• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENGANTAR A. Permasalahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENGANTAR A. Permasalahan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Jantung berfungsi memelihara homeostasis tubuh yaitu bekerja sebagai pompa darah dengan melakukan kegiatan kontraksi dan relaksasi otot (miokardium). Kontraksi dan relaksasi otot terjadi karena adanya rangsang listrik. Otot jantung memiliki lurik seperti otot rangka tetapi bekerja secara involunter seperti otot polos. Otot jantung terdiri dari 2 macam sel, yaitu sel-sel autoritmik atau pacemaker dan sel-sel pekerja (worker cells). Sel-sel pacemaker adalah modifikasi sel otot jantung yang dapat menghasilkan potensial aksi sendiri untuk dijalarkan ke sel-sel pekerja. Sel pekerja adalah sel-sel otot jantung yang berfungsi untuk kontraksi dan relaksasi karena memiliki kandungan protein kontraktil yang tinggi.

Potensial aksi terjadi karena perpindahan ion-ion bermuatan listrik dari dan ke dalam sel melalui membran sel. Potensial aksi terdiri dari fase depolarisasi dan repolarisasi. Masuknya ion bermuatan positif ke dalam sel menyebabkan perubahan potensial listrik sel menjadi positif yang disebut sebagai depolarisasi. Fase kembalinya muatan sel menjadi negatif disebut sebagai repolarisasi. Potensial aksi tersebut akan menyebar dari satu sel ke sel sekitarnya dan disebut sebagai impuls listrik.

Sel-sel pacemaker mengalami depolarisasi spontan secara teratur kemudian dijalarkan ke seluruh sel pekerja melalui sistem konduksi khusus. Potensial aksi spontan yang terjadi di sel otot jantung tidak terjadi di sel otot

(2)

skelet. Perbedaan pembentukan potensial aksi dengan sel otot jantung disebabkan depolarisasi sel otot skelet tidak terjadi spontan melainkan akibat rangsang dari saraf.

Sel-sel otot jantung tipe pekerja memilki potensial istirahat yang stabil pada -90mV kemudian mengalami depolarisasi saat mendapat rangsang dari sel

pacemaker. Depolarisasi sel pekerja menimbulkan kontraksi otot jantung melalui

mekanisme kopling eksitasi-kontraksi yang melibatkan peran ion Ca. Setelah fase depolarisasi berakhir, maka potensial sel menurun menuju ke potensial istirahat atau repolarisasi. Fase repolarisasi akan diikuti oleh lepasnya ikatan antar protein kontraktil sehingga terjadi relaksasi otot jantung (Tortora & Grabowski, 2006).

Peristiwa depolarisasi dan repolarisasi disebabkan aktivasi dan inaktivasi saluran-saluran ion di membran sel. Penjalaran impuls listrik dari sel pacemaker menyebabkan pembukaan saluran ion Na dan Ca di sel pekerja. Saluran-saluran ion tersebut digunakan oleh Na+ dan Ca2+ masuk dari ekstraseluler dengan cara difusi terfasilitasi. Repolarisasi terjadi karena pembukaan saluran ion K yang menyebabkan K+ keluar dari sel diikuti keluarnya Na+ dengan cara transport aktif dan Ca2+ dengan difusi sederhana. Pembukaan dan penutupan saluran ion di membran sel terjadi secara periodik setelah menerima impuls listrik dari sel

pacemaker. Akan tetapi frekuensi pembentukan potensial aksi dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi ion di intra dan ekstraseluler, hormon dan saraf otonom.

Siklus depolarisasi dan repolarisasi tersebut menentukan terjadinya kontraksi dan relaksasi otot jantung yang disebut siklus jantung. Siklus jantung

(3)

menentukan frekuensi dan irama denyut jantung. Durasi kontraksi dan relaksasi otot jantung akan menentukan lamanya pengisian dan pemompaan jantung. Oleh sebab itu perubahan pada durasi depolarisasi dan repolarisasi otot jantung akan mempengaruhi fungsi jantung sebagai pompa darah. Pompa jantung bekerja memompa sejumlah darah ke seluruh tubuh sesuai kebutuhan metabolisme tubuh. Durasi repolarisasi menentukan lamanya fase relaksasi dan pengisian ventrikel jantung. Fase pengisian ini menentukan volume darah yang akan dipompa pada fase kontraksi berikutnya sesuai dengan hukum Frank-Starling (Guyton & Hall, 2006).

Hormon estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam pembukaan dan penutupan saluran ion Ca dan K. Penelitian secara invitro oleh Drici et al. (1996), Tanabe et al. (1999), Pham et al. (2001), Han et al. (2006) dan Kurokawa et al. (2008) mendapatkan hasil bahwa jantung marmut, kelinci dan tikus mengalami perlambatan pembukaan saluran ion K setelah pemberian estrogen dengan dosis suprafisiologis. Johnson et al. (1997), Bowling et al. (1997), Tanabe et al. (1999) dan Han et al. (2006) melaporkan adanya peningkatan ekspresi saluran ion Ca pada otot jantung tikus yang telah dihilangkan reseptor estrogennya demikian juga pada tikus yang telah diovariektomi. Ulrich et al. (2007) menemukan bahwa saluran ion Ca tipe L di sel otot jantung merupakan salah satu efektor untuk hormon estrogen. Pada manusia, antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan kadar hormon estrogen dalam darah dan terdapat perbedaan fdj (frekuensi denyut jantung).

(4)

yaitu saraf simpatis dan parasimpatis. Burke et al. (1996, cit. Villareal et al., 2001) menghambat saraf otonom yang menuju ke jantung dan melaporkan bahwa tetap ada perbedaan fdj yang bermakna antara laki-laki dan perempuan. Disimpulkan bahwa perbedaan fdj antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh saraf otonom. Mengamati hasil-hasil penelitian tersebut memberi gambaran bahwa kadar hormon estrogen darah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan berperan dalam perbedaan irama dan fdj.

Peristiwa depolarisasi dan repolarisasi sel-sel otot jantung dapat direkam dengan dua cara, yaitu perekaman pada satu sel (monophasic action potential) dan perekaman akumulasi kelistrikan yang terjadi di seluruh sel otot jantung. Perekaman peristiwa kelistrikan yang terjadi di seluruh sel otot jantung secara tidak langsung dapat dilakukan dari permukaan tubuh menggunakan elektrokardiograf (EKG). Hasil elektrokardiogram menunjukkan adanya gelombang P, kompleks QRS dan gelombang T. Gelombang-gelombang tersebut berturut-turut merupakan hasil rekaman depolarisasi otot atrium, depolarisasi otot ventrikel dan repolarisasi otot ventrikel. Jarak antar gelombang dapat diukur sebagai segmen atau interval yang menunjukkan durasi penjalaran impuls listrik dari satu tempat ke tempat lain dalam otot jantung.

Salah satu interval yang perlu diperhatikan dalam rekaman EKG adalah interval QT. Interval QT pada rekaman EKG adalah jarak antara awal gelombang Q sampai akhir gelombang T dan dihitung dalam satuan waktu (detik atau milidetik). Interval tersebut merupakan manifestasi waktu yang diperlukan untuk mengadakan depolarisasi dan repolarisasi otot ventrikel. Nilai normal interval QT

(5)

pada manusia berkisar 0,4-0,44 detik. Nilai ini bervariasi akibat adanya pengaruh durasi kompleks QRS. Jika durasi kompleks QRS tidak berubah, maka perubahan panjang interval QT disebabkan karena perubahan durasi repolarisasi otot ventrikel. Oleh sebab itu interval QT dipakai sebagai parameter dasar untuk mengetahui durasi repolarisasi otot ventrikel. Jika fase repolarisasi terlambat muncul, maka durasi interval QT menjadi panjang dan sebaliknya jika fase repolarisasi terlalu cepat terjadi, maka interval QT menjadi pendek. Perubahan interval QT baik menjadi lebih panjang atau menjadi lebih pendek dari kondisi normal memiliki dampak yang merugikan bagi fungsi pompa jantung, karena masa repolarisasi ini merupakan persiapan bagi kontraksi yang berikutnya. Perubahan panjang interval QT merupakanfaktor risiko untuk aritmia (Nerbonne & Kass, 2005; Couderc, 2009)

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi panjang interval QT, antara lain jenis kelamin, usia, konsentrasi ion, kadar hormon dan saraf otonom. Panjang interval QT berbeda antara laki-laki dan perempuan pada berbagai usia. Panjang interval QT bervariasi selama siklus menstruasi dan berbeda antara perempuan usia reproduksi dengan pascamenopause (Hulot et al., 2003).

Mengetahui panjang interval QT penting karena durasi depolarisasi dan repolarisasi menentukan lamanya otot jantung mengadakan kontraksi dan relaksasi. Selain itu, panjang interval QT menentukan pula lama masa refrakter otot jantung. Masa refrakter otot jantung merupakan periode otot jantung yang sedang depolarisasi tidak mungkin untuk menerima rangsang lagi. Dengan demikian masa refrakter ini melindungi otot jantung dari kemungkinan terjadi

(6)

kelelahan otot atau tetani.

Lama kontraksi dan relaksasi otot jantung yang dicerminkan oleh panjang interval QT, berhubungan timbal balik dengan irama dan fdj. Perubahan durasi depolarisasi atau repolarisasi akan mengakibatkan perubahan irama dan fdj, demikian pula perubahan fdj akan mengubah durasi repolarisasi otot jantung. Oleh sebab itu pada pembacaan dan analisis hasil rekaman EKG, panjang interval QT harus dikoreksi terhadap fdj dan disebut sebagai interval QTc. Jika ada perubahan pada fdj yang tidak diikuti oleh perubahan durasi repolarisasi akan berakibat pemanjangan atau pemendekan interval QTc.

Gangguan pembentukan dan konduksi impuls listrik di otot jantung yang menyebabkan denyut jantung menjadi sangat cepat atau sangat lambat (>100x/menit atau <60x/menit) atau tidak teratur (irregular) disebut sebagai aritmia atau disritmia. Aritmia yang fatal adalah aritmia yang terjadi pada otot ventrikel jantung, disebut aritmia ventrikuler. Salah satu penyebab aritmia ventrikuler adalah perubahan pada panjang interval QT, yaitu dapat memendek atau sangat memanjang yang disebut short QT syndrome (SQTS) dan long QT

syndrome (LQTS) (Nerbonne & Kass, 2005).

Aritmia ventrikuler merupakan salah satu penyebab kematian pada perempuan, khususnya di atas usia 60 tahun (Hara et al., 1998; Malloy & Babinski, 1999; Hayes, 2006). Aritmia ventrikuler lebih menonjol pada perempuan usia pascamenopause dibanding laki-laki pada usia yang sama. Hal ini diduga karena pada perempuan terjadi pemanjangan durasi siklus jantung yang berarti perlambatan fdj ketika memasuki menopause. Pemanjangan durasi siklus

(7)

jantung tersebut diikuti dengan pemanjangan fase repolarisasi (interval QT) berakibat masa refrakter fungsional dalam satu siklus jantung relatif memendek. Oleh sebab itu panjang interval QT yang dikoreksi terhadap fdj (interval QTc) menjadi lebih pendek (Valverde et al., 2003; Saba et al., 2004). Analisis interval QT pada berbagai denyut jantung oleh Lehmann (1997 cit. Zipes et al., 2006) menunjukkan bahwa perubahan interval QT lebih bermakna pada denyut jantung yang lambat. Perubahan pada interval QTc ini juga dapat menjadi prediktor untuk mati jantung mendadak (sudden cardiac death).

Pada perempuan pascamenopause alami maupun buatan, akibat pengambilan ovarium, terjadi perubahan gambaran EKG istirahat pada panjang interval QTc, segmen ST, morfologi gelombang Q dan T dibandingkan saat premenopause. Perubahan gambaran EKG tersebut secara klinis tidak menimbulkan keluhan (Mario et al., 2001; De Leo et al., 2000; Lujan et al., 2007; Dennes et al., 2007; Chou et al., 2011). Tanda dan gejala klinis akan muncul apabila terpajan oleh beberapa rangsangan, misalnya kecemasan, kelelahan, asupan kafein berlebihan, perubahan konsentrasi elektrolit dalam plasma, obat-obatan tertentu, antara lain antibiotik dan antiaritmia, atau adanya rangsangan terhadap nervus vagus yang akan mengubah panjang interval QTc. Gejala yang muncul dapat berupa rasa tidak nyaman, pusing, pening, palpitasi, presyncope sampai syncope (Nowinski et al., 2002; Wolbrette et al., 2002; Drici et al., 1996; Rai, 1982; Rautaharju et al., 1992; Taylor, 1983, Zipes et al., 2006, Genovesi et

al., 2007).

(8)

perempuan perubahan interval QT >10% meningkatkan risiko henti jantung dua kali lipat dengan kondisi tanpa penyakit jantung koroner sebelumnya. Pemanjangan interval QTc meningkatkan risiko mati jantung mendadak sebesar 4,4 kali lipat, sedangkan pemendekan interval QTc meningkatkan risiko 2 kali lipat (Rautaharju et al., 2006; Goldenberg et al., 2008, Zipes et al., 2006, Redfern

et al., 2003).

Di Indonesia, aritmia ventrikuler termasuk salah satu penyakit jantung yang menjadi penyebab kematian di atas usia 60 tahun. Perempuan lebih mudah terkena aritmia ventrikuler dibanding laki-laki, sehingga perhatian peneliti pada penelitian ini diutamakan pada masalah perempuan.

Jumlah dan proporsi penduduk perempuan Indonesia yang berusia diatas 60 tahun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat bermakna. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000 jumlah perempuan berusia diatas 50 tahun mencapai 15,5 juta orang atau 7,6% dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 2020 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 30,0 juta atau 11,5% dari total penduduk. Sementara itu pula terjadi peningkatan usia harapan hidup di Indonesia dari 46,5 tahun pada 1971 menjadi 68,2 tahun pada 2005 (Depkes RI, 2005). Apabila usia rata-rata perempuan Indonesia mengalami menopause pada 51,4 tahun, maka perempuan akan melewati 18 tahun hidup dalam masa pascamenopause. Oleh sebab itu harus ada upaya untuk mempertahankan kehidupan yang berkualitas. Upaya tersebut antara lain adalah menghindari kelainan-kelainan yang menjadi penyebab kesakitan dan kematian pada pascamenopause termasuk menurunkan risiko menderita penyakit kardiovaskular.

(9)

Pemberian terapi aritmia ventrikuler bagi pascamenopause masih kontroversi, karena obat yang sering digunakan adalah antiaritmia yang sama dengan yang diberikan pada laki-laki. Pada pascamenopause setelah mengkonsumsi obat antiaritmia tertentu, misalnya quinidin, sotalol atau terfenadin dapat mengakibatkan takikardi ventrikel yang disebut Torsade de Pointes (Makkar, 1993; Ebert, 1998 dan Pham et al., 2001). Bahkan Kadish et al. (2004) mengatakan bahwa 5,9%-15,8% antiaritmia dapat menimbulkan eksaserbasi aritmia yang diamati dari rekaman holter monitor. Katz (1999) berpendapat bahwa terapi antiaritmia seringkali tidak dapat mencegah mati jantung mendadak bahkan meningkatkan mortalitas akibat aritmia. Oleh sebab itu menurut rekomendasi American College of Cardiology (ACC)/ American Heart

Association (AHA)/ European Society of Cardiology (ESC) pemberian antiaritmia

bagi perempuan perlu sangat hati-hati dan dengan monitoring yang sangat ketat (Zipes et al., 2006).

Menilik variasi interval QTc selama siklus kehidupan perempuan, maka diduga aritmia ventrikuler pascamenopause berkaitan dengan kondisi hormon, khususnya estrogen. Pilihan terapi aritmia ventrikuler bagi pascamenopause adalah sulih hormon (Hormone Replacement Therapy/HRT).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh HRT terhadap aritmia pada pascamenopause, tetapi hasilnya masih kontroversial. Beberapa penelitian yang mendapatkan hasil HRT bermanfaat mengatasi aritmia adalah penelitian oleh The Nurses Health Study (Gordstein et al., 2000) dan The

(10)

Beberapa penelitian yang mendapatkan hasil merugikan adalah penelitian oleh the

Hormone Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS) (Hulley et al., 1998) dan the Women’s Health Initiative (WHI) (Rossouw et al., 2002). Penelitian oleh WHI

menemukan bahwa terjadi peningkatan risiko kanker payudara pada pengguna HRT. Lain halnya dengan penelitian the Estrogen Replacement on Progression of

Coronary ArterynAtherosclerosis (ERA), the Women’s Angiographic Vitamin and Estrogen (WAVE) dan the Papworth HRT and Atherosclerosis Study (PHASE)

tidak menemukan efek menguntungkan dari HRT dalam menurunkan penyakit jantung.

Terapi sulih hormon yang banyak dipakai adalah sediaan estrogen tunggal (Conjugated Ethinyl Estradiol). Walaupun ada yang menggunakan estrogen dalam kombinasi dengan progesteron. Selain harga yang mahal, adanya beberapa efek samping masih menjadi pertimbangan untuk memberikan HRT sebagai terapi aritmia. Sebagai catatan bahwa sebagian penelitian dilakukan pada pascamenopause atau pascaovariektomi setelah mengalami iskemia atau infark miokardium, baik pada manusia maupun pada hewan coba (Nowinski et al., 2002; Drici et al., 1996; Saba et al., 2001; De Leo et al., 2000; Grohe et al., 1997; Korte

et al., 2005; Philp, 2006; Trepanier-Boulay et al., 2001).

Menurut Kurokawa et al. (2006), pemberian estrogen dapat menyebabkan pemanjangan atau pemendekan interval QTc tergantung pada dosis. Dosis estrogen yang rendah dapat memanjangkan interval QTc sebab estrogen tersebut menghambat aktivasi saluran ion K. Pada penelitian tersebut tidak terdapat reseptor estrogen di saluran ion, sehingga disimpulkan bahwa penghambatan oleh

(11)

estrogen terjadi secara langsung pada saluran ion tanpa melalui ikatan dengan reseptor. Adapun dosis estrogen suprafisiologis bekerja serupa dengan testosteron terhadap saluran ion K dan Ca sehingga dapat memendekkan interval QTc. Pada penelitian Agustiningsih (2010) yang memberikan 17β-estradiol pada tikus mencegah pemanjangan interval QTc pascaovariektomi.

Pilihan lain untuk mencegah perubahan interval QTc berlebihan atau mencegah aritmia adalah dengan latihan fisik teratur. Latihan fisik dikatakan teratur dan terukur apabila memenuhi kriteria frekuensi 4-5x/minggu, intensitas 60-80% VO2max, lama latihan 30-60 menit (termasuk pemanasan dan pendinginan) serta jenis latihan adalah latihan aerobik (McArdle et al., 2009). Billman (2002) menyebutkan bahwa latihan fisik teratur dapat memperbaiki tonus saraf otonom, sehingga dapat mencegah perubahan abnormal durasi repolarisasi. Menurut Sung et al. (2004) pengaruh latihan fisik terhadap aritmia memiliki 2 kemungkinan yaitu menyebabkan interval QTc memendek atau interval QTc memanjang. Hal ini diduga karena latihan fisik dapat meningkatkan aktivitas simpatis, yaitu melalui reseptor α dan β adrenergik sehingga mengubah durasi potensial aksi, termasuk mengubah panjang interval QTc. Secara paradoks, setelah latihan fisik jangka panjang terjadi peningkatan dominasi parasimpatis sehingga fdj menurun yang juga akan mengubah panjang interval QTc (Genovesi et al., 2007). Latihan fisik teratur terbukti memperbaiki durasi repolarisasi pada otot ventrikel jantung orang muda yang sehat maupun pasca infark miokardium. Perhonen et al. (2006) mengatakan bahwa latihan fisik teratur juga bermanfaat mencegah perubahan abnormal interval QTc pada pembawa mutasi genetik

(12)

LQTS. Menurut Genovesi et al. (2007), latihan fisik pada perempuan dapat mencegah aritmia dengan memperbaiki durasi repolarisasi yang bermakna secara statistik, tetapi pada laki-laki tidak. Hal tersebut menunjukkan adanya peran hormon estrogen pada pengaturan durasi repolarisasi, tetapi peneliti tersebut tidak membuktikannya. Perlu dibuktikan apakah latihan fisik teratur dan terukur pada pascaovariektomi juga dapat mencegah perubahan abnormal durasi repolarisasi otot ventrikel jantung.

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa pada perempuan, durasi repolarisasi sangat berkaitan dengan hormon estrogen. Oleh sebab itu pada penelitian ini efek latihan fisik ditujukan bukan pada fungsi saraf otonom, melainkan lebih ke arah sintesis hormon estrogen, khususnya di jaringan otot jantung. Hasil sintesis ini akan dipergunakan oleh jantung sendiri guna mempertahankan homeostasis, termasuk mempertahankan panjang interval QTc.

Latihan fisik teratur terbukti meningkatkan kadar hormon estrogen pada pascamenopause. Peningkatan kadar estrogen tersebut diduga melalui aromatisasi androstenedion di ekstragonadal (Agustiningsih, 2006; Harvey et al., 2005). Proses aromatisasi ekstragonadal adalah proses sintesis estrogen dari androstenedion atau testosteron yang terjadi di luar ovarium dengan bantuan enzim P450aromatase dibawah kendali gen CYP19. Estrogen yang berasal dari aromatisasi ekstragonadal bekerja lokal. Hal tersebut menyebabkan kadar estrogen dalam darah tidak berubah bermakna (Simpson & Davis, 2001). Tempat aromatisasi ekstragonadal yang telah ditemukan antara lain adalah payudara, kondrosit, sel-sel mesenkim jaringan adiposa, osteoblas, endotel vaskular, sel otot

(13)

polos aorta serta beberapa tempat di otak. Perlu dibuktikan apakah di jaringan otot jantung terjadi proses aromatisasi yang diikuti peningkatan kadar estrogen dalam jaringan pada subyek yang diovariektomi setelah melakukan latihan fisik teratur dan terukur yang berkorelasi dengan perubahan interval QTc.

Adanya ekspresi CYP19aromatase menunjukkan adanya aktivitas aromatisasi di jaringan tersebut. Grohe et al. (1998) dan Diano et al. (1999) melaporkan adanya kecenderungan ekspresi aromatase P450 di otot jantung tetapi tidak meneliti adanya aktivitas CYP19aromatase. Aizawa et al. (2007) melaporkan adanya ekspresi CYP19aromatase di otot skelet tikus setelah melakukan latihan fisik. Peningkatan ekspresi CYP19aromatase ini kemungkinan karena terjadi respon inflamasi di otot jantung setelah melakukan latihan fisik. Salah satu respon inflamasi akibat penggunaan otot untuk latihan fisik adalah peningkatan ekspresi dan aktivitas siklooksigenase-2 (COX2) di otot jantung yang bertujuan melindungi otot jantung dari kerusakan. Peningkatan ekspresi dan aktivitas COX2 ini juga disebabkan rangsang nervus vagus melalui asetilkolin di otot jantung setelah latihan fisik (Testa et al., 2007; Sellers et al., 2010). Pada beberapa penelitian dibuktikan bahwa COX2 dapat menginduksi aktivitas aromatase menghasilkan estrogen di jaringan payudara (Subbaramaiah et al., 2012), ovarium (Kim et al., 2009) dan endotel pembuluh darah (Nofer, 2012). Oleh karena itu perlu dibuktikan adanya ekspresi CYP19aromatase di otot jantung untuk mengetahui aktivitas aromatisasi setelah latihan fisik teratur pada subyek yang telah diovariektomi.

(14)

perubahan intraseluler adalah berikatan dengan reseptor estrogen (RE). Reseptor estrogen memiliki 2 varian yaitu α dan β. Kedua varian reseptor estrogen didistribusikan di seluruh tubuh, termasuk di otot jantung (Grohe et al. 1997). Peningkatan jumlah RE menunjukkan adanya peningkatan aktivitas estrogen di jaringan tersebut. Berdasarkan publikasi Wiik et al. (2005) dan Cartoni et al. (2005) terjadi peningkatan ekspresi REα di otot skelet setelah latihan fisik aerobik pada laki-laki. Serta hasil penelitian Paquette et al., (2007) terjadi peningkatan ekspresi REα di hepar dan jantung setelah latihan fisik. Perlu dibuktikan apakah terjadi peningkatan ekspresi REα di otot jantung setelah latihan fisik pada subyek yang telah diovariektomi yang berkorelasi dengan perubahan interval QTc.

Durasi repolarisasi otot jantung sangat berkaitan dengan aktivasi saluran ion Ca dan K. Aktivasi saluran ion Ca dan K dirangsang antara lain oleh hormon estrogen. Perlu dibuktikan, apakah terjadi sintesis estrogen di otot jantung atau ada peningkatan ekspresi REα di otot jantung pada pascaovariektomi setelah diberi latihan fisik teratur. Selain itu perlu dibuktikan bahwa estrogen mencegah perubahan abnormal durasi repolarisasi otot jantung. Perlu dibuktikan pula apakah hal tersebut melalui aktivasi saluran ion Ca dan K.

Tikus sudah sering digunakan sebagai model untuk mempelajari aritmia dan mati mendadak pada manusia. Jantung tikus banyak digunakan untuk penelitian mengenai fungsi mekanik, biokimia, molekular, genetik serta elektrofisiologik. Frekuensi denyut jantung tikus lebih cepat 4-10 kali lipat dibanding manusia dengan durasi potensial aksi yang lebih pendek. Jantung tikus yang berukuran lebih kecil dari manusia memiliki sifat kelistrikan lebih stabil.

(15)

Saluran-saluran ion di otot jantung tikus 95% identik dengan manusia pada tingkat protein dan memiliki sifat elektrofisiologis dan farmakologis yang sama (DiFransisco, 2004).

Elektrokardiogram juga telah diadaptasi untuk digunakan pada tikus dengan hasil rekaman gelombang-gelombang yang mirip dengan manusia. Secara teknis perbedaannya adalah pada desain dan letak elektroda serta penggunaan anestesi yang tidak mempengaruhi fdj maupun durasi potensial aksi.

Penentuan durasi repolarisasi dengan interval QTc untuk tikus menggunakan formula koreksi yang dimodifikasi dari formula Bazett (1920) oleh Kmecova & Klimas (2010). Penentuan interval RR untuk koreksi interval QT menggunakan formula dari Mitchell et al. (1998). Pada tikus dewasa terdapat perbedaan repolarisasi antara jantan dan betina yang mirip dengan manusia (London, 2004; Trepanier-Boulay et al., 2001; Salama & London, 2007; Mitchell

et al., 1998; Kmecova & Klimas, 2010).

Guna mendekatkan masalah yang berkaitan dengan pascamenopause, penelitian dilakukan pada tikus yang diovariektomi. Biasanya untuk mengamati pengaruh hormon estrogen pada jantung dilakukan dengan cara isolasi jantung tikus yang dapat memberi gambaran kerja jantung invivo, namun dapat pula dilakukan dengan memberi perlakuan pada tikus hidup kemudian dilihat efeknya pada organ yang diinginkan secara invitro (Trepanier-Boulay et al., 2001; Philp et

al., 2006; Korte et al., 2005). Perlu dibuktikan adanya proses aromatisasi di otot

jantung serta efek estrogen hasil aromatisasi ekstragonadal akibat latihan fisik teratur terhadap durasi repolarisasi yang diukur dengan EKG permukaan badan

(16)

pada tikus yang diovariektomi.

Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan suatu permasalahan mengenai latihan fisik teratur dan terukur pada tikus pascaovariektomi untuk mencegah perubahan abnormal durasi repolarisasi otot ventrikel jantung sehingga menurunkan risiko aritmia ventrikuler melalui proses aromatisasi di otot ventrikel jantung.

Pertanyaan penelitian yang disusun berdasarkan latar belakang masalah adalah 1. Apakah pemanjanngan interval QTc pascaovariektomi setelah latihan fisik

teratur dan terukurmencegah risiko aritmia?

2. Apakah interval QTc pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur berkorelasi dengan kadar estrogen?

3. Apakah latihan fisik teratur dan terukur pascaovariektomi meningkatkan ekspresi saluran ion K dan Ca di otot ventrikel jantung?

4. Apakah interval QTc pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur berkorelasi dengan ekspresi saluran ion Ca dan K di otot jantung? 5. Apakah ekspresi saluran ion Ca dan K di otot jantung pascaovariektomi

setelah latihan fisik teratur dan terukur berkorelasi dengan kadar estrogen? 6. Apakah ekspresi CYP19aromatase jaringan otot jantung pascaovariektomi

setelah latihan fisik teratur dan terukur berkorelasi dengan kadar testosteron?

7. Apakah ekspresi CYP19aromatase jaringan otot jantung pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur berkorelasi dengan ekspresi COX2

(17)

jaringan otot jantung?

8. Apakah ekspresi COX2 jaringan otot jantung pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur berkorelasi dengan interval QTc?

9. Apakah ada peningkatan ekspresi REα di otot ventrikel jantung pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur?

B. Tujuan Penelitian

B.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengungkapkan latihan fisik teratur dan terukur pada pascaovariektomi mencegah risiko aritmia ventrikuler melalui sintesis estrogen di otot jantung.

B.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut

1. Menjelaskan korelasi antara pemanjangan interval QTc dengan pemanjangan interval RR dan penurunan frekuensi denyut jantung pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur.

2. Menjelaskan korelasi antara perubahan kadar estrogen serum dan jaringan otot jantung dengan pemanjangan interval QTc pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur.

3. Menjelaskan peningkatan ekspresi saluran ion K dan Ca otot ventrikel jantung pascaovariektomi setelah larihan fisik teratur dan terukur.

4. Menjelaskan korelasi antara perubahan interval QTc dengan ekspresi saluran ion Ca dan K pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur.

(18)

5. Menjelaskan korelasi antara kadar estrogen serum dan jaringan otot jantung dengan ekspresi saluran ion Ca dan K tikus pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur.

6. Menjelaskan korelasi antara ekspresi CYP19aromatase dengan kadar testosteron serum dan jaringan otot jantung pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur.

7. Menjelaskan korelasi antara peningkatan ekspresi COX2 dengan CYP19aromatase jaringan otot jantung pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur.

8. Menjelaskan korelasi antara peninfkatan ekspresi COX2 otot ventrikel jantung dengan interval QTc pascaovariektomi setelah larihan fisik teratur dan terukut.

9. Menjelaskan adanya perubahan ekspresi REα di otot ventrikel jantung pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan terukur.

C. Keaslian Penelitian

Penelitian-penelitian lain yang pernah dilakukan antara lain adalah penelitian oleh Drici et al. (1996) yang mencari pengaruh hormon estrogen terhadap pengaturan ekspresi saluran ion K di jantung marmut yang telah diovariektomi, penelitian dilakukan pada jantung yang diisolasi. Parameter yang diambil adalah interval QT dikaitkan dengan ekspresi saluran ion K. Hara et al. (1998) meneliti pengaruh estradiol dan dehidrotestosteron terhadap repolarisasi ventrikel pada isolasi otot papilaris jantung kelinci yang telah diovariektomi.

(19)

dengan treadmill selama 8 minggu pada tikus galur Sprague Dawley. Penelitian ini mencari adaptasi reseptor estrogen di hepar dan jantung dengan menggunakan isolasi organ. Ekspresi reseptor ditentukan dengan menggunakan RT-PCR. Penelitian ini tidak mengkaitkan dengan durasi repolarisasi otot ventrikel jantung. Penelitian oleh Genovesi et al. (2007) mencari pengaruh latihan fisik terhadap fdj dan interval QTc pada manusia usia muda. Penelitian ini membuktikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dengan mengungkapkan peran saraf otonom. Pengamatan interval QTc dan variabilitas denyut jantung menggunakan holter monitor selama 24 jam. Penelitian oleh Wiik et al. (2005) mencari ekspresi reseptor estrogen di otot skelet manusia setelah latihan fisik.

Penelitian oleh Carnethon et al. (2003) pada pascamenopause yang menggunakan terapi sulih hormon selama 9 tahun memperoleh hasil adanya pemanjangan interval QT dan meningkatnya risiko aritmia 2x lipat dibanding bukan pengguna terapi sulih hormon.

Jost et al. (2005) memberikan dofetilide, suatu antiaritmia yang memiliki titik tangkap menghambat saluran ion K di otot jantung, pada manusia memperoleh hasil bahwa terjadi pemendekan interval QT yang berisiko aritmia. Risiko aritmia tersebut terjadi pada orang yang memiliki aktivitas simpatis tinggi.

Penelitian ini dilakukan in vivo yaitu pada jantung intak dengan tujuan mengkaji mekanisme perubahan interval QTc setelah perlakuan latihan fisik teratur dan terukur. Penelitian dilakukan dengan mencari korelasi antara interval QTc dengan sintesis estrogen melalui proses aromatisasi ekstragonadal di otot jantung pada tikus yang telah diovariektomi

(20)

D.

Manfaat Penelitian

D.1 Manfaat teoritis penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan mekanisme kelistrikan otot janrung pascaovariektomi serelah latihan disik teratur dan terukur. Hasil penelirian ini diharapkan juga dapat menjelaskan akrivitas kelistrikan otot janrung pascaovariektomi beekaitan dengan estrogen serum dan jaringan. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan mekanisme sintesis estrogen di otot centrikwl jantung pascaovariektomi setelah latihan fisik teratur dan teeukur.

D.2 Manfaat praktis penelitian

Latihan fisik yang teratur dan terukur dapat membantu terjadinya pembentukan estrogen ekstragonadal dan dapat mencegah perubahan abnormal durasi repolarisasi otot jantung perempuan pascamenopause. Oleh sebab itu hasil ini dapat disebarluaskan pada para ibu pascamenopause untuk menggalakkan kegiatan latihan fisik teratur dan terukur. Diharapkan kegiatan latihan fisik teratur dan terukur akan dapat mencegah kejadian aritmia ventrikuler pascamenopause . Bagi para klinisi terutama di bidang kardiologi dapat menjadi bahan pertimbangan apabila akan memberikan terapi antiaritmia bagi perempuan khususnya perempuan pascamenopause. Selain itu bagi para ahli kesehatan olahraga dapat menjadi pertimbangan dalam merancang program latihan untuk mencegah dan memperbaiki aritmia pada wanita pascamenopause.

Referensi

Dokumen terkait

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah perlu dilakukan konfirmasi eksperimen dengan melakukan beberapa percobaan ulang berdasarkan setting yang

4. Memimpin penyusunan rencana kerja bidang administrasi, keuangan, pelayanan, serta pengembangan dengan menyesuaikan renstra Rumah Sakit. Merumuskan

Jika anda melakukan penghapusan sebuah tabel, maka semua kolom dan data yang terdapat pada tabel tersebut akan ikut terhapus juga, untuk itu perlu anda pertimbangkan terlebih

Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber

Faktor ini mencakup desain pekerjaan individu itu (otonomi, keragaman tugas,.. tingkat otomatisasi), kondisi kerja, dan tata letak fisik. Makin banyak kesaling-tergantungan

Banyuwangi 75% (tujuh puluh lima persen) 4. 498) seperti dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf c &#34;Undang-undang Pertimbangan Keuangan 1957&#34;, ditetapkan sebesar 90%

Dari metode percobaan di atas akan dapat kita lihat bagaimana hasilnya jika file yang telah dimampatkan dengan suatu algoritma dimampatkan lagi sebanyak 2 kali dengan algoritma

Deskrisi Singkat Pada menu ini Admin dapat mengelola akun para nasabah yang ada. Aktor