuan mengenai selecting and grading dalam pengolahan kopi. Selama ini Kelompok Sari Tani hanya menyeleksi kopinya menjadi 2 bagian, yaitu kopi kualitas baik dan kopi cacat. Semua kopi yang telah diseleksi tersebut tetap diolah hingga akhir, yang membedakan hanya pada pemasarannya. Kopi yang berkualitas baik akan dijual kepada konsumen sementara kopi yang cacat hanya dijadikan sebagai konsumsi pribadi.

Menurut ketua umum Specialty Coffee Associations of Indonesia, A. Syafrudin, secara umum kopi dibagi menjadi tiga kategori yaitu specialty, premium, dan komersil. Kopi specialty mempunyai nilai cupping score di atas 80, kopi premium memiliki nilai cupping score di

bawah kopi specialty yaitu 70 hingga 80, sedangkan kopi komersil memiliki nilai cupping score di bawah 70. Kopi yang telah masuk ke kelas specialty akan memiliki harga yang jauh lebih mahal dan biasanya kedai-kedai kopi yang memburu kopi kualitas ini. Kopi berkualitas premium umumnya saat ini dijual langsung kepada konsumen, namun tak jarang kedai kopi juga masih membeli kopi kualitas ini apabila kopi kualitas specialty sedang tidak tersedia di pasaran. Sementara kopi komersil (asalan) biasanya digunakan oleh pabrik-pabrik untuk dijadikan kopi instan karena harganya yang masih terjangkau dan pengolahannya yang tidak murni kopi, melainkan terdapat bahan tambahan lainnya. Apabila dibandingkan harga jual kopi dari setiap kualitas memiliki selisih besaran yang cukup signifikan, Tabel 6 menyajikan data harga berbagai kualitas kopi yang berasal dari Pulau Jawa.

Berdasarkan informasi harga yang tersaji pada Tabel 6, dapat diketahui jika petani melakukan proses selecting and grading

(15)

secara lebih cermat maka produknya akan dapat memiliki nilai jual yang lebih tinggi, terutama pada kualitas specialty.

Tabel 6. Perbandingan harga green bean dan roasted bean kopi di lapang dengan harga rata-rata pasara

Jenis

Kopi Bentuk Olahan Harga di Lapang (Rp/kg)

Harga Rata-Rata Pasarb (Rp/kg)

Specialty Premium Komersil Robusta Green Bean 40.000 72.500 44.000 27.600

Roasted Bean 125.000 212.000 140.000 95.000 Arabika Green Bean 100.000 143.000 106.000 46.000 Roasted Bean 250.000 369.600 261.000 175.000

aJenis kopi khas di Jawa yang digunakan dalam penentuan harga rata-rata pasar yakni jenis kopi Java

Preanger, Papandayan, Sumbing, Sindoro, Bowongso, Temanggung, Dampit Malang, Blawan Bondowoso, Ijen, dan Argopuro.

bData diperoleh dari situs jual beli online dan wawancara ke beberapa kedai kopi di Bogor dan

Banjarnegara.

Kopi yang berkualitas specialty akan mengalami peningkatan harga mencapai 40−80% dari harga yang biasanya dijual di lokasi penelitian. Jika dikategorikan sebetulnya harga kopi yang selama ini dijual oleh petani Sari Tani termasuk ke dalam harga kopi kualitas premium. Oleh sebab itu guna mengoptimalkan keuntungan, kopi yang tidak termasuk ke dalam kategori kualitas specialty akan lebih baik jika diolah hingga menjadi produk bubuk kopi, mengingat harga bubuk kopi masih lebih besar dibandingkan harga roasted bean kualitas premium di pasaran, yakni sebesar Rp 150.000,- untuk kopi robusta dan sebesar Rp 300.000,- untuk kopi arabika.

Namun pada kenyataannya di pasaran, kedai-kedai kopi lebih menyukai untuk membeli produk olahan green bean dari para petani dibandingkan produk roasted

bean. Kedai kopi tersebut memilih untuk menyangrai biji kopinya sendiri karena memiliki standar yang tinggi terhadap produk yang akan dijual kepada para penikmat kopi, sehingga tak jarang ditemukan kedai kopi yang sekaligus merangkap menjadi Roastery. Hanya sedikit kedai kopi yang membeli langsung olahan roasted bean langsung dari petani, terkecuali kedai kopi ini telah benar-benar menaruh kepercayaan terhadap petani akan produk roasted bean yang diolahnya.

Sebagian besar petani yang mengolah produknya hingga level roasted bean dan bubuk kopi lebih banyak menjualnya langsung kepada perorangan, terutama yang menjadi pelanggan setianya. Oleh sebab itu adanya edukasi tentang selecting and grading pada petani juga perlu diimbangi dengan pemberian informasi mengenai sasaran

(16)

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

pemasaran yang tepat untuk setiap produknya, dimana green bean dijual langsung ke kedai-kedai kopi, sedangkan olahan roasted bean diutamakan untuk dijual langsung ke perorangan dan sebagiannya lagi ke kedai kopi, dan bubuk kopi dijual langsung ke konsumen (perorangan). REFERENSI

Aklimawati, L., Soemarno, D., Mawardi, S. 2016. Application of marketing mix in home industry: focussed on micro and small scale coffee industry. Pelita Perkebunan. 32(1): 52−66.

Gittinger, J.P. 2008. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Ed ke-2. Mangiri K, Sutomo S, penerjemah; Bhaktiyani R, Ulfah S, editor. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Hairiah, K., Utami, S.R., Verbist, B., Van

Noordwijk, M., Sardjono, M.S. 2003. Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri di Indonesia. Bogor (ID): International Centre for Research in Agroforestry. Hayami, Y., Kawagoe, T., Morooka, Y.,

Siregar, M. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Unpland Java A Perspective From A Sunda Village. Bogor (ID): CGPRT Center.

Indonesia Power. 2018. Perkembangan Laju Sedimentasi Waduk Panglima Besar Soedirman dan Tingkat Erosi Daerah Aliran Sungainya. Banjarnegara (ID): Indonesia Power.

Nurmalina, R., Sarianti, T., Karyadi, A. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Departemen Agribisnis (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sudjarmoko, B. 2013. Prospek pengembangan industrialisasi kopi

Indonesia. STRINOV. 1(3): 99−110.

(17)

E-ISSN : 2477-0299

KELEMBAGAAN PROGRAM CITARUM HARUM DALAM

PENGELOLAAN SUB DAS CIRASEA, CITARUM HULU

Farhana Nurysyifa1*, Kaswanto1*

1 Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Boogor (IPB), Bogor 16680

* Email: nurysyifarhana@gmail.com ; kaswanto@apps.ipb.ac.id RINGKASAN

Sub DAS Cirasea merupakan daerah hulu DAS Citarum. Area ini memiliki indeks erosi yang sangat buruk akibat masifnya aktivitas pertanian, sehingga lanskap hutan semakin terancam dari tahun ke tahun. Padahal daerah hulu DAS memiliki peran strategis dalam menjamin kualitas air di daerah yang lebih rendah. Oleh karena itu, penempatan sektor Satgas Kodam III dalam menunjang program Citarum Harum terdapat di beberapa kecamatan di kawasan Sub DAS Cirasea. Namun, pelaksanaan program Citarum Harum yang hanya dibatasi 7 tahun justru menimbulkan persoalan baru terkait keberlanjutan pengelolaan. Untuk itu, penelitian ini bertujuan menyusun rekomendasi untuk mendukung penguatan kelembagaan untuk pengelolaan Sub DAS Cirasea. Kawasan yang menjadi prioritas dalam penempatan sektor khusus menangani permasalahan erosi memiliki beberapa kriteria, seperti status lahan sebagai hutan lindung dan atau hutan konservasi, luasnya area lahan kritis, elevasi di atas 1000 m, dan memiliki topografi curam. Motivasi ekonomi, sebagai salah satu faktor agar masyarakat memiliki inisiatif dalam mengelola sungai, dipengaruhi oleh seberapa pentingnya fungsi sungai sebagai penunjang kehidupan sehari-hari. Analisis SWOT menghasilkan beberapa prioritas rekomendasi, yaitu perlu adanya kepastian koordinasi antarprogram maupun antarsektor secara riil di lapangan dan kepastian pascapanen untuk meningkatkan motivasi petani dalam menanam kopi.

Kata kunci: analisis kelembagaan, indeks erosi, pengelolaan berkelanjutan

PERNYATAAN KUNCI

• Pengelolaan DAS dalam menanggulangi permasalahan erosi terkesan mengalami simplifikasi, yaitu cukup melakukan kegiatan tanam-menanam. Nyatanya program RHL telah dilaksanakan sejak

lama, namun permasalahan erosi tidak kunjung selesai.

• Satgas TNI, sebagai salah satu lembaga program Citarum Harum, memiliki kekonsistenan dalam menjalankan tupoksinya dalam menanggulangi permasalahan erosi meskipun penurunan

(18)

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299 upah dari pusat seringkali mengalami

kendala. TNIpun memiliki etos kerja yang tinggi.

• Namun, Satgas TNI seringkali terkesan mengerjakan tupoksi lembaga lain, • Selain itu, masyarakatpun seringkali

menuruti perintah dari TNI mengingat budaya ‘feodal’ masih melembaga di kehidupan masyarakat.

• Namun koordinasi antara masyarakat dan TNI terkadang mengalami kendala, terutama di daerah yang memiliki konflik lahan yang tinggi di Kecamatan Kertasari, sehingga TNI seringkali bekerja sendiri. Padahal Program Citarum Harum hanya berjalan selama 7 tahun. Jika permasalahan partisipasi masyarakat tidak ditanggulangi, tidak dapat dipastikan apakah mekanisme pengelolaan DAS dapat berjalan secara berkelanjutan.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

• Perlu adanya kepastian koordinasi antarprogram maupun antarsektor secara riil di lapangan.

• Kepastian pascapanen sebagai insentif petani kopi.

• Perlu melibatkan pensiunan TNI dalam mekanisme pengeloalan lingkungan, terutama DAS.

I. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu penerapan dari

prinsip bioregion dengan mengikuti barisan punggung bukit sebagai tempat awal jatuhnya air ke permukaan bumi. Oleh karena itu, DAS dapat menjadi unit analisis yang tepat dalam penyusunan konsep pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin terjaganya kualitas air serta terdistribusinya jumlah air secara optimal. Sehingga air tetap tersedia saat musim kemarau, namun jumlahnya tidak berlebihan saat musim hujan. Menurut Salampessy dan Lidiawati (2017), daerah hulu DAS memiliki fungsi untuk mencegah terjadinya run off hingga ke daerah hilir sehingga banjir dapat dikendalikan, meningkatkan kemampuan infiltrasi sehingga suatu kawasan memiliki kualitas cadangan air tanah yang baik, dan menjadi sumber utama jasa lanskap.

Pembangunan fisik seperti floodway Cisangkuy paket I dan II, Embung Gedebage, Kolam Retensi Cieuteung, pembangunan tunnel Curug Jompong, dan normalisasi Citarum Hulu merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan Citarum. Namun menurut Bandaragoda (2000), peran kelembagaan diperlukan setelah dilakukan usaha pembangunan fisik untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang terpadu. Selain itu, karakteristik alami dan infrastruktur buatan seperti ukuran dan skala, teknologi, dan tujuan akan

(19)

menentukan jenis dan karakter dari lembaga yang didirikan.

Oleh karena itu, pembuat kebijakan memerlukan perluasan lingkup pengetahuan sebagai dasar penyusunan suatu kebijakan yang selama ini cenderung sektoral dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara holistik, sehingga bukan hanya terfokus dengan peningkatan kualitas biofisik. Kondisi para stakeholder beserta pengaruh ekonomi, sosial, politik, kebijakan, hukum, dan organisasi pun harus terintegrasi dalam penguatan kelembagaan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi lanskap yang menjadi faktor penentu terbentuknya suatu kelembagaan di tingkat tapak dan menganalisis relasi beserta permasalahan antara kelembagaan di tingkat pusat dan di tingkat tapak, sehingga akan dihasilkan

suatu rekomendasi untuk mendukung penguatan kelembagaan untuk pengelolaan Sub DAS Cirasea dari permasalahan erosi secara berkelanjutan.

II. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1) dengan batasan kecamatan yang disesuaikan dengan kawasan dimana masyarakat memiliki inisiatif untukn megikuti program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), memiliki elevasi 700-1200 m dpl, terdapat lahan kritis, dan memiliki tingkat erosi yang buruk. Oleh karena itu, penelitian berfokus pada 6 kecamatan, yaitu Kertasari, Pacet, Arjasari, Ciparay, Ibun, dan Paseh yang tersaji pada Gambar 2.

(20)

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299 Gambar 1. Lokasi penelitan

(a) Peta Jawa Barat dan Banten; (b) Peta DAS Citarum; (c) Peta Kabupaten; dan (d) Peta Sub DAS Cirasea

Gambar 2. Peta Kecamatan di kawasan Sub DAS Cirasea (Sumber: BPDASHL dan BIG)

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam studi ini mengacu pada proses analisis kelembagaan dalam mendukung penyusunan rekomendasi kelembagaan oleh Bandaragoda (2000) yang telah dimodifikasi dengan tujuan merumuskan suatu rekomendasi kelembagaan Sub DAS Cirasea dengan menggunakan Geographic Information System (GIS), Analisis Regresi Logistik, Analisis Stakeholder, Analisis Kelembagaan, dan rekomendasi yang berasal dari analisis sebelumnya akan dianalisis dengan menggunakan SWOT.

Tahap Persiapan

Tahap persiapan yang dilakukan meliputi penyusunan makalah dan proposal penelitian, penyusunan lembar kuisioner, daftar pertanyaan untuk wawancara mendalam, menetapkan sasaran pengambilan sampel dan instansi terkait sesuai dengan batasan dan lingkup penelitian, dan persiapan teknis berupa persiapan alat dan bahan penelitian untuk mengumpulkan informasi dan mengolah data.

(21)

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara groundcheck dan wawancara dengan 30 orang responden dan 14 orang informan yang relevan. Data sekunder merupakan data yang bersumber dari studi pustaka, yaitu buku, jurnal disertasi penelitian terdahulu, dan data yang diperoleh dari instansi terkait.

Tahap Analisis

1. Identifikasi Karakter Fisik Sub DAS Cirasea

Karakteristik Fisik Sub DAS diidentifikasi terlebih dahulu untuk memberikan gambaran kawasan secara umum dan menjadi dasar kemungkinan motivasi kinerja dari kelembagaaan yang terlibat dalam kegiatan pengurangan erosi. Tahapan ini dilakukan dengan menggunakan bantuan software ArcGIS. 2. Analisis Faktor Sosial Ekonomi

Masyarakat yang Mendukung

Pengelolaan Sub DAS menggunakan Analisis Regresi Logistik

Peran masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan Sub DAS sebagai pihak yang paling paham terhadap permasalahan di tingkat tapak sehingga ada upaya dari pemerintah untuk melakukan sinergisitas dengan masyarakat. Analisis regresi logistik berfungsi untuk mengukur seberapa besar peluang masyarakat dalam mendukung pengelolaan Sub DAS (P=1), dan besar peluang masyarakat tidak mendukung pengelolaan Sub DAS (P=0) dengan

mengikuti sebaran binomial. Model regresi logistik bineri dapat digunakan untuk menganalisis data kategori yang variabel terikatnya merupakan biner dan variabel bebasnya bersifat kontinyu atau kategori. Perbandingan antara probabilitas suatu peristiwa dengan probabilitas tidak terjadinya suatu peristiwa dalam model disebut odds/ resiko. Semakin besar nilai odds, maka terjadi kecenderungan minat masyarakat terhadap usaha pengelolaan Sub DAS. Pengambilan data diperoleh dari hasil wawancara terhadap 30 responden. Analisis menggunakan software SPSS dengan model logitnya sebagai berikut:

Pi = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 ... β6 X6 + β1

D1+ β2 D2β4 D4+ εi……….. (1)

P(i) = 1

1 + 𝑒−(𝛼 + βxi) ……….. (2)

Keterangan:

Pi : Peluang dukungan masyarakat terhadap upaya pengelolaan Sub DAS terhadap ancaman erosi

(1 = opsi mendukung pengeloaan, 0 = tidak mendukung pengelolaan)

β0 : intersep

X1 : Pengetahuan tentang rehabilitasi DAS (1 = mengerti, 0 = tidak mengerti)

X2 : Tingkat keterlibatan warga dalam usaha rehabilitasi DAS (1 = terlibat, 0 = tidak terlibat) D1 : Fungsi Sungai (1= ada, 0 = tidak ada) D2 : Kondisi kebersihan sungai (1 = baik, 0 = buruk)

D3 : Preferensi Pekerjaan (1=ada, 0= tidak ada)

D4 : Aksesibilitas ( 1 = sulit, 0 = tidak sulit) D5 : Potensi gotong royong (1 = ada , 0 = tidak ada)

Untuk mencari nilai peluang dari masyarakat yang mendukung upaya pengelolaan Sub DAS menggunakan rumus sebagai berikut:

(22)

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299

Pi =

Exp (β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3....β6 X6 + β1 D1+ β2 D2+⋯+β4 D4)+ εi

1+Exp (β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3....β6 X6 + β1 D1+ β2 D2+⋯+β4 D4)+ εi……….. (3)

3. Analisis Kelembagaan

Analisis kelembagaan dilakukan untuk memahami peranan dan pengaruh para pelaku (actors) dalam proses pencapaian tujuan program yang disajikan dalam bentuk deskriptif.

Rekomendasi Pengelolaan Sub DAS Cirasea

Metode analisis SWOT digunakan untuk menyusun alternatif strategi pengelolaan Sub DAS Cirasea dari sudut pandang kelembagaan dengan membandingkan faktor internal (Strength dan Weakness) dengan faktor eksternal (Opportunity dan Threat) dan dianalisis secara kuantitatif yang dilakukan dengan cara pembobotan dan pemberian rating.

III. SITUASI TERKINI

Secara geografis, Sub DAS Cirasea berada di antara 107º 37’ 49,1747” BT – 107º 48’ 30,8923” BT dan 6º 59’ 32,9636” LS – 7º 14’ 35,2305” LS. Sub DAS Cirasea memiliki banyak kawasan lindung, yaitu Cagar Alam Gunung Malabar, Cagar Alam Papandayan, Taman Wisata Alam Kawah Kemojang dan Gunung Mesigit.

Kualitas DAS pada sebagian besar daerah di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya daftar sungai prioritas. DAS Citarum merupakan DAS terpanjang di

Jawa Barat dan memiliki peran strategis dalam mendukung ketahanan energi nasional, namun memiliki status kritis dengan tingkat erosi terbesarnya berada di daerah hulu.

Sub DAS Cirasea yang merupakan bagian dari Citarum Hulu memiliki indeks erosi yang sangat buruk. Menurut Rusdiana (2011), laju erosi yang terjadi pada DAS Ciatrum Hulu rata–rata sebesar 574.16 ton/ha/tahun, sehingga DAS Citarum Hulu didominasi lahan dengan tingkat bahaya erosi sangat berat (36.87%) dan berat (21.84%). Besar pelepasan sedimen yang terjadi akibat kejadian erosi pada kawasan DAS Citarum Hulu yaitu rata-rata sebesar 33.88 ton/ha/tahun dengan pelepasan sedimen maksimum sebesar 1044.55 ton/ha/tahun. Menurut Yulius et al, (2017), lahan terbangun tersebut telah mengambil alih lahan agroforestri riparian sungai sebagai salah satu solusi mengurangi dampak dari erosi dan sedimentasi. Dominansi patch permukiman mengindikasikan adanya intervensi aktivitas manusia yang tinggi pada lanskap riparian. Selain itu, praktek penanaman tanaman semusim yang tidak memperhatikan kaidah konservasi dilakukan oleh masyarakat DAS Hulu Citarum sehingga resiko terhadap ancaman erosi semakin meningkat dari tahun ke tahun.

(23)

IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN Analisis Fisik Sub DAS Cirasea

Gambar 3. Peta Lahan Kritis Gambar 4. Erosi perhitungan USLE Gambar 5. Kawasan Hutan (Sumber: BPDASHL) (Sumber: BPDASHL) (Sumber: Ditjen Planologi

Kehutanan dan Tata Lingkungan) Analisis fisik berupa data spasial lahan

kritis (Gambar 3) dan erosi (Gambar 4) menunjukkan bahwa kecamatan Kertasari dan Pacet memiliki area kawasan yang paling kritis (> 480 ton/ha/tahun) terluas dibanding kecamatan lainnya. Ditambah lagi kedua kecamatan tersebut berstatus area penggunaan lain yang didominasi oleh private sector dan Hak Guna Usaha (HGU) (ditandai dengan warna orange pada gambar 5) sehingga hal ini menjadi salah satu kendala sulitnya monitoring rehabilitasi daerah hulu DAS. Oleh karena itu, tidak heran jika kawasan tersebut memiliki banyak stakeholder maupun program insentif yang diusung oleh beberapa kementerian yang terlibat untuk mengembalikan daerah hulu sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung. Kondisi kelembagaan lokal tiap kecamatan di kawasan Sub DAS Cirasea dijelaskan pada Tabel 3.

Kualitas air yang ditujukan pada Tabel 1 menyatakan adanya nilai yang sifatnya

fluktuatif. Nilai pH yang baik memiliki nilai netral dan lima titik pengambilan kualitas air menunjukkan nilai pH yang masih termasuk ketegori normal. Nilai BOD yang besar menunjukkan banyaknya oksigen yang diperlukan untuk memecah sampah organik dan hal ini akan memperburuk kualitas air. Hal ini terjadi pada naiknya nilai BOD pada mata air Cisanti tahun 2017 sebesar < 2 menjadi 2,96 pada tahun 2018. Hal ini terjadi karena adanya penambahan ikan pada situ setelah adanya rehabilitasi situ yang dilakukan oleh satgas kodam. Nilai COD yang kecil menunjukkan berkurangnya oksigen yang diperlukan untuk memecah limbah anorganik dan hal ini akan meningkatkan kualitas air. Hal ini terjadi pada Citarum Majalaya yang terjadi karena adanya usaha agroforestry, sehingga penggunaan pestisida berkurang dan mengurangi kadar kimia yang akan bereaksi dengan oksigen yang terkandung pada air.

(24)

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan ISSN : 2355 – 6226 E-ISSN : 2477 – 0299 Tabel 1. Kualitas Air Sungai

Para- meter

Mata Air Cisanti Outlet situ Cisanti BendungWangisagra Citarum Majalaya Cirasea cengkong 2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018 pH 6,6 6,6 6,5 7,6 7,3 6,6 7,9 7,9 8,4 7,8 7,7 7,4 7,9 8,2 7,8 BOD (mg/l) 2,4 < 2 2,96 < 2 < 2 2,4 < 2 2,4 < 2 10 - 10 < 2 < 2 < 2 COD (mg/l) < 11,5 < 2,5 8 4,1 7 16 48 16 9 5,2 22 15 47 15 13 DO (mg/l) 9 5 4,9 8 9 6,97 7 6,3 6,7 - 6,8 2 7 12 6,2 (sumber: BBWS 2016, 2017, dan 2018) Analisis Sosial-Ekonomi

Analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui faktor yang paling signifikan berpengaruh terhadap besarnya peluang masyarakat dalam mendukung pengelolaan Sub DAS. Hasil analisis disajikan pada Tabel 2.

Interpretasi dari hasil Variables in the Equation adalah hanya variabel D2 (fungsi sungai) yang berpengaruh signifikan dengan

semakin besarnya peluang dan motivasi masyarakat dalam mengelola Sub DAS karena memiliki nilai signifikasi dibawah 5%.

Oleh karena itu, masyarakat yang memang memanfaatkan sungai secara langsung memiiliki peluang yang lebih besar untuk melakukan pengelolaan DAS, misalnya petani.

Tabel 2. Hasil Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a X1 21,32 11443,67 0,000 1 1,00 1811451237,17 0,00 . X2 -22,34 40192,97 0,000 1 1,00 0,00 0,00 . d1 2,82 1,36 4,300 1 0,04 16,78 1,17 241,34 d2 0,95 1,88 0,258 1 0,61 2,59 0,07 102,51 d3 -1,47 1,60 0,841 1 0,36 0,23 0,01 5,33 d4 -2,15 2,01 1,143 1 0,29 0,12 0,00 5,97 d5 -0,83 1,30 0,403 1 0,53 0,44 0,03 5,60 Constant -19,69 46252,62 0,000 1 1,00 0,00

(25)

Tabel 3. Analisis Fisik dan kelembagaan lokal tiap Kecamatan

N o

Keca-matan Topografi Elevasi (mdpl)

Luas Penggunaan Lahan

Landuse Kelembagaan lokal (studi kasus)

Sawah

(ha) Lahan Pertanian non Sawah

Non Pertanian (ha)

1 Arjasari Dataran dan lereng/punggung

bukit.

744-982 1370.6 2744 820,70 - Pepohonan mendominasi kawasan non hutan sehingga tidak banyak kegiatan penghijauan. - Sawah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan

subsisten masyarakat

Forum lingkungan dibentukan oleh Pemda. Selain itu, Satgas citarum harum, praktek RHL, dan KTT tidak ditemukan di kecamatan ini.

2 Ciparay Dataran 683-795 2690,96 1.350,40 2445,66 Kawasan non hutan dengan penggunaan lahan

didominasi oleh lahan pertanian. Pecinta Alam Lembah caringin (PALEC) merupakan salah satu komunitas masyarakat pecinta alam di desa Ciparay yang berfokus pada pembibitan dan pengolahan pascapanen kopi.

3 Ibun Lereng/Punggung

Bukit 700-1200 1484,6 2203,3 941 - - Lahan pertanian tanaman semusim dan sawah Penghijauan massif dilakukan dengan

penanaman tanaman kopi yang dinaungi oleh pohon pinus di Desa Laksana dan Ibun.

Kecamatan Ibun masih mengandalkan kekuatan tokoh dalam melakukan kegiataan penghijauan. Penanaman pohon masih banyak dilakukan oleh KTH. Satgas citarum harum tidak ditemukan. 4 Kertasari Lereng/Punggung

Bukit 1267-1832 15 13.118,75 2.165,18 - Hanya desa Tarumajaya yang memiliki status kawasan hutan yang dimiliki oleh perhutani. Desa

lainnya berada diluar kawasan hutan dan didominasi oleh Hak Guna Usaha (HGU). - Lahan pertanian didominasi oleh komoditas

kentang meskipun kawasan tersebut memiliki topografi yang curam.

- Penghijauan massif dilakukan karena kecamatan Kertasari diharapkan dapat menjadi kawasan dengan daya infiltrasi air yang tinggi dengan adanya hutan lindung dan terdapat daerah mata air utama Citarum sebagai area konservasi, yaitu Situ Cisanti.

Kecamatan Kertasari memiliki stakeholder yang paling banyak. Hal ini terjadi akibat peran konservasi yang harus diemban oleh daerah ini sehingga

mempengaruhi serapan dana dari pemerintah. Salah satu komunitas yang terdapat dalam kawasan ini adalah Institut Gunung Wayang (IGW) yang berfokus pada inovasi yang dapat meningkatkan kedaulatan petani. Selain itu, banyak masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Hutan Tani (KTH) mengikuti program insentif dari kementerian seperti Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), Kredit Tunda Tebang (KTT), dll. Kawasan inipun menjadi fokus program Citarum Harum

5 Pacet Lereng/Punggung

Bukit 839-1305 3011,28 5.816,05 921,62 - Desa sukarame, cipeujeuh, maruyung, dan tanjungwangi merupakan daerah luar kawasan

hutan. Namun landuse Kecamatan Pacet didominasi oleh areal hutan

- Sawah menjadi representasi aktivitas pertanian yang paling dominan

- Mayoritas desa umumnya memgandalkan kinerja Satgas Citarum Harum dalam rehabilitas sungai - Beberapa kelompok masyarakat Desa Girimulya dan

Sukarame mengikuti program Kredit Tunda Tebang (KTT)

6 Paseh Dataran dan

Lereng/Punggung Bukit

600-750 1558,49 - Lahan pertanian tanaman semusim dan sawah - Permukiman padat terdapat di daerah pasar

tanaman kopi massif dilakukan di Desa Loa dan Drawati yang didominasi oleh landuse hutan. Masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan mengiuti program kementerian berupa PBHM

(26)

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

Tabel 4. Identifikasi Lembaga Pusat

No Organisasi Nama Lem-Jenis baga

Dasar

Hukum Sumber Dana

Deskripsi Tugas pokok, fungsi, dan peran

Organisasi Persepsi 1. Dinas Lingkungan Hidup/ BPLHD Kabupaten Bandung Pem-

da 105/2018 APBD Operator Pengendali pencermaran 1. Konflik dan benturan antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan pengendalian, inkonsistensi kebijakan tata ruang dan penegakkan hukum

2. Benturan kepentingan di perbatasan wilayah. 2. BPDASHL Peme- rintah Pusat P.10/Menlhk/ Setjen/OTL.0/ 1/2016 APBN

(KLHK) Konservasi wilayah Hulu Developer Sungai

Mengalami benturan kepentingan dengan sektor pertanian.

3. BBWS Peme-rintah Pusat

26/PRT/M/2

006 (PU) APBN Merencanakan dan Operator membangun fisik sungai dan memelihara badan air di sepanjang sungai.

Regulator

1. Penetapan Ijin Alokasi Air

2. Penetapan tarif: air baku, tenaga listrik,

pollution fee dan BJPSDA

lainnya

3. Ijin galian golongan C (di badan sungai)

Developer

Pembangunan prasarana pada sungai utama

1. BBWS berbenturan dengan otonomi daerah karena batas sungai tidak sesuai dengan batas administrasi. 2. Efektivitas fungsi perencanaan dan

pemeliharaan belum tercapai karena berkaiatan dengan catchment area yang dikelola oleh instansi lain. Namun akan ada rencana kolaborasi dengan BPDSHL terkait pengukuran aspek hidrologi.

4. Balai Pengelolan Sumber Daya Air (PSDA) Pemerint ah Daerah APBN

(PU) Operator Sungai orde 2 dan 3 dan mengelola jaringan irigasi 1000-3000 ha

Regulator

Penetapan rencana taman dan penetapan RTRW provinsi

Developer

Pembangunan prasarana sungai orde 2 dan 3

Tupoksi sering tumpang tindah antara BBWS (dibawah kementerian PU) dengan PSDA, baik dalam pengelolaan badan air maupun pembangunan prasarana. 5. Perum Jasa Tirta II (Korporasi) BUMN PP No. 7 Tahun 2010 Operator Pengelolaan perasarana utama alokasi air

Developer

Menjalankan peran CSR di daerah konservasi Situ Cisanti yang merupakan wilayah wewenang BBKSDA.

1. Paradoks antara fungsi sebagai lembaga yang menerapan usaha konservasi dan bisnis yang cenderung melakukan kegiatan eskploitasi SDA

2. kontradiktif dengan peran pengelolaan BBWS Citarum yang berbeda

6. Forum DAS Peme-rintah pusat S.652/Menhut -V/2006 Suka- rela (KLHK) Wadah koordinasi pengelolaan DAS, yaitu organisasi para pemangku kepentingan yang terkoordinasi. Kajian, Koordinasi, dan konsultasi dalam melakukan pengelolaan DAS sesuai dengan prinsip Kordinasi, Integrasi, Sinergitas, dan Sinkronisasi (KISS)

Kinerja Forum DAS dianggap belum efektif karena kelembagaan masih belum tertata akibat masih terjadi konflik kepentingan dan tumpang tindih tupoksi antar sector, pemda, dan stakeholder lainnya.

(27)

Tabel 5. Identifikasi Lembaga dalam Lingkup Tapak

Lembaga Pelaku K1 K2 K3 K4 K5 K6

Masyarakat Pelaksana Kegiatan program RLH (2017) ✓ ✓ ✓ ✓ Pelaksana Kegiatan program Kredit

Tunda Tebang (KTT) ✓

Pelaksana Kegiatan Program Citarum

Harum ✓ ✓ ✓

Komunitas lingkungan ✓ ✓

Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupaten ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Pemerintah Desa ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Pengelola Kawasan Perhutani (KPH) ✓ ✓ ✓ ✓

Perkebunan teh rakyat ✓

Lembaga Donor

(program CSR) Artha Grha Perum Jasa Tirta II ✓ ✓ ✓

Ket: K1: Arjasari; K2: Ciparay; K3: Kertasari; K4: Ibun; K5: Pacet; K6: Paseh

Analisis Stakeholder

Analisis Stakeholder dapat digunakan untuk memahami kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) dan bagaimana hal ini dapat mendukung atau mengancam kinerja suatu pengelolaan. Hasil analisis tersaji pada Gambar 6.

Analisis Kelembagaan Identifikasi Lembaga Pusat

Identifikasi lembaga yang relevan dalam menanggulangi permasalahan erosi ditingkat tapak disesuaikan dengan rencana aksi DAS Citarum yang telah disahkan oleh Gubernur Jawa Barat dalam Program Citarum Harum. Sehingga perlu mengetahui tupoksi beberapa instansi agar dapat memproyeksikan lembaga mana saja yang terkait dalam menangani masalah erosi. Persepsi yang berkembang di pusat menyatakan bahwa Sungai Citarum dianggap sebagai strategis nasional. Oleh karena itu, Pengeloalan DAS Citarum menjadi wewenang pemerintah pusat. Tupoksi kelembagaan pusat tersaji pada Tabel 4 dan pemetaan stakeholder di tiap kecamatan disajikan pada Tabel 5.

Sebenarnya tupoksi yang dilakukan antarstakeholder saling terkait, baik pengelolaan Sub DAS yang dilakukan oleh lembagan pusat maupun lembaga lokal. Hubungan antara lembaga pusat dan lokal dapat dijabarkan pada Gambar 7. Menurut Sofhani et al, (2016), pengelolaan sumber daya air DAS Citarum bersifat multi institusi serta latar belakang yang sarat dengan konfik kepentingan, maka fungsi koordinasi ini berperan sangat penting. Kajian tekait pola relasi kuasa pengelolaan hulu Citarum umumnya kurang mengkaji aspek interaksi antar aktor formal maupun informal. Oleh karena itu, kajian terkait pengelolaan DAS umumnya kurang dapat menggambarkan pengaruh dan komunikasi antar aktor dalam pengelolaan DAS. Aspek interaksi antar aktor sebagai implikasi koordinasi antar lembaga yang dijelaskan pada Gambar 8 membuktikan bahwa peran sentral dilakukan oleh DLH, lalu Citarum Harum, dan BBWS dalam pengelolaan Sub DAS Cirasea. Hal ini terjadi karena adanya keterhubungan lintas kelompok aktor yang membuka kesempatan untuk berperan lebih besar dari kewenangan struktural yang membatasi serta wilayah kinerjanya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi.

(28)

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

Gambar 7. Diagram Koordinasi Kelembagaan pusat dan lokal Rekomendasi Kelembagaan

Pengelolaan Sub DAS Cirasea

Rekomendasi Kelembagaan Pengelolaan SubDAS Cirasea dirumuskan dengan menggunakan metode analisis SWOT. Metode ini dilakukan dengan mewawancarai stakeholder yang terlibat dalam penyelesaian permasalahn erosi untuk menentukan faktor internal dan faktor eksternal beserta tingkat kepentingan masing-masing faktor.

Penilaian Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Penilaian faktor internal dan faktor eksternal dimulai dengan melakukan penilaian tingkat kepentingan dan pemberian rating serta pembobotan setiap faktor. Penilaian faktor internal tersajikan pada Tabel 6 dan penilaian faktor eksternal disajikan pada Tabel 7.

Tabel 6. Penilaian skor faktor internal

SIMBOL FAKTOR BOBOT RATING SKOR S1 Monitoring Hutan Lindung dan badan air yang dilakukan oleh satgas

kodam III efektif. 0,15 4 0,60 S2

S3

Timbul partisipasi masyarakat, baik secara inisiatif maupun inisiasi oleh program pemerintah.

Semakin banyak jumlah aktor kelompok crowd dan subject yang terlibat dalam kelembagaan pengelolaan Sub DAS seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan aspek biofisik.

0,17 0,17 4 4 0,68 0,68

W1 Umumnya satgas Kodam III kurang bersinergi dengan masyarakat. 0,09 2 0,18 W2 Terjadi konflik lahan. 0,17 1 0,17 W3

W4

Kinerja komunitas umumnya efektif, namun wilayah kerjanya sempit dan umumnya tidak dikenal warga.

Masyarakat merasa tidak memiliki kepentingan terhadap sungai.

0,08 0,17 2 1 0,16 0,17 TOTAL 1,00 2,64

(29)

Tabel 7. Penilaian skor faktor eksternal

Simbol Faktor Eksternal Bobot Rating Skor

O1 Mulai dirumuskan pembagian tupoksi lembaga secara detail

untuk menghindari permasalahan tumpang tindih 0,15 4 0,60 O2 Program RHL cukup berhasil membangun motivasi

ekonomi masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan 0,20 4 0,80 O3

T1 Kapal Api berencana membangun industri di Kecamatan Kertasari Kinerja Forum DAS belum terlihat di tingkat tapak

0,22

0,09 4 1 0,88 0,09 T2 Pengelolaan irigasi secara partisipatif kurang berjalan 0,22 2 0,44 T3 Sulit terjadinya sinergis kerja antara Pemda dengan

kelompok lingkungan. 0,12 2 0,24

Total 1,00 3,05

Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) & External Factor Evaluation (EFE)

Setelah melakukan penilaian bobot faktor strategis internal dan eksternal,

selanjutnya adalah menentukan Matriks Internal-Eksternal (IE) yang didasarkan pada total skor EFE pada sumbu Y dan IFE pada sumbu X yang tertera pada Gambar 8.

Gambar 8. Matriks Internal-Eksternal (IE)

Matriks SWOT

Pembuatan matriks SWOT dilakukan dengan saling mengaitkan unsur-unsur SWOT. Matriks SWOT menghasilkan empat macam strategi berdasarkan keterkaitan unsur SWOT. Empat macam strategi tersebut yaitu, strengths-opportunities

(SO), strengths-threats (ST), weakness-opportunities (WO), dan weakness-threats (WT). Berdasarkan keterkaitan unsur SWOT tersebut dihasilkan 7 alternatif strategi pengelolaan Sub DAS Cirasea berdasarkan sudut pandang kelembagaan. Hasil matriks SWOT disajikan pada Tabel 8.

(30)

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019

Tabel 8. Matriks SWOT

Eksternal

Internal

Opportunities Threats

1. Mulai dirumuskan pembagian tupoksi secara detail untuk menghindari permasalahan tumpang tindih

2. Program RHL cukup berhasil membangun motivasi ekonomi masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan

3. Kapal Api berencana membangun industri di Kecamatan Kertasari

1. Kinerja Forum DAS belum terlihat di tingkat tapak 2. Pengelolaan irigasi secara

partisipatif kurang berjalan 3. Sulit terjadinya sinergisitas

kerja antara Pemda dengan kelompok lingkungan.

Strengths Strategi SO Strategi ST

1. Monitoring Hutan Lindung dan badan air yang dilakukan oleh satgas kodam III efektif. 2. Timbul partisipasi masyarakat,

baik secara inisiatif maupun inisiasi oleh program pemerintah.

3. Semakin banyak jumlah aktor kelompok subject yang terlibat dalam kelembagaan

pengelolaan Sub DAS seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan aspek fisik.

1. Perlu adanya kepastian koordinasi antarprogram maupun antarsektor secara riil di lapangan.

2. Kepastian pascapanen sebagai insentif petani kopi

1. Merevitalisasi Pengembangan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) program Mitra Cai dan berkoordinasi dengan kelompok lingkungan.

Weakness Strategi WO Strategi WT

1. Umumnya satgas Kodam III kurang bersinergi dengan masyarakat dan komunitas 2. Terjadi konflik lahan 3. Kinerja komunitas umumnya

efektif, namun wilayah kerjanya sempit dan umumnya tidak dikenal warga.

4. Masyarakat merasa tidak memiliki kepentingan terhadap sungai sehingga cukup sulit melibatkan masyarakat dalam pengelolaan Sub DAS.

1. Pemda dan TNI harus menurunkan sikap ego dan harus mulai bersikap egaliter seperti yang dilakukan sektor 2, terutama pada kelompok masyarakat yang memiliki minat menjaga lingkungan. 2. Kolaborasi perumusan

reforma agraria dengan salah satu anggota IGW yang berkompeten.

3. Kelompok Players berkoordinasi dan

memperkuat kapasitas kinerja kelompok Subject agar dapat mengendalikan perilaku kelompok Crowd.

1. Potensi ekonomi dan semakin mudahnya komoditas kopi diterima masyarakat disekitar kawasan hutan maupun non hutan seharusnya dapat menyatukan kepentingn KLHK dan Kementan beserta UPT 2. Meningkatkkan SDM dan pendanaan untuk mengefektifkan kinerja forum DAS dalam memediasi kepentingan antarsektoral

Penentuan Peringkat Alternatif Strategi Peringkat alternatif strategi yang sudah dirumuskan ditentukan berdasarkan skor setiap alternatif strategi. Skor didapatkan dengan menjumlahkan seluruh skor faktor yang terkait dengan alternatif

strategi. Peringkat alternatif strategi dapat menentukan strategi mana yang menjadi prioritas. Hasil peringkat alternatif strategi tercantum pada Tabel 9.

(31)

Tabel 9. Peringkat alternatif strategi

No Alternatif Strategi Unsur SWOT Keterkaitan Skor Pering- kat 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Perlu adanya kepastian koordinasi antarprogram maupun antarsektor secara riil di lapangan. Kepastian pascapanen sebagai insentif petani kopi Kelompok Players berkoordinasi dan memperkuat kapasitas kinerja kelompok Subject agar dapat mengendalikan perilaku kelompok Crowd.

Merevitalisasi Pengembangan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) program Mitra Cai dan

berkoordinasi dengan kelompok lingkungan. Pemda dan TNI harus menurunkan sikap ego dan harus mulai bersikap egaliter seperti yang dilakukan sektor 2, terutama pada kelompok masyarakat yang memiliki minat menjaga lingkungan.

Meningkatkkan SDM dan pendanaan untuk

mengefektifkan kinerja Forum DAS dalam memediasi kepentingan antarsektoral di tingkat tapak.

S1, S2, S3 O1, O2, O3 S1, S2, S3, O2, O3 W1, W3, W4, O2, O3 S2, S3, T2 W1, O1 W1, W3, W4, T1, T3 4,24 3,64 2,19 1,80 0,90 0,84 1 2 3 4 5 6 7. 8.

Kolaborasi perumusan reforma agraria dengan salah satu anggota IGW yang berkompeten.

Potensi ekonomi dan semakin mudahnya komoditas kopi diterima masyarakat disekitar kawasan hutan maupun non hutan seharusnya dapat menyatukan kepentingn KLHK dan Kementan beserta UPT terkait. W2, O1 W2, T1, T2 0,77 0,70 7 8 REFERENSI

Bandaragoda, D.J. 2000. A framework for institutional analysis for water resources management in a river basin context. Working paper 5. Colombo (SL): International Water Management Institute.

Hasan, M. 2011. Model kebijakan pengelolaan sumber daya air pada Daerah Aliran Sungai (Das) Citarum yang berkelanjutan. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Raharja, S.J. 2008. Pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. [Disertasi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Rusdiana, O., Gufrona, R. 2011. Aplikasi model optimasi linear goals programming dalam menentukan pola penggunaan lahan optimal di das citarum hulu. JST. Vol. 02: 26‒ 34.

Salampessy, M.L., Lidiawati, I. 2017. Potensi kelembagaan local dalam pengelolaan daeerah aliran sungai (studi kasus di desa cemplang, sub das Ciaten Hulu timur DAS Cisadane). Jurnal Hutan tropis. 2(5): 113-11.

Yulius, Kaswanto, Arifin, H.S. 2017. Analisis ekologi lanskap agroforestri pada riparian sungai Ciliwung di kota bogor. Jurnal Lankap Indonesia. 2(9): 81-90.

(32)

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 6 No. 3 Desember 2019: 136-150 ISSN : 2355-6226

E-ISSN : 2477-0299

PENDEKATAN PARTISIPATORI UNTUK STRATEGI

PENGEMBANGAN DESA PENYANGGA TAMAN HUTAN RAYA

RADEN SOERJO

Erwin Ismu Wisnubroto1,Gerardus Jova1,Yohanes Roni2

1Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Tribhuwana Tunggadewi 2Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tribhuwana Tunggadewi

Email:erwin.wisnubroto@gmail.com RINGKASAN

Daerah penyangga merupakan daerah yang berada pada batas kawasan hutan lindung dan merupakan kawasan yang berfungsi untuk melindungi hutan dari aktivitas manusia yang dapat mengganggu ekosistem hutan lindung dan taman nasional. Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo merupakan salah satu kawasan lindung yang secara administratif berada pada beberapa Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Beberapa permasalahan yang timbul pada kawasan desa penyangga Tahura Raden Soerjo berkaitan dengan pengelolaan kawasan pertanian dan sumberdaya hutan. Penelitian ini bertujuan untuk merancang alternatif strategi dan arahan pengembangan desa penyangga hutan di Tahura Raden Soerjo yang dapat mengurangi permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan. Penelitian ini menggunakan pendekatan partisipatif kepada stakeholder dan pakar terkait strategi pengembangan desa penyangga hutan yang berada di Desa Wiyurejo, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Penentuan sampel pada penelitian ini dilakukan secara purposive sampling, dan pengambilan data dilakukan sebagai input pada model MULTIPOL untuk merancang berbagai alternatif strategi pengembangan desa Wiyurejo sebagai daerah penyangga Tahura Raden Soerjo. Hasil penelitian ini mengajukan prioritas kebijakan/policy yang berfokus pada pertanian multifungsi dengan prioritas program kerja membangun kawasan agrowisata, perbaikan infrastruktur dan pengembangan sumberdaya manusia melalui pelatihan dan pendidikan terkait pertanian ramah lingkungan dan agrowisata berbasis edukasi pertanian dan lingkungan.

Kata kunci: Strategic forecasting, pembangunan berkelanjutan, pertanian berkelanjutan, pertanian multifungsi.

PERNYATAAN KUNCI

• Pengembangan desa penyangga kawasan hutan lindung sebaiknya memperhatikan prioritas program kegiatan yang mengakomodasi

dimensi ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan/ekologi masyarakat desa agar fungsi kawasan peyangga hutan lindung dapat terpenuhi.

(33)

• Pertanian multifungsi yang memadukan aktivitas pertanian komoditas tinggi berupa produk hortikultura yang telah bersertifikasi organik dan kopi dengan aktivitas non pertanian berupa pengembangan agrowisata homestay yang mengedepankan edukasi lingkungan merupakan strategi pengembangan desa penyangga hutan yang saat ini sesuai dengan kondisi Desa Wiyurejo. REKOMENDASI KEBIJAKAN

• Rencana program yang menjadi prioritas untuk mendukung strategi pengembangan pertanian multifungsi adalah pengembangan agrowisata homestay, pembangunan infrastruktur pendukung dan pengembangan SDM melalui diklat untuk pertanian dan agrowisata.

• Program pengelolaan sampah perlu dilakukan di tingkat desa, dimana Pemerintah Desa Wiyurejo mengkoordinasikan daur ulang (recycle) untuk sampah anorganik pada bank-bank sampah, dan pembuatan kompos untuk sampah organik yang dapat digunakan kembali oleh petani di Desa Wiyurejo.

• Pengembangan agrowisata homestay di Desa Wiyurejo dapat dimulai dengan membuka jaringan dengan Amazing Bumiaji dan Kaliwatu Learning Advanture Tourism yang telah

berpengalaman di dalam membina desa wisata dengan konsep homestay edukasi pertanian ramah lingkungan di Kota Batu.

I. PENDAHULUAN

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungan yaitu satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2015, hutan lindung merupakan kawasan hutan yang memiliki fungsi utama sebagai kawasan lindung untuk penyangga kehidupan yang terakit tata kelola sumber daya air, pengaturan erosi dan banjir serta mempertahankan kesuburan tanah. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya hutan lindung akan sangat terkait dengan kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung. Kawasan desa yang berada pada batas hutan lindung dikenal sebagai desa penyangga (Soemarwoto, 1985) yang berfungsi untuk menjaga aktivitas manusia di dalam pengelolaan sumber daya hutan agar tidak menyebabkan kerusakan ekosistem hutan lindung.

Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

Gambar

Tabel 2. Total aliran kas masuk pada pola agroforestri kopi di Desa Leksana  Pola
Tabel 3. Rekapitulasi cashflow pada sistem pengelolaan agroforestri pola-I, pola-II, dan pola-III  di Desa Leksana
Tabel 4. Hasil analisis sensitivitas usaha agroforestri kopi di Desa Leksana
Tabel 5. Perbandingan nilai tambah dan keuntungan produk olahan buah kopi robusta dan  arabika
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan masalah itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) langkah-langkah yang ditempuh dalam penerapan pembelajaran kooperatif teknik keliling kelompok dengan

Nilai ini masih berada di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 65. Untuk itu perlu upaya memberikan motivasi belajar siswa, misalnya dengan membimbing siswa

berpengaruh terhadap Kepuasan kerja karyawan sebesar 0,888 menunjukkan adanya hubungan yang sangat kuat, dimana Pengembangan karir yang semakin baik akan meningkatkan Kepuasan kerja

IPA sangat identik dengan pembelajaran praktik akan tetapi di SD Tegalrejo 02 kelas 3 dalam pembelajaran materi perubahan sifat benda akibat diletakkan diudara

cropping citra serta data pendukung yang berhasil digali dari tiap kelompok bintik matahari, seperti: panjang, lebar, jumlah bintik dalam kelompok, dan data

Merupakan bentuk struktur kabel yang terdiri dari dua buah tiang penumpu yang dihubungkan oleh kabel sehingga tercipta sebuah rentangan kabel yang disususn secara sejajar

Pamerdi Giri Wiloso, M.Si, Phd, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Satya Wacana Salatiga, sekaligus dosen pembimbing utama, yang dengan penuh apresiasi dan

1) KUR melalui lembaga linkage dengan pola channeling berdasarkan dengan lampiran Permenko No. 8 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat:.. Lembaga