• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEBERADAAN ICMI DALAM DINAMIKA POLITIK ISLAM PASCA ORDE BARU ( ) A. Politik Islam Pasca Orde Baru ( )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV KEBERADAAN ICMI DALAM DINAMIKA POLITIK ISLAM PASCA ORDE BARU ( ) A. Politik Islam Pasca Orde Baru ( )"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

58

BAB IV

KEBERADAAN ICMI DALAM DINAMIKA POLITIK ISLAM PASCA ORDE BARU ( 1998-2003 )

A. Politik Islam Pasca Orde Baru (1998-2003 )

Setelah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa, rezim Orde Baru akhirnya lengser dari singgasananya. Tentu, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, rezim yang begitu lama berkuasa akhirnya dapat dijatuhkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa. Fakta telah menunjukkan bahwa rezim Orde Baru jatuh pada tanggal 21 Mei 1998, baru beberapa bulan setelah dipilih lagi oleh Sidang Umum MPR 1998.

Jatuhnya rezim Orde Baru tidak telepas dari gaya politik kekuasaannya yang cenderung otoriter, represif dan tidak demokratis. Dengan kekuatan utamanya, Golkar dan Militer. Orde Baru berhasil mempertahankan kelangsungan kekuasaannya selama tiga dasawarsa lebih. Sikap perlawanan dan oposisi yang dilakukan oleh kelas menengah muslim dan non muslim berhasil dipatahkan mengingat betapa sangat berkuasanya rezim ini dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Baru setelah krisis ekonomi menjalar ke Indonesia dan memporak-porandakan perekonomian nasional, arus deras perlawanan yang dilakukan mahasiswa dengan rakyat semakin menemukan momentumnya

(2)

59

untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Tak pelak lagi, akhirnya rezim Soeharto (Orde Baru) jatuh, dan digantikan wakilnya, BJ Habibie.

Kejatuhan Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari dua faktor, yakni krisis multi dimensional yang terdiri dari krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial dan gerakan mahasiswa. Kedua faktor inilah yang menjadikan pemicu kejatuhan Orde Baru setelah berkuasa lebih dari tiga dekade.

Lengsernya kekuasan Orde Baru memberikan harapan baru bagi kehidupan demokrasi di Indonesia dan awal dari era reformasi dalam segala aspek kehidupan; dari ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pemerintah BJ Habibie yang menggantikan Soeharto telah menandai era reformasi menuju Indonesia Baru. Gema reformasi pun semakin kuat dan pucaknya adalah pemilihan umum 1999 yang demokratis dan dapat diterima oleh semua pihak.

Gerakan reformasi yang menumbangkan Presiden Soeharto dan Orde Baru telah menciptakan suatu kesempatan bagi Indonesia untuk keluar dari masa otoriter menuju pembangunan sistem ekonomi dan politik yang demokratis, transparan, dan dapat diandalkan. Pemilu yang adil pada 1999 semakin mendorong perubahan ini, tetapi juga diketahui bahwa disamping euforia dan optimisme, transisi menuju demokrasi berlangsung dalam kondisi yang sulit. Ekonomi tetap rapuh. Kepercayaan politik pada pemerintah dan institusi-institusi pemerintah, termasuk militer sangat rendah. Konflik etnis dan agama telah meledak dibanyak

(3)

60

tempat dari negara ini dan gerakan pemisahan diri mulai muncul. Kemudian kemiskinan dan pengangguran tinggi dapat merusak stabilitas.1

Runtuhnya Orde Baru—yang selama berkuasa melakukan penyederhanaan terhadap jumlah partai politik—memunculkan keinginan untuk mengubah sistem kepartaian yang ada menjadi sistem multi partai, dalam tempo kurang dari 6 bulan, lebih dari 150 partai politik baru dideklarasikan. Banyaknya partai politik baru yang bermunculan ini ditanggapi positif oleh pemerintah dengan diundangkannya perundang-undangan politik baru (terutama yang berkaitan dengan partai politik) yang memungkinkan berdirinya partai politik baru.

Selama tiga dasawarsa lebih, kebebasan berpolitik dan mengeluarkan pendapat dikekang, dengan cara pembatasan Partai Politik. Akan tetapi setelah Reformasi, demokrasi multi partai dilihat sebagai satu-satunya opsi yang layak. Keadaan ini ada kemiripan dengan November 1945, masa terakhir ketika partai-partai politik tumbuh subur di Indonesia. Kemiripan itu adalah sehubungan dengan hal-hal berikut: euforia setelah keluar dari suatu kurun panjang represi politik; banyak kepentingan politik yang sodok menyodok berebut posisi, dan tidak adanya otoritas politik yang mempunyai kemauan mencegah hal itu.2

Karena banyak partai politik, dalam rangka persiapan pemilu 1999, pemerintah melakukan seleksi terhadap partai-patai politik baru.

1 International IDEA, Penilaian Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: IDEA, 2000,

hlm. 34

2 Valina Singka Subekti, “Meletakkan Landasan Menuju Konsolidasi Demokrasi”

dalam Lukman Hakim, Reformasi dalam Stagnasi, Jakarta: Yayasan Al-Qur’an Mukmin, 2001, hlm. 21

(4)

61

Seleksi dilakukan oleh Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (PPKPU) yang kemudian disebut Tim Sebelas dengan melakukan verifikasi administratif dan faktual terhadap partai-partai politik baru. Dalam malakukan tugasnya, Tim Sebelas telah menginventarisir tidak kurang dari 141 partai politik (termasuk PPP, PDI, dan Golkar). Akhirnya Tim Sebelas berhasil menetapkan 48 partai politik yang lolos kepemilu setelah memperoleh pengesahan dari Departemen Kehakiman, mendaftarkan sebagai peserta pemilu 1999, diverifikasi dan memenuhi persyaratan sebagi calon peserta pemilu 1999.

Di era reformasi, terutama setelah adanya kebebasan politik, Islam mengalami kebangkitan. Ada perubahan yang signifikan dari kelompok Islam dalam memaknai jatuhnya rezim Orde Baru, yang mulai mengakomodasikan aspirasi Islam. Aspirasi Islam lebih nampak di pentas politik nasional dibandingkan dengan periode Orde Baru yang belum sepenuhnya memberikan saluran politik Islam. Kejatuhan rezim Orde Baru membangkitkan kesadaran politik umat Islam untuk menyongsong periode baru, yakni periode kebangkitannya. Reformasi adalah awal periode kebangkitan kembali politik Islam di Indonesia. Ada dua pendekatan utama yang berkembang dalam memahami politik Islam di penghujung Orde Baru, sebuah periode yang sering disebut sebagai fase kebangkitan politik Islam.

Pendekatan pertama melihat kebangkitan politik Islam tidak sebagai hasil desakan sosiologi masyarakat Orde Baru, melainkan sebagai

(5)

62

fenomena pergesekan dan pergeseran (sirkulasi) di lingkungan elite politik belaka. Pendekatan ini direpresentasikan dengan baik oleh R. William Liddle. Dalam makalah panjangnya yang secara khusus membahas Islam di masa Orde Baru mutakhir, Liddle memperlihatkan bahwa hubungan dekat Islam dengan negara di era 1990-an sekadar menunjukkan peralihan basis politik Soeharto setelah hubungan antara Presiden dan petinggi Angkatan Darat mulai dingin. Lebih lanjut Liddle memperlihatkan ketidakpercayaannya pada terjadinya proses Islamisasi di tengah masyarakat secara luas, maupun aparat birokrasi dan tidak percaya bahkan politik kalangan santri mengalami pasang naik dan kalangan abangan mengalami pasang surut.3

Kemunculan banyak partai politik yang berasaskan agama, baik Islam maupun Kristen, merupakan salah satu fenomena politik menarik pada masa pasca-Soeharto. Kebangkitan partai-partai seperti ini, khususnya Islam, mendorong munculnya semacam kekhawatiran kalangan sementara pihak, baik dalam maupun luar negeri. Kekhawatiran itu menyangkut; apakah parpol Islam itu merupakan indikasi dari kemunculan “fundamentalisme Islam” di Indonesia. Kekhawatiran ini tidak diragukan lagi bersumber dari pandangan dan citra terhadap gerakan

3 Eep Saefullah Fattah, “Masa Depan Politik Islam : Dari Pusaran Menuju Arus Balik”

dalam Abu Zahro (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hlm. 13-14

(6)

63

militan dan radikal Islam di Timur Tengah yang sering disebut “fundamentalisme” Islam.4

Dalam hal ini, Azyumardi Azra menolak anggapan bahwa kemunculan parpol Islam di Indonesia sebagai indikasi bangkitnya fundamentalisme Islam di Indonesia. Argumentasinya didasarkan pada tiga hal.5 Pertama, lingkungan sosiologis politik Islam di Indonesia berbeda dengan lingkungan sosio-historis Islam di Timur Tengah. Politik Islam di Indonesia telah mengalami indigenerasi atau kontektualisasi dengan lingkungan lokal Indonesia. Karena itu, penampilan dan ekpresi Islam di Indonesia lebih akomodatif dan moderat. Oleh karena itulah gerakan militan dan radikal Islam tidak pernah populer dan mendapat ground yang kuat di Indonesia. Kedua, pasca-Perang Dunia II banyak negara Timur Tengah mengadopsi ideologi sekuler. Khususnya skularisme (Turki), atau sosialisme (Mesir, Irak, dan lain-lain). Ideologi seperti ini, tidak sesuai dengan lingkungan masyarakat muslim, tetapi dalam segi-segi tertentu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Kenyataan ini menjadi alasan pokok bagi munculanya gerakan radikal atau “fundamentalis” yang bertujuan mengubah ideologi non-Islamis menjadi ideologi Islam. Sedangkan ideologi atau dasar negara Indonesia adalah Pancasila yang religius dan tidak bertentangan dengan Islam dan Pancasila sudah tidak lagi menjadi concern dan warna Parpol Islam, dan

4 Azyumardi Azra, “Fundamentalisme Partai Islam” dalam Hamid Basyaib dan Hamid

Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 1999

sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, 2000, hlm. 30-31 5 ibid, hlm. 38-39

(7)

64

karena itu memperkecil terjadinya peluang radikalisasi di kalangan gerakan Islam tertentu yang bertujuan mengubah dasar negara Pancasila. Ketiga, nature rezim-rezim di Timur Tengah yang cenderung sangat opresif, sering mempraktekan terorisme negara untuk menindas setiap bentuk dissent dan oposisi. Terorisme negara ini mendorong gerakan Islam melakukan conter terror, sehingga pada akhirnya menciptakan circle of violence dan state of terror, yang seolah tidak pernah akan berakhir. Sebaliknya rezim-rezim di Indonesia, seperti Soeharto, misalnya sampai akhir tahun 1980-an paling banter dapat disebut sebagai soft-oppresive regime. Selanjutnya, sejak awal tahun 1990-an sampai jatuhnya Orde Baru, Soehrto mengambil kebijakan akomodatif dan rekonsiliatif dengan kaum muslim. Reapprochement dan rekonsiliasi itu pada gilirannya membuat kemungkinan radikalisme kelompok-kelompok Islam tertentu kehilangan alasan pokoknya.

Argumentasi Azyumardi Azra masih berkisar pada fenomena partai-partai Islam yang tidak menunjukkan watak radikalnya. Tetapi yang kemudian telihat setelah selang beberapa lama rezim Orde Baru berlalu, ada fenomena maraknya ormas-ormas Islam yang berhaluan radikal, militan, dan bahkan fundamentalis. Seiring dengan kebebasan yang diberikan rezim Habibie, ormas-ormas Islam semakin menunjukkan momentumnya untuk melakukan gerakan memperjuangkan aspirasi Islam secara radikal. Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah (FKASW), Ikhwanul Muslimin, HAMAS, Hizbut Tahrir dan Majelis Mujahidin

(8)

65

menyusul ormas Islam lainnya yang sudah berdiri di masa Orde Baru, seperti Front Pembela Islam (FDI), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dan Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI).6

Ormas-ormas Islam ini menunjukkan sikap keberagamaannya yang eksklusif, literalis, dan radikal. Pandangan Islamnya yang totalistik mengakibatkan cara beragamanya pun sangat literal dan radikal, bahkan dengan semangat jihadnya melakukan aktifitas yang tanpa kompromi. FPI misalnya sering menggunkan metode kekerasan dalam merealisasikan gerakan anti maksiat di Jakarta. FKASW atau Laskar Jihad juga menurunkan pasukannya untuk mambantu umat Islam di Ambon secara fisik. Kondisi semacam ini tidak pernah dibiarkan begitu saja jika terjadi pada masa Orde Baru. Rezim pemerintahan pasca-Orde Baru tidak dapat berbuat banyak terhadap fenomena bangkitnya gerakan radikal Islam di Tanah Air. Inilah yang tidak diamati oleh Azyurmadi bahwa bermuculan ormas Islam semakin menumbahkan Islam radikal pasca-Orde Baru.7

Karena itulah, kebangkitan politik Islam ditandai dengan maraknya partai-partai Islam dan ormas-ormas Islam berhaluan militan dan radikal. Sedangkan Islam moderat mengalami penurunan daya jelajah dalam menyerap opini publik dan mempengaruhi masyarakat bawah. Inilah yang menjadi awal gerakan Islam radikal dan militan di Indonesia

6 Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, hlm. 77

(9)

66

pasca-Orde Baru. Pada gilirannya, isu Piagam Jakarta dan pemberlakuaan syariat Islam kembali menjadi wacana publik dipentas politik nasional.

Bangkitnya politik Islam dan semakin kuat posisi tawar politik Islam juga terlihat dengan diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus Daerah Nangroe Aceh Darusalam dan pemberlakuan syariat Islam dan dibahasnya RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) yang menguntungkan umat Islam.

B. Gerakan Politik ICMI Pasca Orde Baru ( 1998-2003 )

Naiknya Habibie—yang pada waktu itu menjadi Ketua Umum ICMI—menjadi Presiden ketiga RI menggantikan Soeharto, membuat ICMI semakin dekat dengan kekuasaan (pemerintah) dan mejadikan ICMI mempunyai kekuatan politik yang besar dan menentukan. Hal ini terlihat dengan banyaknya anggota ICMI yang diangkat oleh Habibie menjadi menteri dalam Kabinet Reformasi.

Tetapi keadaan ini hanya bertahan satu tahun, karena Habibie menjadi Presiden hanya untuk menghantarkan bangsa Indonesia menuju reformasi, ditandai dengan Pemilihan Umum 1999 yang dianggap sebagai Pemilihan Umum yang paling jujur dan adil selama tiga dasawarsa terakhir.

Pada Muktamar III Ikatan Cendekiawan Islam Se-Indonesia tanggal 9-12 November 2000 timbul pemikiran yang bernada pesimis terhadap masa depan organisasi Islam ini, misalnya timbul pendapat yang

(10)

67

menganggap bahwa peran ICMI sudah kehilangan gregetnya setelah mantan ketua umumnya BJ Habibie tidak lagi berada dipuncak kekuasaan.

Hal ini disebabkan karena ICMI identik dengan Habibie dan Habibie sama dengan ICMI. Sebagai mana diakui oleh Dawam Raharjo, bahwa image ICMI saat ini berubah jelek seiring dengan lengsernya Habibie.8

Setelah runtuhnya rezim Orde Baru–ditandai lengsernya Soeharto—dan digantikan dengan Orde Reformasi dan juga hilangnya sosok Habibie dalam ICMI menjadi seolah-olah surut pula peran politiknya. Dan semakin menurunnya peran politik ICMI menurut Tebba Sudirman sebaiknya ICMI kembali sebagai organisasi kebudayaan dibidang keagamaan.9

Dalam jumpa pers seusai penutupan muktamar III di Jakarta, Adi Sasono mengatakan “ICMI tidak akan pernah menjadi oposan, karena ICMI bukanlah partai politik. Namun juga tidak bisa dipaksakan untuk selalu pro terhadap pemerintah”.10

“Kita akan dukung program pemerintah yang positif buat bangsa dan negara. Tapi juga akan mengkritik sikap yang dipandang sebagai penyalahgunan amanat publik dalam penyelenggaraan pemerintah”.11

8 Republika, Demi Umat, ICMI Takkan Tinggalkan Wacana Politik, Minggu 5

November 2000, hlm. 1 & 3

9 Sudirman Thaba, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000, hlm. 89 10 Republika, ICMI Tak Akan Jadi Oposan, Senin 13 November 2000, hlm. 1 & 3 11 ibid

(11)

68

Lebih lanjut, Adi mengatakan bahwa cedekiawan tidak boleh netral. Karena sebenarnya tugas cedekiawan itu sendiri adalah mengakomodasi kebijaksanaan publik merupakan akar masalah terjadinya berbagai persoalan yang dihadapi saat ini. Karena itu, ujarnya penilaian bahwa cedekiawan tidak boleh berpolitik adalah keliru.12 dan pernyataan Adi Sasono diperkuat oleh Prof Dr M Dawam Raharjo dalam simposium nasional kontemplasi ICMI digedung Widyaloka Universitas Brawijaya Malang. “Bahwa ICMI tidak akan sekali-kali meninggalkan wacana politik, sebab jika meninggalkan wacana politik, maka umat Islam akan kembali dipinggirkan, meski ICMI tidak akan membentuk partai politik Islam, tetap ICMI akan mendukung partai politik Islam yang ada dan mendukung calon Presiden dimasa mendatang.”13

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Syafi’i Ma'arif “walaupun ICMI sudah tidak dekat lagi dengan pemerintah (kekuasaan) tetapi ICMI harus independen, kalau pemerintah salah dikritik, tapi kalau pemerintah memang benar, harus diakui kebenarannya. Dan sikap ICMI dalam bidang politik harus bergerak dalam tataran high politic. Jadi high politic dalam tataran teori maupun praktek, tidak seperti masa lalu dimana pada kerangka teorinya high politik tapi dalam sikapnya ternyata tidak.14

Kedepan agar supaya ICMI dapat bertahan dan semakin meningkat, ICMI perlu memperhatikan beberapa hal diantaranya,

12 ibid

13 Loc. Cit, Republika, Minggu 5 November 2000

14 Syafi’i Maarif, Republika, Hapuskan Citra ICMI sebagai Kendaraan Politik, 13

(12)

69

pertama; ICMI sebaiknya tetap tampil sebagai gerakan kultural dan secara ekplisit mencerminkan gerakan politik. Ini tidak berarti bahwa ICMI lantas a-politik, tetapi politik yang dikembangkan oleh ICMI adalah politik alokatif, yakni politik yang bersubstansial nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dalam arti luas.

Politik alokatif juga mengembangkan pemikiran dan orientasi politik yang menekankan substansi dari nilai-nilai Islam (Islamic Inunctions) dalam aktifitas politik. Politik alokatif menawarkan pengembangkan Islamisasi dalam wajah kultural yang produktif dan kontruktif dalam Indonesia modern yang berdasarkan Pancasila. Agar politik alokatif itu dapat dikembangkan dengan baik oleh ICMI, ia harus ditunjang oleh inklusifisme pemikiran dan wawasan politik yang mengarah pada penampilan simbol-simbol politik yang terbuka, dimengerti dan diterima baik oleh kalangan sendiri maupun kalangan luar.

Kedua; ICMI perlu melakukan komunikasi yang lebih intensif baik secara internal maupun dalam arti dengan sesama organisasi Islam maupun secara ekternal terutama dengan kelompok-kelompok non muslim. Selama ini muncul kesan bahwa ICMI lebih didominasi oleh kalangan modernis muslim, sedang kalangan tradisional muslim baik dalam keanggotaan maupun aspirasi pemikiran terkesan under represented .

(13)

70

Ketiga; ICMI perlu memperluas basis sosial dukungan kalangan akar rumput (gross roat people) ini hanya bisa terwujud apabila program dan agenda ICMI memihak hajat hidup golongan kecil yang selama ini secara sengaja atau tidak sering tergusur dan di anak tirikan.

Keempat; ICMI bukan hanya harus peka terhadap isu-isu demokrasi, tetapi sekaligus juga mempelopori mengimplementasikan kedalam atau keluar.15

Untuk mewujudkan cita-cita dan harapan tersebut, ICMI akan memperhatikan 3 hal, sebagai mana dikatakan oleh Adi Sasono yang disampaikan dalam jumpa Pers setelah Muktamar III di Jakarta.

Pertama; ICMI harus bergegas mengawasi era otonomi daerah dengan pengembangan majelis kajian pembangunan daerah yang berfungsi membantu Pemda dan masyarakat untuk merencanakan pembangunan dan mengembangkan sumber daya lokal.

Kedua; ICMI akan melakukan agenda kemanusian sebagai komitmen organisasi terhadap persatuan bangsa, ICMI mengajak semua unsur untuk melakukan dialog kemanusiaan guna memecahkan berbagai kekerasan politik yang kini terjadi diberbagai daerah.

Ketiga; komitmen untuk membangun ekonomi kerakyatan sebagai dasar pemulihan ekonomi nasional, karena tidak mugkin negara bangkit kalau ekonomi rakyat tidak diberi dukungan memadai.16

15 Hari Sucipto, ICMI Demokrasi dan Nasib Ummat, Republika, Minggu 5

November 2000, hlm. 8

(14)

71

Tekad ICMI untuk tidak meninggalkan wacana politik dan ikut dalam pembangunan Indonesia, telihat pada Silahturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI di Pontianak Kalimantan, yang dibuka oleh Wakil Presiden Hamzah Haz. Dalam Silaknas tersebut, ICMI mencanangkan sistem ekonomi dengan menggunakan Dinar Dirham sebagai alat transaksi guna menggantikan sistem ekonomi konfensional yang syarat dengan riba.17

Gagasan ICMI untuk mengagantikan sistem ekonomi konfensional dengan sistem ekonomi Islam tidak hanya isapan jempol belaka, akan tetapi dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh. Keseriusan tersebut terlihat dengan seringnya ICMI mengadakan seminar tentang ekonomi Islam, seperti seminar Gold Dinar as Bilateral Traiding Currency an Prospect and Implementation di Jakarta (17/12/2003).

Untuk dapat menggantikan alat transaksi konfensional dengan Dinar Dirham, ICMI telah melakukan pembicaraan-pembicaraan dengan instansi-instansi terkait seperti Departemen Keuangan maupun Bank Indonesia (BI). Namun, perjalanan untuk merealisasikannya membutuhkan waktu yang tidak bisa cepat. Sebagaimana diungkapkan oleh Muslimin Nasution “Tidak bisa kita katakan hari ini ICMI memutuskan Dinar Dirham sebagai mata uang negara, maka berlaku, tetapi perlu waktu” jelasnya. Hal ini dikarenakan Dinar merupakan sesuatu yang baru, meskipun mata uang emas itu telah berlaku di zaman

16 Op. Cit, Republika, Senin 13 November 2000, 17 Republika, 24 Januari 2003, hlm. 2

(15)

72

Rasullah. Mereka (masyarakat) masih berpikir agak rumit, apabila mengantongi emas dijalanan. Padahal, persoalan fisiknya, kata Muslimin, bisa diatasi dengan tidak harus kemana-mana membawa Dinar. Dengan kecanggihan teknologi perbankkan saat ini, transfer Dinar bisa saja dilakukan melalui ATM.18

Sebelum mata uang Dinar dan Dirham berlaku, masyarakat dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dapat digunakan mahar dalam pernikahan, untuk pembayaran ongkos naik haji, bahkan dapat juga digunakan untk melakukan jual beli tanah, karena nilai tukar emas tidak jatuh (inflasi).

Apabila gagasan ini tentang mata uang Dinar dan dirham dapat terwujud, maka ini adalah sebuah prestasi politik Islam yang sangat besar bagi umat Islam di Indonesia, yang dilakukan oleh ICMI..

Gerakan politik yang lain yang dilakukan ICMI ialah mendesak pemerintah MPR DPR dan pemerintah untuk segera melaksanakan Tap MPR yang mengamanatkan penghentian kerja sama dengan IMF pada 2003, karena kebijaksanaan ekonomi dengan resep IMF dan Bank Dunia tidak membawa perbaikan kondisi ekonomi seperti yang diharapkan, akan tetapi membuat perekonomian nasional makin parah.19

Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) juga mendesak pemerintah dan DPR segera mewujudkan adanya Undang-Undang (UU), tentang Perbankan Syariah. Menurut Pejabat Ketua Umum ICMI,

18 http://www.icmi.or.id 19 ibid

(16)

73

Muslimin Nasution “Sistem perbankan yang digunakan saat ini berdampak pada penumpukkan kekayaan pada kelompok orang yang mengetahui seluk beluk dan mekanisme untuk menguras kekayaan negara seperti halnya yang telah dilakukan oleh para konglomerat.”20

ICMI juga menyarankan kepada seluruh umat Islam Indonesia, agar memanfaatkan sebesar-besarnya Bank Syariah untuk kegiatan perbankan.

Selain UU tentang Perbankan Syariah, juga ada sejumlah UU yang mendesak untuk segera direvisi dan dikeluarkan oleh pemerintah bersama DPR. UU yang perlu direvisi meliputi UU yang mengatur tentang Privatisasi BUMN, UU tentang Pendidikan Nasional, UU tentang Harmonisasi Bangsa, UU tentang Pembiayaan Pengembangan Masyarakat, pembaharuan terhadap UU tentang Perkoperasian.UU lain yang perlu di keluarkan meliputi UU tentang Pasar Modal Syariah.21

20 ibid 21 ibid

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh Gelar Sarjana Sains pada Departemen Studi Ilmu Keolahragaan. Fakultas Pendidikan Olahraga

This current research examined the effect of different amount of coastal sediment on nutrient availability and maize production on Entisols, West Kalimantan.. The

[r]

Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dan sejarah perkembangan sosiologi dan antropologi pendidikan dengan baik. Yang harus dikerjakan dan

Sesuai dari hasil dari penelitian dan pembahasan peneliti menyimpulkan tingkat kecemasan atlet yang didapat hasil dari kuesioner atau angket milik Nyak Amir yang telah

Relasi keruangan merupakan kemampuan untuk memahami bentuk suatu benda atau bagian – bagian dari benda tersebut serta memahami hubungan antara bagian yang satu

3. Untuk mengetahui model pembelajaran yang lebih efektif antara model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dengan model.. pembelajaran Problem Based Learning

Namun karena dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan, maka yang sering digunakan adalah dengan pendekatan pengeluaran.. Analisa