BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1Budaya Organisasi
2.1.1 Pengertian Budaya Organisasi
Secara tidak sadar tiap-tiap orang di dalam suatu organisasi mempelajari
budaya yang berlaku di dalam organisasinya. Apalagi bila ia sebagai orang baru
supaya dapat diterima oleh lingkungann tempat bekerja, ia berusaha mempelajari apa
yang dilarang dan apa yang diwajibkan, apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang
benar dan apa yang salah; dan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan di dalam organisasi tempat bekerja itu.
Budaya organisasi juga disebut sebagai budaya perusahaan, Budaya
organisasi menurut Edi Sutrisno (2011:2) dapat didefinisikan sebagai perangkat
system nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, asumsi-asumsi, atau norma-norma yang
telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai
pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasinya. Edy, (2011:2)
mengatakan dalam budaya organisasi terjadi sosialisasi nilai-nilai dan
menginternalisasi dalam diri parang anggota menjiwai orang per orang didalam
organisasi. Dengan demikian, maka maksud budaya organisasi menurut Kilmann
merupakan jiwa organisasi dan jiwa para anggota organisasi.
Berkaitan dengan budaya organisasi, Purnamie (2014:55) mengungkapkan bahwa
budaya organisasi mempunyai beberapa maksud yaitu :
2. Aturan-aturan
3. Perasaan atau iklim (suasana)
Jadi dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakanseperangkat
nilai-nilai dan norma-norma yang telah relatif lama berlaku serta dianut besama-sama
oleh setiap anggota organisasi (karyawan) sebagai norma perilaku dalam
bertindak dan menyelesaikan masalah-masalah organisasi (perusahaan).
2.1.2 Proses Terbentuknya Budaya Organisasi
Kenn dan Beech (2000:60) membagai budaya organnisasi perusahaan atas
beberapa komponen pembentuk yaitu :
1. Filosofi yang menjadi panduan penetapan kebijakan organisasi baik yang
berkenaan dengan karyawan ataupun klien.
2. Nilai – nilai dominan yang dipegang oleh organisasi
3. Norma – norma yang diterapkan dalam bekerja
4. Aturan main untuk berelasi dengan baik dalam organisasi yang harus
dipelajari oleh anggota baru dapat diteima oleh organisasi
5. Tingkah laku khas tertentu dalam berinteraksi rutin
2.1.3 Karakteristik Budaya Organisasi
Budaya yang diterapkan dalam PT Federal International Finance memiliki beberapa
karakteristik yang bisa dijadikan dimensi dalam penelitian ini. Adapun karakteristik
1. Inovasi dan pengambilan resiko
Sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan berani mengambil
resiko. Salah satu tagline FIFGROUP adalah Moving Forward yang mana
karyawan didorong agar peka terhadap perubahan serta berwawasan jauh ke
depan dalam merancang dan melakukan perubahan strategis. Tidak ada
metode yang paling baik, selalu ada metode yang lebih baik. Kemauan untuk
mencoba hal-hal baru disertai keberanian mengambil resiko yang telah
diperhitungkan untuk menumbuhkembangkankan budaya inovasi, suasana
kerja yang partisipatif, serta menciptakan iklim yang menunjang timbulnya
kreativitas.
2. Good Process Good Result
Karena bergerak di industri jasa, khususnya di jasa pembiayaan maka
perusahaan sangat fokus pada pelayanan yang unggul kepada konsumen
melalui proses yang sederhana, lugas, dan berkualitas. “Good Process Good
Result”, artinya proses dan hasil adalah 2 hal yang saling terkait. Semakin
baik proses yang berjalan di perusahaan, harusnya semakin bagus pula hasil
ataupun pencapaian terhadap tujuan/sasaran perusahaan. Ada proses
compliance, pengujian standar kepatuhan terhadap aturan perusahaan dalam
proses yang berjalan, secara berkala ataupun dadakan di perusahaan, untuk
melihat sejauh mana proses yang berjalan terhadap aturan main yang ada.
Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan dalam tim-tim kerja, bukannya
individu. Ada istilah yang sering disampaikan management FIFGROUP,
“Superteam lebih baik daripada Superman”. Di FIFGROUP, managemen
berusaha mendorong semangat semua insan untuk bersinergi yang didasari
oleh sikap saling menghargai, berpikir positif, serta mengutamakan
kepentingan perusahaan diatas kepentingan pribadi agar menghasilkan kinerja
yang optimal.
2.1.4 Manfaat Budaya Organisasi
Menurut Edy (2010:27), beberapa manfaat budaya organisasi adalah sebagai berikut :
1. Membatasi peran yang membedakan antara suatu organisasi denganorganisasi
lainnya. Setiap organisasi mempunyai peran yang berbeda sehingga perlu
memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem dan kegiatan yang ada dalam
organisasi.
2. Menimbulkan rasa memiliki sebagai identitas para anggota organisasi.Dengan
budaya organisasi yang kuat anggota organisasi akan merasa memiliki
identitas yang merupakan ciri khas organisasi.
3. Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu.
4. Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen-komponen organisasi yang
direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuatkondisi
Ke-empat manfaat terserbut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat
membentuk perilaku dan tindakan karyawan dalam menjalani aktivitasnya di dalam
organisasi, sehingga nilai-nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu ditanamkan
sejak dini pada setiap individu organisasi.
2.2 Kepuasan Kerja
2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Pada dasarnya kepuasan kerja (Job Satisfaction) merupakan hal yang bersifat
individual karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap individu. Semakin banyak
aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi
tingkat kepuasan yang dirasakan. Ada pernyataan yang mengatakan bahwa kepuasan
adalah suatu perasaan menyenangkan merupakan hasil dari persepsi individu dalam
rangka menyelesaikan tugas atau memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh
nilai-nilai kerja yang penting bagi dirinya. Penjelasan kepuasan tersebut dipertegas oleh
Locke (dalam Sopiah, 2008:170) juga memberikan definisi bahwa kepuasan kerja
adalah suatu ungkapan emosional yang bersifat positif atau menyenangkan, sebagai
hasil dari penilaian terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja. Locke juga
mencatat (dalam Sutarto, 2010:97) bahwa perasaan-perasaan yang berhubungan
dengan kepuasan atau ketidak puasan kerja cenderung lebih mencerminkan
pada waktu sekarang dan masa lalu dari pada harapan-harapan untuk masa yang akan
datang.
Kemudian Locke (1976) mendefinisikan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu
tingkatan emosi yang positif dan menyenangkan individu. Dengan kata lain, kepuasan
kerja adalah suatu hasil perkiraan individu terhadap perkerjaan atau pengalaman
positif dan menyenangkan dirinya. Disini Lock (1976) juga membedakan kepuasan
kerja dari segi moral dan keterlibatan kerja. Ia mengategorikan moral dan kepuasan
kerja sebagai suatu emosi positif yang akan dilalui karyawan.
Selain Locke, Robbins & Judge (2007) juga menyebutkan bahwa Kepuasan kerja
adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukkan perbedaan
antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini
seharusnya mereka terima.Sopiah (2008:170) menyimpulkan dari beberapa pendapat
para ahli mengenai kepuasan kerja bahwa:
1. Kepuasan kerja merupakan suatu tanggapan emosional seseorang terhadap
situasi dan kondisi kerja.
2. Tanggapan emosional bias berupa perasaan puas (positif) atau tidak puas
(negative). Bila secara emosional puas berarti kepuasan kerja tercapai dan
sebaliknya bila tidak maka berarti karyawan tidak puas.
3. Kepuasan kerja dirasakan karyawan setelah karyawan tersebut
membandingkan antara apa yang dia harapkan akan dia peroleh dari hasil
2.2.2 Elemen Penentu Kepuasan Kerja
Tingkat kepuasan dipengaruhi oleh rentang yang luas dari variabel-variabel yang
berhubungan dengan faktor-faktor individu, sosial & organisasi,. Menurut sopiah
(2008:172) dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa dimensi dan
indikator kepuasan kerja adalah :
1. Promosi adalah tersedianya peluang – peluang untuk mencapai kemajuan
dalam jabatan. Promosi meliputi kesempatan untuk promosi, promosi pada
kemampuan.
2. Gaji atau upah adalah jumlah gaji atau upah yang diterima dan kelayakan
imbalan tersebut. Indikator gaji yaitu Adil dan dibayarkan dengan baik.
3. Pekerjaan itu sendiri adalah tingkat dimana hingga tugas-tugas pekerjaan
dianggap menarik dan memberikan peluang untuk belajar dan menerima
tanggung jawab. Indikator dari pekerjaan itu sendiri meliputi Pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan dan menantang.
4. Supervisi, secara umum supervisi dapat di artikan sebagai pengarah serta
pengendalian kepada tingkat karyawan yang berada di bawahnya dalam suatu
organisasi atau kelompok. Dalam supervisi ini, supervisor sebagai pelaksana
fungsi supervisi untuk melakukan pembimbingan mengenai fungsi dan tugas
karyawan serta mengevaluasi atau memberi pengendalian atas kinerja yang
2.2.3 Teori-Teori Kepuasan Kerja
Wexley dan Yukl (dalam Merry, 2013) menyatakan tentang teori-teori kepuasan
yang lazim dikenal yaitu:
1. Teori Perbandingan Intrapersonal (discrepancy Theory) dari porter (1961)
yaitu bahwa : kepuasan atau ketidak puasan yang dirasakan oleh individu
merupakan hasil dari perbandingan atau kesengkangan yang dilakukan oleh
diri sendiri terhadap berbagai macam hal yang sudah diperolehnya dari
pekerjaan dan yang menjadi harapannya. Kepuasan akan dirasakan individu
tersebut bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu
dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan kecil, sebaliknya ketidak puasan
akan dirasakan oleh individu bila perbedaan atau kesenjangan antara pribadai
individu dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan besar.
2. Teori Keadilan (Equity Theory) dari Zeleznik (1958) dan dikembangkan oleh
Adam (1963). Seseorang akan merasakan puas atau tidak puas tergantung
apakah ia merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan
equity atau inequity atas suatu situasi diperoleh seseorang dengan cara
membandingkan dirinya dengan orag lain yang sekelas, sekantor, maupun
ditempat lain.
3. Teori Dua-Faktor (two Factor Theory) dari Hazberg (1969). Perinsip dari
teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidak puasan kerja merupakan dua hal
yang berbeda. Menurut teori ini, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan
dan yang lain dinamakan satisfier atau motivators. satisfier atau motivators
adalah factor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan
kerja yang terdiri dari prestasi, pengakuan, wewenang, tanggung jawab dan
promosi. Dikatakan tidak adanya kondisi-kondisi ini bukan berarti
membuktikan kondisi sangat tidak puas, tetapi kalau ada, akan membentuk
motivasi kuat yang menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh sebab itu
factor ini disebut sebagai pemuas. Hygiene factors adalah factor-faktir yang
terbukti menjadi sumber kepuasan, terdiri dari gaji, insentif, pengawasan,
hubungan pribadi, kondisi kerja dan status.
2.2.4 Manfaat Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja sangatlah berpengaruh terhadap kondisi individu maupun
perusahaan. Menurut Indah (2014:233) Pengaruh tersebut diantaranya yaitu:
1. Terhadap Produktivitas
Kepuasan kerja mungkin akibat dari produktivitas atau sebaliknya.
Produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan kepuasan kerja hanya
jika tenaga kerja mempresepsikan bahwa apa yang telah dicapai perusahaan
sesuai dengan apa yang mereka terima (gaji/upah) yaitu adil dan wajar, serta
disosialisasikan dengan peforma kerja yang unggul.
2. Ketidak Hadiran
Ketidak hadiran bersifat lebih spontan dan kurang mencerminkan ketidak
hadiran. Sebab, ada dua faktor dalam perilaku hadir, yaitu motivasi dan
kemampuan untuk hadir. Dengan demikian, faktor ketidak hadiran pada
karyawan mungkin karena ketidak mampuan untuk hadir tetapi disisi lain
bisa dikarenakan kurangnya kepuasan kerja karyawan tersebut.
3. Keluarnya Pekerja(Turnover)
Keluarnya dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang besar, maka
besar kemungkinan hal ini berhubungan dengan ketidak puasan kerja.
Ketidak puasan kerja dapat diungkapkan dengan berbagai cara, misalnya
dengan meninggalkan pekerjaan.
2.3 Komitmen Organisasi
2.3.1 Pengertian Komitmen Organisasi
Secara sederhana, Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan sebagai
Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, Keinginan untuk
berusaha keras sesuai keinginan organisasi, Keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai
dan tujuan organisasi.
Dengan kata lain, Luthans (2006) menyebutkan bahwa ini merupakan sikap yang
merefleksikan loyalitas pegawai pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana
anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan
keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Monday (dalam Sopiah, 2008:155) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain
perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecendrungan karyawan untuk
bertahan sebagai anggota organisasi. Komitmen organisasi merupakan identifikasi
dan keterlibatan seseorang yang relative kuat terhadap organisasi. Komitmen
organisasi adalah keinginan anggota organisasi untuk tetap mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan
organisasi. Newstrom (1989) melanjutkan bahwa secara konseptual, komitmen
organisasi ditandai oleh tiga hal:
1. Adanya rasa yang kuat dan penerimaan seseorang terhadap tujuan dan
nilai-nilai organisasi
2. Adanya keinginan seseorang untuk melakukan usaha secara sungguh-sungguh
dalam organisasi.
3. Adanya hasrat yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam suatu
organisasi.
Dari beberapa definisi tersebut, Sopiah (2008:157) menyimpulkan bahwa komitmen
organisasi adalah suatu ikatan psdikologis karyawan pada organisasi yang ditandai
dengan adanya :
1. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujun dan nilai-nilai organisasi
2. Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi, dan
3. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota
2.3.2 Bentuk Komitmen Organisasi
Meyer, Allen, dan Smith (dalam Journal Arti Bakshi, dkk, 2011) mengemukakan
bahwa ada tiga komponen komitmen organisasi, yaitu :
1. Affectice commitment, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bangian dari
organisasi karena adanya ikatan emosional anggota terhadap organisasinya,
dan keterlibatan anggota dengan organisasinya. Anggota yang memiliki
komitmen afektif akan tetap bertahan dalam perusahaan karena memang
berkehendak demikian. Komitmen afektif meliputi kesenangan karyawan
menghabiskan karir diorganisasi dan rasa memiliki terhadap organisasi.
2. Continuance commitment, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu
organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau
karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Anggota yang
memiliki komitmen berkelanjutan akan tetap menjadi anggota karena
memiliki kebutuhan terhadap organisasi. Komitmen berkelanjutan meliputi
perasaan yang tidak ingin meninggalkan organisasi, rasa tidak dapat
berkontribusi dalam organisasi dan didasarkan pada kerugian – kerugian
pegawai bila meninggalkan organisasi.
3. Normative commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan.
Karyawan bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran
bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang harusnya
dilakukan. Komitmen normative meliputi sikap yang tidak ingin
Dengan kata lain bahwa pegawai merasa wajib untuk tetap tinggal dalam
suatu organisasi karena adanya perasaan hutang budi pada organisasi sehingga
mereka mereka mempunyai kewajiban moral untuk melakukan tindakan imbal
balik pada organisasi tempat mereka bekerja.
2.3.3 Proses Terjadinya Komitmen Organisasi
Bashaw dan Grant (dalam Sopiah, 2008:159) menjelaskan bahwa komitmen
karyawan terhadap organisasi merupakan sebuah proses berkesinambungan dan
merupakan sebuah pengalaman individu ketika bergabung dalam sebuah organisasi.
Minner (dalam Sopiah, 2008:159) secara rinci menjelaskan proses terjadinya
komitmen organisasi, yaitu sebagai berikut :
1. Pada fase awal (initial commitment), factor yang berpengaruh terhadap komitmen
karyawan pada organisasi adalah :
1. Karekteristik individu,
2. Harapan-harapan karyawan, dan
3. Karakteristik pekerjaan
2. Fase kedua sebagai Commitment during early employment. Pada fase ini
kareyawan sudah bekerja beberapa tahun. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap komitmen karyawan pada organisasi adalah pengalaman kerja yang ia
rasakan pada tahap awal dia bekerja, bagaimana pekerjaannya, bagaimana system
teman sejawat atau hubungan ia dengan pimpinannya. Semua faktor ini akan
membentuk komitmen awal dan tanggung jawab karyawan pada organisasi.
3. Tahapan yang ketiga yang diberi nama commitment during later career. Faktor
yang berpengaruh terhadap komitmen pada fase ini berkaitan dengan investasi,
mobilitas kerja, hubungan sosial yang tercipta di organisasi dan
pengalaman-pengalaman selama ia bekerja.
2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Faktor-faktor pembentuk komitmen organisasi akan berbeda bagi karyawan yang
baru bekerja, setelah menjalani masa kerja yang cukup lama, serta bagi karyawan
yang bekerja pada tahapan yang lama yang menganggap perusahaan tersebut sudah
menjadi bagian dalam hidupnya. Komitmen karyawan pada organisasi tidak terjadi
begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Misalnya, Steers
(dalam Sopiah, 2008:163) mengidentifikasikan ada tiga faktor yang mempengaruhi
komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:
1. Ciri pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi
kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan.
2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan
rekan sekerja.
3. Pengalaman kerja, seperti cara pekerja-pekerja mengutarakan dan
David(1997) juga mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi komitmen
karyawan pada organisasi, yaitu :
1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman
kerja, kepribadian, dll.
2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkungan jabatan, tantangan dalam
pekerjaan, konflik peran dalam pekerjaan, tingkat kesulitan kerja
3. Karakteristik struktur, misanya besar/kecilnya organisasi, bentuk organisasi
seperti sentralisasi atau desentralisasi, kehadiran serikat pekerja, dan tingkat
pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.
4. Pengalaman kerja, pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap
tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa
tahun bekerja dan karyawan yang sudah berpuluhan tahun bekerja dalam
organisasi tentu memiliki tingkatan komitmen yang berlainan.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen
organisasi adalah:
1. Faktor personal,
2. Faktor organisasi, dan
2.4 Organization Citizenship Behaviour (OCB)
2.4.1 Pengertian Organization Citizenship Behaviour (OCB)
Istilah Organization Citizenship Behavior (OCB) diperkenalkan oleh Organ
diawal 1980-an, namun jauh sebelum tahun terebut Barnard, (1938) telah
menggunakan konsep sejenis OCB dan menyebutnya sebagai kerelaan bekerja sama
(willing to cooperate). Pada tahun 1964, katz menggunakan konsep serupa dan
menyebutkan sebagai inovatif dan perilaku spontan (innovative and spontaneous
behaviors). Organ dan Ryan (dalam Herlina, 2013 : 8) mendefinisikan Organization
Citizensip Behavior sebagai perilaku-perilaku yang dilakukan oleh anggota organisasi
/ karyawan yang tidak secara tegas diberi penghargaan apabila mereka melakukan
dan juga tidak akan diberi hukuman apabila mereka tidak melakukannya, tidak
merupakan bagan dari deskripsi pekerjaan yang dimiliki oleh karyawan, dan
merupakan perilaku karyawan yang tidak membutuhkan latihan terlebih dahulu untuk
melaksanakannya.
Secara singkat, Organizational Citizenship Behaviour (OCB) menunjukkan
suatu perilaku sukarela individu (dalam hal ini karyawan) yang tidak secara langsung
berkaitan dengan system pengimbalan namun berkontribusi pada keefektifan
organisasi. Dengan kata lain, OCB merupakan perilaku seorang karyawan bukan
Menurut Greenberg dan Baron (dalam Herlina, 2013 : 10), Organizational
citizenship behavior adalah tindakan yang dilakukan anggota organisasi yang
melebihi dari ketentuan formal. Secara umum ada tiga komponen utama OCB yaitu :
1. Perilaku tersebut lebih dari ketentuan formall atau deskripsi pekerjaan yang
telah ditentukan.
2. Tindakan tersebut tidak memerlukan latihan (bersifat alami), dengan kata
lain, orang melakukan tindakan tersebut dengan sukarela.
3. Tindakan tersebut tidak dihargai dengan formal oleh organisasi.
2.4.2 Dimensi Organization Citizenship Behaviour (OCB)
Organ dan Ryan (dalam Herlina, 2013 : 10) mengintegrasikan berbagai
konstruk OCB menjadi lima dimensi konstruk sebagai berikut:
1. Altruism (Helping)
Merupakan suatu hal yang terjadi ketika seorang karyawan memberikan
pertolongan kepada karyawan lain untuk menyelesaikan tugas atau
pekerjaannya dalan keadaan tertentu atau tidak seperti biasanya. Selain itu
perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa
terhadap hal – hal yang mengedepankan kepentingan organisasi. Tidak
berkaitan langsung dengan system reward. Artinya, perilaku ekstra peran yang
yang dilakukan karyawan tidak mengharapkan imbalan dan bentuk ulang.
Mengacu pada seseorang karyawan dalam mengerjakan tugas – tugas yang
diberikan dan dilakukan dengan cara melebihi atau di atas apa yang telah
disyaratkan oleh organisasi / perusahaan. perilaku in-role yang memenuhi
tingkat di atas standart minimum yang disyaratkan, seperti bekerja dengan
teliti, kehadiran lebih awal, kepatuhan terhadap aturan, dan sebagainya.
Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja, dan tidak
diperintahkan secara formal.
3. Sportmanship (Sikap sportif)
Merupakan suatu sikap yang lebih menekankan pada aspek – aspek positif
organisasi dari pada aspek negative. Kemudian birisi tentang pantangan –
pantangan membuat isu yang merusak meskipun merasa jengkel. Memberikan
rasa toleransi terhadap gangguan – gangguan pada pekerjaan, yaitu ketika
seseorang karyawan memilkul pekerjaan yang tidak mengenakan tanpa harus
mengemukakan keluhan atau complain, pekerjaan mudah beradaptasi dengan
lingkungan perusahaan.
4. Courtesy (Kebaikan)
Merupakan perilaku – perilaku baik atau perilaku meringankan masalah –
masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain. Misalnya
perilaku membantu seseorang mencegah terjadinya suatu permasalahan atau
membuat langkah – langkah untuk meredakan atau mengurangi
pengajaran kepada orang lain sebelum dia melakukan tindakan atau membuat
keputusan yang berkaitan degan pekerjaannya.
5. Civic vitue
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk ikut serta mendukung fungsi –
fungsi administrasi organisasi. Perilaku yang dapat dijelaskan sebagai
partisipasi aktif karyawan dalam hubungan koorganisasian, misalnya
Membuat pertimbangan dalam menilai (berpikir) tentang apa yang terbaik
bagi organisasi, Mengikuti perubahan - perubahan dan perkembangan dalam
organisasi.
2.4.3 Motif-Motif yang Mendasari Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Seperti halnya sebagaian besar perilaku yang lain, Organizational Citizenship
Behavior (OCB) ditentukan oleh banyak hal, artinya tidak ada penyebab tunggal
dalam Organizational Citizenship Behavior (OCB). Sesuatu yang masuk akal bila kita
menerapkan Organizational Citizenship Behavior (OCB)Secara rasional. Salah satu
pendekatan motif dalam perilaku organisasi berasal dari kajian McClelland dan
rekan-rekannya (1987). Menurut McClellan (1987), manusia memiliki tiga tingkatan
motif, yaitu:
1. Motif berprestasi, mendorong orang untuk menujukkan suatu standar
keistimewaannya (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau
2. Motif afiliasi, mendorong orang untuk mewujudkan, memelihara dan
memperbaiki hubungan dengan orang lain.
3. Motif kekuasaan mendorong orang untuk mencari status dan situasi dimana
mereka dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain.
2.5 Review Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang digunakan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan
penelitian sekaligus sebagai bahan perbandingan dan gambaran untuk mendorong
kegiatan penelitian dapat dilihat Pada Tabel 2.1
Tabel 2.1
Review Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Penelitian Alat Analisis Hasil Penelitian
1. Arti Bkhashi, dkk
(2011)
Organizational Commitment as predictor of Organizational Citizenshp Behavior
Independen :
1. Komitmen Organisasi
Dependen : memiliki hubungan yang signifikan.
2. Jagannath Mohanty,
Bhabani P. Rath (2012)
Influence of Oraganizational Culture on Organnizational Citizen Behavior: A three-sector Study.
Independen :
1. Budaya Organisasi
Dependen :
2. OCB
SPSS (Correlation Analysis)
Individu dalam hal ini karyawan dapat memiliki kecendrungan untuk melakukan perilaku OCB, tetapi apabila budaya yang diterapkan pada organisasi tidak siap untuk menyerap perilaku tersebut maka dapat
3. Swaminathan Samanvitha and P. David Jawahar
(2011)
A Study of Job Satisfaction as a Predictor of Organizational Citizenship Behavior
Independen :
1. Kepuasan kerja
Dependen : menegaskan bahwa OCB
adalah konsep multidimensi yang berhubungan positif dengan Kepuasan kerja, tetapi banyak faktor lain diluar OCB yang menyebabkan Kepuasan Kerja.
4. Dimas Satrio Wicaksono (2012)
Analisis pengaruh kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap kinerja dengan mediasi organizational citizenship behavior (studi pada PT. BRP Nusamba Cepiring)
Independen :
1. Kepuasan kerja 2. Komitmen organisasi Dependen :
Hasil dari analisis menunjukkan bahwa, kepuasan kerja memiliki dampak positif dan tidak signifikan untuk OCB
yang kemudian
komitmen organisasi memiliki dampa positif
dan signifikan mendorong peningkatan
kinerja karyawan.
5. Dendy Hendarto (2013)
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Organizational Citizenship Behavior Pegawai Negeri Sipil Dinas Perikanan dan Peternakan Pemerintah Kota Samarinda
Independen :
1. Kepuasan kerja
Dependen :
2. OCB
SPSS (Regresi Linier
Sederhana)
Pada penelitian ini, variable bebas berupa kepuasan kerja Pegawai Negri Sipil cukup kuat
dan signifikan mempengaruhi variable
6. Yohanes Oemar (2013)
Pengaruh Budaya Organisasi, Kemampuan Kerja dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB) Pegawai pada BAPPEDA Kota Pekan Baru
Independen :
1. Budaya Organisasi 2. Kemampuan Kerja 3. Komitmen Organisasi
Dependen :
4. OCB
SPSS (Multiple Regression)
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa budaya organisasi, kemampuan kerja dan komitmen organisasi berdampak signifikan terhadap OCB karyawan BAPPEDA Kota Pekan Baru dan Budaya Organisasi lah yang mempunyai dampak yang paling dominan untuk OCB karyawan.
7. Sevrina Inovi (2012)
Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi terhadap OCB dan Kinerja Karyawan PT Kamaltex Kabupaten Semarang (Jawa Tengah)
Independen :
1. Kepuasan Kerja 2. Komitmen Organisasi Dependen :
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi berdampak signifikan terhadap OCB sehingga
terimplikasi pula terhadap peningkatan kinerja karyawan PT Kamaltex.
8. Chairul Anwar (2014)
Pengaruh karakteristik indvidu, budaya organisasi dan motivasi kerja terhadap kinerja melalui OCB
Independen :
1. karakteristik indvidu 2. budaya organisasi 3. motivasi kerja dependen : analisis diketahui bahwa
variable budaya organisasi (X2) berpengaruh negatif dan
2.6 Kerangka Konseptual
2.6.1 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
Menurut Smith, et all. (Konovsky & Pugh, 2004) OCB adalah perilaku karyawan
berupa kerelaan mengerjakan tugas-tugas melebihi tugas pokoknya. Karyawan
memiliki kebebasan untuk bertindak dan tidak memperoleh reward, dalam konteks
struktur reward formal dari organisasi, atas perilakunya tersebut. Budaya
organisasional merupakan suatu sistem dari kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai
yang berkembang dalam organisasi dan mengarahkan perilaku anggotanya. Dalam
bisnis, sistem-sistem ini sering dianggap sebagai corporate culture. Tidak ada dua
pribadi yang sama, tidak ada budaya organisasi yang identik. Para ahli dan konsultan
mempercayai bahwa perbedaan budaya memiliki pengaruh yang besar pada kinerja
organisasional dan kualitas kehidupan kerja yang dialami oleh anggota organisasi
(Schemerhorn, et.all, 2004).
George dan Jones (1999) menemukan bahwa budaya organisasi dapat
meningkatkan perilaku Organizational Citizenship Behaviour karyawan. Semakin
baik budaya organisasi maka akan semakin tinggi Organizational Citizenship
Behaviour (OCB) karyawan. Hal ini juga didukung dengan hasil Appelbaum (dalam
Purnamie, 2014:45) yang menyatakan bahwa budaya organisasi antara lain orientasi
manajemen terbuka dan tertutup, evaluasi dan normatif. Hal ini juga sejalan dengan
penelitian Jagannath (2012) yang menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh
terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB).
2.6.2. Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
Organizational Citizenship Behavior atau OCB atau peraturan “ekstra” yang tidak
dapat dijelaskan secara formal, tetapi ada dan berakar dalam suatu organisasi. Ostroff
(2002) menjelaskan bahwa karyawan yang merasa puas, berkomitmen dan dapat
menyesuaikan diri dengan baik untuk lebih bersedia bekerja guna memenuhi tujuan
organisasi dan memberikan pelayanan sepenuh hati pada organisasi dengan
meningkatkan kinerja dan karenanya akan mendukung efektifitas organisasi
dibandingkan dengan pekerja yang merasa tidak puas. Robbins (2006) menyatakan
bahwa karyawan yang puas berkemungkinan lebih besar untuk berbicara secara
positif tentang organisasi, membantu rekan kerja, dan membuat kinerja pekerjaan
mereka melampaui perkiraan normal, lebih dari itu karyawan yang puas mungkin
lebih patuh terhadap panggilan tugas, karena mereka ingin mengulang
pengalaman-pengalaman positif mereka. Penelitian terkini mengungkapkan bahwa kepuasan kerja
berpengaruh signifikan terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB) dan
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) berpengaruh pada persepsi kualitas
2.6.3 Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
Organizational Citizenship Behavior dapat timbul dari berbagai faktor dalam
organisasi, di antaranya karena adanya kepuasan kerja dari karyawan dan komitmen
organisasi yang tinggi (Robbin dan Judge, 2007). Komitmen organisasi merupakan
persepsi tentang kebijakan, praktik-praktik dan prosedur - prosedur organisasional
yang dirasakan dan diterima oleh individu-individu dalam organisasi. Individu -
individu menganggap atribut - atribut organisasional sebagai pengakuan terhadap
keberadaan mereka. Penilaian atribut-atribut organisasional pada level individu
disebut sebagai komitmen psikologikal (psychological comitmen). Ketika penilaian
ini dirasakan dan diterima oleh sebagian besar orang dalam tempat kerja, hal ini
disebut sebagai komitmen organisasional (organizational comitment) Reichers &
Schneider (2005). Pada karyawan yang memiliki komitmen terhadap perusahaan,
maka karyawan tersebut merasa memiliki kepuasan dalam bekerja dan rela berbuat
untuk kemajuan perusahaannya tersebut (Chockalingan et. all, 2008).
Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk menguji hubungan antara
komitmen organisasi dengan Organizational Citizenship Behaviour (OCB) seperti
yang dilakukan oleh Arti Bakhshi, dkk (2011) yang menyatakan bahwa ketiga
komponen komitmen organisasi seperti komitmen afektif, komitmen berkelanjutan
dan komitmen normative memiliki hubungan positi terhadap Organizational
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat
dijelaskan pada Gambar 2.1 berikut ini :
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Gambar 2.1 Kerangka Konse
Sumber : Sopiah (2008) dan Herlina (2013)
Keterangan :
X1,X2, dan X3 adalah variabel bebas. Terdapat 3 (tiga) variabel bebas dalam
penelitian ini yaitu Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi.
Sedangkan Y adalah variabel terikat. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
Organizational Citizenship Behavior (OCB). Budaya Organisasi
Organizational Citizenship
Behavior (Y)
Kepuasan Kerja (X2)
Komitmen Organisasi
H
Organizational Citizenship Behavior
(Y) H1
H2
H4
2.7Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara yang masih harus dibuktikan
kebenarannya melalui penelitian (Sugiyono, 2004). Hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
H1 : Budaya Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Organizational
Citizenship Behavior (OCB) Karyawan Federal International Finance
(FIF) Cabang Medan
H2 : Kepuasan Kerja berpengaruh signifikan terhadap Organizational
Citizenship Behavior (OCB) Karyawan Federal International Finance
(FIF) Cabang Medan
H3 : Komitmen Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Organizational
Citizenship Behavior (OCB) Karyawan Federal International Finance
(FIF) Cabang Medan
H4 : Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi secara
bersama - sama berpengaruh signifikan terhadap Organizational
Citizenship Behavior (OCB) Karyawan Federal International Finance