JUKEMA (Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh)
Vol. 6, No. 2, Oktober 2020: 134-140 e-ISSN 2549-6425
134
FAKTOR PENYEBARAN KASUS FILARIASIS
DI KABUPATEN ASAHAN
Distibution Factors of Filariasis Case in the Asahan District
Usfiandinata Usalma1*, Asnawi Abdullah1,2 dan Alma Aletta21Magister Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh, Batoh, Banda Aceh, 23245 2Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh
*usfiandinata1234@gmail.com
Received: 27 Oktober 2019/ Accepted: 15 April 2020 ABSTRAK
Latar Belakang: Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filarial dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk. Berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Asahan Sumatera Utara kasus filariasis terbanyak pada tahun 2014 berjumlah 33 orang, tahun 2015 meningkat menjadi 36 orang, tahun 2016 sebanyak 38 orang, tahun 2017 sebanyak 40 orang dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 41 orang. Penyebabnya tidak memiliki akses air bersih, sanitasi memadai, dan perumahan ynag tidak layak huni. Metode:
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan study case control yang dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2019 di Wilayah Kerja Puskesmas Dinas Kabupaten Asahan. Sampel dalam penelitian ini ada penderita filariasis sebanyak 41 orang (kelompok kasus) dan 41 orang yang tidak menderita filariasis (kelompok kontrol). Hasil: Hasil penelitian diketahui ada hubungan dengan tidak menggunakan kawat kassa (p-value
0.002), tidak menggunakan plafon rumah value 0.001), kebiasaan melakukan pekerjaan pada malam hari (p-value 0.002), tidak menggunakan kelambu (p-(p-value 0.001) dan tidak menggunakan obat anti nyamuk (p-(p-value 0.0001) dengan penyebaran filariasis di Kabupaten Asahan. Saran: Kepada pihak Dinas Kesehatan Asahan
perlunya sosialisasi terkait pencegahan dan pengobatan filariasis, begitu juga dengan masyarakat perlu menjaga kebersihan lingkungan di sekitar rumahnya dan melindungi diri dari gigitan nyamuk.
Kata Kunci: Filariasis, Faktor Risiko
ABSTRACT
Background: Filariasis is a chronic infectious disease caused by filarial worms and transmitted by mosquito bites. Based on the profile data of the North Sumatra Asahan Health Office the most cases of filariasis in 2014 were 33 people, in 2015 it increased to 36 people, in 2016 there were 38 people, in 2017 there were 40 people and in 2018 it increased to 41 people. The reason is not having access to clean water, adequate sanitation, and uninhabitable housing. Methods: This research is a quantitative study using a case control study conducted in July-August 2019 in the Asahan District Health Center Work Area. The sample in this study were 41 people with filariasis (case groups) and 41 people whitout filariasis (control groups). Result: The results of the study showed a relationship with to not using a gauze (p-value 0.002), not using a house ceiling (p-value 0.001), the habit of doing work at night (p-value 0.002), not using mosquito nets (p-value 0.001) and not use mosquito repellent (p-value 0.0001) with the spread of filariasis in Asahan District. Recommendation: To the Asahan health Office, there is a need for socialization related to the prevention and treatment of filariasis, as well as the community needs to maintain the cleanliness of the environment around their house and protect themselves from mosquito bites.
135
PENDAHULUAN
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filarial dan ditularkan melalui nyamuk. Dalam tubuh manusia, cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan limfe sehingga menyebabkan pembengkakan di kaki, tungkai, payudara, lengan dan organ genital (Chesnais et al., 2019).
Beberapa dekade terakhir peningkatan kasus filariasis terbanyak di daerah perkotaan. Hal ini diperkirakan akan meningkat di Negara berkembang dan Negara yang berpenghasilan rendah seperti Afrika sub-Sahara dari 10% pada tahun 1950 menjadi 35% sampai dengan sekarang, dan diperkirakan lebih dari 50% pada tahun 2030. Penyebaran kasus filariasis di Negara berkembang di karenakan masih adanya area dimana rumah tangga tidak memiliki akses air bersih, sanitasi memadai, penghasilan yang masih kurang, dan perumahan yang tidak layak huni sehingga kondisi ini menguntungkan untuk perkembangbiakan vektor nyamuk filarial (Chesnas et al.,
2019).
Filariasis bukanlah penyakit yang fatal, tetapi dapat menyebabkan morbiditas atau kematian di seluruh dunia (Mallawarachchi et al., 2018). WHO
menetapkan kesepakatan global sebagai upaya untuk mengeliminasi filariasis pada tahun 2020 (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020) (Brant et al., 2018) Saat ini di dunia
terdapat 1,38 miliar penduduk yang berisiko tertular filariasi atau yang dikenal juga dengan penyakit kaki gajah (Kemenkes RI., 2019).
Pada tahun 2018, Indonesia terdapat 10.681 kasus filariasis di 34 provinsi. Lima provinsi dengan kasus kronis filariasis terbanyak pada tahun 2018 adalah Papua (3.615 kasus), Nusa Tenggara Timur (1.542 kasus), Jawa Barat (781 kasus), Papua Barat (622 kasus) Aceh
(578 kasus) dan Yogyakarta (tiga kasus) (Kemenkes RI., 2019).
Berdasarkan data profil yang didapatkan dari Dinas kabupaten Asahan penderita filariasis terbanyak pada tahun 2014 berjumlah 33 orang, pada tahun 2015 meningkat menjadi 36 orang, tahun 2016 sebanyak 38 orang, pada tahun 2017 bertambah menjadi 40 orang dan sampai dengan bulan April 2018 jumlah penderita filariasis adalah 41 orang. Dari data tersebut menunjukkan kasus filariasis dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan (Dinas Kesehatan Asahan, 2018).
Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua yang dapat melemahkan atau dikenal karena penyakit filariasis merupakan penyebab kecacatan menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (Masrizal, 2012).
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan case control yaitu penelitian yang mengkaji
hubungan antara efek (dapat berupa penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu, pengumpulan data dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Asahan Sumatera Utara pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2019 dengan membagikan kuesioner kepada 41 responden yang mengalami filariasis dan 41 yang tidak mengalami filariasis. Kriteria kasus penderita filariasis, pasien lama yang belum sembuh dan pasien baru. Sedangkan kriteria kontrol pasien yang tidak mengalami filariasis, tinggal di kecamatan yang sama dan bersedia menjadi sampel. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisa uji logistik regresi.
HASIL
Dari hasil analisis univariat dan bivariat untuk menggambarkan distribusi
JUKEMA (Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh)
Vol. 6, No. 2, Oktober 2020: 134-140 e-ISSN 2549-6425
136
frekuensi dan faktor risiko penyebaran filariasis di wilayah kerja Puskesmas
Kabupaten Asahan Sumatera Utara menunjukan sebagai berikut:
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Faktor Penyebaran Filariasis di Kabupaten Asahan Tahun 2019
No. Variabel f %
1. Penggunaan kawat kassa
Ada 16 39.0
Tidak Ada 25 61.0
2. Penggunaan plafon rumah
Ada 14 34.1
Tidak Ada 27 65.9
3. Kebiasaan melakukan pekerjaan malam hari
Tidak 13 31.7
Ya 28 68.3
4. Penggunaan kelambu
Ada 17 41.5
Tidak Ada 24 58.5
5. Penggunaan anti nyamuk
Ada 10 24.4
Tidak Ada 31 75.6
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi untuk kategori tidak ada menggunakan kawat kassa sebanyak 61.0% lebih tinggi bila dibandingkan yang ada kawat kassa 39.0%. Kategori tidak ada menggunakan plafon rumah sebanyak 65.9% lebih tinggi dibandingakan yang ada plafon rumah 34.1%. Untuk kategori yang kebiasaan melakukan pekerjaan malam hari sebanyak
68.3% lebih tinggi bila dibandingkan yang tidak biasa melakukan pekerjaan malam hari 31.7%. Yang tidak ada menggunakan kelambu sebanyak 58.5% lebih tinggi bila dibandingkan yang ada menggunakan kelambu 41.5%. Sedangkan pada kategori yang tidak ada menggunakan obat anti nyamuk sebanyak 75.6% lebih tinggi bila dibandingkan yang ada menggunakan obat anti nyamuk 24.4%.
Tabel 2. Penggunaan Kawat Kasa dengan Penyebaran Filariasis di Kabupaten Asahan Tahun 2019
Berdasarkan Tabel 2 di atas diketahui bahwa responden yang mengalami filariasis ada terpasang kawat kassa di dalam rumah sebanyak 39.0%, lebih rendah dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami filariasis 73.2%. Sedangkan responden mengalami
filariasis tidak terpasang kawat kassa 61.0%, lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami filariasis 26.8%. OR 4.2 dan p-value 0.002. Ada hubungan penggunaan kawat kassa dengan penyebaran filariasis. No. Penggunaan Kawat Kasa Filariasis Total OR P-Value Kasus Kontrol f % f % f % 1. Ada 16 39.0 30 73.2 46 100.0 4.2 0.002 2. Tidak Ada 25 61.0 11 26.8 36 100.0
137
Tabel 3. Penggunaan Plafon Rumah dengan Penyebaran Filariasis di Kabupaten Asahan Tahun 2019
Berdasarkan Tabel 3 di atas diketahui bahwa responden yang mengalami filariasis ada terpasang plafon rumah sebanyak 34.1%, lebih rendah dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami filariasis 70.7%. Sedangkan responden mengalami filariasis
tidak terpasang plafon rumah sebanyak 65.9%, lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami filariasis sebanyak 29.3%. OR 4.6 dan p-value 0.001. Ada hubungan penggunaan plafon rumah dengan penyebaran filariasis.
Tabel 4. Kebiasaan Melakukan Pekerjaan Malam Hari dengan Penyebaran Filariasis di Kabupaten Asahan Tahun 2019
Berdasarkan Tabel 4 di atas diketahui bahwa responden yang mengalami filariasis tidak biasa melakukan pekerjaan pada malam hari 31.7%, lebih rendah dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami filariasis 65.9%. Sedangkan responden yang
mengalami filariasis biasa melakukan pekerjaan pada malam hari 68.3%, lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami filariasis 34.1%. OR 4.1 p-value 0.002. Ada hubungan kebiasaan melakukan pekerjaan malam hari dengan penyebaran filariasis.
Tabel 5. Penggunaan Kelambu dengan Penyebaran Filariasis di Kabupaten Asahan Tahun 2019
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa responden yang mengalami filariasis ada menggunakan kelambu saat tidur 41.5%, lebih rendah dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami filariasis 78.1%. Sedangkan responden
yang mengalami filariasis tidak menggunakan kelambu saat tidur 58.5%, lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami filariasis 21.9%. OR 5.0 p-value 0.001. Ada hubungan penggunaan kelambu dengan No. Penggunaan Plafon Rumah Filariasis Total OR P-Value Kasus Kontrol f % f % f % 1. Ada 14 34.1 29 70.7 43 100.0 4.6 0.001 2. Tidak Ada 27 65.9 12 29.3 39 100.0 No. Kebiasaan Melakukan Pekerjaan Malam Hari Filariasis Total OR P-Value Kasus Kontrol f % f % f % 1. Tidak 13 31.7 27 65.9 40 100.0 4.1 0.002 2. Ya 28 68.3 14 34.1 42 100.0 No. Penggunaan Kelambu Filariasis Total OR P-Value Kasus Kontrol f % % f % 1. Ada 17 41.5 32 78.1 49 100.0 5.0 0.001 2. Tidak Ada 24 58.5 9 21.9 33 100.0
JUKEMA (Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh)
Vol. 6, No. 2, Oktober 2020: 134-140 e-ISSN 2549-6425
138
penyebaran filariasis.
Tabel 6. Penggunaan Anti Nyamuk dengan Penyebaran Filariasis di Kabupaten Asahan Tahun 2019
Berdasarkan Tabel 6 di atas diketahui bahwa responden yang mengalami filariasis ada menggunakan obat anti nyamuk saat tidur 24.4%, lebih rendah dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami filariasis 80.5%. Sedangkan responden yang mengalami filariasis tidak menggunakan obat anti nyamuk saat tidur 75.6%, lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami filariasis 19.5%. OR 12.7 p-value 0.0001. Ada hubungan penggunaan obat anti nyamuk dengan penyebaran filariasis.
PEMBAHASAN
Filariasis merupakan penyakit kaki gajah yang ditularkan melalui gigitan nyamuk ke tubuh manusia. Pada kasus filariasis nyamuk merupakan vektor atau wabah penularan penyakit. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan yang tidak sehat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan, sebanyak 50.0% responden mengalami penyakit filariasis dengan berbagai penyebab. Adapun penyebab terjadinya penyakit filariasis yaitu berupa tidak menggunakan kawat kassa (p-value 0.002), tidak menggunakan plafon rumah (p-value 0.001), kebiasaan melakukan pekerjaan malam hari (p-value 0.002), tidak menggunakan kelambu (p-value 0.001) dan tidak menggunakan obat anti nyamuk (p-value 0.0001).
Penggunaan Kawat Kasa
Pemasangan kawat kasa pada
ventilasi rumah merupakan salah satu upaya untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk (Ernawati, 2017). Kawat kasa yang dipasang di bagian ventilasi rumah ini berfungsi untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan naymuk dan tanpa disadari dapat menjauhkan diri dari risiko terkena filariasis. Pemasangan kawat kasa di rumah salah satu di pengaruhi oleh faktor ekonomi responden, karena kawat kasa harga tidak murah (Juriastuti et al., 2010).
Asumsi peneliti kawat kasa sangat penting digunakan di bagian ventilasi rumah karena dapat mencegah masuknya nyamuk ke dalam rumah. Apabila rumah tidak ada kawat kasa kemungkinan nyamuk masuk dan akan berkembangbiak di dalam rumah, apalagi kondisi rumah yang penerangan cahaya kurang.
Penggunaan Plafon Rumah
Plafon sendiri berfungsi sebagai pemisah antara genting dengan ruangan agar tidak berhubungan langsung. Sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan plafon cukup penting agar nyamuk tidak leluasa masuk rumah melalui celah-celah genting. Kontruksi plafon yang buruk menyebabkan nyamuk bisa masuk ke dalam rumah
sehingga bisa menggigit penghuni rumah dan memungkinkan terjadi penularan filariasis (Ernawati, 2017).
Asumsi peneliti rumah yang ada plafon dan kondisinya baik kemungkinan untuk masuknya nyamuk ke dalam rumah berkurang karena ada hambatan atau No. Penggunaan Anti Nyamuk Filariasis Total OR P-Value Kasus Kontrol f % f % f % 1. Ada 10 24.4 33 80.5 43 100.0 12.7 0.0001 2. Tidak Ada 31 75.6 8 19.5 39 100.0
139
pemisah antara sela-sela ruangan rumah. Begitu juga dengan rumah yang tidak ada plafon, jentik nyamuk akan berkembangbiak di sela-sela rumah. Kebiasaan Melakukan Pekerjaan Malam Hari
Kebiasaan keluar rumah malam hari merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Asahan. Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat dilapangan yang sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai petani, buruh perkebunan kelapa sawit, dan nelayan yang mengharuskan beraktivitas dimalam hari. Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan untuk mendapatkan gigitan nyamuk (Dinas Kesehatan Asahan, 2018).
Asumsi peneliti kebanyakan masyarakat di kabupaten Asahan bekerja pada malam hari seperti ke kebun sawit, ke sawah. Oleh karena itu bagi masyarakat khususnya kaum bapak-bapak yang bekerja pada malam hari untuk menggunakan jaket, lotion, baju lengan panjang dan celana panjang untuk mencegah gigitan nyamuk filarial.
Penggunaan Kelambu
Kebiasaan menggunakan kelambu pada waktu tidur mempunyai kontribusi untuk mencegah penularan filariasis, karena pada umumnya aktivitas menggigit nyamuk tertinggi pada malam hari, dimana di dapatkan 52.6% masyarakat tidur tidak menggunakan kelambu (Noerjoedianto, 2016). Perilaku masyarakat tidak menggunakan kelambu saat tidur disebabkan oleh berbagai alasan seperti merasa gerah (kepanasan) dan tidak praktis. Selain itu masyarakat juga menganggap tidak mampu membeli kelambu karena alasan ekonomi masyarakat yang kurang mmapu (Nasrin, 2008).
Asumsi peneliti penggunaan
kelambu dapat mencegah atau menghindari dari gigitan nyamuk. Kelambu ada dua jenis yaitu ada kelambu biasa dan kelambu berinsektisida yaitu kelambu yang sudah dilapisi dengan anti nyamuk sehingga nyamuk tidak bisa menggigit manusia. Kelambu juga tidak berbahaya bagi kesehatan karena anti nyamuk yang ada di kelambu tidak meracuni manusia.
Penggunaan Obat Anti Nyamuk
Kebiasaan masyarakat menghindari diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak dengan vektor) dengan menggunakan obat nyamuk seperti semprot, obat nyamuk bakar, lotion, atau dengan cara memberantas nyamuk (Agustiantiningsih, 2013). Penggunaan anti nyamuk juga tidak ada artinya apabila hanya dilakukan pada saat berada di rumah, sedangkan waktu keluar rumah tidak menggunakan pelindung diri.
Asumsi peneliti penggunaan anti nyamuk tidak perlu, cukup dengan menjaga kebersihan lingkungan sekitar, kebersihan tempat tidur, tidak ada gantungan baju, tidak ada genangan air, dan tidak adanya rawa-rawa merupakan metode mencegah masuknya nyamuk ke dalam rumah.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Penyebaran filariasis terjadi karena adanya gigitan nyamuk Mansonia,
Anopheles, Culex, dan Armigeres.
Penularan dapat terjadi apabila ada lima unsur yaitu sumber penular (manusia dan hewan), parasit, vektor, manusia yangrentan, lingkungan (fisik, biologik dan sosial-ekonomi-budaya). Adapun faktor yang mempengaruhi penyebaran filariasis di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Asahan yaitu penggunaan kawat kasa, penggunaan plafon rumah, kebiasaan melakukan pekerjaan pada
JUKEMA (Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh)
Vol. 6, No. 2, Oktober 2020: 134-140 e-ISSN 2549-6425
140
malam hari, penggunaan kelambu serta penggunaan obat anti nyamuk.
Saran
Disarankan kepada masyarakat untuk menggunakan kelambu saat tidur, menggunakan obat anti nyamuk saat melakukan pekerjaan pada malam hari agar terhindar dari gigitan nyamuk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Agustiantiningsih, D., Praktik Pencegahan Filariasis, Jurnal Kesehatan Masyarakat; 2013, Vol. 8,
No. 2.
2. Chesnais, C. B., Awaca-Uvon, N. P., Vlaminck, J., Tambwe, J. P., Weil, G. J., Pion, S. D., Boussinesq, M., Risk Factors for Lymphatic Filariasis in Two Villages of the Democratic Republic of the Congo, Parasit Vectors; 2019, Vol. 12, No. 1, p.p. 162.
3. Dinas Kesehatan Asahan, Profil Kesehatan Kabupaten Asahan Sumatera Utara; 2018.
4. Ernawati, A. J. J. L. M. I. P., Pengembangan dan IPTEK, Faktor Risiko Penyakit Filariasis (Kaki Gajah); 2017, Vol. 13, No. 2, p.p. 105-114.
5. Juriastuti, P., Kartika, M., Djaja, I. M., Susanna, D., Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kelurahan Jati Sampurna, Makara Kesehatan; 2010,
Vol. 14, No. 1, p.p. 31-6.
6. Kemenkes, RI., Profil Kesehatan Indonesia 2018, Jakarta; 2019.
7. Mallawarachchi, C. H., Nilmini, Chandrasena, T. G. A., Premaratna, R., Mallawarachchi, S., de Silva, N. R., Human Infection with Sub-Periodic Brugia Spp. in Gampaha District, Sri Lanka: A Threat to Filariasis Elimination Status?, Parasit Vectors; 2018, Vol. 11, No. 1, p.p. 68.
8. Masrizal, M., Penyakit Filariasis,
Jurnal Kesehatan Masyarakat
Andalas; 2012, Vol. 7, No. 1.
9. Nasrin, N., Faktor-faktor Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka Barat, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro; 2008.
10. Noerjoedianto, D. J. J. P. U. J. S. S., Dinamika Penularan dan Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2014; 2016, Vol. 18, No. 1, p.p. 56-63.