• Tidak ada hasil yang ditemukan

Highlight Susunan Redaksi:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Highlight Susunan Redaksi:"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Susunan Redaksi:Penanggung Jawab: DR. Dr. Aru. W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP *Pemimpin Redaksi: Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, K-KV, FINASIM *Bidang Materi dan Editing: Dr. lndra Marki, SpPD, FINASIM; Dr. Agasjtya Wisjnu Wardhana, SpPD, FINASIM; Dr. Alvin Tagor Harahap, SpPD; Dr. Nadia A. Mulansari, SpPD *Koresponden: Cabang Jakarta, Cabang Jawa Barat, Cabang Surabaya, Cabang Yogyakarta, Cabang Sumut, Cabang Semarang, Cabang Padang, Cabang Manado, Cabang Sumbagsel, Cabang Makassar, Cabang Bali, Cabang Malang, Cabang Surakarta, Cabang Riau, Cabang Kaltim, Cabang Kalbar, Cabang Dista Aceh, Cabang Kalselteng, Cabang Palu, Cabang Banten, Cabang Bogor, Cabang Purwokerto, Cabang Lampung, Cabang Kupang, Cabang Jambi, Cabang Kepulauan Riau, Cabang Gorontalo, Cabang Cirebon, Cabang Maluku, Cabang Tanah Papua, Cabang

(2)

D

ari San Diego, Amerika Serikat pole-mik internis umum versus subspe-sialis terkuak. Para dokter, terutama internis dari pelbagai penjuru dunia yang hadir di The American College of Physicians Internal Medicine 2011, pada 5-9 April lalu, dalam sessi khusus membahas polemik tersebut. Intinya, internis umum sudah tidak populer, para internis lebih memilih subspesialis. Pasien akan bebas konsultasi ke berbagai subspesialis. Dan dokter umum akan merujuk pasien ke satu konsultan atau lebih. Padahal untuk kasus-kasus yang tidak sulit, internis umum me-miliki kompetensi disana. Kondisi ini beru-jung pada tingginya beban biaya pelayanan kesehatan.

Ialah DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP Ketua Umum PB PAPDI, Dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM, Wakil Sekretaris Jenderal PB PAPDI, dan Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD, K-GEH, FINASIM, MMB yang mewakili PAPDI dalam event tahunan ACP itu. Pada kesem-patan itu, Dr. Aru mendapat kehormatan sebagai pembicara bersama dengan ketua perhimpunan penyakit dalam Jepang dan Afrika Selatan.

Menurut Dr. Aru, praktik internis umum di negara maju telah banyak ditinggalkan. Bahkan beberapa negara Eropa dan negara persemakmuran Inggris, karena model pendidikan kedokterannya, tidak mengenal internis umum. Sedari awal me-reka sudah membatasi kompetensinya. Sementara di negara tetangga, seper ti Fi-lipina dari sekitar 7.000 internis, sete-ngahnya telah menjadi konsultan. “Hampir di semua negara maju dan beberapa negara berkembang per tambahan internis umum lebih rendah dibanding sub-spesialis,” kata Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik ini.

Seiring waktu, lanjut Dr. Aru, telah ter-jadi fragmentasi di bidang penyakit dalam. Keberadaan internis umum makin sulit dite-mukan, sedang praktik subspesialis kian menjamur. Di samping hitung-hitungan prof-it, secara alamiah mereka lebih mudah me-nguasai satu disiplin ilmu ketimbang ba-nyak bidang. Keadaan ini akan mening-katkan frekuensi rujukan ke berbagai sub-spesialis. Pasien, pihak asuransi atau negara yang mesti menanggung tingginya biaya pelayanan kesehatan.

Dokter Berperan

Mengendalikan Biaya

Kesehatan

Seperti diketahui hampir di seluruh ne-gara biaya kesehatan selalu meningkat se-tiap tahunnya. Negara maju, seperti

Ameri-ka SeriAmeri-kat misalnya, pada 2008 anggaran kesehatannya sekitar $ 2,3 trilyun atau me-ningkat 4,4 persen dari tahun sebelumnya. Negeri Paman Sam ini menjadi negara de-ngan anggaran kesehatan tertinggi di du-nia, sekitar $ 7.681 per penduduk.

Besarnya biaya kesehatan ditengarai tak lepas dari peran dokter. Dari data sta-tistik menunjukan bahwa dokter menem-pati posisi kedua terbesar dari biaya kese-hatan, setelah biaya rumah sakit. Bagi ne-gara maju yang sistem kesehatannya telah tertata baik dan kesehatan penduduknya dijamin negara, meningkatnya biaya kese-hatan menambah beban bagi anggaran ne-gara. Sementara, di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang belum memiliki sistem pelayanan kesehatan rujukan de-ngan baik dan penduduknya sebagian be-sar belum terlindungi asuransi, masyarakat akan menanggung sendiri biaya kesehatan tersebut. Beban ini bertambah berat de-ngan pendapatan per kapita penduduk yang rendah.

Dengan begitu, dokter memiliki peran penting menekan biaya kesehatan. Bebera-pa negara maju, Amerika misalnya, mela-kukan reformasi di bidang kesehatan. Se-dangkan Australia memberi remunerasi ba-gi dokter yang tetap melakukan praktik in-ternis umum. Presiden ISIM pada ACP kali ini menghimbau agar para internis back to general internist. (HI)

Meningkatnya rujukan

ke subspesialis, akibatnya

pasien, pihak asuransi

atau negara yang mesti

menanggung tingginya

biaya pelayanan

kese-hatan.

◆Dr. Aru menjadi pembicara di hadapan para spesialis penyakit dalam Amerika.

Fragmentasi

di Induk Ilmu Kedokteran

Diagram Anggaran Kesehatan AS th. 2008

Sumber: Center for Medicare and Medicaid Services US

(3)

P

olemik internis umum versus subspe-sialis yang santer di Negara maju, ti-dak terasa imbasnya di Indonesia. Per-bedaan jumlah dokter internis umum dengan subspesialis masih signifikan, 75 persen internis umum dan 25 persen kon-sultan. Berbeda di negara maju, menjadi subspesialis di Indonesia lebih dikarena-kan kewajiban akademik di pusat pendi-dikan kedokteran. Para konsultan sebagai pengajar untuk melahirkan internis. Namun belakangan, mulai ada kebutuhan konsul-tan dalam pelayanan kesehakonsul-tan tertentu di rumah sakit. ”Permintaan menjadi subspe-sialis karena kewajiban sebagai staf penga-jar di pusat pendidikan,” upenga-jar DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP

Lebih lanjut Dr. Aru menambahkan, PAPDI mendorong anggotanya tetap ber-praktik internis umum. Pasalnya, Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, 237,5 juta jiwa, dan angka pendapatan perkapita yang rendah, belum memiliki pembiayaan kesehatan berbasis asuransi nasional. Masyarakat mesti mero-goh koceknya sendiri untuk membiayai pelayanan kesehatannya. Sementara, me-nurut data Badan Pusat Statistik, jumlah masyarakat miskin yang tercatat hingga Maret 2010 mencapai 31,02 juta jiwa. Dan masyarakat dengan pendapatan $ 2 per hari jumlahnya sekitar 50 % dari jumlah penduduk negeri ini. Populasi pas-pasan ini sangat rentan, dan apabila mengalami sakit sedikit saja maka mereka akan jatuh miskin. “Rakyat Indonesia belum mampu membeli jasa subspesialis. Yang dibutuh-kan adalah dokter spesialis penyakit dalam

”Subspesialis dibutuhkan,

tapi pertambahannya

mesti diatur, supaya

nan-tinya tidak merepotkan

masyarakat.”

umum,” tegas Ketua Umum PB PAPDI ini. Dalam hal ini, tambah Dr Aru, bukan berarti konsultan tidak diperlukan. Negeri ini masih memerlukan subspesialis seba-gai staf pengajar karena jumlah internis ma-sih belum mencukupi untuk kebutuhan pen-dudukan Indonesia. Ratio internis terhadap jumlah penduduk belum berimbang. Apalagi dengan penyebaran internis yang lebih terkonsentrasi di kota besar. “Subspesialis dibutuhkan, tapi pertambahannya mesti di-atur, supaya nantinya tidak merepotkan masyarakat.”

Out of Pocket

Tak sedikit, masyarakat Indonesia keti-ka sakit langsung jatuh miskin. Pasalnya, masih banyak penduduk Indonesia yang belum terjangkau asuransi, mereka mem-bayar sendiri biaya kesehatannya. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai payung jaminan kesehatan nasional masih menjadi polemik, bahkan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) teran-cam deadlock di Dewan. Sementara PT Askes (Persero) baru menjamin sekitar 100,26 juta jiwa atau 41,8 % dari jumlah keseluruhan masyarakat Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 76,4 juta jiwa sudah terlindungi oleh Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang preminya di-subsidi oleh pemerintah. Sisanya, masih

banyak penduduk belum tersen-tuh jaminan kesehatan.

Hal ini terkait dengan ter-batasnya anggaran kesehatan di Indonesia. Bila negara maju yang sistem asuransinya telah berjalan baik, merasa berat de-ngan terus meningkatnya biaya kesehatan, bagaimana dengan Indonesia. Untuk itu, Dr. Aru mengatakan seluruh stake-holder kesehatan, termasuk dokter perlu mendorong tercip-tanya kebijakan yang arif dalam sistem pelayanan kesehatan di negeri ini.

(HI)

Berikut hasil survey melalui telepon terhadap internis umum yang mewakili cabang-cabang PAPDI di seluruh In-donesia. Survey ini antara lain bertujuan untuk memperkuat induk organisasi PAPDI, memberi pandangan pelayanan kesehatan oleh internis dan sub-spesialis di rumah sakit, dan meningkat sistem pendidikan kedokteran di pusat-pusat pendidikan.

Per tanyaan: Dalam perjalan karir seba-gai internis, kemana minat sejawat selan-jutnya : A. Internis Umum

B. Subspesialis

Internis Lebih Berminat

Menjadi

Subspesialis!

n= 100

Survey:

Indonesia Masih Butuh Banyak

(4)

N

ekad. Barangkali ini kata yang paling tepat saat itu, ketika berada di pesawat yang lepas landas meninggalkan Bandara Soekarno Hatta, Jakar ta pukul 08.20 WIB menuju Hongkong. Sebelum melanjutkan sebuah per-jalanan panjang dengan tujuan akhir San Diego, CA, Amerika Seri-kat. Satu hal yang baru disadari bahwa pada perjalanan panjang ini, saya benar-benar sendirian, kecuali tentu saja dengan para penumpang lainnya. Kesibukan sehari-hari sangat menyita waktu, ditam-bah lagi harus mempersiapkan diri untuk menempuh perjalan-an pperjalan-anjperjalan-ang tersebut. Tapi dalam hidup ini kadperjalan-ang-kadperjalan-ang atau bahkan seringkali kenekadan dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan ter tentu. No problem! Semua mesti dihadapi.

Sebenarnya, bukan perjalanan ini yang menjadi masalah, tetapi beberapa tugas yang harus saya jalankan nanti setibanya di San Diego. Ini kali per tama aku akan menghadiri kongres atau per temuan akbar para Internis Amerika yang di-adakan oleh organisasi mereka yang sangat besar dalam jum-lah dan sangat professional dalam menjalankan roda organi-sasi tersebut, American College

of Physicians (ACP). Kantor pusat mereka berada di Philadelphia, sedangkan kongres diadakan se-tiap tahun dengan tempat di kota-kota yang berbeda. Internis Indo-nesia yang dalam hal ini diwakili oleh PAPDI sejak tiga tahun bela-kangan selalu menghadiri kong-res akbar ini dan kerap mendapat kehormatan untuk menghadiri se-buah acara khusus yaitu Convoca-tion. Yaitu acara pelantikan atau pemberian gelar Fellow, Master atau beberapa gelar penghargaan lainnya. Dan dalam prosesi upa-cara tersebut ada prosesi yang terdiri dari apa yang disebut Spe-cial Representatives yaitu para Ketua/President dari

organisasi-organisasi profesi para internis di semua belahan dunia. Nah, di sini masalah sebenarnya. Tahun ini President of Indonesian Society of Internal Medicine atau nama lainnya adalah Dr. Aru Sudoyo (he he heh) tidak dapat hadir pada acara convocation tersebut, sedangkan Secretar y General nya juga mesti men-jalankan tugas negara yang penting di Kemenkes RI. Jadi… ya itulah yang terjadi, Wasekjen harus diekspor ke San Diego dan mengikuti prosesi tersebut bersama-sama dengan para president society dari negara-negara lain. Hanya satu yang saya harapkan, semoga saat mencoba toga kehormatan, me-reka tidak menanyakan paspor saya karena penampilan ku-rang meyakinkan (hal ini sering terjadi!).

Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di tujuan akhir. Saya tiba di San Diego Airpor t sekitar pukul 19.30 waktu setempat, kembali lagi kecewa dengan ramalan cuaca dari internet, ter-nyata udara cukup sejuk 12 C, padahal menurut berita sekitar 21-24 C. Sebagai manusia berdarah dingin (he he he...), saya sih lebih happy walaupun sedikit salah kostum. Jarak dari bandara ke hotel tempat menginap sangat dekat, tidak sam-pai 20 menit perjalanan (tentu saja karena bandingannya adalah bandara Soetta ke rumahku). Tidak banyak yang dapat dilihat malam-malam begini, yang jelas keinginan utama ada-lah istirahat seteada-lah terbang kira-kira 30 jam dari Jakar ta.

Sebelum acara puncak, yaitu pembukaan dan convocation,

Internal Medicine:

Doctors for Adults

(Catatan Perjalanan dari ACP Meeting San Diego 2011)

Dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM

◆Dr. Sally di tengah Prof. R. Streuli, Past President ISIM (kiri) dan Prof. Hans P. Kohler, MD, FACP, Sekjen ISIM pada acara Convocation ACP San Diego AS.

(5)

saya mengikuti beberapa workshop yang diadakan sebelum kongres utama dimulai.

Saat menuju venue di San Diego Convention Centre yang konon berkapasitas sampai lebih dari 10. 000 peserta itu, aku baru menyadari bahwa kota ini memang indah dan menyenang-kan, tidak salah mereka menyebutnya America’s Finest City. Daerah Gaslamp Quarter yang berada di depan venue menjan-jikan banyak hal, tempat makanan yang beraneka ragam ter-utama hidangan Mexico (kota ini berbatasan langsung dengan Tijuana, Mexico) dan tentu saja tempat belanja, dan menurut peta yang saya peroleh di hotel, ada House of Blues di ujung jalan, hhmm… itu akan jadi destinasi berikutnya.

Hal yang menarik adalah pada saat acara Opening Cere-mony, yang dihadiri hampir seluruh peser ta kongres. Dan per-nyataan dari para pimpinan organisasi bahwa internal medi-cine is still alive… ada rasa haru yang mampir di dada. Terba-yang para sejawat di tanah air Terba-yang dari data terakhir berjum-lah sekitar 2.300 orang anggota PAPDI, ini saberjum-lah satu kebang-gaan kita.

Acara convocation berlangsung pada malam hari, ada seki-tar 600-an anggota ACP yang dilantik menjadi fellow dan ber-gelar FACP. Dan sesuai misi yang per tama, saya ikut dalam prosesi bersama para pimpinan organisasi profesi dari nega-ra lain dan duduk di panggung. Saat prosesi tersebut saya merasa sangat di bawah umur bila dibandingkan dengan teman-teman di kanan dan kiri saya (he he he ...). Tapi banyak sekali hal positif yang akan dibawa pulang, yang utama mere-ka jadi kenal bahwa kita ada, saling ber tumere-kar informasi me-ngenai berbagai hal, sistem pendidikan, distribusi para spe-sialis, sistem kesehatan, sampai hal-hal spesifik seper ti isu internis umum dan subspesialisasi.

Misi berikutnya adalah acara International Forum, yaitu meeting yang dihadiri oleh para delegasi negara-negara yang malam sebelumnya mengikuti acara convocation. Tapi kali ini aku lebih tenang karena Pak Ketua Umum dan Ketua bidang advokasi PB PAPDI (Dr. Ari Fahrial Syam) sudah hadir dan ber-sama-sama menghadiri acara tersebut.

Ada beberapa hal ter tentu yang sempat kami diskusikan informal dengan beberapa sejawat dari negara lain, seper ti dari Afrika Selatan berkeluh kesah tentang masalah HIV/AIDS yang masih merupakan masalah besar, demikian pula segala

penyakit ikutan dan penyulitnya seper ti TB Paru yang resisten obat dan sebagainya. Sedangkan sejawat-sejawat dari negara ASEAN lain (Filipina, Thailand dan Singapore) dengan seman-gat menyatakan akan ber temu lagi dengan kita dari Indonesia dalam AFIM (Asean Federation of Internal Medicine) Meeting yang akan diadakan bulan berikutnya di Manila.

Dari hasil diskusi forum internasional tersebut, beberapa fakta yang ditemukan di negara lain khususnya yang menyang-kut keilmuan penyakit dalam, seper ti sejawat delegasi dari Uni Emirat Arab menyatakan isu fragmentasi yang mulai ber-kembang disana, dan salah satu kelompok yang mulai memi-sahkan diri adalah subspesialisasi kardiologi. Demikian pula di beberapa Negara Eropa. Informasi dari Filipina bahwa disa-na midisa-nat menjadi internis umum dibandingkan dengan sub-spesialisasi masih 50-50. Bagaimana dengan Internist di In-donesia?

Satu keinginan lagi apabila memungkinkan kita di Indone-sia bisa menjadi salah satu chapter dari ACP (American College of Physician), dan hal tersebut memungkinkan bila sudah ada minimal 30 member ACP disini.

Setelah forum diskusi ini, masih ada kegiatan penting lagi. Salah satu workshop akan membahas masalah kondisi spe-sialis penyakit dalam di beberapa negara dan Pak Ketua Umum PB PAPDI merupakan salah seorang pembicara.

Sebagai moderator pada sesi ini adalah Dr. William Hall yang saat ini sebagai President of ISIM (International Society of Internal Medicine) dan sebelumnya beliau pernah menjadi ketua dari ACP. Pembicara lain adalah ketua dari organisasi pro-fesi Spesialis Penyakit Dalam Negara Afrika Selatan dan ketua dari organisasi profesi Spesialis Penyakit Dalam Jepang.

Hari yang cukup melelahkan, tetapi seimbang dengan man-faat dari kesempatan yang diperoleh pada saat itu. Yang akan menjadi oleh-oleh buat para sejawat di tanah air. Jangan kha-watir, kita masih berada di jalur yang benar, baik dari segi pen-didikan maupun sistem pelayanan yang berjalan di Indonesia. Berhubung masih ada beberapa destinasi yang menunggu untuk dikunjungi seper ti House of Blues, Old Town Market, Little Italy, Seapor t Village sehabis makan siang kami mening-galkan convention centre dan memulai perjalanan berikutnya, sebelum meninggalkan San Diego the America’s finest city.

(HI)

DOK. HI

(6)

P

encabangan spesialisasi dalam ilmu penyakit dalam, berjalan sesuai de-ngan perkembade-ngan ilmu itu sendiri. Pada era tahun 1950-an, terdapat pro-gram magang untuk para ahli penyakit da-lam, saat senior harus mengajarkan ilmu-nya kepada yuniorilmu-nya. Hal tersebut, menu-rut Prof. Dr. Harry Isbagio, SpPD, K-R, FINASIM berlangsung hingga era 1960-an, hingga digulirkan program yang lebih formal dan terstruktur yang pelaksananya adalah PAPDI.

Sekitar tahun 1970, peran ter-sebut diambil alih oleh univer-sitas, termasuk untuk pendidik-an spesialis 1. S u b s p e s i a l i s , papar Prof. Har-r y, beHar-rkembang di senter-senter pendidikan yang d i m a k s u d k a n

untuk mendidik calon internis dan PAPDI te-tap membuat pengaturan termasuk dalam kurikulum. Secara resmi, tahun 1984 dila-kukan pengakuan adanya subspesialis ter-hadap 7 orang perintis subspesialisasi. ”Dahulu subspesialis tidak dibuka untuk in-ternis non pendidik, semua untuk staf pengajar,” ujar Prof. Harry. Baru pada tahun 2003, pendidikan subspesialis dibuka un-tuk non pengajar.

Perkembangan percabangan ilmu dan spesialisasi dalam pendidikan kedokteran, menurut DR. Dr. Siti Setiati, SpPD, K-Ger, FINASIM, MEpid, tidak hanya memungkin-kan terjadinya pendalaman ilmu yang ber-manfaat untuk pengembangan ilmu, tetapi juga akan berpengaruh terhadap tuntutan masyarakat akan jenis dan kualitas pela-yanan kesehatan.

Prof. Harry mengatakan, pendidikan ke-dokteran jelas akan memerlukan subspe-sialis karena mereka merupakan guru para internis. ”Hal tersebut sesuai dengan UU Sisdiknas bahwa yang memberikan

penga-jaran adalah mereka yang pendidikannya minimal satu tingkat lebih tinggi,” ujarnya.

Nah, menyinggung peran spesialis umum dan subspesialis untuk pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia, Dr. Se-tiati yang akrab dipanggil Dr. Ati ini menga-takan spesialis generalis seperti internis umum atau bedah umum, masih merupa-kan spesialis yang dibutuhmerupa-kan oleh sebagi-an besar rakyat Indonesia karena lebih efi-sien dan tidak mahal, lebih komprehensif

dan terintegrasi dalam penatalaksanaan pasien. Hal yang sama juga diungkap Prof. Harr y bahwa untuk pelayanan secara umum, internis umum akan lebih murah.

Dalam sistem kesehatan nasional, Indo-nesia mengenal pelayanan primer, sekun-der, dan tersier. Subspesialis diperlukan untuk pelayanan tersier. ”Idealnya, pelayan-an masyarakat hingga tingkat tersier, ada di ibukota propinsi,” ujar Prof. Harry. Kenya-taannya, sebagian konsultan memang ma-sih tinggal di kota besar. Kebutuhan inter-nis umum juga masih belum terpenuhi. Se-tiap ibukota kabupaten seharusnya terda-pat internis dan ada subspesialis di setiap ibukota propinsi.

Berpatokan pada IDI, menurut Prof. Harry, jumlah ideal ahli menurut percabang-an ilmu adalah sepertiga dari dokter umum adalah spesialis, dan sepertiga dari spesia-lis tersebut adalah subspesiaspesia-lis atau kon-sultan.

Prof. Harry mengatakan internis umum sebagian besar pasti memiliki minat untuk

melanjutkan ke jenjang subspesialisasi, na-mun hal tersebut akan bergantung pada kemampuan penerimaan dalam pendidikan konsultan. ”Secara alamiah jumlah subspe-sialis akan terbatasi,” ujar Prof. Harry.

Kolegium membuat semacam urutan prioritas untuk pendidikan Sp2. Prof. Har-r y mengatakan, pHar-rioHar-ritas peHar-r tama adalah untuk internis pengajar fakultas kedokter-an. Prioritas kedua adalah internis yang bekerja di RS ibukota propinsi, prioritas ketiga adalah internis yang dikirim oleh RS pemerintah, selanjutnya untuk RS pendi-dikan kedokteran swasta, dan baru untuk internis RS swasta. ”Kami belum meneri-ma internis freelance,” ujar Prof. Harr y.

Dr. Ati mengatakan yang masih menjadi pe-er adalah apakah seorang dokter spe-sialis yang kemudian memperdalam spesia-lis tertentu, tetap diperbolehkan untuk ber-praktik sebagai spesiais induknya atau ge-neral spesialis? Pertanyaan lebih lanjut lagi apakah seorang dokter spesialis dapat berpraktik sebagai dokter umum? Kalau sis-tem tersebut belum tertata dengan baik, sebaiknya ditetapkan dulu kebijakan semen-tara, sambil menunggu kesiapan sistem. ”Bila dirasakan jumlah spesialis generalis yang ada mencukupi untuk melakukan pela-yanan spesialisasi tersebut untuk masyara-kat, maka dokter subspesialis seyogyanya memfokuskan diri pada bidang subspesiali-sasinya saja,” ujar Dr. Ati. Demikian pula se-baliknya. Bila melihat kondisi di Indonesia, yang jumlah dan distribusi dokter dan dokter spesialis sangat tidak merata, maka pene-rapan praktik dokter umum, spesialis, dan subspesialis mungkin dapat berbeda di satu daerah dengan daerah lain. (HI)

Seleksi Alami

untuk Subspesialis

Bila melihat kondisi di

Indonesia, yang jumlah

dan distribusi dokter dan

dokter spesialis sangat

tidak merata, maka

pe-nerapan praktik dokter

umum, spesialis, dan

sub-spesialis mungkin dapat

berbeda di satu daerah

dengan daerah lain.

◆Prof. Dr. Harry Isbagio, SpPD, K-R, FINASIM ◆DR. Dr. Siti Setiati, SpPD, K-Ger, FINASIM, MEpid.

FOT

O-FOT

(7)

I

nternis tetap menjadi dasar ilmu dalam penyakit dalam. Sebelum subspesialis, te-tap harus memiliki basis ilmu penyakit da-lam. Penyakit dalam merupakan dasar dari ilmu klinik di samping ilmu bedah. Selanjut-nya, ada tuntutan dari segi pelayanan dan pendidikan, maka ada subspesialisasi. Ja-di, subspesialisasi dulu dibentuk untuk ke-pentingan pendidikan dan masyarakat juga bisa mendapatkan pelayanan subspesialis. Adanya subspesialisasi atau konsultan tidak berarti merendahkan atau mengabur-kan internis umum, tetapi justru mem-perkuat penyakit dalam secara keseluruh-an. Adanya subspesialisasi justru untuk perkembangan penyakit dalam.

Seorang internis, sudah memiliki kom-petensi untuk melayani kasus yang me-nyangkut kardio, pulmo, ginjal, dan seterus-nya. Seorang internis umum mampu untuk melayani kasus-kasus penyakit dalam dari

segi apapun. Jadi internis umum di daerah-daerah itu tidak main-main, sudah kita ja-min untuk memberikan pelayanan yang di-butuhkan dalam bidang penyakit dalam. Ko-legium sudah membuat kurikulum dan pro-gram untuk kompetensi mereka.

Nah, subspesialisasi sangat dibutuhkan untuk mendidik internis yang menguasai bidangnya secara keseluruhan. Dalam hal ini, tidak mungkin mendidik seorang in-ternis minus (ilmu) kardio atau pulmo. Pe-nyakit dalam harus dipahami secara terpa-du tidak bisa dipisah-pisahkan, namun da-lam pembelajarannya memang seolah ter-pisah-pisah. Dan tetap, setiap internis mes-ti dididik oleh seorang internis.

Di daerah, tidak banyak subspesialisasi. Hanya sedikit konsultan di Indonesia, yang umumnya ‘berkumpul’ di Jakarta. Di dae-rah, unit dialisa, misalnya tetap akan me-merlukan konsultan sebagai supervisor.

Untuk menjawab kebutuhan di daerah akan tenaga internis yang lebih mendalami bidangnya, dibuat internist plus artinya seo-rang internis umum yang mengambil keah-lian tambahan yang menunjang ilmunya un-tuk pelayanan masyarakat. Idealnya semua divisi penyakit dalam ada di daerah dan mesti exist. Dan ini belum terpenuhi juga.

Tapi kondisinya internis umum pun di daerah masih kekurangan. Bahkan di Uni-versitas Sumatera Utara misalnya, untuk memperkuat pendidikan kami melakukan pengangkatan untuk calon internis meski belum menjadi internis.

Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD, K-GH

(RS Pringadi, Medan)

Penyakit Dalam Harus Dipahami

Secara Terpadu

Prof. DR. Dr. Zainal Arifin Adnan, SpPD-KR

(RS Moewardi, Surakarta)

Harus

Diperbanyak

dan Dipermudah

U

ntuk memasuki subspesialis, maka jen-jang yang harus dilalui adalah terlebih dahulu menjadi internis umum. Meski telah memiliki keahlian khusus, tapi umum-nya kelainan-kelainan yang diderita pasien itu ada kaitannya. Jadi, tetap harus me-nguasai keahlian sebagai general internist dulu, dan jika ada kesempatan memang ha-rus bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan sebagai subspesialis.

Jika dikatakan biaya untuk mendapat-kan layanan konsultan itu mahal, saya kira itu relatif, karena di daerah, kita lihat (tarif) konsultan itu murah. Begitu pula jika dika-takan tidak ada peralatan untuk konsultan bekerja, saya kira tidak juga, karena di dae-rah-daerah ada juga yang memiliki peralat-an seperti endoskopi. Jadi himbauperalat-an saya mungkin mirip himbauan Menkes, bahwa

subspesialisasi harus diperbanyak dan di-permudah.

Ditilik dari keilmuan, dengan luasnya ca-bang ilmu penyakit dalam, tidak mungkin pula dapat menguasai keseluruhan ilmu hingga mendalam dalam tempo sesingkat-singkatnya, terlebih paradigmanya sampai saat ini sudah biomolekuler. Tapi tetap, se-orang ahli penyakit dalam harus menguasai ilmu penyakit dalam secara keseluruhan, namun kesempatan untuk mendalami sub-spesialis dipermudah, agar lebih khusus.

Terlebih lagi, kita dilihat dari sisi rumah sakit pendidikan, yang memerlukan tenaga pendidik. Sp 1 tidak mungkin mendidik Sp 1 juga. Sedangkan Sp 2 yang ada mendidik terlalu banyak Sp 1. Selama ini, yang saya rasakan sulit untuk mendapatkan tenaga pendidik subspesialisasi, apalagi jika

men-cari lulusan UI atau Unair. Kita mau me-ngambil dari daerah terpencil, bahkan (me-reka) membuka internet pun belum bisa.

Meski animo untuk mendalami subspe-sialis tinggi tapi ada beberapa hambatan, misalnya ada yang sudah sibuk dengan prakteknya atau terkait dana. Jadi, saya kira, kita belum banyak memiliki Sp 2, ti-dak bisa membandingkan dengan negara maju seper ti Amerika.

DOK. HI

(8)

J

umlah penduduk yang besar dan kon-disi geografis menjadi kendala tersen-diri dalam distribusi internis di Indo-nesia. Per tumbuhan dan perkembangan pembangunan yang tidak adil antar daerah menjadi faktor penyebab tidak meratanya penyebaran dokter, termasuk ahli penyakit dalam. Kota-kota besar, seper ti Jakar ta, dengan daya tariknya, membuat internis dan subspesialis terkonsentrasi di sana. Sementara di daerah, perbandingan popu-lasi penduduk terhadap internis masih sa-ngat kurang. Padahal, menurut Dr. Habib Wicaksono, SpPD, di daerah-daerah yang butuhkan adalah internis umum. Para in-ternis umum cukup menambah ketram-pilan melalui shor t course yang diadakan pusat-pusat pendidikan. ”Bukannya ikut-ikutan menjadi subspesialis,” tegas Inter-nis asal Kulon Progo, Yogyakar ta ini.

(HI)

Daerah

Masih Perlu

Internis

Umum

S

ubspesialis memang memiliki kemam-puan lebih dibanding internis umum. Subspesialis jelas diperlukan namun ja-ngan sampai semua ahli penyakit dalam adalah subspesialis, apalagi di daerah de-ngan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang cenderung rendah, maka diharapkan cost untuk pelayanan kesehatan lebih kecil. Jadi, pasien lebih baik ditangani terle-bih dahulu oleh internis umum, lalu jika ada penyakit ter tentu yang memerlukan tata laksana khusus yang tidak dimiliki oleh general internist, maka bisa dirujuk. Satu pasien tidak harus ditangani oleh 4 subspesialis misalnya.

Tapi, jumlah internis umum sendiri juga

masih kurang, seper ti di Papua, misalnya general internist hanya ada 2 orang, di-bandingkan obgyn yang berjumlah 7 orang. Minat untuk mengambil subspesialisasi je-las ada, tapi kami di daerah melihat bebe-rapa per timbangan misalnya keterbatasan fasilitas kesehatan. Bagaimana jika sudah cape-cape malah tidak bisa diaplikasikan. Mungkin saja kalau di Jawa, Bali, dan Su-matera animo menjadi subspesialis besar tidak seper ti di kawasan Indonesia Timur. Untuk mendukung kepentingan pendi-dikan, jumlah subspesialis harus ditam-bah. Fasilitas yang mendukung kerja ahli penyakit dalam maupun subspesialis juga harus diperhatikan.

Dr. Afifah, SpPD

(Internis RSUD Dok II Jayapura)

Pasien Ditangani

Internis Umum Dahulu

(9)

J

ika dikatakan internis umum mulai ‘di-tinggalkan’, saya kira tidak begitu kon-disinya di daerah. Kecenderungannya masih internis umum. Masyarakat kita di umumnya adalah golongan menengah ke bawah. Dengan demikian layanan kese-hatan yang lebih sesuai adalah internis umum, yang cenderung ‘satu untuk semua’.

Bisa jadi, di kota besar subspesialis

lebih menarik minat pasien, tapi di dae-rah, seorang internis umum lebih banyak berperan. Bahkan untuk jabatan-jabatan ter tentu banyak dipegang oleh internist, karena mungkin lebih punya pemahaman yang menyeluruh.

Tapi, kebutuhan internis umum pun masih belum terpenuhi di beberapa dae-rah. Masih banyak daerah yang belum me-miliki ahli penyakit dalam.

P

ilihan menjadi internis umum atau kon-sultan, tergantung visi, keinginan, atau konsep yang bersangkutan. Kalau untuk kebutuhan masyarakat umum, seorang in-ternis umum, jika dia menghayati dan mela-kukan profesinya secara baik dan benar maka itu sudah cukup memadai.

Tetapi, ada hal-hal ter tentu terkait de-ngan teknis medis, maka akan lebih baik jika mendalami sebagai subspesialis. Ma-salahnya baru muncul, jika kita membuat kebijakan yang menetapkan bahwa hanya internis subspesialis yang berhak mena-ngani suatu penyakit ter tentu misalnya: kasus DM hanya KEMD yang boleh mena-ngani, kasus ginjal hanya KGEH saja dst, maka dalam hal ini yang akan menjadi kor-ban adalah konsumen/pasien. Jika kondi-sinya seper ti itu, maka ilmu penyakit da-lam menjadi terkotak-kotak, pelayanan ti-dak menjadi holistik, manusia akan diang-gap seper ti barang komoditi. Sebagai con-toh seorang pasien yang sekaligus men-derita 4 penyakit yg berbeda: DM, CHF, Rematik, Hiper tensi, bila hanya boleh dila-yani oleh Internist Subspesialis, dapat di-bayangkan betapa sulit dan mahalnya pe-layanan dibidang penyakit dalam. Padahal, mungkin saja, hanya dengan Internis Umum sudah cukup memadai.

Memang,kalau melihat kecenderungan penyakit yang semakin spesifik maka ke-butuhan akan keahlian khusus/subspe-sialis sangat diperlukan.

Dilihat dari sisi jumlah konsultan yang kita miliki memang juga masih kurang di-banding Malaysia, Singapura. Namun da-lam praktek sehari-hari untuk daerah-dae-rah di Indonesia apalagi pedesaan dengan tingkat ekonomi yang belum mencukupi sangat memberatkan jika dilayani konsul-tan. Jadi, saat ini yang diperlukan bangsa ini memang lebih banyak internis umum.

Sementara ini, tidak perlu khawatir bahwa menjadi internis umum akan diting-galkan dan akan lebih banyak konsultan. Pada internis umum, keinginan untuk meningkatkan jenjang pendidikan dan ke-ahlian ke subspesialis sangat tinggi. Apa-lagi mencari ilmu diwajibkan sampai ke liang lahat. Tapi, tidak semua internis umum memiliki kesempatan terlebih jika pusat pendidikan jauh dari tempatnya be-kerja. Jadi, hingga saat ini akan lebih ba-nyak internis umum karena kesempatan untuk menjadi konsultan juga tidak mu-dah. Mungkin hanya di tempat-tempat ter-tentu saja, ada kecenderungan memiliki jumlah konsultan yang cukup banyak di-banding daerah lain.

Baik internis umum maupun konsultan kita masih kurang dalam jumlah kedua-nya. Banyak daerah yang tidak memiliki in-ternis. Keduanya harus kita pacu, ar tinya menambah jumlah internis umum sekali-gus meningkatkan kompetensi Sp 1 dan menambah jumlah konsultan yang me-mang juga masih kurang. Sekali lagi ini adalah soal kebijakan.

Untuk memberikan pelayanan, keahlian lulusan Sp 1 kita sudah memiliki kompe-tensi yang memadai. Tidak perlu khawatir. Apalagi sekarang sudah banyak workshop, seminar, juga program P2KB untuk me-ningkatkan kompetensi internis kita. Ka-sus-kasus di masyarakat sedapat mung-kin ditangani internis baru kemudian diru-juk. Mengutip dari sebuah buku, saya ka-takan “General practitioner is someone who knows something about ever ything” dan spesialis adalah “Someone who knows ever ything about something.”

Dr. Zaini Dahlan, H, SpPD, FINASIM

(RSUD M. Yunus Bengkulu)

Menangani Penyakit

Secara Holistik

Dr. Suherdi, SpPD

(RSUD Abdya Nangroe Aceh Darussalam)

Internis Umum

Satu Untuk Semua

DOK. HI

(10)

B

agi masyarakat Indonesia, kebutuhan tenaga internis umum (general inter-nist) masih sangat besar karena setiap pasien dapat memiliki lebih dari satu pe-nyakit atau masalah kesehatan. Seorang guru besar pernah berkata kepada kami

bahwa seorang ahli penyakit dalam, mes-kipun sudah ahli di bidang ter tentu (sub-spesialisasi), akan tetap kuat konsep dan pemahaman ilmu penyakit dalamnya. Itu-lah yang membedakan seorang spesialis penyakit dalam dengan spesialis lainnya. Seorang lulusan penyakit dalam memi-liki kompetensi medis untuk menangani pasien secara lengkap (beragam masalah yang terjadi). Dengan demikian, pasien-pasien Indonesia yang sebagian besar berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah tidak diberatkan dengan kunjun-gan ke berbagai dokter spesialis. Adanya dokter spesialis jantung-pembuluh darah khusus atau dokter paru khusus saja su-dah sangat memberatkan pasien-pasien kita di berbagai rumah sakit di tanah air. Pasien bisa diperebutkan oleh mereka, padahal seorang ahli penyakit dalam umum atau subspesialis di bidang penya-kit dalam tentu bisa dan cukup

kemam-puan untuk menangani pasien-pasien ini secara lebih baik.

Peran seorang internis umum adalah menghadapi hal-hal yang disebutkan di atas. Melalui seorang internis umum, pe-nanganan pasien dapat lebih sistematis, satu pintu masuk dan satu pintu keluar, dan terpantau dengan baik, tanpa sibuk ja-lan-jalan ke dokter-dokter lain yang akan menambah biaya pengobatan pasien. Ten-tu saja konsultasi diperlukan bila masalah yang dihadapi sulit dan membutuhkan kompetensi subspesialis penyakit dalam. Kebutuhan masyarakat Indonesia masih pada ahli penyakit dalam umum. Namun demikian, bukan berar ti kita dapat meng-abaikan peran seorang subspesialis. Se-orang subspesialis sangat diperlukan da-lam bidang pendidikan, penelitian, juga pelayanan kesehatan ketika masalah yang dihadapi pasien sulit dan membutuhkan kompetensi subspesialis.

P

ilihan untuk tetap menjadi internis umum atau melanjutkan menjadi sub-spesialis harus mempertimbangkan ki-ta akan bertugas di mana? Jika di daerah, kita harus melihat bagaimana kebutuhan masyarakat di sana akan pelayanan dan ju-ga fasilitas kesehatan yang dimiliki. Internis umum mungkin lebih sesuai. Sementara ji-ka di kota besar, lebih tepat mengambil spesialisasi karena kebutuhan masyarakat-nya memang seperti itu.

Subspesialis jelas dibutuhkan juga di daerah, tetapi lihat ada berapa ahli penya-kit dalam di sana? Misalnya hanya ada satu orang internis umum, dan jika ia mengambil subspesialisasi, maka internis umumnya siapa? Kecuali jika ia pindah ke sentra yang

lebih besar yang memiliki cukup internis umum.

Jadi untuk di daerah harus harus lebih banyak internis umum, tapi tetap diperlu-kan subspesialisasi dengan memperhati-kan beberapa kebutuhan misalnya untuk pendidikan. Apalagi hampir setiap daerah kini memiliki fakultas kedokteran.

Era 10 tahun ke depan pun saya kira masih lebih dibutuhkan internis umum meli-hat kondisi negara kita. Karena, lebih mu-dah untuk mengirim internis umum ketim-bang konsultan ke daerah-daerah. Yang ter-penting menurut saya, adalah bagaimana memperlengkapi internis umum dengan ‘alat perang’ yang cukup. Artinya, internis umum di daerah terutama yang tidak

memi-liki subspesialis harus dibekali lebih dalam agar bisa melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan pasien seperti kemoterapi atau tindakan lain. Barangkali yang menjadi pertanyaan adalah, batasan-batasan mana yang dilakukan oleh konsultan, dan mana yang bisa dilakukan oleh internis umum.

(HI)

Dr. Laurentius Aswin Pramono, M.Epid

(Peser ta PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI)

Internis Umum Memiliki

Kompetensi yang Lengkap

Dr. Riahdo J. Saragih

(PPDS Tugas Belajar Depkes dari Kalimantan Tengah)

Beri Senjata

pada

Internis Umum di Daerah

DOK. HI

(11)
(12)

Gambar

Diagram Anggaran Kesehatan AS th. 2008

Referensi

Dokumen terkait

Akidah Akhlak) dalam meningkatkan prestasi belajar PAI siswa di SMA Ulul Albab Sepanjang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, sedanglcan

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

Dalam pekerjaan campuran beraspal panas dengan asbuton olahan, penghamparan dan pemadatan merupakan salah satu langkah pekerjaan yang memegang peranan penting dan

Seiring dengan pembangunan daerah yang semakin pesat dan pemanfaatan lahan perairan sebagai pembangunan daearah di Kabupaten Kepulauan Anambas khususnya di Tarempa kawasan

 Dg menyelidiki kemampuan batas-batas rasio manusia  Menyelidiki unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia yg berasal dari rasio dan mana yang murni berasal dari empirik..  TIGA

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menggambarkan pola inflasi masing- masing kelompok komoditi barang dan jasa di Kota Banda Aceh serta perkembangan harga BBM dari

Evaluasi atau penilaian yang telah dilakukan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan (input) bagi rencana usaha agribisnis yang akan datang. Evaluasi diadakan

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar dengan judul: Peningkatan Motivasi Dan Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas V