• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUBLIKASI ILMIAH LAILY MAFTUHAH A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PUBLIKASI ILMIAH LAILY MAFTUHAH A"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

KELAS VII SEMESTER II SMP MUHAMMADIYAH 4 SAMBI

BOYOLALI TAHUN AJARAN 2015/2016 MENGGUNAKAN

MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DAN

DISCOVERY LEARNING

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Progam Studi Strata I pada Jurusan

Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Oleh:

LAILY MAFTUHAH

A 420 120 100

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016

(2)
(3)
(4)
(5)

5

PERBANDINGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VII

SEMESTER II SMP MUHAMMADIYAH 4 SAMBI BOYOLALI TAHUN AJARAN

2015/2016 MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING

DAN DISCOVERY LEARNING

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII semester II SMP Muhammadiyah 4 Sambi Boyolali tahun ajaran 2015/2016 menggunakan model pembelajaran problem solving dengan discovery learning. Kelas yang digunakan dalam penelitian yaitu kelas VIIA (problem solving) dan kelas VIIC (discovery learning). Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling. Analisis data uji statistik menggunakan uji independent sample t test. Hasil uji menggunakan independent sample t test pada = 5%, menunjukkan ada perbedaan. Hal ini didasarkan pada nilai asymp sig. 0,036 < 0.05 sehingga terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis yang signifikan menggunakan model pembelajaran problem solving dan discovery learning. Kelas discovery learning termasuk kategori sedang dengan nilai 0,37. Kelas problem solving berada dalam kategori rendah dengan nilai 0,17. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis yang signifikan pada kedua model pembelajaran yaitu pembelajaran menggunakan discovery learning adalah yang lebih baik.

Kata Kunci: berpikir kritis, discovery learning, dan problem solving.

Abstract

This research aims at comparing critical thinking ability for second semester of seventh grade students in SMP Muhammadiyah 4 Sambi Boyolali in 2015/2016 academic year by using problem solving and discovery learning model. Class of this research is VII A class (problem solving) and VII C class (discovery learning). The type of this research is quantitative approach. The technique of sampling is by using simple random sampling. The statistical data analysis are using independent sample t test. The result of using in independent sample t test = 5% shows that there is differentiation. It based on the value of asymp sig. 0,036 > 0.05 so that there is significantly differentiation with problem solving and discovery learnig. Discovery learning class include in the medium category with 0,37. Problem solving class is in the low category with 0,17. Based on the result of data analysis, the conclusion is there is differentiation significant critical thinking ability in two models of learning that is learning by using discovery learning is better.

(6)

6

1. PENDAHULUAN

Setiap manusia dituntut untuk berkembang menjadi individu yang lebih berkualitas di era globalisasi. Hal ini menimbulkan tantangan dalam pendidikan. Pendidikan penting dalam meningkatkan kualitas dan kesejahteraan individu. Pendidikan pada hakekatnya harus membantu menciptakan individu yang kritis dengan tingkat kreativitas dan ketrampilan berpikir yang tinggi (Rusman, 2014). Berpikir kritis adalah salah satu tahapan berpikir tingkat tinggi yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat (Purwanto, dkk. 2012). Berpikir kritis merupakan salah satu ketrampilan dimana terdapat rasa keingintahuan yang tinggi terhadap suatu hal, sehingga dapat melakukan pemahaman yang mendalam, melakukan evaluasi dan menarik kesimpulan dari hal tersebut.

Kemampuan berpikir kritis, pada dasarnya dimiliki oleh setiap peserta didik. Kemampuan tersebut dapat tidak berkembang apabila peserta didik tidak dibiasakan untuk berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan berpikir kritis peserta didik sebenarnya dapat dilatih sejak jenjang pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan tertinggi. Proses mendidik tersebut harus diajarkan dengan cara yang tidak jauh berbeda. Namun kondisi dunia pendidikan Indonesia sering mengalami perubahan. Perubahan tersebut berupa perubahan materi dan kurikulum yang mengakibatkan permasalahan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan peserta didik itu sendiri.

Kemampuan berpikir kritis dibutuhkan untuk melatih siswa menyelesaikan permasalahan yang tidak hanya berhubungan dengan pembelajaran di sekolah, namun juga permasalahan dalam kehidupan dunia nyata. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan Suyuti (2015) bahwa berpikir kritis penting karena memungkinkan siswa memanfaatkan potensi seseorang dalam melihat masalah, memecahkan masalah, menciptakan dan menyadari diri. Berpikir kritis juga meningkatkan kemampuan verbal dan analitik, meningkatkan kreativitas dan penting untuk refleksi diri. Berdasarkan hal tersebut, maka penting bagi peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir kritis. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis yaitu melalui pengajaran menggunakan beragam model atau metode pembelajaran yang dapat mendukung peserta didik untuk belajar secara aktif (Mahmud, 2015).

Model pembelajaran yang sesuai untuk peserta didik ialah model pembelajaran problem solving.

Problem solving merupakan salah satu model pembelajaran yang memfokuskan pada aspek pemecahan

masalah. Dalam hal ini, peserta didik harus memecahkan masalah yang telah disajikan oleh guru. Menurut Santyasa (2007) problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Problem solving, menurut beberapa ahli dapat mempengaruhi kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hal ini sebagaimana hasil penelitian Utami (2013) bahwa model pembelajaran problem solving berpengaruh signifikan terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa.

Model pembelajaran lain yang dijadikan alternatif melatih berpikir kritis adalah Discovery Learning. Discovery adalah model pembelajaran penemuan yang merangsang peserta didik untuk menemukan konsep sendiri. Discovery menuntut peserta didik untuk aktif pada kegiatan pembelajaran, sehingga mengembangkan pola pikir pengetahuan serta berpikir kritis. Hal tersebut didukung oleh penelitian Sya’afi (2014) bahwa Discovery Learning dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematika.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang perbedaan kemampuan berpikir kritis menggunakan dua model pembelajaran tersebut dengan judul “Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VII Semester II SMP Muhammadiyah 4 Sambi Boyolali Tahun Ajaran 2015/2016 Menggunakan Model Pembelajaran Problem Solving dan Discovery Learning”.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di SMP Muhammadiyah 4 Sambi Boyolali. Jenis penelitian adalah penelitian kuantitatif. Populasi penelitian yaitu seluruh siswa kelas VII SMP Muhammadiyah 4 Sambi Boyolali Tahun Ajaran 2015/2016. Sampel yang digunakan yaitu kelas VII A sebagai kelas dengan

(7)

7

model pembelajaran problem solving dan kelas VII C sebagai kelas yang dikenai model pembelajaran discovery learning. Teknik pengambilan sampel menggunakan simplerandom sampling.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, dan tes. Teknik analisis data termasuk statistic parametric yaitu menggunakan uji independent sample t test. Data independent sample t test yang digunakan berasal dari data gain setiap siswa. Sebelum melakukan analisis, dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan homogenitas. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov smirnov, sedangkan uji homogenitas menggunakan uji F dengan taraf signifikansi 5%.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa menggunakan model pembelajaran problem solving dan discovery learning. Berdasarkan hasil analisis data pre-test dan pos-test, diketahui bahwa pretest problem solving memiliki skor tertinggi 76 dan skor terendahnya 12. Nilai rata-rata 53,12, dan standar deviasai 18,97. Model pembelajaran discovery diketahui memperoleh nilai pre-test tertinggi dengan nilai 54, sedangkan nilai terendah adalah 20. Nilai rata-rata 40,72, dan standar deviasi 9, 833. Nilai post-testproblem solving tertinggi adalah 94, sementara nilai terendah 42. Nilai mean 63,75, danstandar deviasi 13,87. Nilai tertinggi pos-testdiscovery ialah 80 dan nilai terendah 42. Nilai rata-rata 63 dan standar deviasi 12,064. Berdasarkan hasil gain, model pembelajaran problem solving memperoleh nilai 0,17 (rendah), sementara model pembelajaran discovery learning memperoleh nilai 0,37 (sedang). Hal ini berarti model pembelajaran discovery learning memperoleh gain lebih tinggi dibanding dengan problem solving.

Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data pre-test dan post-test problem solving berdistribusi normal. Data pre-testdiscovery berdistribusi normal, namun data post-test menunjukkan tidak normal. Uji homogenitas menunjukkan bahwa data pre-test tidak homogen, namun data post-test homogen. Hasil uji normalitas gain menunjukkan bahwa data pada model pembelajran problem solving dan discovery lerning berdistribusi normal. Hasil uji normalitas dan homogenitas disajikan dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1 Rekapitulasi hasil uji normalitas dan homogenitas

Jenis Uji Kelompok

eksperimen Kemampuan berpikir kritis Signifik ansi Tetapan Signifikansi Keputusan Normalitas PBL Pre-test Post-test N-Gain 0,200 0,200 0,200 0,05 Normal Normal Normal Discovery Pre-test Post-test N-Gain 0,200 0,001 0,153 Normal Tidak normal Normal Homogenitas PBL dan Discovery Pre-test Post-test N-Gain 0,021 0,867 0,082 Tidak Homogen Homogen Homogen

Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan = 5% diperoleh nilai probabilitas (asym sig.) 0,036 < 0,05 sehingga Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan berpikir

kritis yang signifikan diantara model pembelajaran problem solving dan discovery learning. Berdasarkan hasil gain terlihat bahwa, kelas dengan model pembelajaran discovery learning memperoleh hasil yang lebih besar dibanding dengan problem solving (0,37 > 0,17). Kelas discovery learning termasuk dalam kategori sedang, sementara kelas problem solving berada dalam kategori rendah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen discovery lebih besar dibanding dengan problem solving. Hal tersebut terjadi karena pada model pembelajaran discovery, guru memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada siswa untuk melakukan proses penemuan, sehingga siswa lebih tertarik dalam proses pembelajaran.

Hasil dari penelitian ini, mengenai discovery learning lebih berpotensi meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII, tidak sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa problem solving lebih baik dari pada discovery learning dalam mempengaruhi kemampuan berpikir kritis

(8)

8

siswa kelas XI (Firdaus, 2015). Hal tersebut dikarenakan pada siswa kelas VII masih belum bisa memecahkan masalah yang telah diberikan guru, berbeda dengan siswa kelas XI yang sudah mampu menganalisis pemecahan masalah. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII lebih baik apabila menggunakan model pembelajaran discovery learning.

Kemampuan berpikir kritis terjadi karena terdapat aktivitas merumuskan, menganalisis, memecahkan, menyimpulkan, dan mengevaluasi masalah. Aktivitas tersebut mampu melatih kemampuan berpikir kritis. Perubahan berpikir kritis terlihat dari perbedaan nilai pre-test dan post-test dengan indikator berpikir kritis. Kedua kelas eksperimen mengalami perubahan nilai pre-test dan post-test dimana, rata-rata nilai post-test mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terjadi pada semua aspek di kedua kelas eksperimen, kecuali aspek mengatur strategi dan taktik kelas eksperimen discovery mengalami penurunan.

Tabel 4.2 Rekapitulasi presentase ketercapaian aspek berpikir kritis pada pre-test dan post-test.

No. Aspek berpikir kritis

Presentase Pre-test dan Post-test Masing-masing Model Pembelajaran

Problem Solving (PS) Discovery Learning (DL)

Pre-test (%) Post-test (%) Pre-test (%) Post-test (%)

1. Memberi penjelasan dasar 59 64 43 77

2. Membangun ketrampilan dasar

59 64 52 65

3. Menyimpulkan 35 60 45 58

4. Memberi penjelasan lanjut 48 60 24 75

5. Mengatur strategi dan taktik 67 68 57 42

Rata-rata presentase ketercapaian aspek berpikir kritis

54 63,2 42 63,4

Berdasarkan tabel 4.2 terlihat bahwa aspek memberi penjelasan dasar meningkat. Peningkatan ini terjadi karena ada aktivitas berupa penyelesaian masalah, menganalisis suatu permasalahan, serta bertanya dan menjawab pertanyaan. Meskipun sama-sama meningkat, namun hasil post-test discovery memperoleh presentase lebih besar dibanding PBL (77% > 64%). Hal tersebut dikarenakan terdapat aktivitas merumuskan, merancang, dan menyelesaikan sendiri penemuan yang dikemukakan, sehingga materi yang dipelajari bertahan lebih lama pada pikiran siswa sebab siswa dilibatkan dalam proses penemuan.

Aspek membangun ketrampilan dasar juga mengalami peningkatan. Peningkatan terjadi karena, terdapat kegiatan mengamati dan menggunakan hasil pengamatan dalam menyelesaikan tugas. Melalui kegiatan tersebut, siswa terlatih untuk membangun dan mengembangkan ketrampilan dasar. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa kelas discovery memperoleh presentase post-test lebih besar dibanding dengan problem solving (65% > 64%) (tabel 4.2). Namun, perbedaan tersebut hanya sebesar 1%, sehingga kemampuan membangun ketrampilan dasar antaraa problem solving dengan discovery tidak jauh berbeda.

Aspek menyimpulkan mengalami peningkatan di kedua kelas eksperimen. Hal ini karena siswa dilatih untuk menarik kesimpulan dari hasil penyelidikan dan beragam fakta yang ditemukan selama proses pembelajaran. Aspek menyimpulkan di kelas PBL memperoleh hasil post-test lebih tinggi dibading discovery. Namun, perbedaan presentase tersebut hanya berkisar 2% sehinga dikatakan bahwa kemampuan menyimpulkan antara problem solving dan discovery tidak memberi perbedaan yang signifikan. Aspek memberi penjelasan lanjut juga terlihat mengalami peningkatan. Peningkatan terjadi karena terdapat aktivitas mengidentifikasi pendapat serta mengevaluasi hasil pekerjaan siswa selama diskusi dan presentasi berlangsung. Meskipun meningkat, namun discovery terlihat memperoleh hasil post-test yang lebih tinggi dibanding problem solving (75% > 60%). Hal tersebut karena pada kelas eksperimen problem solving, siswa kurang mengembangkan pemikiran dalam memberi penjelasan selama

(9)

9

presentasi. Selain itu pada model pembelajaran discovery, siswa terlibat dalam proses penemuan sehingga siswa lebih mudah mengingat dan mentransfer pembelajaran.

Aspek mengatur strategi dan taktik kelas problem solving, terlihat mengalami peningkatan. Namun, pada kelas discovery, aspek tersebut mengalami penurunan (tabel 4.2). Aspek ini mengalami peningkatan di kelas PBL karena, siswa mampu menyelesaikan masalah yang diberikan. Selain itu, adanya aktivitas kerja kelompok membuat aspek tersebut berkembang baik. Aspek mengatur strategi dan taktik mengalami penurunan di kelas discovery karena siswa kesulitan mengungkapkan dan merumuskan permasalahan dalam pembelajaran. Hal ini terjadi sebab siswa kurang terbiasa dalam menjalankan pembelajaran discovery, sehingga hasil yang diperoleh tidak mengalami peningkatan.

Perubahan berpikir kritis yang terjadi pada kedua model pembelajaran tersebut karena kedua model pembelajaran yang digunakan merupakan model pembelajaran aktif yang mendorong siswa untuk bersikap mandiri dalam pembelajaran. Selain itu, juga terdapat serangkaian aktivitas pada kedua model pembelajaran yang merangsang berpikir kritis. Proses pembelajaran pada kedua model pembelajaran tersebut juga tidak lagi berpusat pada guru, melainkan lebih berpusat pada siswa. Guru memainkan peran aktif dalam memfasilitasi inquiry kolaboratif dan proses belajar siswa (Rusman, 2014).

4. SIMPULAN

Ada perbedaan yang signifikan antara model pembelajaran problem solving dengan discovery learning terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP Muhammadiyah 4 Sambi Boyolali tahun ajaran 2015/2016. Dimana, model pembelajaran discovery learning lebih baik dari pada problem solving dalam meningkatkan berpikir kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Firdaus, Dicky Fauzi. 2015. “Pengaruh Metode Discovery dan Metode Problem Solving Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis: Studi Kuasi Eksperimen pada Mata Pelajaran Ekonomi Kompetensi Dasar Menganalisis Kerjasama Ekonomi Internasional di Kelas XI SMA Negeri 1 Kuningan”.Thesis. Universitas Pendidikan Indonesia.

Mahmud, Abdurrahman (24 Juni 2015). Hakikat Berpikir Kritis dan Pentingnya bagi peserta didik. Kompasiana.

Tersedia:

http://www.kompasiana.com diakses tanggal 21 April 2016.

Purwanto, Candra Eko. Sunyoto Eko Nugroho, Wiyanto, dkk. 2012. “Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery pada Materi Pemantulan Cahaya untuk Meningkatkan Berpikir Kritis”. UNNES Physics Education Journal. Volume 1, No 1, Halaman 26-32.

Rusman. 2014. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Santyasa, I Wayan. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Makalah disajikan dalam pelatihan tentang Penelitian Tindakan Kelas bagi Guru-Guru SMP dan SMA di Nusa Penida, tanggal 29 Juni s.d 1 Juli 2007.

Suyuti, Liza. (17 Juni 2015). Berpikir Kritis dan Kreatif. Kompasiana. Tersedia:

http://www.kompasiana.com, diakses tanggal 12 Februari 2016.

Sya’afi, Noor. 2014. “Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning”. Skripsi. UMS.

Utami, Nur Wahyu. Keefektifan Model Pembelajaran Problem Solving Berbasis Gallery Walk Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segi Empat Siswa Kelas VII. Skripsi. UNNES.

Gambar

Tabel 4.1 Rekapitulasi hasil uji normalitas dan homogenitas
Tabel 4.2 Rekapitulasi presentase ketercapaian aspek berpikir kritis pada pre-test dan post-test

Referensi

Dokumen terkait

pengembangan sistem yang baru, dari sistem lama tersebut seorang analis harus mengetahui serta memahami secara keseluruhan dari sistem yang akan dirancang. Data-data yang

penyedia kepada PPK, dapat dibuktikan kerugian nyata akibat Peristiwa Kompensasi. Perpanjangan waktu penyelesaian pekerjaan hanya dapat diberikan jika berdasarkan data

Aplikasi panduan praktis obat herbal untuk penyakit dalam berbasis Android maupun merupakan pembangunan aplikasi yang memilki tujuan agar bisa menjadi fasilitas penunjang

Berkaitan dengan hal tersebut, penulis melakukan penelitian dan membahas hal-hal yang berkaitan dengan keadaan dunia Internasional yang setidaknya memberikan pengaruh

Bukankah lebih baik kemampuan mereka dimanfaatkan untuk mengembangkan produk-produk kriya Indonesia yang berdaya saing, bukan sebaliknya menciptakan produk-produk asing

Sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus namun pada PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody dalam darah juga tidak

„Τίνας οὖν καλῶ πεπαιδευμένους , ἐπειδὴ τὰς τέχνας καὶ τὰς ἐπιστήμας καὶ τὰς δυνάμεις ἀποδοκιμάζω; Πρῶτον μὲν τοὺς καλῶς χρωμένους τοῖς πράγμασι

Individu direbut sedemikian rupa sampai pada taraf setiap orang kaget—bahwa sesungguhnya banyak bagian dari dirinya yang justru bisa ditemu- kan pada orang-orang