• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komitmen Organisasi dan Organizational Citizenship Behavior pada Karyawan Call Centre di PT. X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Komitmen Organisasi dan Organizational Citizenship Behavior pada Karyawan Call Centre di PT. X"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Komitmen Organisasi dan Organizational Citizenship Behavior

pada Karyawan Call Centre di PT. X

Natalia Teresia & P. Tommy Y. S. Suyasa

Universitas Tarumanagara

The aim of this research is to find a relationship between organizational commitment and Organizational Citizenship Behavior (OCB) on Call Centre employee. Organizational commitment is degree which is the employee identify and internalize the organizational values, which makes the employee wants to stay in organization. OCB is employee’s voluntary behavior, beyond job’s description, and contribute toward organizational efectivity. This research is using Spearman-rank order coefficients of correlations formula. The finding reveals that there is a relationship between organizational commitment and OCB rs (86) = 0,441, p < 0,01. This finding shows that there is positive

and significant relationship between organizational commitment and OCB.

Keywords: organizational commitment, OCB

Suatu organisasi membutuhkan karya-wan yang potensial dan produktif agar dapat berfungsi (Cascio, 1998). Organisasi yang berfungsi efektif membutuhkan karya-wan yang tidak hanya bekerja sesuai dengan tugasnya, tetapi juga melakukan hal-hal di luar deskripsi pekerjaan. Hal ini hanya dapat tercapai apabila organisasi da-pat mengembangkan Organizational Citi-zenship Behavior (OCB) (Diefendorff, Brown, Kamin, & Lord, 2002).

Podsakoff dan MacKenzie (dikutip oleh Tepper, Hoobler, Duffy, & Ensley, 2004) mengemukakan bahwa OCB meru-pakan konsep yang penting karena

mem-berikan keuntungan pada organisasi. OCB berkontribusi langsung pada performa orga-nisasi, yaitu dengan membuat organisasi menjadi tempat yang menarik untuk bekerja dengan rekan kerja. Hal ini karena setiap karyawan memperlakukan rekan kerjanya dengan ramah dan penuh pertimbangan.

Pada suatu penelitian, Podsakoff dkk (dikutip oleh Truckenbrodt, 2000) menge-mukakan bahwa terdapat korelasi positif antara OCB dan produktivitas organisasi. OCB meningkatkan keefektifan organisasi melalui meningkatnya performa kerja kar-yawan dari segi kuantitas maupun kualitas. Keefektifan organisasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan organisasi memperoleh respon altruistik dari karyawannya. Karya-wan yang saling membantu akan membuat pekerjaan menjadi lebih efisien dan tingkat moral menjadi lebih baik dalam organisasi (Cherrington, 1994).

Natalia Teresia adalah alumni Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Putu Tommy Y. S. Suyasa adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Kores-pondensi artikel ini dialamatkan ke e-mail: fpsi.untar@gmail.com

(2)

Podsakoff dan MacKenzie (dikutip oleh Riggio, 2000) mengemukakan alasan mengapa OCB berhubungan dengan efekti-vitas organisasi. Karyawan lama membantu karyawan baru dalam masa orientasi dan proses sosialisasi, sehingga lebih cepat menjadi karyawan produktif. Karyawan yang saling membantu hanya membutuhkan sedikit pengawasan, sehingga membuat manajer dapat berkonsentrasi pada tugas yang lebih penting. Karyawan yang bersi-kap positif dapat saling bekerja sama dan menghindari konflik dengan karyawan lain (Riggio, 2000).

Selain hal-hal di atas, karyawan secara bebas dan sukarela membina hubungan dengan rekan kerja dan meningkatkan komunikasi organisasi. OCB mengarahkan ke lingkungan yang positif, sehingga mem-bantu proses perekrutan dan membuat kar-yawan dengan kualifikasi baik ingin tetap berada dalam organisasi. Karyawan akan membantu pekerjaan karyawan lain yang absen atau mendapat tambahan tugas. Kar-yawan juga bersedia mempelajari teknologi atau sistem kerja yang baru (Riggio, 2000).

OCB dipengaruhi oleh beberapa fak-tor, di antaranya sikap kerja positif, cyni-cism, nilai-nilai di tempat kerja, karakte-ristik pekerjaan, jabatan pekerjaan, dan lama bekerja (Dyne, Graham, & Dienesch, 1994). Granovetter (dikutip oleh Dyne et al., 1994) menyatakan bahwa karyawan yang bekerja untuk jangka waktu yang panjang lebih memiliki hubungan dekat dan ikatan kuat dengan organisasi. Karyawan juga memiliki kepercayaan diri dan kompe-tensi dalam kinerjanya, serta menunjukkan perasaan dan perilaku positif terhadap orga-nisasi. Apabila lama bekerja berdasarkan pilihan positif karyawan, maka hal ini akan meningkatkan ikatan afektif dengan orga-nisasi. Karyawan tersebut memiliki

affec-tive commitment yang kuat dan menye-babkan OCB.

Karyawan yang telah lama bekerja pada suatu organisasi memiliki kelekatan hubungan dan ikatan yang kuat dengan organisasi (Dyne et al., 1994). Keterikatan karyawan terhadap organisasi tempatnya bekerja dikenal dengan istilah komitmen organisasi (Greenberg, 1996). Mowday dkk (dikutip oleh Dyne et al., 1994) menge-mukakan apabila lama bekerja didasarkan pada pilihan karyawan itu sendiri, hal ini akan meningkatkan ikatan afektif terhadap organisasi. Ikatan afektif tersebut dinama-kan affective commitment. Karyawan yang memiliki affective commitment yang tinggi dipastikan memiliki motivasi kerja yang tinggi dan berperilaku OCB (McShane & Glinow, 2003).

Pernyataan tersebut didukung pula oleh Greenberg dan Baron (2000). Semakin tinggi komitmen karyawan terhadap organi-sasi, semakin karyawan tersebut ingin ber-perilaku melebihi tuntutan tugas apabila dibutuhkan. Hal ini mengarahkan karyawan untuk terlibat dalam berbagai bentuk OCB.

Karyawan dengan komitmen organi-sasi yang tinggi memiliki perbedaan sikap dibandingkan yang berkomitmen rendah. Komitmen organisasi yang tinggi mengha-silkan tingginya performa kerja, rendahnya tingkat absen, dan rendahnya tingkat ke-luar-masuk (turnover) karyawan. Karyawan yang berkomitmen tinggi akan memiliki produktivitas tinggi (Luthans, 2002). Ko-mitmen organisasi mendorong karyawan untuk mempertahankan pekerjaannya dan menunjukkan hasil yang seharusnya (Greenberg, 1996).

Sebaliknya, komitmen karyawan yang rendah memiliki dampak negatif. Suatu organisasi tidak akan mampu melakukan perubahan dengan cepat dan menampilkan

(3)

kinerja yang superior jika tidak berhasil memenangkan komitmen karyawannya. Komitmen karyawan dapat dikembangkan dengan organisasi merekrut dan menyeleksi calon karyawan yang memiliki kecocokan nilai dengan nilai organisasi, organisasi memperlakukan karyawannya secara adil dan memberikan kepuasan bagi karyawan,

job enrichment (Greenberg, 1996), mem-perjelas dan mensosialisasikan nilai-nilai dasar, sikap, maupun tujuan organisasi (Sweeney & McFarlin, 2002), menciptakan keselamatan dan keamanan kerja bagi karyawan (McShane & Glinow, 2003), dan menciptakan pandangan sebagai suatu komunitas (Luthans, 2002).

Setiap organisasi akan mengalami kesulitan jika komitmen karyawannya rendah. Karyawan dengan komitmen yang rendah tidak akan memberikan yang terbaik kepada organisasi dan dengan mudahnya keluar dari organisasi (Riady, 2003). Selain itu, karyawan dengan komitmen organisasi yang rendah dapat menciptakan suasana tegang dan memicu konflik (Smither, 1998).

Organizational Citizenship Behavior

(OCB)

Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku sukarela, perilaku melebihi tuntutan tugas, yang berkontribusi terhadap kesuksesan organisasi (Sweeney & McFarlin, 2002). OCB ditandai dengan spontanitas, dilakukan secara sukarela, ber-dampak konstruktif, dan tidak mengha-rapkan pamrih (Newstrom & Davis, 2002).

Skarlicki dan Latham (1996) menge-mukakan bahwa “OCB mengacu pada kon-tribusi yang berkaitan dengan organisasi, tetapi tidak secara eksplisit diwajibkan dan

juga tidak diberi penghargaan oleh organi-sasi, walaupun berkontribusi terhadap efek-tivitas fungsi organisasi”. Tidak adanya penghargaan dari organisasi juga didukung oleh definisi yang dikemukakan DuBrin. DuBrin (2000) mengemukakan bahwa OCB adalah perilaku di mana karyawan bekerja untuk kebaikan organisasi, walaupun tanpa penghargaan khusus yang dijanjikan.

Berdasarkan definisi para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa OCB adalah peri-laku karyawan yang diperi-lakukan secara suka-rela dan melebihi tuntutan pekerjaannya. Perilaku tersebut dilakukan tanpa mengha-rapkan pamrih dari organisasi dan berkon-tribusi terhadap efektivitas organisasi. Ber-dasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga komponen utama pada OCB. Pertama, peri-laku melebihi tuntutan formal atau des-kripsi pekerjaan resmi. Kedua, perilaku dilakukan dengan sukarela (terjadi secara alami). Ketiga, perilaku tidak perlu men-dapat penghargaan resmi dari organisasi (Greenberg & Baron, 2000).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi OCB

Menurut Dyne, Graham, dan Dienesch (1994), OCB dipengaruhi oleh enam faktor. Keenam faktor tersebut adalah sikap kerja positif, cynicism, nilai-nilai di tempat kerja, karakteristik pekerjaan, jabatan pekerjaan, dan lama bekerja.

Faktor pertama adalah sikap kerja positif. Sikap kerja positif dapat berupa rendahnya absensi dan tingkat turnover

karyawan dalam organisasi. Sikap kerja positif tersebut dimiliki karyawan karena karyawan merasa puas dengan pekerja-annya (Greenberg, 1996). Kepuasan kerja menyebabkan karyawan ingin bekerja sama dan berkontribusi terhadap organisasi.

(4)

Kar-yawan yang merasa puas bekerja akan memberikan balasan kepada organisasi berupa kelekatan dengan organisasi dan berperilaku sebagai anggota organisasi yang baik (Dyne et al., 1994).

Faktor kedua adalah cynicism. Karya-wan yang sinis tidak mempercayai motif orang lain dan tidak melibatkan diri dalam suatu hubungan yang terbuka. Karyawan yang sinis akan menilai hubungan di tempat kerja berdasarkan keuntungan pribadi yang didapatnya. Akibatnya, karyawan tersebut akan seminimal mungkin melakukan OCB (Dyne et al., 1994).

Faktor ketiga adalah nilai-nilai di tem-pat kerja. Nilai-nilai yang sesuai dengan norma sosial dan tidak kontroversial akan mudah diserap dan mengarah pada hu-bungan dekat, afek positif, dan kelekatan. Argyris (dikutip oleh Dyne et al., 1994) menjabarkan hubungan saling mengun-tungkan antara karyawan dan organisasi ketika nilai-nilai organisasi menghargai karyawan dan kebutuhannya. Anggota organisasi yang mempersepsi nilai-nilai sosial merupakan bagian penting dari budaya organisasi akan merasa terikat dengan organisasi dan berperilaku OCB. Bentuk OCB tersebut adalah civic virtue, yaitu karyawan akan berpartisipasi terhadap kelangsungan kinerja organisasi. Misalnya, karyawan mengetahui bahwa organisasi menghargai nilai kualitas produk dan pela-yanan, maka karyawan akan berkontribusi dalam upaya peningkatan kualitas tersebut.

Faktor keempat adalah karakteristik pekerjaan. Karakteristik pekerjaan yang menimbulkan motivasi (seperti pekerjaan yang bermakna, otonomi, & umpan balik) memperbesar kemungkinan timbulnya mo-tivasi internal. Salancik (dikutip oleh Dyne et al., 1994) mengemukakan bahwa karak-teristik khusus pekerjaan tersebut dapat

meningkatkan rasa tanggung-jawab dan kelekatan dengan organisasi. Perilaku pro-aktif seperti OCB disebabkan karena meningkatnya rasa tanggung-jawab dan kelekatan yang disebabkan karakteristik pekerjaan tersebut.

Faktor kelima adalah jabatan karya-wan. Karyawan dengan jabatan tinggi umumnya memiliki komitmen organisasi lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan dengan jabatan rendah. Hrebiniak (dikutip oleh Dyne et. al., 1994) mengemukakan bahwa jabatan yang tinggi diasosiasikan dengan otonomi, peluang berinteraksi, dan pengambilan keputusan, yang meningkat-kan kelekatan dengan organisasi. Karyawan dengan jabatan tinggi akan merasakan tekanan sosial untuk memiliki kelekatan dengan organisasi. Rekan kerjanya akan berharap agar karyawan tersebut dapat bersikap melebihi tuntutan pekerjaannya (Dyne et al., 1994).

Faktor keenam adalah lama bekerja. Granovetter (dikutip oleh Dyne et al., 1994) menyatakan bahwa karyawan yang bekerja untuk jangka waktu yang panjang lebih memiliki hubungan dekat dan ikatan kuat dengan organisasi. Karyawan juga memiliki kepercayaan diri dan kompetensi dalam kinerjanya, serta menunjukkan perasaan dan perilaku positif terhadap organisasi. Apabila lama bekerja berdasarkan pilihan positif karyawan, maka hal ini akan meningkatkan ikatan afektif dengan orga-nisasi. Karyawan tersebut memiliki affec-tive commitment yang kuat dan menye-babkan OCB.

Lima Bentuk OCB

OCB memiliki bentuk perilaku berma-cam-macam, namun OCB digolongkan

(5)

dalam lima kategori dasar, yaitu: altruism, conscientiousness, civic virtue, sportsman-ship, dan courtesy (Luthans, 2002).

Bentuk yang pertama adalah altruism, yaitu perilaku yang merefleksikan kepedu-lian yang tidak egois terhadap kesejah-teraan orang lain (Baron & Byrne, 2004).

Altruism adalah perilaku membantu rekan kerja individual dalam tugasnya (Yen & Niehoff, 2002). Perilaku altruism meliputi membantu rekan kerja yang mendapat tugas tambahan dan membantu karyawan baru beradaptasi walaupun tidak disuruh (Aldag, 1997).

Bentuk OCB yang kedua adalah

conscientiousness. Conscientiousness ada-lah perilaku melebihi tuntutan tugas dan dilakukan dengan baik. Hal ini meliputi taat dengan kebijakan organisasi dan memper-tahankan jadwal kerja yang teratur. Bentuk perilakunya antara lain tiba lebih awal sebelum pergantian shift, tepat waktu setiap hari, datang lebih awal apabila dibutuhkan. Perilaku lainnya adalah tidak membuang waktu dengan pembicaraan pribadi di telepon dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan (Aldag, 1997).

Civic virtue adalah bentuk OCB yang ketiga. Civic virtue adalah perilaku berpar-tisipasi dan menunjukkan kepedulian ter-hadap kelangsungan hidup organisasi (Greenberg & Baron, 2000). Karyawan menunjukkan keterlibatannya dalam orga-nisasi (Aldag, 1997). Bentuk perilakunya meliputi berpartisipasi dalam pertemuan atau rapat, mengemukakan ide-ide yang meningkatkan pelayanan kepada pelanggan (Yen & Niehoff, 2002), aktif dalam setiap acara organisasi (seperti klub & komite) (Greenberg & Baron, 2000).

Bentuk OCB yang keempat adalah

sportsmanship, yaitu perilaku mentolerir

keadaan yang kurang ideal tanpa mengeluh, menahan diri agar tidak mengeluh (Aldag, 1997). Bentuk perilakunya antara lain tidak menyalahkan organisasi, tidak mengeluh, tidak membesar-besarkan masalah (Aldag, 1997).

Bentuk OCB yang kelima adalah

courtesy, yaitu perilaku bersikap sopan dan sesuai aturan, sehingga mencegah timbul-nya konflik interpersonal (Greenberg & Baron, 2000). Karyawan mematuhi pera-turan dan prosedur organisasi (Kumar, 2005). Bentuk perilakunya antara lain men-jadi seseorang yang pengertian dan ber-empati, bahkan ketika ia diprovokasi (Greenberg & Baron, 2000).

Pengaruh OCB terhadap Efektivitas

Organisasi

OCB memberikan dampak yang menyenangkan bagi sikap karyawan. Kar-yawan merasa organisasi sebagai tempat setiap karyawan diperlakukan dengan kera-mahan dan saling menghargai. Hal tersebut membuat organisasi menjadi tempat yang menyenangkan untuk bekerja dan mendo-rong kesetiaan serta komitmen terhadap organisasi (Tepper et al., 2004).

OCB meningkatkan hubungan sosial dan kerjasama dengan organisasi, tetapi melebihi tuntutan tugas formal. Karyawan dapat bekerja sama dengan rekan kerja dan berbagi sumber daya yang ada. Karyawan memaafkan kesalahan karyawan lain dan membantu rekan kerja mengatasi masa-lahnya (Greenberg, 1996).

Podsakoff dan MacKenzie (dikutip oleh Riggio, 2000) mengemukakan sejum-lah alasan mengenai pengaruh OCB terha-dap efektivitas organisasi. Karyawan senior membantu karyawan baru lebih cepat

(6)

melewati proses orientasi dan sosialisasi, serta lebih cepat menjadi karyawan yang lebih produktif. Karyawan yang saling ber-temu di luar waktu kerja menciptakan komunikasi yang lancar di antara karyawan. Karyawan saling membantu tugas rekannya apabila absen atau menghadapi tugas yang berlimpah. Karyawan yang saling mem-bantu hanya membutuhkan sedikit penga-wasan manajer, membuat manajer dapat berkonsentrasi pada tugas penting lainnya.

Alasan lainnya adalah OCB mencip-takan lingkungan kerja yang positif dan membantu dalam proses perekrutan dan mempertahankan karyawan yang berpo-tensi. Karyawan yang memiliki sikap posi-tif dapat lebih kooperaposi-tif dan menghindari konflik dengan karyawan lainnya. Karyawan ingin menerima tanggung jawab baru, mempelajari teknologi atau sistem kerja baru (Riggio, 2000).

Komitmen Organisasi

Hulin (1998) mengartikan komitmen organisasi sebagai: ”Organizational com-mitment refers to an attitude-like attraction to an organization. The attitude object is the overall organization rather than spe-cific work role characteristics. The utility or value associated with role or organi-zational membership is contingent on remaining in an organization; it is not contingent on any specific work role behaviors other than not quitting or retiring”.

Berdasarkan pengertian di atas, komit-men organisasi adalah ketertarikan kepada organisasi, menujukan sikap kepada organi-sasi sebagai keseluruhan. Karyawan ingin mempertahankan keanggotaannya dan tetap berada dalam organisasi.

Komitmen organisasi adalah derajat di mana karyawan mengidentifikasi dengan organisasi dan ingin terus berpartisipasi secara aktif dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasi merefleksikan keya-kinan karyawan terhadap misi dan tujuan organisasi, keinginan untuk bekerja keras, dan terus bekerja di organisasi tersebut (Newstrom & Davis, 2002). Komitmen organisasi muncul ketika karyawan secara kuat mengidentifikasi dengan organisasi, menyetujui sistem nilai dan tujuan organi-sasi, dan ingin berusaha keras untuk kepen-tingan organisasi (McKeena, 2000).

Definisi komitmen organisasi beri-kutnya dikemukakan oleh Mowday, Porter, dan Steers (dikutip oleh McKeena, 2000). Komitmen adalah kekuatan relatif identi-fikasi individu dan keterlibatannya dalam suatu organisasi. Keterlibatan dapat terlihat dalam keinginan individu untuk melaksa-nakan tugas melebihi tuntutan kerjanya.

Beberapa definisi komitmen organisasi dari beberapa ahli di atas mempunyai penekanan yang hampir sama, yaitu proses karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Selain itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi. Komitmen organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan organisasi atau organisasi secara aktif. Karyawan yang berkomitmen tinggi ber-keinginan untuk lebih memberikan tenaga dan tanggung jawab dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja (Kuntjoro, 2002).

Mowday, Porter, dan Steers (dikutip oleh Schultz & Schultz, 1998) menyatakan bahwa komitmen organisasi memiliki tiga komponen sebagai berikut. Pertama, peneri-maan nilai-nilai dan tujuan organisasi.

(7)

Kedua, keinginan untuk berusaha keras bagi organisasi. Dan ketiga, memiliki hasrat kuat untuk tetap berada dalam organisasi.

O’Reilly dan Chatman (dikutip oleh Hulin, 1998) mengemukakan terdapat tiga hal yang mendasari komitmen seseorang terhadap organisasi, yaitu: pertukaran, iden-tifikasi, dan internalisasi. Komitmen berda-sarkan hubungan pertukaran muncul ketika karyawan berharap mendapatkan penghar-gaan untuk perilaku tertentu yang dilaku-kannya. Komitmen berdasarkan identifikasi muncul ketika seseorang merasakan ke-banggaan khusus menjadi anggota organi-sasi. Komitmen berdasarkan internalisasi menunjukkan kesesuaian nilai-nilai organi-sasi dengan nilai-nilai seseorang (Hulin, 1998).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan umum mengenai komitmen organisasi. Komitmen organisasi adalah derajat di mana karyawan identifikasi dengan organisasi dan meng-internalisasi nilai-nilai organisasi, sehingga karyawan ingin tetap bertahan dalam organisasi. Karyawan memiliki keinginan dan bersedia bekerja keras demi kesuksesan organisasi, serta mempedulikan kelang-sungan hidup organisasi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komit-men Organisasi

Luthans (2002) mengemukakan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh fak-tor pribadi karyawan dan fakfak-tor organisasi. Faktor pribadi karyawan meliputi jenis ke-lamin dan tingkat pendidikan (Cherrington, 1994).

Karyawan perempuan memiliki komit-men yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan laki-laki. Biasanya perempuan

tidak menjadikan karir sebagai prioritas utama. Perempuan lebih ingin mengapli-kasikan ilmu yang didapat untuk menguji dirinya sendiri. Perempuan mengetahui bahwa dirinya tidak akan seumur hidup berkarir. Hal ini membuat karyawan perem-puan memberikan segenap kemamperem-puan kepada organisasi pada saat karyawan perempuan mampu bekerja dan masih memiliki kesempatan untuk bekerja (Schultz & Schultz, 1998).

Karyawan berpendidikan rendah me-miliki komitmen yang lebih tinggi diban-dingkan dengan karyawan berpendidikan tinggi. Tingkat pendidikan tinggi membuat karyawan memiliki lebih banyak pilihan pekerjaan, sehingga kelekatan dengan orga-nisasi berkurang. Hal tersebut menyebab-kan komitmen organisasi yang rendah pada karyawan berpendidikan tinggi (Iverson & Buttigieg, 1999).

Usia dan lama bekerja juga mem-pengaruhi komitmen organisasi (Luthans, 2002). Karyawan dengan usia tua lebih berkomitmen dibandingkan dengan karya-wan usia muda. Tingkat usia membatasi keinginan seseorang untuk berpindah-pin-dah pekerjaan. Lama bekerja mempenga-ruhi komitmen organisasi karena karyawan yang telah lama bekerja akan merasa investasi yang telah ada (berupa waktu, usaha, & jabatan) tidak dapat tergantikan apabila karyawan meninggalkan organisasi (Martini & Rostiana, 2003).

Faktor organisasi yang mempengaruhi komitmen organisasi ada tiga. Pertama, karakteristik kerja yang berkaitan dengan peran karyawan dalam organisasi. Komit-men organisasi cenderung lebih tinggi pada karyawan dengan kejelasan peran. Ketidak-jelasan peran yang diberikan oleh organi-sasi kepada karyawannya akan mengaki-batkan timbulnya konflik peran, yang pada

(8)

akhirnya akan mempengaruhi komitmen karyawan (Cherrington, 1994).

Kedua, karakteristik struktur yang dipengaruhi oleh besarnya organisasi, ben-tuk organisasi (sentralisasi atau desentra-lisasi). Desentralisasi akan menyebabkan komitmen yang tinggi, sedangkan sentra-lisasi menyebabkan komitmen rendah. Desentralisasi membuat setiap karyawan dapat berpartisipasi dalam proses pengam-bilan keputusan. Hal ini berkontribusi pada kepuasan karyawan karena karyawan me-rasa dirinya dianggap penting oleh orga-nisasi (Kuntjoro, 2002).

Ketiga, pengalaman kerja yang dimi-liki oleh karyawan. Komitmen organisasi cenderung lebih tinggi pada karyawan yang memiliki pengalaman kerja menyenangkan, seperti sikap positif dari rekan kerja, me-rasa organisasi dapat memenuhi keingi-nannya, dan merasa dirinya penting bagi organisasi (Cherrington, 1994).

Tiga Bentuk Komitmen Organisasi

Meyer dan Allen mengelompokkan tiga bentuk komitmen organisasi, yaitu

continuance commitment, affective commit-ment, dan normative commitment (Meyer, Allen, & Smith, 1993).

Continuance commitment adalah ke-kuatan hasrat karyawan untuk terus bekerja pada organisasi karena membutuhkan pe-kerjaan tersebut dan tidak dapat berbuat hal lainnya (Greenberg & Baron, 2000). Karyawan terikat dengan organisasi hanya karena faktor seperti rencana pensiun dan senioritas, yang tidak dapat berlanjut apabila berhenti bekerja. Karyawan tidak memiliki identifikasi pribadi dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi (Schultz & Schultz, 1998).

Semakin lama karyawan berada dalam organisasi, karyawan akan semakin banyak kehilangan apabila meninggalkan organi-sasi. Misalnya, kehilangan rencana pensiun. Banyak karyawan tetap bertahan pada pe-kerjaannya karena tidak mau kehilangan hal tersebut. Karyawan seperti inilah yang memiliki tingkat continuance commitment

yang tinggi (Greenberg & Baron, 2000). Bentuk komitmen yang kedua adalah

affective commitment. Affective commitment

adalah kekuatan hasrat karyawan untuk bekerja pada organisasi karena setuju dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi (Greenberg & Baron, 2000). Affective com-mitment mengacu pada kelekatan emosional dan identifikasi karyawan dengan organi-sasi (Sweeney & McFarlin, 2002).

Karyawan dengan affective commit-ment yang tinggi ingin tetap berada dalam organisasi karena mendukung tujuan orga-nisasi dan ingin membantu misi tersebut (Greenberg & Baron, 2000). Karyawan tetap berada dalam organisasi karena ke-inginannya sendiri (Schultz & Schultz, 1998). Karyawan mengidentifikasi diri pa-da organisasi, menginternalisasi nilai pa-dan sikap organisasi, dan tunduk dengan tuntu-tan organisasi (Schultz & Schultz, 1998).

Penelitian yang dilakukan Shore dan Wayne (dikutip oleh Smither, 1998) dalam membandingkan continuance commitment

dengan affective commitment memperoleh hasil sebagai berikut. Karyawan dengan

affective commitment yang tinggi memiliki sikap yang lebih baik dibandingkan dengan karyawan dengan continuance commitment

yang tinggi. Hal ini disebabkan ketika karyawan memiliki ikatan emosional dengan organisasi, karyawan lebih mungkin melakukan perilaku positif yang bukan merupakan bagian dari deskripsi peker-jaannya.

(9)

Bentuk komitmen yang ketiga adalah

normative commitment. Normative commit-ment adalah kekuatan hasrat karyawan untuk terus bekerja pada organisasi karena merasa wajib untuk tetap tinggal dalam organisasi. Hal ini karena tekanan dari orang lain (Greenberg & Baron, 2000).

Normative commitment menyangkut merasa berkewajiban untuk tetap bekerja pada pemimpinnya. Perasaan ini timbul karena telah mendapat keuntungan dari pemimpin, seperti pembayaran kuliah atau pelatihan keterampilan khusus (Schultz & Schultz, 1998).

Karyawan dengan normative commit-ment yang tinggi tetap berada dalam organi-sasi karena merasa sudah seharusnya mela-kukan hal tersebut (Schultz & Schultz, 1998). Karyawan dengan normative com-mitment yang tinggi sangat mempedulikan apa yang dipikirkan oleh orang lain apabila meninggalkan organisasi. Karyawan tidak ingin mengecewakan pemimpinnya dan kuatir rekan kerja akan berpikir kurang baik dengan pengunduran dirinya (Greenberg & Baron, 2000).

OCB dan Komitmen Organisasi

Organizational citizenship behavior (OCB) adalah perilaku sukarela, perilaku melebihi tuntutan tugas, yang berkontribusi terhadap kesuksesan organisasi (Sweeney & McFarlin, 2002). OCB ditandai dengan spontanitas, dilakukan dengan sukarela, berdampak konstruktif, dan tidak mengha-rapkan pamrih (Newstrom & Davis, 2002). OCB menyebabkan organisasi berfungsi lebih efektif, seperti peningkatan jumlah dan kualitas produk (DuBrin, 2000). Salah satu cara untuk meningkatkan perilaku OCB adalah dengan meningkatkan

komit-men karyawan terhadap organisasi, khu-susnya affective commitment. Karyawan dengan affective commitment yang tinggi memiliki motivasi kerja yang lebih tinggi dan berperilaku OCB (McShane & Glinow, 2003). Semakin karyawan berkomitmen (affective) terhadap organisasi, semakin karyawan bersikap melebihi tuntutan tugas apabila dibutuhkan. Hal ini membawa kar-yawan terlibat dalam berbagai bentuk OCB (Greenberg & Baron, 2000).

Metode

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah karyawan Call Centre PT. X, yang terletak di Jakarta. Pemilihan karyawan Call Centre

karena Call Centre mengutamakan kualitas pelayanan kepada pelanggannya. Pelayanan yang baik memberikan kepuasan pada pelanggan. Podsakoff dan MacKenzie (dikutip oleh Stockhult, 2005) mengemu-kakan bahwa call centre membutuhkan karyawan yang dapat melakukan hal-hal melebihi tuntutan pekerjaan formalnya (OCB). Ziklik (2004) mengemukakan lima hal yang dilakukan oleh karyawan Call Centre, yaitu: mengantisipasi permintaan pelanggan, memberikan penjelasan menge-nai prosedur, memberi pengetahuan kepada pelanggan, memberikan dukungan emosi-onal, dan personalisasi informasi.

Pentingnya OCB pada karyawan Call Centre didukung oleh Stuart. Stuart (dikutip oleh Yen & Niehoff, 2002) mengemukakan altruism pada karyawan Call Centre. Altru-ism mendorong karyawan untuk saling membantu menambah pengetahuan, se-hingga dapat membantu pelanggan menye-lesaikan masalah dengan lebih cepat.

(10)

Penyelesaian masalah dengan lebih cepat memberikan kepuasan bagi pelanggan. Hal ini meningkatkan kesuksesan organisasi.

Gambaran umum mengenai partisipan penelitian ini dapat dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, lama bekerja, bagian kerja, dan pendapatan. Peneliti membatasi pene-litian hanya di PT. X untuk efisiensi dan efektivitas penelitian. Teknik yang digu-nakan untuk mengambil sampel dalam penelitian ini adalah simple random samp-ling, yang merupakan salah satu bagian dari

probability sampling. Populasi dalam pene-litian ini berjumlah 119 orang. Peneliti menentukan jumlah sampel berdasarkan pada tabel Krejcie R. V. dan Morgan D. W. (dikutip oleh Sarantakos, 1993). Berdasar-kan tabel tersebut, maka jumlah sampel yang diperoleh sebesar 86 orang dari total populasi.

Berdasarkan karakteristik, usia mini-mum partisipan penelitian adalah 20 tahun dan usia maksimumnya adalah 40 tahun (M

= 26,65 tahun; SD = 2,781). Partisipan penelitian laki-laki berjumlah 44 orang (51,2%) dan partisipan penelitian perem-puan berjumlah 42 orang (48,8%). Partisi-pan yang bekerja di bagian inbound ber-jumlah 65 orang (75,6%), partisipan yang bekerja di bagian outbound berjumlah 21 orang (24,4%). Pendapatan minimum parti-sipan sebesar Rp 1.000.000,- dan penda-patan maksimum sebesar Rp 3.000.000,- (M = Rp 1.627.419,40; SD = Rp 505.760,053).

Pengukuran

Peneliti menggunakan dua buah alat ukur di dalam penelitian ini. Alat ukur pertama bertujuan untuk mengukur organ-izational citizenship behavior, berisi 56

butir pernyataan yang terdiri dari 28 butir pernyataan positif dan 28 butir pernyataan negatif. Alat ukur ke dua bertujuan untuk mengukur komitmen organisasi, berisi 36 butir pernyataan yang terdiri dari 22 butir pernyataan positif dan 14 butir pernyataan negatif.

Kedua alat ukur OCB dan komitmen disusun berdasarkan skala Likert yang mengacu pada empat pilihan jawaban. Pada butir pernyataan positif, penilaiannya adalah: Sangat Setuju (SS) bernilai 4, Setuju (S) bernilai 3, Tidak Setuju (TS) bernilai 2, Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 1. Sedangkan, pada butir pernya-taan negatif cara penilaiannya adalah sebagai berikut: Sangat Setuju (SS) bernilai 1, Setuju (S) bernilai 2, Tidak Setuju (TS) bernilai 3, Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 4.

Variabel Organizational Citizenship

Behavior

Variabel organizational citizenship behavior diukur dengan menggunakan alat ukur organizational citizenship behavior.

Alat ukur dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada teori mengenai OCB yang dikemukakan oleh Luthans (2002). Alat ukur OCB memiliki 5 dimensi, yaitu: altru-ism, conscientiousness, civic virtue, sports-manship, courtesy. Altruism adalah kesuka-relaan membantu walaupun tidak diminta, kemauan membantu karyawan baru ber-adaptasi walaupun tidak disuruh. Concien-tiousness adalah kecenderungan mematuhi peraturan, mengefisiensikan waktu istira-hat, tiba lebih awal sebelum waktu yang ditentukan, tidak membuang-buang waktu dengan pembicaraan pribadi di telepon, tidak membicarakan hal-hal yang tidak

(11)

berhubungan dengan pekerjaan. Civic virtue adalah kesukarelaan menghadiri pertemuan yang dianggap penting, aktif dalam setiap acara organisasi (seperti klub & komite). Sportsmanship adalah tidak menyalahkan organisasi, tidak membesar-besarkan masalah. Courtesy adalah kecen-derungan bersikap sopan dan sesuai aturan, memiliki pengertian, dan berempati.

Uji reliabilitas alat ukur OCB dimensi

altruism yang berjumlah 10 butir, meng-hasilkan koefisien alpha cronbach sebesar 0,714. Contoh butir pernyataan positif ada-lah: “Saya selalu membantu pelanggan dengan senang hati”. Contoh butir

pernya-taan negatif adalah: “Saya memberikan bantuan kepada pelanggan sebenarnya hanya karena tuntutan pekerjaan”. Hasil uji

reliabilitas OCB dimensi conscientiousness

yang berjumlah 6 butir, menghasilkan koefisien alpha cronbach sebesar 0,549. Contoh butir pernyataan positif adalah: “Selama jam kerja, saya jarang membi-carakan hal-hal di luar pekerjaan”. Contoh

butir pernyataan negatif adalah: “Saya suka membicarakan berita terbaru dengan rekan kerja apabila tidak ada supervisor yang mengawasi”.

Alat ukur OCB dimensi civic virtue

yang terdiri dari 4 butir pernyataan, memi-liki koefisien alpha cronbach sebesar 0,617. Contoh butir pernyataan positif ada-lah: “Saya aktif bergabung dalam klub dan kepanitiaan yang ada di organisasi”.

Contoh butir pernyataan negatif adalah: “Saya lebih suka menjadi anggota pasif dalam suatu perkumpulan di tempat kerja”.

Dimensi sportsmanship, yang terdiri dari 9 butir pernyataan, memiliki koefisien alpha cronbach sebesar 0,657. Contoh butir pernyataan positif adalah: “Saya optimis bahwa ada solusi untuk setiap masalah yang dihadapi di tempat kerja. Contoh

butir pernyataan negatif adalah: “Apabila menghadapi masalah, kadang saya merasa panik dan beranggapan masalah tersebut tidak ada solusinya”. Dimensi courtesy,

yang terdiri dari 10 butirpernyataan, memi-liki koefisien alpha cronbach sebesar 0,689. Contoh butir pernyataan positif adalah: “Saya bersikap sopan terhadap setiap orang di dalam organisasi”. Contoh

butir pernyataan negatif adalah: “Saya enggan untuk bersikap sopan terhadap rekan-rekan sekerja”.

Variabel Komitmen Organisasi

Variabel komitmen organisasi diukur dengan menggunakan alat ukur komitmen organisasi yang dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada bentuk-bentuk komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Meyer et al. (1993). Alat ukur tersebut terdiri dari tiga dimensi, yaitu: continuance, normative, dan affective. Continuance commitment

adalah jenis komitmen dimana karyawan ingin terus berpartisipasi secara aktif dalam organisasi tersebut atau ingin terus bekerja karena membutuhkan pekerjaan, insentif, dan fasilitas organisasi. Affective commit-ment adalah jenis komitmen di mana karya-wan ingin terus berpartisipasi secara aktif dalam organisasi, karena karyawan setuju dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi; karyawan cenderung mengidentifikasi diri-nya dengan organisasi, sehingga mampu menginternalisasi nilai-nilai organisasi.

Normative commitment adalah jenis komit-men di mana karyawan ingin terus berpar-tisipasi secara aktif dalam organisasi karena merasa sebagai kewajiban untuk tetap bekerja, merasa enggan mengecewakan pemimpin, ingin memiliki laporan keha-diran yang baik. Secara umum, semakin

(12)

tinggi skor komitmen organisasi, semakin individu menunjukkan keinginan untuk ber-ada dalam organisasi dalam waktu yang lebih lama, atau semakin memiliki loya-litas.

Alat ukur komitmen organisasi di-mensi continuance terdiri dari 7 butir pernyataan. Ketujuh butir tersebut memiliki koefisien alpha cronbach sebesar 0,678. Contoh butir pernyataan positif adalah: “Saat ini, saya sangat membutuhkan peker-jaan di organisasi ini”. Contoh butir

pernyataan negatif adalah: “Tanpa peker-jaan ini, saya tetap dapat membiayai kehidupan saya”. Alat ukur komitmen

organisasi dimensi affective terdiri dari 9 butir pernyataan. Kesembilan butir tersebut memiliki koefisien alpha cronbach sebesar 0,770. Contoh butir pernyataan positif adalah: “Saya merasa ada kesamaan antara nilai/tujuan hidup saya dengan nilai-nilai/tujuan organisasi”. Contoh butir

per-nyataan negatif adalah: “Banyak nilai-nilai dan kebiasaan di dalam organisasi yang kurang saya sukai”. Alat ukur komitmen

organisasi dimensi normative terdiri dari 11 butir pernyataan. Kesebelas butir tersebut memiliki koefisien alpha cronbach sebesar 0,749. Contoh butir pernyataan positif ada-lah: “Saya merasa memiliki kewajiban untuk terus berkarir di organisasi ini”.

Contoh butir pernyataan negatif adalah: “Atasan/rekan saya bukan pihak yang membuat saya bertahan di perusahaan ini”.

Prosedur

Peneliti melakukan proses pengam-bilan data mulai tanggal 9 April – 15 Juli 2006. Tempat pengambilan data adalah di PT. X di Jakarta. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan di ruang kerja

karyawan dan dilakukan pada saat istirahat karyawan. Saat pengambilan data, para karyawan sudah duduk rapi, sehingga keadaan menjadi tenang dan teratur. Ruang kerja karyawan terletak di lantai 1 dan 2, dibatasi oleh sekat-sekat. Pengambilan data dilakukan dengan bantuan staf PT. X.

Proses pengambilan data memerlukan waktu yang cukup lama karena berbagai alasan sebagai berikut. Pertama, ada ken-dala ken-dalam pendelegasian tugas pembagian kuesioner. Kedua, terjadi perpindahan kan-tor ke kankan-tor pusat, sehingga setiap orang disibukkan dengan perpindahan tersebut.

Hasil

Gambaran Komitmen Organisasi

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa skor minimum partisipan penelitian untuk variabel komitmen organisasi adalah 1,77, sedangkan skor maksimum yang diperoleh adalah 3,27 (M = 2,61; SD = 0,26). Apabila dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 2,5 (rentang skala jawaban mulai dari 1 sampai 4), maka skor rata-rata komitmen organisasi berada di atas titik tengah alat ukur atau cenderung tinggi.

Skor minimum yang diperoleh parti-sipan penelitian untuk variabel komitmen organisasi, dimensi continuance commit-ment adalah 1,14. Skor maksimumnya adalah 3,29 (M = 2,43; SD = 0,38). Skor rata-rata komitmen organisasi dimensi

continuance commitment berada di bawah titik tengah alat ukur atau cenderung ren-dah. Hal ini menunjukkan bahwa partisipan cenderung loyal bukan karena membu-tuhkan pekerjaan atau karena takut kehi-langan insentif/fasilitas dari organisasi.

(13)

Skor minimum yang diperoleh partisipan penelitian untuk variabel komitmen orga-nisasi, dimensi affective commitment adalah 2,00 dan skor maksimumnya adalah 4,00 (M = 2,91; SD = 0,35). Skor rata-rata komitmen organisasi dimensi affective commitment berada di atas titik tengah alat ukur atau cenderung tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa partisipan cenderung setuju terhadap nilai-nilai organisasi, cen-derung menginternalisasi nilai-nilai orga-nisasi, dan cenderung memiliki kelekatan emosional terhadap organisasi. Skor mini-mum yang diperoleh partisipan penelitian untuk variabel komitmen organisasi, di-mensi normative commitment adalah 1,09, skor maksimumnya adalah 3,55 (M = 2,50;

SD = 0,34). Skor rata-rata komitmen orga-nisasi, dimensi affective commitment,

berada tepat di titik tengah alat ukur. Hal ini menunjukkan bahwa partisipan tetap ingin bekerja di perusahaan, karena merasa cukup memiliki kewajiban, baik terhadap perusahaan, atasan, maupun rekan kerja.

Gambaran OCB Partisipan Penelitian

Gambaran umum OCB partisipan penelitian ini diperoleh dengan menggu-nakan metode deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa skor minimum OCB adalah 2,43, sedangkan skor maksi-mum adalah 3,57 (M = 2,96; SD = 0,24). Apabila dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 2,5 (rentang skala jawaban mulai dari 1 sampai 4), maka skor rata-rata OCBcenderung tinggi.

Secara khusus, skor masing-masing dimensi OCB diuraikan pada alinea berikut ini. Skor minimum dimensi altruism adalah 2,20, skor maksimumnya adalah 3,90 (M = 2,98; SD = 0,31). Hal ini menunjukkan

bahwa partisipan cenderung membantu secara sukarela walaupun tidak diminta, atau cenderung membantu karyawan baru beradaptasi walaupun tidak disuruh. Skor minimum dimensi conscientiousness adalah 2,00, dan skor maksimumnya adalah 3,67 (M = 2,97; SD = 0,35). Hal ini menunjuk-kan bahwa partisipan mematuhi peraturan, tiba lebih awal, tidak membuang waktu dengan pembicaraan di telepon dan pem-bicaraan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

Skor minimum dimensi civic virtue

adalah 1,75, dan skor maksimumnya adalah 4,00 (M = 2,89; SD = 0,37). Hal ini menunjukkan bahwa partisipan secara suka-rela menghadiri pertemuan yang dianggap penting, aktif dalam setiap acara organisasi (seperti klub & komite). Skor minimum dimensi sportsmanship adalah 2,22, dan skor maksimumnya adalah 3,67 (M = 2,90;

SD = 0,32). Hal ini menunjukkan bahwa partisipan tidak suka menyalahkan organi-sasi, atau tidak suka membesar-besarkan suatu masalah. Skor minimum yang dipe-roleh partisipan penelitian untuk dimensi

courtesy adalah 2,30, maksimum adalah 3,70 (M = 3,07; SD = 0,30). Hal ini menunjukkan bahwa partisipan dapat bersi-kap sopan dan sesuai norma, memiliki pengertian, dan berempati.

OCB dan Komitmen Organisasi

Pengujian korelasi komitmen organi-sasi dan OCB dilakukan dengan metode korelasi Spearman. Berdasarkan hasil pengujian, terdapat korelasi antara komit-men organisasi dan OCB, rs(86) = 0,441, p

< 0,01. Nilai ini menyatakan terdapat hubungan yang positif antara komitmen organisasi dan OCB. Dengan demikian

(14)

dapat dikatakan bahwa semakin tinggi komitmen organisasi, maka semakin tinggi pula perilaku OCB.

Komitmen Organisasi (Dimensi Afektif) dan OCB (Per Dimensi)

Korelasi komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi courtesy didapat dari perhitungan dengan menggunakan metode korelasi Pearson Product Moment Correlation. Terdapat korelasi antara nilai komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi courtesy, rxy(84) = 0,525, p <

0,01. Nilai ini menyatakan terdapat hu-bungan yang positif antara komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi courtesy. Semakin tinggi affective commitment partisipan, maka semakin tinggi pula perilaku OCB dimensi courtesy

partisipan.

Korelasi komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi conscientiousness

didapat dari perhitungan dengan meng-gunakan metode korelasi Pearson Product Moment Correlation. Terdapat korelasi antara nilai komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi conscientiousness rxy(84)= 0,437, p < 0,01. Nilai ini

menya-takan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi conscien-tiousness. Semakin tinggi affective commit-ment partisipan, maka semakin tinggi pula perilaku OCB dimensi conscientiousness

partisipan.

Korelasi komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi sportsmanship

didapat dari perhitungan dengan menggu-nakan metode korelasi Pearson Product Moment Correlation. Terdapat korelasi antara nilai komitmen organisasi dimensi

afektif dan OCB dimensi sportsmanship rxy(84)= 0,415, p < 0,01. Nilai ini

menya-takan terdapat hubungan yang positif antara komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi sportsmanship. Hal ini berarti semakin tinggi affective commitment parti-sipan, maka semakin tinggi pula perilaku OCB dimensi sportsmanship partisipan.

Korelasi komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi civic virtue

didapat dari perhitungan dengan menggu-nakan metode korelasi Spearman. Terdapat korelasi antara nilai komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi civic virtue rs(86) = 0,276, p < 0,05. Nilai ini

menyatakan terdapat hubungan yang positif antara komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi civic virtue. Semakin tinggi affective commitment partisipan, maka semakin tinggi pula perilaku OCB dimensi civic virtue partisipan.

Korelasi komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi altruism didapat dari perhitungan dengan menggunakan metode korelasi Spearman. Terdapat kore-lasi antara nilai komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi altruism rs(86) = 0,215, p < 0,05. Nilai ini

menya-takan terdapat hubungan yang positif antara komitmen organisasi dimensi afektif dan OCB dimensi altruism. Semakin tinggi

affective commitment partisipan, maka semakin tinggi pula perilaku OCB dimensi

altruism partisipan.

Simpulan

Berdasarkan analisis data, diperoleh simpulan bahwa terdapat hubungan positif antara komitmen organisasi dan Organiza-tional Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan call centre di PT. X. Semakin

(15)

tinggi komitmen organisasi karyawan, maka semakin tinggi pula perilaku OCB. Sebaliknya, semakin rendah komitmen organisasi karyawan, maka semakin rendah pula perilaku OCB.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen organisasi ternyata menjadi salah satu faktor yang berperan pada OCB. Hal ini sesuai dengan pernyataan Greenberg dan Baron (2000). Karyawan dengan ko-mitmen organisasi yang tinggi akan me-miliki loyalitas tinggi terhadap organisasi. Karyawan dengan loyalitas tinggi bersedia berkorban demi kepentingan organisasi. Bentuk konkretnya dalam kehidupan se-hari-hari di dalam organisasi adalah dengan bersikap sebagai anggota organisasi yang baik. Karyawan akan menerapkan OCB dalam hubungannya dengan organisasi dan rekan kerja. Semakin karyawan berkomit-men terhadap organisasi, semakin karya-wan ingin bersikap melebihi tuntutan tugas apabila dibutuhkan. Hal ini membuat kar-yawan terlibat dalam berbagai bentuk OCB.

Daftar Pustaka

Aldag, R. (1997). Employee value added: Measuring discretionary effort and its value to the organization. Retrieved 2005, Mei 26, from http://216.109. 117.135/search/cache?p=dimension+of +organizational+citizenship+behavior &prssweb=Search&ei=UTF8&fl=0&u =www.greatorganizations.com/pdf/wp EmpValAdd.pdf&w=dimension+organ izational+citizenship+behavior&d=59 C17A35EE&icp=1&.intl=us

Cascio, W. F. (1998). Managing human resources: Productivity, quality of work life, profits (5th ed.). Boston: McGraw-Hill.

Cherrington, D. J. (1994). Organizational behavior: The management of indivi-dual and organizational performance

(2nd ed.). Needham Heights, MA: Allyn and Bacon.

Diefendorff, J. M., Brown, D. J., Kamin, A. M., & Lord, R. G. (2002). Examining the roles of job involvement and work centrality in predicting organizational citizenship behaviors and job perfor-mance. Journal Of Organizational Behavior, 23, 93-108.

DuBrin, A. J. (2000). Applying psychology: Individual and organizational effec-tiveness (5th ed.). NJ: Prentice Hall. Greenberg, J. (1996). Managing behavior

in organizations: Science in service to practice. NY: Prentice Hall.

Greenberg, J., & Baron, R. A. (2000).

Behavior in organizations: Understan-ding and managing the human side of work (7th ed.). NJ: Prentice Hall. Hulin, C. (1998). Adaptation, persistence,

and commitment in organizations. In M. D. Dunnette & L. M. Hough (Eds.),

Handbook of industrial and organi-zational psychology (Vol. 2., pp. 445-498). Mumbai: Jaico Publishing. Iverson, R. D., & Buttigieg, D. M. (1999).

Affective, normative, and continuance commitment: Can the ‘right kind’ of commitment be managed? Journal of Management Studies, 36, 307-334. Kumar, R. (2005, 26 April). Organizational

citizenship performance in non-governmental organisations. Retrieved 2005, November 6, from http://www. iimahd.ernet.in/publications/data/2005 -04-05rajivkumar.pdf

Kuntjoro, H. Z. S. (2002, 25 Juli).

Komitmen organisasi. Retrieved 2005, June 12, from http://www.e-psikologi. com/masalah/250702.htm

(16)

Luthans, F. (2002). Organizational beha-vior (9th ed.). NY: McGraw-Hill. Martini, Y., & Rostiana. (2003). Komitmen

organisasi ditinjau berdasarkan iklim organisasi dan motivasi berprestasi.

Phronesis, 5, 21-28.

McKeena, E. (2000). Business psychology and organisational behaviour: A student’s handbook (3rd ed.). East Sussex: Psychology Press Ltd.

McShane, S. L., & Glinow, M. A. V. (2003). Organizational behavior (2nd ed.). New York: McGraw-Hill.

Meyer, J. P., Allen, N. J., & Smith, C. A. (1993). Commitment to organizations and occupations: Extension and test of a three-component conceptualization.

Journal of Applied Psychology, 78,

538-551.

Newstrom, J. W., & Davis, K. (2002).

Human behavior at work (11th ed.). New York: McGraw-Hill.

Riady, H. (2003). Faktor determinan komit-men karyawan di Indonesia. Jurnal Ekonomi Perusahaan, 10, 19-30. Riggio, R. E. (2000). Introduction to

industrial/organizational psychology

(3rd ed.). NJ: Prentice Hall.

Sarantakos, S. (1993). Social research. Melbourne: Macmillan.

Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (1998).

Psychology and work today: An introduction to industrial and organizational psychology (7th ed.). NJ: Prentice Hall.

Skarlicki, D. P., & Latham, G. P. (1996). Increasing citizenship behavior within a labor union: A test of organizational justice theory. Journal of Applied Psychology, 81,161-169.

Smither, R. D. (1998). The psychology of work and human performance (3rd ed.). New York: Longman.

Stockhult, H. (2005). The assumed emplo-yee responsibility as an important aspect of the organizational citizen-ship behaviour: A call centre case stu-dy. Retrieved 2005, November 6, from http://72.14.203.104/search?q=cache: GfsXy6H7wlcJ:www.asb.dk/upload/ asb/conferences/nff2005/docs/papers/l eadership/pstockhult.pdf+organization al+citizenship+behavior+=id

Sweeney, P. D., & McFarlin, D. B. (2002).

Organizational behavior: Solutions for management. NY: McGraw-Hill. Tepper, B. J., Hoobler, J., Duffy, M. K., &

Ensley, M. D. (2004). Moderators of the relationships between coworkers’ organizational citizenship behavior and fellow employees’ attitudes.

Journal of Applied Psychology, 89, 455-465.

Truckenbrodt, Y. B. (2000). The relation-ship between leader-member exchange and commitment and organi-zational citizenship behavior. Retrie-ved 2005, Mei 17, from http://www.findar ticles. com/p/articles/mi_m0JZX/is_3_7 Yen, H. R., & Niehoff, B. P. (2002).

Relationship between organizational citizenship behaviors, efficiency, and customer service perceptions in Taiwanese banks. Retrieved 2005, Mei 26, from http://64.233.187.104/sear ch?q=cache:cPMo6ltGkJ:cobacourses. creighton.edu/MAM/2002/papers/Yen. doc+organizational+citizenship+=d Ziklik, L. Z. (2004). Exceeding customer

expectations in telephone service.

Retrieved 2005, November 6, from http://72.14.203.104/search?q=cachem FepduZRKAwJ:psychology.technion.a c.il/Academ/Course/000000_W/99_the sis/Lital.pdf+organizational+citizenshi =id

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini mengindikasikan bahwa karyawan yang ingin terus terikat di perusahaan cenderung senang membantu rekan kerja dan atasannya, menghindari konflik interpersonal dengan

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi

Hal ini juga mengindikasikan bahwa Komitmen Organisasi berpengaruh positif terhadap Organizational Citizenship Behavior yang berarti semakin baik Komitmen Organisasi

Organizational Citizenship Behavior (OCB), dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Hasil analisis bahwa secara simultan variabel bebas (Organizational Citizenship

Gunung Putri Perkasa Kantor Cabang Purwakarta, artinya semakin baik perilaku kewargaan organisasi karyawan maka komitmen organisasi karyawan juga meningkat, karena

Untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan komitmen organisasi pada karyawan, Penulis menyarankan agar pihak dari PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan SUMBAGUT agar

Chichi Andriani, SE, MM Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : pengaruh stres kerja dan komitmen organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior OCB karyawan pada PT..

Hasil penelitian in menemukan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan kepuasan kerja, komitmen organisasi dan motivasi kerja terhadap Organisasional Citizenship Behavior pada