• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI MAKNA LEKSIKON TIING DALAM BAHASA BALI BERBASIS LINGKUNGAN ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RELASI MAKNA LEKSIKON TIING DALAM BAHASA BALI BERBASIS LINGKUNGAN ABSTRACT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

RELASI MAKNA LEKSIKON TIING DALAM BAHASA BALI BERBASIS LINGKUNGAN

Gek Wulan Novi Utami Universitas Dhyana Pura

ABSTRACT

The aim of this research is to find the semantic relation between lexicons of tiing „bamboo‟ in Balinese and to know social praxis usage as a language environment which is linked to life balance. The collected data are spoken data and written data as supporting data. This research is explained descriptively and is conducted with qualitative approach. It is collected by observation and depth interview, and also is assisted by recording and note taking techniques. Based on the research, the findings are meronymy and taxonomic hyponym of bamboo in Balinese and the related lexicons are formed by social praxis which are able to raise Balinese people’s preservation efforts as ecologic human.

Keywords: Ecolinguistics, semantic relations, bamboo, Balinese

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan relasi makna antarleksikal berkenaan dengan tanaman bambu dalam bahasa Bali dan penggunaan praksis sosial sebagai lingkungan bahasa terkait dengan keseimbangan hidup. Data penelitian ini adalah data lisan dan data tertulis sebagai data pendukung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan pengamatan mendalam dan wawancara serta dibantu dengan teknik catat dan rekam. Dari penelitian ini diperoleh hasil, yaitu ditemukan meronimi dan taxonomi hiponim bambu dalam bahasa Bali dan leksikon terkait terbentuk dari praksis sosial yang membangkitkan sifat ekologis manusia untuk upaya pelestarian.

Kata kunci: ekolinguistik, relasi makna, bambu, bahasa Bali 1. PENDAHULUAN

Bahasa senantiasa berubah dari waktu ke waktu dan perubahan bahasa dapat menjadi gambaran perubahan lingkungan dari waktu ke waktu yang ditunjukkan oleh pengetahuan kognitif guyub tutur berupa kekayaan pengetahuan kebahasaan, khususnya leksikon-leksikon dan ungkapan-ungkapan yang dimiliki. Dalam penelitian ini, kosakata berupa leksikon menjadi data penting khususnya leksikon yang berhubungan dengan bambu. Pohon bambu di Asia khususnya di Indonesia menjadi tanaman yang berpopulasi terbanyak karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Walaupun populasi pohon bambu tidak terancam punah tetapi jenis pohon bambu tidak sama banyaknya sehingga ada jenis yang sudah langka di beberapa wilayah termasuk di wilayah Bali. Hal tersebut ditunjukkan oleh pengetahuan guyub tutur Bahasa Bali tentang bambu dan bagian-bagiannya yang dilupakan oleh guyub tutur bahasa Bali karena kurangnya intensitas interaksi guyub tutur dengan pohon bambu dan lingkungannya.

(2)

2

Leksikon terkait dapat menunjukkan hubungan guyub tutur dengan entitas yang dirujuk, hubungan entitas tersebut dengan kebudayaan, dan hubungan entitas tersebut dengan lingkungan tempat hidup serta keberlanjutan populasi yang didukung oleh hubungan interaksi itu sendiri. Whorf mengidentifikasi hubungan searah antara kategori gramatikal bahasa dan logika budaya berikut ini.

“Assertion of such relationship can be very persuasive, but they are difficult to prove. There is, however, a much more straightforward relationship between language and culture to be found by studying vocabulary.”

“Pernyataan tegas semacam hubungan bisa sangat persuasif, tetapi sulit dibuktikan. Ada, namun, hubungan yang jauh lebih efisien antara bahasa dan budaya dapat ditemukan dengan mempelajari kosakata.

Kosakata yang berupa leksikon atau satuan yang lebih kecil lagi yaitu leksem mengandung makna tertentu. Makna tertentu yang dimaksudkan itu menjelaskan hubungan leksikon dengan kebudayaan seperti kebudayaan mengolah sumber daya lingkungan misalnya budaya kuliner yang pada akhirnya memiliki nilai ekonomis. Hal itu tidak terlepas dari peran lingkungan yang menjadi tempat hidup bahasa tersebut. Pengetahuan kognitif ini meliputi kosakata khususnya satuan leksikal yang penutur gunakan untuk menyebut dan merujuk objek, kegiatan, dan aktivitas yang penting dalam lingkungannya (Casson, 1981:1).

Tidak dipungkiri kebudayaan berupa hukum adat istiadat memiliki kontribusi menjaga keseimbangan hubungan antar makhluk hidup dan lingkungannya. Di Bali adat istiadat tersebut terjaga dan berbeda-beda di setiap daerah tetapi konsep yang menjadi landasan untuk menjaga keharmonisan yang dipercaya adalah konsep Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana yang merupakan tiga faktor ketenangan hidup manusia Bali yaitu (1) memelihara hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), (2) manusia dengan sesama (Pawongan), dan (3) manusia dengan lingkungannya (Palemahan). Hal tersebut memperkuat pernyataan bahwa kebudayaan tercipta untuk kehidupan manusia karena manusia adalah makhluk ekologi (Keraf, 2014) yang hidup, dan tergantung pada lingkungan. Adanya interaksi, kebergantungan, dan keterhubungan guyub tutur dengan makhluk hidup lainnya yang hidup di sekitarnya dalam hal ini tanaman bambu, dikatakan bahwa hubungan keduanya akan menigkat sampai pada tingkat akrab sehingga tidak heran jika guyub tutur mengetahui bagian-bagian bambu, karakter, cara idup, bahkan membedakan jenisnya dalam sekali lihat, terlebih karena kaitannya dengan kebudayaan, kebutuhan bambu sebagai alat upacara, bagian industri, kuliner, guyub tutur tentu tingkat keakraban yang sangat tinggi dilihat dari intensitas interaksi yang tinggi.

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah-masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut pertama, bagaimanakah hubungan makna antarleksikon jenis bambu dalam bahasa Bali? Kedua, bagaimanakah penggunaan praksis sosial sebagai lingkungan bahasa yang membentuk leksikon terkait?

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan leksikon jenis bambu dan yang berkaitan dengan bambu itu sendiri yang juga menjadi pengetahuan kognitif guyub tutur bahasa Bali. Penelitian ini juga memiliki tujuan khusus, yaitu untuk menjawab permasalahan penelitian ini.

Adapun manfaat penelitian ini meliputi manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis penelitian ini adalah untuk menambah khazanah informasi kelinguistikan khususnya ekolinguistik, yang dilakukan dengan pendokumentasian pengetahuan kognitif berupa leksikon kebambuan. Secara praktis, manfaat penelitian ini, yaitu memberikan informasi tentang

(3)

3

hubungan bahasa dan lingkungan bagi masyarakat di luar lingkungan kelinguistikan. Selain itu, penelitian ini memiliki manfaat praktis yaitu bisa meningkatkan kepedulian masyarakat Bali untuk memulihkan lingkungan yang sudah rusak dan melestarikan jenis-jenis bambu yang sudah jarang melalui informasi kebahasaan yang berkaitan dengan bambu.

2. LANDASAN TEORI 2.1 Teori Ekolinguistik

Dalam „Language and environment‟, Sapir (1912) menulis fenomena kebahasaan yang dihubungkan dengan lingkungan dan dikuatkan oleh deskripsi bahasa yang meliputi sistem bunyi, struktur, dan makna. Khazanah leksikon itu dapat mencerminkan karakteristik penutur dan kebudayaannya yang dipengaruhi oleh karakter lingkungan fisik sebagai tempat penutur dan bahasa tersebut hidup. Sapir menambahkan (dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:2) interelasi antara bahasa dan lingkungan muncul pada tingkatan kosakata bukan pada fonologi dan morfologinya. Analisis termaksud bahkan sampai pada gambaran yang lebih khusus sehingga kata-kata tersebut dapat dideskripsikan sejelas mungkin oleh penutur karena tingkat keakraban yang tinggi (degree of familiarity) terhadap konsep tertentu (Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:16). Haugen adalah linguis yang tertarik dengan hubungan antara bahasa dan lingkungan, menaruh perhatian lebih pada aspek tersebut dan muncullah istilah ekologi bahasa (ecology of language). Haugen (dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:57) mengatakan ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai kajian interaksi antara bahasa tertentu dan lingkungannya. Bahasa bermula dari keadaan konkret ke keadaan abstrak (Cassirer, 1990:205). Kata-kata konkret itu terikat dengan fakta-fakta dan tindakan tertentu serta dijelaskan terperinci tetapi tidak terklasifikasikan. Penamaan pada kata-kata tersebut ditentukan oleh kepentingan dan tujuan manusiawi tetapi kepentingan-kepentingan itu tidak tentu dan tidak seragam serta tidak juga asal-asalan karena penamaan tersebut dilandasi unsur tetap pengalaman inderawi penutur (Cassirer, 1987:2007). Sebagai makhluk ekologis (Mbete, 2013:2) manusia hidup dengan keberagaman dalam hal ini keberagaman biotik dan abiotik dalam lingkungan yang saling memengaruhi. Melalui proses interaksi pula keberagaman yang diketahui dan dipahami secara khusus itu menciptakan kode-kode lingual menjadi kata-kata.

Ekolinguistik memiliki model tata kaji yang dikemukakan oleh Bang dan Døør (1998) yang digunakan untuk membantu memecahkan masalah-masalah dalam penelitian ini. Model ini adalah model ekolinguistik dialektikal dengan praksis sosial pembentuknya yaitu ideologis, sosiologis, biologis. Fungsi umum model ekolinguistik dialektikal ini adalah untuk menganalisis teks tetapi dalam penelitian ini memfokuskan pada leksikon dan mengambil sedikit penjelasan yang berhubungan dengan model ekolinguistik dialektikal khususnya ketiga praksis sosial yang disebutkan sebelumnya.

(4)

4

Dimensi ideologis menunjukkan adanya hubungan individu dengan mental kolektif beserta kognitifnya termasuk khazanah pengetahuan leksikon dan ungkapan, tuturan atau wacana, sistem idelogis dan sistem fisik dalam arti unsur-unsur material, yang biotik dan yang abiotik seperti air, udara. Tiap pengetahuan kognitif berupa leksikon, ungkapan dan teks memiliki keberadaan ideologikal bagi guyub tutur yang berarti keberadaannya mereka ketahui dapat diproduksi dan digunakan guyub tutur itu sendiri (Bundsgaard and Steffensen, 2000:19). Pengetahuan kognitif tiap individu menunjukkan kuatnya interaksi yang dilakukan yang memengaruhi pola pikir individu tersebut sehingga memunculkan idelologi yang dijadikan konsep hidup sebagai akibat hubungan interaksi yang dijaga antara individu dan sekitarnya.

Dimensi sosio-logikal menunjukkan cara masyarakat atau individu mengorganisasi interelasi dengan lingkungannya untuk menjaga kolektivitas individual. Pengetahuan leksikon sudah ada terlebih dahulu dalam keberadaan dimensi sosiologikal guyub tutur, dan sudah pernah mereka dengar dalam situasi dialogikal pada situasi percakapan di dalam praksis sosial (Bundsgaard and Steffensen, 2000:16). Disebutkan juga istilah neologisme dalam Bundsgaard dan Steffensen (2000) yaitu sebuah pengetahuan yang terekam dalam ingatan guyub tutur yang jika diujarkan, niscaya mereka akan masuk ke dalam lingkungan sosiologikal dan pengetahuan itu akan menghilang jika tidak dituturkan.

Dimensi biologikal menunjukkan kolektivitas biologis individu yang menggambarkan keharmonisan individu yang hidup berdampingan dengan spesies lain, baik makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan, mikroorganisme, makroorganisme maupun benda-benda mati di alam seperti air, batu, pasir, lautan (Bundsgaard and Steffensen, 2000).

2.2 Teori Semantik

Semantik adalah cabang linguistik mengkaji makna (Verhaar, 2010:385). Bidang semantik dibagi menjadi semantik leksikal dan semantik gramatikal. Dalam penelitian ini hanya digunakan teori semantik leksikal. Semantik leksikal menyangkut makna antarleksikon yang terhubung (relasi leksikal) dalam bidang leksikon tertentu (lexical field) seperti istilah dalam pertambangan, kedokteran, pelayaran, dalam kegiatan memasak dan mendaki gunung yang

Ideo-logics socio-logics Bio-logics Situation: Topos

M

S3 S1 O S1 S2 Environment

(5)

5

mengkhusus, saling berhubungan seperti jaringan (network) (Saeed, 1997:63). Adapun bagian- bagian dari relasi leksikal yaitu homonimi, polisemi, sinonimi, antonimi, hiponimi, meronimi, member-collection, dan portion-mass. Dalam penelitian ini, hanya contoh hiponimi dan meronimi saja yang dibahas. Hiponimi adalah relasi penyertaan leksikon-leksikon khusus (daughter-nodes) yang memiliki satu leksikon sebagai titik sumber umum (mother-nodes) (Cruse, 1987:136). Hiponimi digambarkan dengan taksonomi, yaitu hierarki leksikal taksonomik yang berdasarkan hubungan akal dan rasa pada makna item leksikal (Cruse, 1987:137). Kosakata yang terhubung dalam sistem penyertaan tersebut akan menghasilkan jaringan semantik yang berbentuk hierarki taksonomi seperti berikut.

Animal

sheep horse

ewe ram mare stallion (Cruse, 1986:136)

Taksonomi di atas menunjukkan bahwa sheep (domba) dan horse (kuda) merupakan hiponim dari animal (hewan), ewe (domba betina) dan ram (domba jantan) merupakan hiponim dari sheep (domba), dan mare (kuda betina) dan stallion (kuda jantan) merupakan hiponim dari horse (kuda).

Berbeda dengan hiponimi, meronimi adalah tipe percabangan hierarki leksikal karena adanya hubungan antara item leksikal yang mengartikan bagian (part) dan yang mengartikan keseluruhan yang sesuai (whole) (Cruse, 1987:157). Ada kerangka khusus untuk mengidentifikasi hubungan dalam meronimi seperti X adalah bagian dari Y, atau Y memiliki X, seperti contoh halaman bagian dari buku atau sebuah buku memiliki halaman-halaman. Meronimi juga direfleksikan dalam klasifikasi hierarki seperti berikut.

body

head neck trunk arm leg forearm hand

palm finger (Cruse, 1986:157)

Meronimi berbeda dengan taksonomi. Taksonomi memiliki transitivitas (transitivity) (transitivity) antarleksikal tetapi meronimi tidak (Saeed, 1997:70), misalnya palm (telapak tangan) adalah meronimi dari hand (tangan) dan hand (tangan) meronim dari arm (lengan), tetapi palm (telapak tangan) tidak bisa dikatakan meronimi dari arm (lengan) yang diuji dengan X part Y, Y has X (telapak tangan bagian dari lengan, lengan memiliki telapak tangan) dan tidak berterima.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Melalui metode kualitatif sifat subjektif perilaku manusia tidak akan hilang karena fokus metode ini adalah mengenal informan secara pribadi sehingga pengembangan definisi dari informan tentang dunia juga dapat diperoleh melalui metode ini (Bogdan and Taylor, 1992:22). Dengan kata lain metode ini memudahkan peneliti masuk dan mengenal dunia subjek khususnya guyub tutur yang tinggal di bantaran

(6)

6

Tukad Badung melalui penuturan informan berdasarkan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan Tukad Badung. Data deskriptif dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan penyebab perilaku manusia melalui nilai dan norma kelompok serta kekuatan sosial lainnya (Bogdan and Taylor, 1992:19). Pemilihan lokasi penelitian menggunakan sampel purposif (Hadi, 1983:83) yaitu pemilihan sesuai fokus permasalahan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data berupa leksikon jenis bambu dalam bahasa bali dan pengalaman penutur berkaitan dengan bambu di lingkungannya. Selain data primer dari hasil wawancara, data sekunder burupa data tertulis tentang bambu dalam buku Jenis-Jenis Bambu di Bali dan potensi nya (Arinasa dan Peneng, 2013) juga digunakan dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh melalui pengamatan mendalam dan wawancara dengan penutur berbahasa Bali (Black dan Champion, 1992: 308--310). Selain itu, metode pengalaman personal (Denzin dan Lincoln, 2009:497) juga memiliki peranan penting dalam pemerolehan data karena refleksi ide guyub tutur dan cara berbeda dalam memaknai interaksi mereka dengan lingkungan melalui pengalaman personal guyub tutur yang berbeda pula. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik rekam dan catat untuk mengantisipasi kehilangan data karena keterbatasan peneliti dalam mengumpulkan data dengan ingatan dan pengamatan saat mewawancarai informan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Relasi Makna Antarleksikon

Adapun relasi makna yang dimaksud adalah hubungan makna antarleksikon berkaitan dengan bambu dan dalam penelitian ini memfokus pada meronimi dan hiponimi. Data di bawah ini diperoleh melalui wawancara yang menunjukkan pengetahuan kognitif penutur sekaligus tingkat keakraban penutur dengan pohon bambu dan dibantu dengan data tertulis dari buku khusus tentang jenis-jenis bambu sebagai bahan perbandingan sehingga melalui perbandingan ini dapat ditunjukkan adanya pergeseran atau bahkan hilangnya leksikon berbasis lingkungan ini dalam kognitif penutur karena interaksi yang semakin berkurang, berikut uraiannya.

Meronimi punyan tiing „pohon bambu‟ di atas menunjukkan bagian-bagian punyan tiing „pohon bambu‟ yang dibuktikan dengan kerangka x bagian dari y, y memiliki x. Jika kerangka tersebut diaplikasikan pada meronimi punyan tiing „pohon bambu‟ maka paparannya yaitu

Punyan tiing ‘pohon bambu’ Akah ‘akar’ don ‘daun’ carang ‘cabang Klupak’an

‘kelopak batang’ embung ‘rebung’

Medang ‘miang’ Medang ‘miang’ Bungkil ‘pangkal ’ Medang ‘miang’

(7)

7

carang tiing „‟cabang bambu‟ bagian dari punyan tiing „pohon bambu‟; don tiing merupakan bagian dari punyan tiing „pohon bambu‟; klupak’an merupakan bagian dari punyan tiing „pohon bambu‟; akah merupakan bagian dari punyan tiing „pohon bambu‟; embung merupakan bagian dari punyan tiing „pohon bambu‟; dan bungkil merupakan bagian dari punyan tiing „pohon bambu‟. Begitu juga medang „miang‟ yang merupakan bagian dari don „daun‟, klupak’an „kelopak‟, dan carang „cabang‟. Berkaitan dengan pengetahuan penutur tentang bambu dan bagian-bagiannya seperti pada gambar, sebagian besar penutur bahasa Bali mengenal dan dapat menyebutkan bagian-bagian pohon bambu. Dengan begitu bisa disimpulkan leksikon-leksikon di atas menunjukkan keberadaan entitas dalam realitas yang masih hidup dengan lingkungan penutur sehingga penutur masih mengingat, dapat menunjuk entitasnya, dan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda dengan meronimi yang menghubungkan leksikon-leksikon yang merujuk pada bagian-bagian dari sebuah entitas, hiponimi menghubungkan makna antarleksikon dengan mengklasifikasikan leksikon-leksikon tersebut dari penamaan secara umum ke khusus. Berikut taksonomi hiponimi dari tiing „bambu‟.

Berdasarkan taksonomi di atas, tiing „bambu‟ adalah istilah umum, sedangkan tiing petung „bambu betung„, tiing santong „bambu ater„, tiing ampel „bambu gembung„, tiing tali „bambu tali‟, tiing gading „bambu gading„, tiing selem „bambu selem„, tiing tutul „bambu tutul„, tiing tabah „bambu tabah„, tiing betung „bambu betung Bali„ , tiing buluh lengis „bambu suling„, tiing buluh kedampal „bambu buluh kedampal„, tiing aya „bambu jajang aya„, tiing sudamala „bambu cina„, tiing buluh batu „jenis bambu suling„, tiing gesing „bambu duri„, tiing petung lengis ’bambu manyan’, tiing ooh „bambu ooh„ adalah nama jenis bambu yang bisa dikatakan sudah spesifik berdasarkan jenis dan cirinya yang berbeda sekaligus menjelaskan bahwa jenis-jenis bambu tersebut merupakan hiponim dari tiing „bambu‟. Hampir semua penutur Bahasa Bali tidak mengetahui bahasa Indonesia dari jenis-jenis bambu di atas karena mereka berkomunikasi dalam lingkungan komunitas tutur yang sama. Namun, ketika berkomunikasi dengan komunitas tutur yang berbeda, penutur bahasa Bali akan menyebutkan ciri-ciri entitas yang dimaksud atau dengan menyebutkan fungsinya sehingga mitra tutur mengetahui apa yang penutur sebutkan.

Berkaitan dengan tingkat kedekatan penutur dengan jenis-jenis bambu di atas, penutur muda dan dewasa sudah tidak mengenal jenis bambu tertentu seperti tiing gesing „bambu duri‟,

tiing aya „bambu jajang aya‟, tiing ooh „bambu ooh‟, ada juga yang hanya pernah mendengar

tetapi tidak tahu bentuk dan ciri-ciri khususnya seperti tiing sudamala. Hal tersebut disebabkan

Tiing tali T. buluh batu Tiing santong tiing Tiing gading T. ampel T.petung lengis Tiing gesing Tiing tutul T. sudamala Tiing ooh Tiing selem Tiing aya Tiing tabah Tiing petung lengis Tiing betung Tiing buluh kedampal Tiing buluh lengis

(8)

8

oleh kurangnya interaksi penutur dengan bambu, kebergantungan penutur juga sudah berkurang sehingga tidak ada dorongan untuk meng-ada-kan jenis tersebut atau melestarikannya walaupun kebergantungan jenis bambu tertentu sangat tinggi karena diperlukan untuk upacara adat, dimanfaatkan sebagai bahan industri, dan dijadikan bahan bangunan tetapi tidak semua jenis bambu sehingga populasi berpotensi berkurang dan dilupakan penutur.

Dari gambar 4.1.2 diketahui ada beberapa jenis bambu buluh yang diketahui penutur bahasa Bali. Kebanyakan penutur hanya menyebut bambu buluh dengan sebutan tiing buluh dan tidak bisa membedakan secara jelas yang mana tiing buluh kedampal, tiing buluh batu, dan tiing buluh lengis. Dikarenakan ketiganya tergolong jenis bambu yang sama yaitu tiing buluh maka diasumsikan ketiganya memiliki hubungan makna yang digambarkan dalam taksonomi sebagai berikut.

Gambar taksonomi di atas menunjukkan tiing buluh kedampal, tiing buluh batu, tiing buluh lengis adalah jenis dari tiing buluh. Dalam hal ini tiing buluh menjadi istilah umum, dan ketiga tiing lainnya adalah entitas yang lebih spesifik. Ketiga bambu tersebut dapat dibedakan dari ukuran dan pertumbuhannya. Penutur biasanya lebih mudah mengingat dengan perbandingan lebih besar dan lebih kecil dengan mengira-ngira diameternya. Dalam buku Arsana dan Peneng (2013) diperoleh perhitungan ketiga jenis tiing buluh berdasarkan tinggi buluh, panjang ruas, diameter, tipis dindingnya. Tiing buluh kedampal biasanya tumbuh melengkung sedangkan tiing buluh lengis dan tiing buluh batu tumbuhnya tegak. Dilihat dari ukurannya, tiing buluh kedampal memiliki tinggi buluh yang paling tinggi karena tinggi minimalnya 10 cm dan maksimal 12 cm sedangkan tiing buluh suling tinggi minimal 7 cm dan maksimal 12 cm, dan tiing buluh lengis maksimal 10 cm., tiing buluh kedampal (2-5 cm) lebih besar daripada tiing buluh lengis (3 cm), dan tiing buluh batu memiliki batang yang paling kecil dari keduanya (1-3 cm).

4.2 Model Ekolinguistik dialektikal (Sosiologis, Biologis, dan Ideologis)

Dalam model ekolinguistik dialektikal terdapat penutur (s1), mitra tutur (s2), orang ketiga atau unsur sosial yang memengaruhi penutur dan mitra tutur ke konteks sosial (s3) dalam satu lingkungan bahasa (topos), dengan keberadaan objek (O) yang dipengaruhi faktor sosiologis, biologis, dan ideologis. Leksikon tiing „bambu‟ jika dilihat dari sisi sosiologisnya, bambu memiliki nilai tertentu. Misalnya tiing sudamala yang khusus digunakan untuk upacara pecaruan dan pemarisudaan jagat (keselamatan alam semesta), selain itu bambu tersebut juga memiliki nilai ekonomis, bentuknya artistik, mungil, dan tahan saat dipangkas membuatnya sering dijadikan tanaman hias dan pagar hidup. Begitu juga tiing gesing yang dijadikan alat penangkap ikan laut dan air tawar yang sering disebut bubu dalam bahasa Bali, sering dijadikan bahan

Tiing buluh batu Tiing buluh Tiing buluh lengis Tiing buluh kedampal

Gambar 4.1.3 Taksonomi hiponim tiing buluh

(9)

9

bangunan karena kuat dana wet, untuk upacara keagamaan di Bali tiing gesing juga memiliki nilai sendiri. Tiing gesing dimanfaatkan dari buluh utuh sampai buluh bilah, salah satunya digunakan untuk upacara pengabenan seperti tiang utama, pemikul dan trajangbade (jembatan) yang terbuat dari buluh utuh tiing gesing, sedangkan buluh bilah digunakan untuk alas trajang dan komponen badan bade. Selain itu, bambu juga dimanfaatkan dalam dunia kuliner, masyarakat Bali sering memanfaatkan embung „rebung‟ untuk diolah dan dimakan. Tingkat keakraban (degree of familiarity) masyarakat dengan bagian bambu yaitu rebung sangat tinggi jika dilihat dari pemanfaatannya. Memilih rebung dan cara mengolahnya pun menjadi penguat tingginya tingkat keakraban. Embung tiing tabah biasanya langsung bisa diolah tanpa melalui proses perebusan sedangkan embung tiing petung harus melalui proses perebusan berjam-jam sebelum diolah, berbeda dengan embung tiing gesing rasanya pahit sehingga harus direbus dan dicuci air mengalir sebelum diolah menjadi masakan.

Berkaitan dengan biologis, tanaman bambu memiliki akar yang kuat sehingga dapat mencegah erosi tanah, selain itu organisme lain menjadikan bambu tempat berlindung dan menjadikannya makanan sehingga dapat dikatakan bambu memberikan keuntungan pada makhluk hidup lain yang ada di sekitarnya dan ikut menjadi tempat hidupnya agar tidak terjadi longsor. Sedangkan elemen ideologis, elemen ketiga pembentuk model ekolinguistik dialektikal, menjadikan masyarakat dalam hal ini penutur bahasa Bali menjaga lingkungan khususnya bambu dengan memaknai dan menjadikan hubungan tersebut prinsip sehingga keharmonisan terjaga. Ideologi masyarakat Bali tentang hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan, dan manusia lainnya adalah konsep Tri Hita Karana. Dalam Tri Hita Karana ada Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan manusia dengan manusia lainnya), dan palemahan (hubungan manusia dengan lingkungannya). Dengan memegang ideologi tersebut, bambu yang merupakan tanaman yang hidup di lingkungan tempat hidup manusia jika dijaga dengan baik lingkungan tidak akan rusak, tanaman bambu juga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai alat mencari penghidupan dan juga dijadikan alat upacara untuk menjaga hubungan dengan Tuhan. Cara pandang masyarakat seperti “bambu bernilai tinggi” juga bisa menjadi pegangan dan prinsip sekaligus menjadi pendorong sifat ekologis manusia sehingga upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan dapat terlaksana dengan kesadaran sendiri.

5. SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan makna leksikon bambu dan jenis-jenisnya dalam bahasa Bali berupa meronimi dan taksonomi hiponim. Pengetahuan penutur bahasa Bali dalam mengenal jenis-jenis bambu sudah mulai bergeser pada generasi tua atau bahkan hilang pada generasi muda karena berkurangnya intensitas interaksi dan juga karena entitasnya sudah tidak ada di lingkungan guyub tutur bahasa Bali.

Berkaitan dengan model ekolinguistik dialektikal ekolinguistik, bambu memiliki nilai ekonomis, nilai religius, dan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat karena manfaatnya sebagai alat pencari penghidupan. Ideologi yang ada karena interaksi dan saling bergantung antara manusia dan tanaman bambu dapat mendorong sifat ekologis manusia untuk menjaga lingkungan dan melestarikan jenis-jenis bambu berpopulasi sedikit.

(10)

10 DAFTAR PUSTAKA

Arinasa, Ida Bagus dan I Nyoman Peneng. 2013. Jenis-jenis bambu di Bali dan potensinya. Jakarta: LIPI Press

Black, James A. Dean J. Champion 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Penerjemah: E. Koeswara, Dira Salam, Alfin Rushendi. Bandung: Eresco

Bogdan, Robert and Steven J. Taylor, 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Terjemahan Ali Furchan. Surabaya: Usaha Nasional.

Bundasgaard, Jeppe & Sune Steffensen. 2000. “The Dialectics of Ecological Morphology or the Morphology of Dialectics” dalam: Ana Vibeke

Lindø & Jeppe Bundasgaard, editor. 2000. Dialectical Ecolinguistics. Odense: University of Udense. Hal. 8--35.

Cassier, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Gramedia.

Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan USA Cruse, D.A. 1987. Lexical Semantics. New York: Cambridge University Press.

Denzin, Norman & Lincoln Yvonna. 2009. Handbook of Qualitative Research.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fill, Alwin, Peter Muhlhausler (Eds.) 2001. The Echolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environment. London and New York: Continuum.

Foucault, Michael 2007. Order of Thing. Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan.The Order of Things, An Archaeology of Human Sciences. Terjemahan B.Priambodo dan Pradana Boy. Yogyakarata: Pustaka Pelajar.

Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research I. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Haugen, Einer 1972. The Ecology of Language. California: Stanford University Press.

Keraf, Sony. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup, Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan (bersama Fritjof Capra). Yogyakarta: Kanisius.

Mbete, Aron Meko. 2014. ”Bahasa dan Diskursus Kekuasaan dalam Culutralstudies”. Dalam seminar Budaya Politik Menyongsong Pemilu 2014 yang berperadaban. Kendari: PS Kajian Budaya PPs Univ. Halu Oleo

Saeed, John Ibrahim. 1997. Semantics. Oxford: Backwell Publisher Ltd.

Gambar

Gambar  4.1.1 Meronimi punyan tiing ‘pohon bambu’
Gambar  4.1.2 Taksonomi hiponim tiing ‘bambu’
Gambar  taksonomi  di  atas  menunjukkan  tiing  buluh  kedampal,  tiing  buluh  batu,  tiing  buluh  lengis  adalah  jenis  dari  tiing  buluh

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa (1) terdapat pengaruh hasil belajar sistem koloid siswa yang belajar dengan menggunakan model kelompok

Objective: To analyze the diagnostic accuracy of VAS compared to PNIF in measurement of nasal obstruction in patients with persistent allergic rhinitis. Method: This

122-000-570-3916 dan harus sudah efektif 1 (satu) hari sebelumnya Pemenang wajib melunasi seluruh harga lelang dalam jangka waktu 3 (Tiga) hari dari setelah lelang

Akan tetapi, penggunaan kurva eliptik tiga dimensi masih belum bisa dimaksimalkan apabila tidak terjadi penyesuaian terhadap algoritma kriptografi yang dipakai, dimana

Conceptual Data Model (CDM) pada proses Rancang Bangun Aplikasi Pengaduan Tenaga Kerja pada DISNAKERTRANSDUK PROVINSI JAWA TIMUR merupakan gambaran dari struktur database

 Menurut Sekretaris Umum MUI Pusat Ichwan Syam, “Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat – syarat ideal

• Bagaimana penerapan audit kepatuhan terhadap sistem penggajian dalam pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 dan pasal 23 yang dilakukan

Dengan pemberian motivasi oleh atasan terhadap pegawai di kantor Sekretariat KPU Kota Manado memberikan pengaruh baik terhadap peningkatan semangat, kesadaran untuk